Judul : Bumi Manusia
Author : Pramudya Ananta Toer
Tebal buku : 535 halaman
Tahun : 2008
Penerbit : Lentera
Novel ini merupakan buku pertama dari tetralogi yang ditulis ketika pengarang sedang berada dalam tahanan di P. Buru, 1975. Banyak penghargaan diperoleh dari luar negeri dan banyak pula sudah diterbitkan di luar negeri, namun sayangnya, justru dilarang diterbittkan di negeri sendiri pada era Soeharto. Bahkan, seorang mahasiswa Sospol Gajah Mada sempat masuk bui (5 tahun?) akibat menjualnya di akhir tahun 80an.
Membaca novel yang sarat dengan nuansa sosialis dan berlatarbelakang masa penjajahan Belanda, 1898, di Wonokromo, Jawa Timur, seperti larut dalam suasana penjajahan dan feodalism yang nyata, yang sangat sangat jauh berbeda dengan jaman sekarang ini. Sulit dimngerti bahwa jaman seperti itu pernah ada di negeri ini. Ada beberapa kalimat yang mencerahkan dan menarik untuk diingat dan masih relevan untuk jaman ini:
– Nasihat Jean Marais untuk Minke: “ .. Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak berada dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Hal. 77
– Masih dari Jean untuk Minke: “.. kasihan hanya perasaan orang berkamauan baik yang tidak mampu berbuat. Kasihan hanya suatu kemewahan atau satu kelemahan. Yang terpuji memang dia yang mampu melakukan kemauan-baiknya”.
– Pembicaraan antara Minke dan Nyai Ontosoroh: “Mama bicara, membaca mungkin juga menulis bahasa Belanda, mana bisa tanpasekolah?”. “ Apa salahnya? Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima”. Hal. 105
– Pembicaraan antara Miriam/Sarah de la Croix ddengan Minke: “.. kelakuan para pembesarmu yang menjual konsesi pada Kompeni untuk kepentingan sendiri sebagai pertanda kekeroposan watak dan jiwanya”. “… suatu bangsa yang telah mempertaruhkan jiwa-raga dan harta benda untuk segumpal pengertian abstrak bernama kehormatan.” Hal. 285.
– Cuplikan artikel Dr. Martinet yang berjudul Awal Jaman Baru dan Gejala Pergeseran Sosial sebagai Sumber Penyakit Baru: “ … pengobatan tanpa mengenal latar-belakang sosial telah masuk dalam methode Jaman Tengah”. Hal. 385.
– Pembicaraan Dr. martin dengan Minke: “Asal keinginan dan impian sama – akibat dari kenyataan yang tidak mencukupi”. Hal. 386.
Para tokoh :
– Minke, seorang pribumi, putra Bupati, pelajar HBS (SMU sekarang) yang pandai, kritis, penulis, liberal, yang karena pendidikannya, tak cukup kuat akar budaya bangsanya
– Nyai Ontosoroh, pribumi yang dikawini seorang Belanda secara paksa dan tanpa keabsahan hukum Hindia Belanda, sehingga harus meninggalkan keluarganya. Cerdas, kritis dam sangat anti penjajahan
– Tuan Mellema, suami Nyai Ontosoroh, pada awalnya bersifat sabar dan sayang keluarga hingga kedatangan anaknya (Maurits) dari istri yang sah, menurut hukum Belanda.
– Annelies Mellema, putri pasangan Tuan Mellema dan Nyai Ontosoroh, juga istri Minke, cantik, kesepian dan pengikut ibunya dalam hal kepandaian mengurus perusahaannya
– Robert Mellema, anak pertama pasangan Tuan Mellema dan Nyai Ontosoroh, bersifat anti pribumi
– Robert Suurhof, teman HBS, yang memperkenalkan Minke dengan keluarga Nyai Ontosoroh
– Magda Peters, guru sastra HBS yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter Minke, liberal dan anti penjajahan
– Keluarga assisten residen De la Croix, dengan dua anaknya Sarah dan Meriam, adalah keluarga berpendidikan yang banyak membantu dan berpihak pada Minke
– Bunda, ibu Minke, istri seorang bupati yang sangat mencintai anaknya
– Jean Marais, Pelukis Perancis, ex tentara pada perang di Aceh, sahabat dekat Minke
– Darsa, pengawal setia Nyai Ontosoroh, dari madura
Ajakan Robert Suurhof terhadap Minke untuk mengunjungi Robert Mellema, menjadi awal dari berkembangnya kisah Bumi Manusia. Nyai Ontosoroh yang sangat fasih berbahasa Belanda, berpengetahuan luas tentang sastra, ‘melek’ hukum Hindia Belanda dan sangat mengerti tentang karakter kaum penjajah serta riwayat muram dirinya, sangat menyetujui hubungan asmara Annellies dan Minke, yang pribumi, kritis dan berpendidikan.
Ada dua konflik sosial dalam novel ini, yaitu konflik feodalistik dan kolonial. Konflik feodalistik direpresentasikan dengan cerita ketika Minke harus ‘ laku ndhodok” (jalan beringsut dengan berjongkok) dan menyembah ayahnya yang Bupati. Sedangkan konflik sosial, sebagai cerita utama, muncul ketika anak sah (hukum Belanda), Maurits, melalui pengadilan Belanda menuntut hak kekayaan almarhum Tuan Mellema, yang telah dikembangkan oleh Nyai Ontosoroh, dan hak perwalian atas Annelies sebagai anak sah, yang terdaftar dalam hukum Hindia Belanda, dari Tuan Mellema. Nyai Ontosoroh dan Minke sebagai pribumi, menurut hukum Hindia Belanda tidak diakui sebagai istri Tuan Mellema dan suami Annelies yang sah. Dengan kata lain, Nyai Ontosoroh dianggap tidak ada kaitan hubungan apapun dengan keluarga Tuan Mellema yang berakibat pada tidak adanya hak pemilikan Nyai Ontosoroh sedikitpun atas harta dan perusahaan yang telah dikembangkannya bersama putrinya. Annelies dianggap masih gadis, belum menikah, karena menurut hukum Hindia Belanda tidak diakui perkawinan dengan Minke, yang pribumi.
Cerita diakhiri dengan keberangkatan paksa Annelies ke Belanda, meninggalkan ibunya, Nyai Ontosoroh, dan suaminya, Minke.