Judul : MAX HAVELAAR
Penulis : Multatuli
Alih Bahasa : Andi Tendi W.
Tahun : 2008
Penerbit : Narasi
Dari sampul belakang: Buku ini ditulis Multatuli (Eduard Douwes Dekker) di sebuah losmen yang disewanya di Belgia, pada musim dingin 1859. Merupakan kritik tajam yang telah “membuka” sebagian besar mata publik dunia, tentang perihnya arti penindasan (kolonialisme). Judul buku dan nama penulisnya sungguh sangat familiar bagi kita yang pernah mengenyam pendidikan SD di negeri ini, dan patut mendapatkan penghargaan bagi pengalih bahasa yg telah menerjemahkan karya klasik monumental ini.
Dari sisi gaya bahasa atau alur cerita, agak sulit ‘mencerna’nya, mungkin karena peng’alih-bahasa’an atau memang metoda penulisan yang kurang difahami pembaca. Ada dua latar belakang yang diceritakan dalam karya ini, yaitu tentang ‘makelar kopi’, yang disebutkannya berkali-kali dan pemerintahan kolonialis Belanda di Lebak, Jawa Barat sebagai inti cerita. Juga, satu bab cerita pendek ‘Saijah dan Adinda’ yang sangat terkenal di dunia teater, bahkan sebagai dongeng menjelang tidur.
Keprihatinan Multatuli atas tanah Jawa dan sinisme terhadap pemerintah kolonial sudah dituliskan pada awal cerita, “.. keriangan mengepakkan bendera di Batavia, Semarang, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Probolinggo, Pacitan, Cilacap, di atas kapal yang sarat dengan hasil panen yang membuat Holland kaya!”
Cerita buku ini dimulai dengan kedatangan Max Havelaar (35 tahun) dan keluarga di Rangkasbitung, sebagai Asisten Residen Lebak yang baru dan masih muda, namun sudah berpengalaman menjadi Asisten Residen di Ambon. Sifat-sifat personal Max Havelaar diceritakan sang penulis dengan panjang lebar sebagai manusia religius, lurus, rendah hati seperti tertulis dalam bahasa puitisnya “.. Tajam seperti silet, namun berhati lembut seperti seorang gadis, dia selalu menjadi yang pertama dalam merasakan kepedihan yang ditimbulkan dari kata-kata pahitnya, dan dia lebih menderita akibatnya dibandingkan dengan orang yang disakitinya”.
Konflik dimulai ketika Max memperoleh banyak keluhan rakyatnya atas kesewenang-wenangan Regen Lebak (Raden Adipati Karta Nata Negara) dan mulai menindak-lanjutinya. Kesewenang-wenangan dimaksud, diantaranya adalah, pengambil alihan ternak, pungutan dan penggunaan tenaga kerja tanpa ganti rugi/dibayar. Laporan Max tentang kasus ini ke Residen Lebak tidak mendapat tanggapan bahkan dianggap sebagai laporan tidak berdasar. Ketidak-puasan Max atas tanggapan resmi Residen Lebak (Slymering), membuatnya gusar dan melaporkannya lebih lanjut ke penguasa kolonial, Gubernur Jenderal.
Akhir cerita, Max Havelaar mengundurkan diri dan tidak menerima ‘mutasi’ yang dikenakan pada dirinya sebagai Asisten Residen Ngawi, Jawa Timur.
Introspeksi
Betulkah kesewenang-wenangan dalam bungkus kolonialisme sudah hilang di negeri tercinta ini? Bagaimana dengan penguasaan modal besar atas akses pendidikan, kesehatan dan usaha? Bagaimana dengan hegemoni globalisasi budaya dan ekonomi yang sudah mengkooptasi kita saat ini?
Tinggalkan Balasan