Judul : Hot, Flat and Crowded
Penulis : Thomas L. Friedman
Tebal Buku : 582 halaman
Penerbit : PT. Gramedia
Tahun : 2008
Judul buku ini sudah memberikan gambaran umum yang jelas dari penulisnya, keprihatinan terhadap kondisi Lingkungan Global, seperti tertulis pada sampul belakang. Hot, karena kemajuan teknologi telah mempercepat laju peningkatan emisi gas rumah kaca ke atmosfer yang menghambat pelepasan hawa panas dari bumi ke angkasa; Flat, karena kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi, yang memungkinkan siapapun, di manapun, dapat saling berhubungan dan saling bersaing dalam segala hal dengan mudah sehingga seolah-olah bumi berada di atas sebuah pinggan datar, dan Crowded, karena pertumbuhan jumlah penduduk yang sedemikian cepat akibat keberhasilan upaya menekan angka kematian dan industrialisasi sehingga bertumpuk di kawasan perkotaan tanpa upaya yang seimbang dalam pembenahan sarana dan prasarana.
Titik tolak pembahasan dalam buku ini sebetulnya adalah keprihatinan penulis terhadap kebijakan energi dan perubahan iklim negaranya (AS) yang menurutnya sangat kurang, bahkan cenderung mengabaikan visi lingkungan global. “Jika kita (AS) ingin mempertahankan kepemimpinan kita dalam teknologi, ekonomi dan moral serta agar planet ini tetap dapat dihuni, kaya dengan flora dan fauna, macan tutul dan singa, serta komunitas manusia yang bisa berkembang serta berkelanjutan, banyak hal yang harus diubah di sini, dan dengan segera”. Hal. 10
Dua hal penting yang mewarnai kebijakan negatif elit politik AS, adalah, sikap paranoid AS pasca 11 Sep dan sikap ‘semau gue’ terhadap problem nasional karena rasa percaya diri yang berlebih sehubungan hilangnya Perang Dingin; selain masih adanya kecenderungan positif bangsa AS yang ditunjukkan dengan karya inovatif dan idealis dalam hal ekonomi dan teknologi.
Konvergensi pemanasan global (hot) , perataan bumi (flat) dan penuh sesaknya bumi (crowded) mengantar kita pada lima masalah besar:
1. Tumbuhnya permintaan energi tak tergantikan
Menurut ASPOUSA, AS saat ini mengkonsumsi 810 juta gallon per hari, atau US$ 700 juta lebih. Royal Dutch Shell membuat prediksi, dalam laporan tahun 2008, bahwa konsumsi dunia untuk semua jenis energi akan setidaknya dua kali lipat antara sekarang dan tahun 2050.
Sesungguhnya AS sudah berusaha untuk melakukan efisiensi energi dengan munculnya Energy Policy and Conservation Act oleh kongres, 1975 sehingga jarak tempuh kendaraan ringan meningkat dari rata-rata 5,5 km/liter menjadi 11,5 km/liter pada tahun 1980. Hal ini menyebabkan penurunan permintaan minyak yang signifikan hingga 1990an, yang juga turut andil sebagai penyebab runtuhnya Uni Soviet, yang saat itu sebagai produsen minyak ke-2 terbesar dunia. Sayangnya, justru Reagen menurunkan target standar penghematan menjadi 11 km/liter pada tahun 1986, bahkan memangkas anggaran sebagian besar program energi alternatif presiden Carter, juga membatalkan insentif pajak untuk perusahaan-perusahaan tenaga surya dan angin. Hal semacam inilah yang dimaksudkan penulis sebagai kebijakan ‘semau gue’ elit politik AS.
Detroit dan industri minyak memang secara konsisten melobi Kongres untuk menolak kenaikan pajak atas bahan bakar minyak. Hal ini ditunjukkan oleh Rick Wagoner, direktur dan CEO General Motors saat menjawab pertanyaan, mengapa perusahaannya tidak membuat mobil-mobil yang irit bahan bakar, “Kami membuat yang dikehendaki oleh pasar”, jawabnya. Dan ini didukung oleh elit politik AS dengan TIDAK menerapkan pajak tinggi untuk bahan bakar dan mesin seperti halnya di negara-negara Eropa. Denmark, setelah kelangkaan minyak dunia 1973, mengambil sikap efisiensi energi dan beralih ke energi terbarukan (surya dan angin) yang didukung dengan kebijakan energi pajak tinggi dan juga pajak CO2, sehingga masyarakat dengan sadar berusaha menggunakan energi di rumah secara efisien. Denmark yang pada tahun 1973 memperoleh 99% energi dari Timur Tengah, saat in, 2008, sudah tidak lagi melakukan import bahan bakar, 0% bahkan sepertiga dari semua turbin angin di dunia berasal dari Denmark.
Kenaikan harga bahan bakar fosil juga berakibat naiknya harga pangan dan industri tambang mineral dunia, juga semakin luasnya alokasi lahan yang dibutuhkan untuk keperluan lahan tanam Biofuel. BBC melaporkan bahwa Kenya (2008) hanya menanami sepertiga luas lahan dibanding tahun sebelumnya karena keperluan Biofuel.
Menurut Bank Dunia, 2007, Timur Tengah, Cina dan India menghabiskan US$ 50 milyar untuk subsidi minyak dalam negerinya. Bahkan Indonesia menghabiskan 30% Anggaran Belanja, dibanding 6% untik keperluan Pendidikan.
2. Transfer kekayaan yang masif kepada ‘petrodictator’
Tingginya permintaan energi fosil menyebabkan transfer kekayaan yang sangat tinggi karena juga harga yang tinggi. Statistik Fraser Institute menunjukkan bahwa kemakmuran negara penghasil minyak, akan diikuti dengan tingginya sikap represif pemerintah terhadap rakyatnya. Contoh yang paling baru adalah sikap Rusia untuk menutup jalur pipa gas ke negara2 Eropa Tengah dan Barat. Mengenai karakter Geopolitik negara pengekspor minyak, banyak terdapat di Bagian II dalam buku ini. Kalimat penutup yang bagus dari Bagian ini adalah: “ Anda tidak dapat menjadi idealis dalam kebijakan luar negeri yang efektif tanpa sekaligus menjadi pecinta lingkungan yang efektif dalam upaya menghemat energi.”
3. Perubahan iklim yang signifikan
Perubahan iklim di air teluk Mexico yang semakin hangat akibat pemanasan bumi menyebabkan Badai Katrina yang sangat dahsyat. Laporan IPCC 2007, (Intergovernmental Panel on Climate Change) berdasar pengamatan, menyimpulkan bahwa realitas pemanasan bumi sangat tidak diragukan bahwa kenaikan temperatur sejak 1950 ini terkait langsung dengan emisi-emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia.
Tanpa upaya yang serius untuk menghentikan emisi CO2, pemanasan kumulatif pada 2100 akan berkisar 3°-5°C pada pada kondisi pra-industri. Ini akan memicu kenaikan muka air laut, bencana kekeringan dan banjir, yang akan mempengaruhi kelayakan sejumlah kawasan hunian manusia.
4. Kemiskinan energi
Bagi mereka yang telah menikmati listrik, kelangkaan energi dapat mengundang letupan politik, karena penggunaan energi dan Gross National Product memiliki korelasi sangat erat. International Energy Agency membuat proyeksi bahwa 1,4 milyar orang akan masih tidak dapat menikmati listrik dalam tahun 2030.
5. Percepatan hilangnya keaneka-ragaman hayati
Ketika dunia semakin panas, rata dan penuh sesak kita telah melampaui sebuah titik kritis keanekaragaman hayati. James Gustave Speth, penulis ‘The Bridge at the Edge of the World’ banyak menunjukkan bukti2 ini.
Kondisi bumi seperti inilah yang memacu kesepakatan negara-negara besar untuk membuat pakta-pakta lingkungan, mulai dari Komisi Bruntland, Protokol Montreal, Agenda 21 dan Protokol Kyoto. Ironisnya, justru AS tidak pernah bersedia menandatanganinya.
Lima puluh tahun lagi, bangsa AS akan menuntut orang tuanya: “Dad, saat bangsa kita kaya akan finasial, dan unggul akan teknologi dan sumber daya manusia, apa yang telah Anda lakukan dengan energi dunia?”
Penulis
Thomas L. Friedman adalah wartawan New York Times yang juga menulis ‘From Beirut To Jerusalem’, (resensinya juga ada di web ini juga) dan ‘The World is Flat’ yang keduanya sangat ‘inspiring’ bagi pemerhati Kedamaian dan Lingkungan.
Tinggalkan Balasan