Judul buku : Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme
Membebaskan Yang Tertindas
Judul Asli : Qur’an, Liberation and Pluralism
An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Opression
Pengarang : Farid Esack
Tebal buku : 358 halaman
Penerbit : Mizan
Tahun : 2000
Farid Esack dibesarkan di Bonteheuwel, sebuah kota untuk orang kulit berwarna di Cape Flats, Afrika Selatan, karena dipaksa pindah oleh Akta Wilayah Kelompok (Group Areas Act), bersaudarakan enam orang, tiga diantaranya adalah saudara tiri, yang ditinggal ayahnya ketika masih berusia tiga tahun.. Hukum apartheid tersebut, diperlakukan 1952, menyisihkan tanah paling tandus di negeri itu bagi orang kulit hitam, keturunan India dan kulit berwarna. Masa kecilnya berada pada situasi kemelaratan struktural akut, dimana harus berkeliling mengetuk pintu tanpa sepatu di tanah bersalju untuk meminta sepotong roti atau mengaduk-aduk tempat sampah demi mendapatkan sisa makanan.
Jika kaum Kristen Afrika Selatan yang berkomitmen pada keadilan mengambil acuan dari Teologi Pembebasan yang lahir di Amerika Selatan, maka kaum muslim di sana terinspirasi dari Teologi Pemberontakan menentang neokolonialisme dan kediktatoran di Iran. Kedua kelompok progresif ini bekerjasama meruntuhkan rejim apartheid di Afrika Selatan.
Ada empat hal yang hendak dicapai Farid Esack dari buku ini, yaitu:
– adalah mungkin untuk hidup dan berjuang bersama dengan kaum non-muslim untuk pembentukan masyarakat yang lebih manusiawi
– menggunakan hemeneutika Al-Quran untuk mengembangkan pluralisme teologi Islam
– mempelajari ulang Al-Quran dalam memperlakukan golongan yang berbeda untuk memberi ruang bagi kebenaran dan keadilan pihak lain dalam teologi pluralisme demi pembebasan
– menggali hubungan antara eksklusivisme keagamaan dan konservatisme politik (pendukung apartheid) di satu sisi, dengan inklusivisme keagamaan dan politik progresif (pendukung kebebasan) berdasarkan Al-Quran.
Di awal buku, Esack bercerita tentang sejarah masuknya kaum Islam dari Timur (Malaysia, Indonesia) di Cape Town, yang selanjutnya menjadi area bahasan, yang biasa disebut sebagai Melayu, di tahun 1652. Pemerintahan rasialis dan represif Afrika Selatan dimulai sejak CMA (Asosiasi Melayu Cape) dibentuk pada tahun 1923an. Wujud penindasan politik yang paling terasa adalah ketika terjadi pembunuhan Imam Abdullah Haron oleh polisi keamanan pada 1969, setelah empat bulan dalam tahanan. Kebungkaman para ulama mengenai soal kematian Haron memunculkan rasa pengkhianatan dan kecewa yang mendalam di kalangan pemuda Muslim. Baru setelah pendeta Anglikan melakukan mogok makan untuk memprotes pemerintah atas kematian Haron, para pemuda Muslim mulai terinspirasi. Selanjutnya, pasca 1970an menjadi perhatian utama penulis, ketika penolakan terhadap apatheid secara berangsur mendapat dukungan luas. Dalam atmosfer inilah tumbuh solidaritas antariman dan munculnya masalah-masalah krusial tentang hermeneutika Al-Quran ditempatkan dalam konteks ini.
Pengalaman hidupnya dilingkungan sosial yang rasis dan penuh penindasan di Afrika Selatan serta Islam eksklusif dan penuh bias gender di Pakistan membentuk Esack menjadi pribadi yang sangat sensitif terhadap ketidakadilan.
Bersama tiga temannya, Esack membentuk Call of Islam, pada tahun 1984. Organisasi ini merupakan afiliasi dari Front Demokrasi bersatu (UDF) yang didirikan setahun sebelumnya. UDF adalah pergerakan Muslim yang paling aktif memobilisasi aktivitas nasional menentang apartheid, diskriminasi gender, dan pencemaran lingkungan, serta menggalang usaha antar-iman.
Tentang teks dan konteksnya dalam pencarian makna yang membebaskan, Esack menulis bahwa ada basis teologis dan historis untuk membenarkan pendekatan kontekstual terhadap Al-Quran. Pendekatan ini telah memungkinkan banyak kaum Islamis progresif di Afrika Selatan untuk melawan rezim apartheid dan bersolidaritas dengan orang beragama lain secara bermakna.. “Para penafsir adalah manusia, yang tak mungkin bisa lepas dari keadaan lingkungan tempat ia berada”, menurutnya. Hermeneutika mangasumsikan bahwa setiap orang mendatangi teks dengan membawa persoalan dan harapannya sendiri, serta tidak masuk akal untuk menuntut penafsir menyisihkan subyektivitas dirinya dan menafsirkan teks tanpa pemahaman.
Esack menjelaskan cukup dalam tentang masing-masing kunci hermeneutika yang dipergunakan pada teologi Pembebasan Al-Quran dalam konteks masyarakat yang diwarnai oleh ketidakadilan, perpecahan dan ekploitasi, yaitu: takwa (integritas dan kesadaran akan kehadiran Tuhan), tauhid (keesaan Tuhan), al-nas (manusia), al-mustadh’afuna fi al-ardh (yang tertindas di dunia), ‘adl dan qisth (keseimbangan dan keadilan, serta jihad (perjuangan dan praksis).
Makna kata Iman, Islam dan Kufr adalah tiga hal penting yang dibahas dalam rangka mendefinisikan ulang diri sendiri dan orang lain untuk tujuan pembebasan.
Sikap Pluralisme Esack didasari atas keyakinan bahwa Al-Quran mengakui keabsahan ‘ de jure’ semua agama wahyu dalam dua hal: Ia menerima keberadaan kehidupan religius komunitas lain yang semasa dengan kaum Muslim awal, menghormati hukum-hukum, norma-norma sosial, dan praktik-praktik keagaman mereka; serta juga menerima pandangan bahwa para pemeluk setia agama-agama ini juga akan mendapatkan keselamatan (QS 2:62).
Di bagian kesimpulan, Esack kembali menegaskan bahwa di Afrika Selatan, renungan tentang pandangan Al-Quran mengenai hubungan dengan penganut agama lain, kerjasama antar agama, dan kesetaraan gender membentuk dimensi yang sadar dan dinamis dalam kerangka praksis liberatif. Dalam situasi ketidakadilan yang nyata, kebungkaman politis sama artinya dengan berkolaborasi dengan ketidakadilan.
Farid Esack adalah pemikir Islam yang menyandang gelar Doktor di bidang tafsir Al-Quran, staf pengajar di Universitas Western Cape, Afrika Selatan, dan tokoh senior dalam World Conference on Religion and Peace. Buku ini sangat lengkap isinya berhubung dengan kelengkapannya, seperti Daftar Singkatan, Glosarium, Daftar Pustaka, Index dan Lampiran.
Gan.. buku membebaskan yang tertindas, bisa didapet dimana ya..