Di lereng Carstensz yang dingin dan terkungkung, karena akses darat tidak dapat digunakan berhubung isu keamanan, pasokan jenis makanan sangat terbatas dan kalaupun tersedia pasti akan sangat mahal. Atas kebaikan sekelompok orang, bahan makanan langka yang sangat kami inginkan ini bisa terangkut, KEPITING.
Sabtu sore yang lalu, 100 ekor kepiting besar yang masih hidup dalam keadaan terikat, sampai di dapur kami. Mereka terpaksa masih harus menginap semalam dalam kardus Aqua dengan kaki terikat dan mata keluar bergerak-gerak berhubung menunggu sang koki yang baru bisa mengolahnya pada hari Minggu sore. Stress pasti ..
Minggu sore sekelompok ‘pasukan’ yang kebetulan semua lelaki, berinisiatif untuk menyembelihnya (emang ada kepalanya?) atas nama Allah tentunya (setahuku selama ini langsung masuk air mendidih saja 😀 ) dengan cara menusuk tepat dibagian tengah dadanya (cangkang segitiga). Tapi kok banyak yang masih bergerak juga ya, alias lama matinya … Proses mutilasi mulai dilakukan dengan cara membuka cangkang dan dibuang, lalu dibelah menjadi dua bagian dan dibuang insangnya. Di bawah pancuran, kepiting ini disikat dan dibuang kotoran serta lemaknya. Wah .. padahal enak loh lemaknya tapi pasti tinggi kandungan kolesterolnya..
Pembagian kerja mutilasi dilakukan sesuai proses, mulai dari bagian penyembelih, pembuka cangkang, pembersih insang dan terakhir bagian pencucian.
Mulai proses pencucian hingga memasaknya, sering muncul ide coba-coba para lelaki ini, “cangkangnya jangan dibuang, karena enak dimakan”, yang lain “cangkangnya dibuang aja karena kotor dan tidak bisa dimakan”, lainnya lagi “yang kuning itu kotoran atau lemak, kok bau banget?”, lainnya lagi “kalau yang hitam itu apanya?” wah .. masing-masing diam .. yang kuasa bagian pencucian .. kalau menurutnya perlu dibuang, ya dibuanglah dia tanpa perlu nanya-nanya .. ha ha ha .. percuma ribut … secara diam-diam ternyata ada yang melakukan proses perebusan kepiting sebelum dibelah .. ha ha .. tanpa ribut-ribut ..
Sang koki datang dan semua proses langsung diambil alih dibawah komandonya, ketahuan kalau yang lain gak pengalaman.. Mulai persiapan bumbu, peracikan dan pengolahan semua dibawah komando sang koki. Proses pengolahan menggunakan wajan buesar di atas kompor dengan bumbu kuning dan air di dalamnya mulai dilakukan, lalu kepiting dimasukkan. Kurang lebih satu jam, semua sudah siap disantap … slurppp ..
Seorang kawan lain berbaik hati menyediakan nasi, daun pepaya dan ketimun sebagai penawar kolesterol. Kuping sudah mulai terasa panas hanya dengan empat capit kepiting dan satu body saja… puas.. ketimun adalah korban terakhir
Thx kawan, sudah membahagiakan kita dengan menyediakan 100 kepitingnya, dan thx juga buat sang koki tentunya.
kepiting kok ya sekali masak 100 ekor,
langsung punah kepitingnya
hidup utk menjadi besar saja mungkin perlu setahun hahha
ini karaka dari Mess Flamboyan ya Pak? 🙂 kirim2 ke sini dong Pak hehehe
Ewing, itu karaka lowland, dimasak di highland .. Bandung banyak pilihan .. batagor .. 🙂