Tiga hari yang lalu, beberapa kawan berkumpul untuk mendapat sosialisasi tentang HAM dari perusahaan tempat mereka bekerja. Dengan suara lantang dan cenderung terburu-buru, presenter menjelasan materi presentasinya, apakah bermaksud memberikan kesan bahwa dirinya menguasai materi, ingin cepat selesai atau justru khawatir banyak pertanyaan ?? entahlah .. Namun kesan yang muncul justru kurang menguasai masalah HAM dan cenderung terkooptasi pada pola pikir pengusaha.
Seorang karyawan bertanya “pak, kalau saya tidak masuk beberapa hari karena sakit, apakah akan mempengaruhi penilaian kinerja saya?” heemm … dengan cepat dijawabnya “oh, iya .. karena anda tidak bisa menjaga kesehatan diri sendiri dan tidak mengikuti anjuran dokter sehingga pekerjaan terganggu”. Edan … jumping conclusion .. “Perusahaan telah menghormati HAM dengan cara memberi karyawan hak untuk mendapat pengobatan ke Rumah Sakit yang disediakan”, tambahnya. Semakin edan …
Kawan lain pernah berobat di RS rujukan perusahaan berbulan-bulan dan hanya diberi kapsul pilek terus-menerus, tanpa dilperiksa sama-sekali kondisi hidungnya, apalagi rekomendasi ke dokter spesialis.. Huh ….. Akhirnya saat cuti dia berobat ke doklter spesialis THT dan didiagnosis sebagai sinus. Dari hasil rontgen, terlihat tulang hidungnya yang bengkok, sbg penyebab sinus, shg disarankan operasi.
Kawan lain lagi pernah rawat inap satu minggu lebih di RS yang sama karena suhu tubuh yang tinggi. Contoh darah diambil beberapa kali namun diagnosis masih belum jelas benar, makan susah masuk dan permintaan infus pasien tidak diijinkan. Terakhir diminta kesediaannya untuk test AIDS… Hahh .. Pasien shocked .. Krn merasa tidak pernah melakukan hal-hal yg bisa dianggap penyebab tertularnya AIDS. Untungnya, beberapa hari kemudian datang kunjungan rutin dokter ahli dari Jakarta yang juga memeriksanya. Diagnosisnya adalah ada masalah dengan pangkreas pasien. Pengobatan dilakukan dan beberapa hari kemudian bisa pulang. Sembuh.
Dua contoh di atas kawan sampaikan pada sang ‘guru’ sebagai penyangkal bahwa absennya karyawan beberapa hari tidak mesti sebagai kesalahannya, dan hak pengobatan yang diberikan perusahaan tidak bisa dianggap selesai hanya dengan merujuk ke Rumah Sakit satu-satunya. Pelayanan RS rujukan juga mesti menjadi perhatian perusahaan karena pengobatan ‘seadanya’ terhadap penyakit serius yang diderita karyawan juga bisa dikategorikan sebagai tindakan Kekerasan krn Pembiaran (Violence by Omission) yang jelas sebagai pelanggaran HAM. (Lihat ‘Violence and Democratic Society’, di kategori Buku).
Sebaiknya perusahaan perlu lebih serius dalam mengakomodir pasal-pasal HAM, dan menugaskan sesorang yang memang kompeten dibidangnya untuk memberikan sosialisasi HAM. Atau, mau dianggap melakukan pelecehan HAM?