Gambar toko coklat yang bersih, terang dan segar serta penataan cokelat yang rapi dan menarik, membuat remote berhenti untuk merubah channel televisi, penasaran ingin tahu tentang apa film ini. Seorang narator menjelaskan tentang asal mula pembuatan cokelat dan gambar berubah menjadi peta Afrika dengan anak panah yang bergerak dari Mali ke Pantai Gading, Afrika. Film ivestigasi tentang Perdagangan Anak (Children Trafficking) dan Perbudakan (Slavery) abad 21, dibuat oleh Roberto Romano dan Miki Mistrati, yang dalam beberapa kesempatan dilakukan dengan cara ‘hidden camera’.
Beberapa anak laki-laki terlihat lari memasuki bus yang siap jalan di daerah yang gersang dan berlatar-belakang warna coklat gersang berdebu, menuju Pantai Gading, tempat perkebunan cocoa besar, sebagai pemasok hampir setengah total produksi cocoa dunia. Beberapa pabrik cokelat Eropa dan AS, seperti Cargill, Archer Daniels Midland Mars, Nestlé, dan yang lainnya berada di kota ini.
Beberapa anak dibawah 12 tahunan ditemukan sedang membawa parang di tengah perkebunan cocoa di Pantai Gading. “Apa yang akan ditanyakan bapakmu bila kamu sampai di rumah?”, tanya Roberto Romano kepada buruh pemetik cocoa yang masih di bawah 12 tahun, “Dia akan marah, aku pulang tidak bawa uang”, jawabnya. Seorang anak terlihat menangis. Beberapa anak berhasil melarikan diri. Diinformasikan bahwa pada ummnya mereka tidak dibayar. Perbudakan.
Aktifis kemanusiaan di Mali, dengan menangis dan marah merasa tak berdaya, mengatakan hanya sukses menggagalkan pengiriman buruh anak sebanyak 65 orang. Banyak penyedia jasa buruh anak berasal dari daerah mereka sendiri dan pengangkutan dilakukan melewati jalan tanah coklat berdebu, menggunakan bus atau sepeda motor.
Dalam film itu juga ditunjukkan bagaimana Roberto mewawancarai pejabat industri cokelat dan pejabat pemerintah Pantai Gading tentang buruh anak, pada tempat dan waktu yang berbeda. Meskipun pada awalnya mereka menyangkalnya, bahkan sang pejabat terkesan menutupinya dengan nengatakan “oh anak-anak itu berombongan ke Pantai Gading untuk berlibur”, namun setelah film ditujukkan …. Ooohhh dengan lesu mereka menerimanya.
Pada tahun 2001, isu tentang perdagangan anak dan perbudakan di perkebunan cocoa Pantai Gading telah mengagetkan masyarakat dunia, meskipun di Indonesia sepi-sepi saja. Hal ini menjadi kampanye negatif bagi pabrik-pabrik cokelat, dan tuntutan para konsumen mulai mengemuka untuk segera mendapat tanggapan.
Untuk menghindari tuntutan label ‘no child labor’, yang sebetulnya masih terjadi di beberapa pabrik cokelat, industri cokelat sepakat membuat protokol untuk mengakhiri buruh anak di perkebunan cokelat pada tahun 2005.
Tahun 2005, protokol tersebut gagal dipenuhi oleh para industri cocoa, dan dibuat kesepakatan baru untuk memenuhinya pada tahun 2008.
Tahun 2007, Laporan HAM-AS menyatakan bahwa 5.000-10.000 anak diperdagangkan untuk keperluan perkebunan cocoa di Pantai Gading, akibat kemiskinan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang umumnya dari Mali dan Nicaragua.
Lagi, 2008, industri cocoa belum juga dapat memenuh target protokol yang dibuatnya, lalu kesepakatan baru dibuat untuk memenuhinya pada 2010. Lalu?
Setelah hampir 10 tahun, apakah industri cokelat dan pemerintahan yang terlibat sudah berhasil menghapuskan perdagangan buruh anak, pelecehan hak-hak azasi anak dan perbudakan? Hal inilah yang menjadi alasan dibuatnya film ivestigasi oleh Roberto dan Miki. Hasilnya? Seperti disajikan dalam filmnya, perdagangan anak dan perbudakan masih terjadi.
Membeli produk-produk Perdagangan Bebas tidak berarti merubah kondisi kemiskinan akut, yang ‘memaksa’ terjadinya buruh anak sebagai makhluk yang paling lemah.
Mungkin cokelat yang sedang anda nikmati saat ini masih belum bersih dari Children Trafficking dan Slavery….