Judul Buku : Rumah Kaca
Halaman : 645
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun : 2009
Rumah Kaca adalah buku terakhir dari tetralogi, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa dan Jejak Langkah.
Bila pada ketiga buku terdahulu menggunakan tokoh utama Mingke sebgagai si pencerita, maka di buku terakhir ini tokoh utama, sekaligus pencerita adalah Pangemanann, polisi yang menangkap Minke dalam buku Jejak Langkah. Ini gaya penulisan yang harus diambil penulis, untuk dapat terus mengikuti perkembangan sejarah perjuangan di masa kolonialisme Belanda, berhubung Minke sbgai tokoh utama di buku sebelumnya sedang berada di pengasingan, Ambon.
Pangemanann (dengan dua ‘n’), dimaksudkan penulis sebagai pribadi keturunan Manado Belanda, namun lebih menghargai dirinya sebagai bangsa asing, walaupun dalam setiap pikiran dan tindakannya selalu dibayangi rasa salah terhadap bangsanya.
Latar-belakang cerita diambil pada masa tumbuhnya nasionalisme di wilayah Asia, seperti munculnya Aquinaldo di Filipina dan Sun Yat Sen di Tiongkok. Di Hindia (Indonesia nantinya), pada saat itu di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Idenburg, yang menggantikan Van Heutsz. Nasionalisme Hindia diawali dengan organisasi Budi Mulya dan Syarikat Dagang Islam, dilanjutkan dengan munculnya para aktivis Belanda Sneevlit. Sepak terjang Tiga Serangkai juga mewarnai isi buku ini, meskipun tidak cukup mendapat ‘arti’ yang penting di mata penulis.
Pada akhir cerita, Minke telah dibebaskan dari pengasingan,, namun tetap dalam pengawasan pemerintahan kolonial hingga dilarang melakukan aktivitas politik, dan akhirnya mati dalam kesepian.
Membaca tetralogi ini, pesan yang muncul sangat jelas terlihat sebagai sikap pribadi penulis yang anti penjajahan dalam segala bentuknya dan tetap tegar dan konsisten dengan segala akibatnya hingga wafat dalam kesepiannya.
Bila penulis adalah representasi si Minke, lalu siapakah Pangemanann? Jelas masih banyak tokoh dengan kepribadian dan perilaku semacam Pangemanann ini, biasanya mereka ini mengabdikan diri sebagai wakil pemilik modal besar dan karena kemampuannya mengenali budaya bangsanya, akan berusaha untuk terus menjajahnya. Persis seperti perilaku kolonialis yang berkedok ‘balas-budi’, namun di ujung semua usaha adalah tetap keuntungan pemilik modal harus jauh lebih besar. Kasihan kalian para Pangemanann negeri ini ..
Tinggalkan Balasan