Duduk di depan kamar lantai 3 pada ketinggian 1900 meter di kota tambang terasa dingin, segar. Sejauh mata memandang tampak hijau bergelombang, hutan heterogen, beberapa tempat menyela titik-titik kuning dari bunga yg mulai tumbuh, indah. Suara raungan mobil ber cc tinggi, sesekali menyelingi keheningan jaring kehidupan. Gerakan dalam otak mulai terjadi ‘Apa yang kita lakukan di sini sebenarnya?’ ‘Mencari penghidupan untuk keluargaku’ jawabku. ‘Sudah benarkah apa yg kau lakukan ini?’ Heemm mulai hangat dada rasanya karena gejolak darah yang memacu jantung untuk berdetak lebih cepat karena tindakan mulai dipertanyakan. ‘Benar sudah alasanmu, tapi sudahkah kau pikirkan akibat tindakanmu bagi yang lain?’, terhenyak aku dengan hentakan yang membangunkan ini.
Aku mulai memilih pisau untuk mengupas sistem jaringan hidup yang aku jalani. Bagian manakah yang harus dikupas dari keterlibatanku dalam industri ekstraksi sumber daya alam ini? Akan lebih mudah rasanya untuk mengelaborasi pertanyaan filosofis ini dengan menggunakan pisau analisa etika profesional. Menurut filsuf nasional (Romo Magnis?) Ada lima subjek kepada siapa seorang profesional perlu mempertanggungjawabkan aktifitas profesionalnya, yaitu:
1. Tuhan Yang Maha Esa,
Jelas, ini adalah rambu spiritual yang tentu bagi siapapun yag meyakininya, tak akan menegasikannya. Semua permasalahan industrial hendaknya dikaji secara holistik sebelum tindakan dan pengambilan keputusan dilakukan.
2. Bangsa dan Negara
National interest perlu menjadi pertimbangan penting dalam setiap tindakan dan pengambilan keputusan yang mungkin bisa merugikan atau menguntungkan bangsa dan negaranya. Dalam kaitannya dengan industri ekstraksi sumberdaya alam, perlu dijawab pertanyaan-pertanyaan seperti ‘seberapa jauh, secara financial, bisnis ini akan menguntung negara, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, mengingat bahwa ini adalah industrii ‘non renewable’?’, ‘berapa jumlah produksi sebaiknya sehingga bisa menguntungkan semua pihak?’, ‘Dalam kaitannya dengan bidang usaha lain, sejauh mana bisnis ini akan mempengaruhi sektor industri lainnya, misalnya kehutanan, perikanan; mengingat pertambangan pasti berdampak pada kerusakan hutan dan bisa mengganggu biota laut krn pembuangan tailingnya?’.
3. Lingkungan fisik dan sosial
Lingkungan fisik jelas akan menerima dampak yang besar dalam aktifitas pertambangan, seperti misalnya perubahan bentang alam dan keanekaragaman hayati; belum lagi kemungkinan penyebaran mineral berat akibat pembuangan sampah tambang dsb. Uji valuasi kerusakan lingkungan akibat aktifitas industri perlu dillakukan sehingga dapat dihitung secara kuantitatif, dalam dollar misalnya, kehilangan kekayaan alam akibat penambangan. Ini penting karena seringkali perhitungan keuntungan Nasional hanya didasarkan pada perolehan pajak dan royalti, tanpa memperhitungan faktor kehilangan kekayaan alam lainnya. Akan lebih baik lagi bila kerusakan lingkungan menjadi komponen dalam perhitungan keuntungan per satuan berat produksi, yang akan masuk kembali ke kas negara sebagai pajak kerusakan lingkungan. Yang juga penting untuk mendapat perhatian lebih adalah persoalan lingkungan sosial, yang meliputi migrasi penduduk pencari kerja, ketimpangan pendidikan, pendapatan dan kesejahteraan, perbedaan kultur, HAM, belum lagi perilaku karyawan terhadap sesamanya atau bawahannya, dsb. Sering merasa risih bahwa berada dalam satu bangsa yg sama bisa terjadi perbedaan pendidikan dan kesejahteraan sedemikian besar antara para karyawa pendatan dengan masyarakat lingkar tambang. Mayoritas masyarakat lokal di sekitar wilayah Industri pertambangan, pada umumnya, adalah karyawan non-staff, itupun masih memerlukan banyak pengawasan dan bimbingan. Di Tembagapura misalnya, masih sering terlihat ibu dan anak yang duduk di lantai depan bangunan umum sambil makan sementara anak2 muda, karyawan baru berlalu-lalang dg earphone lekat di telinganya. Lompatan waktu? Menggelisahkan. Seorang karyawan pendatang tingkat madya berkata ‘kami akan tetap membimbingnya, namun itu semua bergantung pada semangat dan kesediaannya untuk dididik’. Pernyataan yang arogan. Ketidakpahaman akan nilai-nilai lokal telah membuatnya arogan dan rendah empati. Memberikan penyadaran akan perlunya pendidikan semestinya menjadi prioritas utama sebelum masuk ke dalam pendidikan itu sendiri.
4. Keluarga
Seringkali parameter keluarga sebagai bagian kesuksesan, disisihkan. Perusahaan sering kali mengabaikannya atau mereduksinya dg menganggapnya sbg komoditi yg bisa dibelinya, dg memberinya akomodasi spy sang suami sbg karyawan tdk perlu lagi risau meninggalkan keluarganya.
5. Perusahaan
Jelas, bahwa karyawan wajib untuk bertanggungjawab kepada perusahaan tempat dia bekerja krn dia akan mendapatkan gaji sebagai balasan jerih-payahnya.
Dari lima hal di atas, seharusnya dimengerti dan disadari sepenuhnya bahwa Perusahaan bukanlah satu-satunya subjek tempat karyawan mempertanggung-jawabkan semua pemikiran, keputusan dan tindakannya. Dengan sengaja atau tidak, sikap ‘maju tak gentar membela yang bayar’ perlu dipertanyakan etika profesionalnya. Masih banyak terlihat, kaum terdidik yang bekerja sedemikian fokusnya hingga tak terpikirkan pertanyaan2 seperti seberapa besar keuntungan bangsa dibanding investor, apa yang akan terjadi setelah investor pergi setelah cadangan terkuras habis atau kontrak pertambangan habis, apa saja yang sudah diperoleh masyarakat sekitar, dsb. Banyak tenaga ahli di negeri ini, tapi apakah sudah bertanggung-jawab sesuai etika profesionalitasnya?
apalagi karyawan tidak boleh berpolitik hehehe, yg boleh managemen saja….