Masa Lebaran 2008 ini diwarnai dengan kondisi keuangan global yang membingungkan, ‘terpuruk’ menurut berbagai info di media cetak maupun elektronik. ‘Subprime Mortgage’, ‘short selling’, ‘bail back’ dan entah apalagi istilah-istilah ekonomi yang selama ini jarang terdengar di telinga orang awam, tiba-tiba menyeruak, mengganggu para makhluk karena dihubungkan dengan penurunan daya beli masyarakat.
Saat masa puasa, rekan kerja dari AS menceritakan bahwa banyak kredit rumah bermasalah di negerinya. Selama ini golongan menengah atas di AS sedang mengalami ‘bulan madu’, katanya, dengan banyak pekerjaan dan gaji besar sehingga hujan penawaran kredit konsumtif berbunga rendah dari lembaga finansial jatuh ke golongan ini dan sektor perumahan adalah salah satu penawaran yang paling banyak diberikan.
Mingguan nasional menceritakan bahwa banyak para pemilik uang di AS berbisnis rumah dengan cara menyewakan rumah yang dibelinya dengan cara kredit. Uang pembayaran sewa rumah selama lima tahun sudah dapat melunasi total kredit yang diperolehnya dari lembaga pembiayaan.
Ternyata ‘bulan madu’ tidak menerus, lembaga-lembaga keuangan dunia mulai berjatuhan karena banyaknya kredit macet dan krisis keuangan dunia dimulai. Kepak sayap kupu-kupu di Wall Street mulai terasa di negeri kita, indeks harga saham melorot dan para pemain mulai panik, obral saham dimulai dan uang disimpan di bawah bantal karena kekhawatiran akan kemungkinan terpuruknya perbankan nasional. Gelombang energi dari kepak sayap kupu-kupu mulai menghantam sektor riil dan nilai rupiahjatuh hingga Rp. 10.000 per dollar AS. Kemampuan daya beli dan kekhawatiran memburuknya kondisi ekonomi negeri ini makin memperburuk sektor riil sehingga pedagang ekspor gerabah di Solo terpaksa merumahkan karyawannya karena pembatalan order mencapai 75%.
Kepanikan para pemain saham yang biasa mengambil keuntungan cepat (profit taking) semakin tinggi di negeri ini, ketika info yang membingungkan mulai dihembuskan oleh para penerbit saham untuk mengeruk keuntungan sendiri sehingga pemangku kebijakan terpaksa mengancam para pemain ‘silat’ ini.
Karyawan perusahaan pertambangan asing yang rajin bekerja tiba-tiba harus turut tertampar sayap kupu-kupu ini ketika menyadari bonus produksi bulanannya menghilang dan terancam kebijakan pengurangan jumlah karyawan karena harga metal dan harga saham perusahaan melorot tajam. Pedagang sayuran di pasar tiba-tiba merosot pendapatannya karena sayur tidak laku berhubung restoran pelangganannya mengurangi jumlah masakan karena sepi pengunjung. Permainan apa dan ulah siapa semua ini? Betukah ini karena the World is flat seperti kata Thomas Friedman sehingga keuntungan dan kerugian menular cepat?
Tidak jelas perilaku makhluk macam apa penyebab kekacauan keuangan global ini. ‘Invisible hand’ yang dijanjikan para penganut pasar bebas ternyata betul-betul menyembuyikan tangannya sehingga orang nomor satu di AS terpaksa harus turun tangan menggantikannya dengan menggelontorkan bantuan AS$700 juta dengan maksud membuat keseimbangan baru supaya chaos berhenti.
Apakah para debitor adalah penyebab utama? Atau, para kreditor yang terlalu royal membagikan kredit? Secara teknis, para ekonom pasti mampu menjelaskannya, namun yang lebih penting adalah perilaku macam apa yang bisa menyebabkan ini semua terjadi.
Pertanyaan selanjutnya, apakah kebutuhan primer yang menyebabkan kredit macet, atau mungkin sekunder, atau bahkan mungkin tersier atau er er yang lainnya? Bisa apa saja, masalahmya adalah kemampuan pemilik modal di jaman sekarang ini sudah sedemikian canggihnya dalam menjual ‘kebutuhan’. Mengapa kredit sedemikan besar digelontorkan ke masyarakat? Pasti bukan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri, melainkan untuk kepentingan si pemilik modal tentunya. Inilah naluri kapitalistik di jaman globalisasi. ‘Yang penting semua senang’, katanya. Bedanya, anda mungkin senang sesaat karena ‘mampu’ memiliki barang konsumtif, tapi pemilik modal senang bertumpuk-tumpuk karena keuntungan berlipat dari kelebihan nilai produk yang anda hasilkan.
Tinggalkan Balasan