Feeds:
Pos
Komentar

Archive for November, 2010

Cultural Studies

Buku ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang budaya media shg dpt membantu memperkuat diri dari serbuan media dan budaya dominan.
Judul Buku: Budaya Media
Sub Judul: Cultural Studies, Identitas dan Politik: Antara Modern dan Postmodern
Penulis: Douglas Kellner
Tebal buku: 493 halaman:
Penerbit: Jalasutra
Tahun: 2010

Judul buku ini sudah ‘menjual’ sebetulnya karena dapat diharapkan membantu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kekinian dimana media, baik tulisan, gambar maupun suara, telah menjajah budaya yang ada. Tanpa terasa kita telah terperangkap bahkan terkooptasi oleh budaya ini.

Dari segi isi, buku ini bukanlah buku ringan sehingga sepertinya perlu pengantar dalam hal khusus tentang Budaya Media, Cultural Studies, dan Postmodernism. Artikel tentang para pemikir dari Mazhab Frankfurt akan sangat membantu untuk lebih dapat mengerti spirit isi buku ini. Sistematika penyajian cukup runtut, tetapi pembahasan seringkali terjadi pengulangan dalam bab yang sama.

Seperti pada umumnya karya terjemahan, buku inipun tak lepas dari kekurangan yang sama yaitu terjebak dalam pengalih-bahasaan yang kaku, tidak mengalir, dan seringkali lepas dari konteksnya.

Latarbelakang isi buku ini adalah bahwa kita seringkali menghabiskan banyak waktu untuk mendengarkan radio/musik, menonton televisi/bioskop, membaca majalah/koran, surfing internet, belanja dan budaya media lainnya. Maka, Budaya Media akhirnya mendominasi kehidupan sehari-hari yang selalu hadir, dan sering pula menggoda perhatian dan kegiatan kita, yang dapat dianggap melemahkan potensi kreatif manusia, sehingga dengan membaca buku ini diharapkan dapat belajar cara membaca, mengkritik, dan bertahan dari manipulasi media untuk membantu memperkuat diri dari media dan budaya dominan. Buku ini juga dimaksudkan penulisnya untuk mengeksplorasi sejumlah akibat pada masyarakat dan budaya yang dikuasai oleh budaya media, serta akan menyelami asal-usul dan cara budaya ini mempengaruhi banyak aspek kehidupan sehari-hari kita secara mendalam.

Pada bab Pendahuluan, banyak introduksi tentang pengertian dan permasalahan Budaya Media (BM). Seperti BM adalah budaya citra, yang sering melibatkan penglihatan dan suara. BM juga adalah budaya industri, yang diorganisasi atas model produksi massa dan diproduksi untuk massa berdasarkan tipe dan aturan-aturan yang baku, sehingga merupakan bentuk budaya komersial dengan produk berupa komoditas yang menghasilkan laba untuk perusahaan-perusahaan raksasa dunia.

Kajian terhadap budaya populer dan berbasis media massa, telah secara luas dikenal sebagai Cultural Studies (CS), dan dalam buku ini disediakan beberapa model CS media kritis, multikultural, dan multiperspektif. Sebuah CS kritis, perduli dengan kemajuan proyek demokratis, mengkonseptualisasikan baik cara budaya media dapat menjadi hambatan besar demokratisasi masyarakat, maupun cara budaya media dapat menjadi sekutu, memajukan prinsip kebebasan dan demokrasi.

Penulis berkeyakinan bahwa teks-teks budaya media bukan sekedar alat sebuah ideologi dominan, bukan pula sekedar hiburan yang purni yang polos, namun mereka adalah artefak-artefak kompleks yang mengejawantahkan wacana-wacana sosial politik, yang analisis dan interpretasinya membutuhkan metoda pembacaan dan kritik yang mengutarakan kelekatan mereka dalam ekonomi politik, hubungan-hubungan sosial, serta lingkungan politik tempat mereka dihasilkan, disimulasikan dan diterima.
Dengan kata lain, memahami alasan-alasan artefak-artefak tertentu menjadi terkenal dapat memberi pencerahan terhadap lingkungan sosial tempat kemunculan dan perputaran mereka, dan karenanya memberikan wawasan tentang apa yang sedang terjadi dalam masyarakat dan budaya kontemporer.

Menurutnya, CS paling baik dikerjakan dalam konteks teori sosial kritis, dan Mazhab Frankfurt menyediakan berbagai perpspektif yang berguna untuk masyarakat kontemporer, meskipun ada berbagai koreksi dari CS Inggris. Inovasi-inovasi teoritis dalam teori postmodern Foucault, Baudrillard, Jameson juga banyak disampaikan dalam CS ini untuk menganalisis beberapa aspek menonjol masa kini, seperti masyarakat konsumen dan media.

Penulis juga memberikan pendidikan media kritis untuk mengembangkan berbagai konsep dan analisis yang akan memungkinkan pembaca membedah secara kritis beragam artefak budaya kontemporer media dan konsumen, dan membantunya menemukan berbagai makna dan dampak artefak-artefak tersebut terhadap budaya mereka, dan karenanya memberi individu kekuatan atas lingkungan budaya mereka.

Dalam hal sistematika penyajian, buku ini membagi isinya dalam tiga bagian besar yaitu Pendahuluan, Isi dan Kesimpulan. Bagian Isi sendiri terdiri dari tiga bagian besar, yang berturut-turut adalah bagian pertama tentang Teori dan Cultural Studies, bagian dua tentang Kritik Diagnostik dan Cultural Studies, serta bagian tiga tentang budaya media dan identitas. Pada bagian pertama berisi tiga bab yang secara berurutan membahas tentang berbagai pendekatan CS , Mazhab Frankfurt dan kritik CS Inggris serta keterkaitan CS Postmodern; di bagian kedua terdiri dari tiga bab yang membahas tentang film di era pemerintahan Reagen dan Bush, rap dan manipulasi informasi tentang perang Teluk; sedangkan di bagian tiga membahas tentang iklan dan identitas modern, citra dan pemikiran Baudrillard dan cyberpunk.

Pada bab Kesimpulan, penulis mengatakan bahwa sebagai pelarian dari penderitaan sosial, atau selingan dari berbagai kepedulian dan kemurungan kehidupan sehari-hari, orang berpaling pada budaya media untuk menghasilkan makna dan nilai dalam kehidupan mereka. Namun, menyerah untuk melakukan kritik dan perlawanan berarti menyerah pada gaya hidup yan memproduksi penderitaan dan kesedihan mendalam bagi orang-orang di seluruh dunia. Untuk itu, sangatlah penting bagi kita untuk dapat menangkap berbagai pesan ideologis dalam artefak budaya umum, dan membedakan antara ideologi hegemonik dan citra, wacana dan teks yang dapat menggulingkan ideologi dominan. Kesadaran media kritis dan kemampuan menggunakan Cultural Studies, dapat berperan sebagai bagian dari proses pencerahan sosial, yang melahirkan peran baru bagi publik dan intelektual kritis.

Read Full Post »

The Outsider

Judul buku: The Outsider
Judul asli: L’Étranger atau The Stranger
Penulis: Albert Camus
Tebal buku: 164 halaman
Penerbit: Liris
Tahun: 2010

Novel berukuran buku saku dan tergolong tipis namun padat dengan pesan filosofis ini adalah karya seorang pemikir kritis dari mazhab Frankfurt, yang belajar filsafat di University of Algiers dan dikenal sebagai tokoh eksistensialis yang memenangkan Hadiah Nobel untuk bidang Sastra 1957. Bahasa asli novel ini adalah Perancis, diterbitkan pertama kali tahun 1942, merupakan tulisan terbaik dari Albert Camus (Wikipedia). Novel lainnya yang banyak beredar dan dibaca para mahasiswa di Indonesia tahun 80an adalah Sampar (La Peste).

Tokoh utama dalam novel ini adalah Mersault, seorang pemuda Perancis, yang dingin tanpa emosi dan cenderung anti-sosial.

Bagian pertama buku dimulai dengan cerita tentang Meursault yang mendapatkan berita bahwa ibunya, yang tinggal di panti wreda, telah meninggal. Dia turut menghadiri prosesi pemakamannya tapi tidak menunjukkan emosi kesedihan seperti lazimnya anak yang ditinggal mati ibunya. Bahkan, ia tidak menginginkan untuk melihat jenazah ibunya sebelum peti ditutup, justru sebaliknya menikmati rokok dan kopi panas di sebelahnya. Tetap tanpa ekspresi kesedihan, ia mengamati para rekan ibunya yang menampakkan kesedihan namun menggelikan menurutnya, “untuk sesaat kutangkap kesan menggelikan seolah mereka akan menghakimiku”.

Dua hari berikutnya, ia sudah menikmati kegembiraan bersama Marie, rekan kerjanya, berenang dan tidur bersama tanpa kesan bahwa baru saja kehilangan seorang ibu. Sikap yang menurut masyarakat umum sebagai ketidak-pedulian sosial inilah yan nantinya turut menjadi pertimbangan untuk menghukumnya lebih berat. Absurd….

Tentang perkawinan, Meursault bersikap dingin dan menganggapnya bukan hal yang serius. Hal ini muncul dalam pikirannya ketika ditanya oleh Marie “Lantas kenapa mau menikahiku?” “Jika menginginkan, kita bisa menikah” jawabnya.

Beberapa hari berikutnya, Meursault setuju untuk memberi bantuan pada temannya, Raymond, untuk membalas dendam terhadap perempuan pujaannya yang dianggapnya sudah berselingkuh meskipun kebutuhan finansial sudah banyak diberikannya. Bantuan yang dibutuhkan adalah membuatkan surat undangan untuk sang perempuan supaya dapat bertemu lagi, bercinta dan memukulnya sebagai ungkapan balasdendam.. Meursault tidak menunjukkan rasa khawatir atau empati bahwa pertolongannya bisa mengakibatkan cedera pada perempuan itu. Dan benar, akhirnya wanita itu datang, bercinta dan disiksa. Meursault mendukung Raymond dihadapan polisi dengan alasan bahwa perselingkuhan adalah pengkhianatan dan pantas dihukum. Raymond bebas dengan peringatan.

Saudara laki-laki perempuan itu, bersama-sama dengan beberapa temannya mulai menguntit Raymond untuk balas dendam. Ketika Raymond, Meursault dan Marie berakhir pekan di villa tepi pantai, mereka bertemu dan terpaksa berkelahi dengan para lelaki tersebut hingga tangan Reymond terluka oleh pisau mereka..

Meursault kembali seorang diri berbekal pistol milik Raymond ke pantai dan menemui seorang dari musuhnya. Karena cuaca yang sangat panas, Meursault merasa disorientasi hingga ketika sang lawan mengancam dengan pisaunya, ia menembaknya sekali dan mati, lalu menembaknya lagi empat kali. Tak ada satu alasanpun kenapa dia menembaknya, kecuali hanya karena cuaca panas menyengat dan sinar matahari yang sangat cerah.

Bagian Kedua mulai dengan cerita tentang sikap Meursault yang merasa tidak membutuhkan pengacara untuk dirinya, meskipun pada akhirnya pengadilan menyediakannya untuknya. Di persidangan Meursault selalu tampil diam dan pasif memberikan kesan tidak merasa bersalah sehingga jaksa penuntut lebih fokus pada ketidak kemampuan emosional Meursault yang tidak merasa sedih saat pemakaman ibunya, daripada soal pembunuhan. Jaksa berusaha memaksanya untuk mengatakan kebenaran perasaannya namun gagal, sebaliknya Meursault menerangkan pada pembaca bahwa selama hidupnya ia tidak pernah merasakan penyesalan atas semua tindakan yang dilakukannya. Jaksa penuntut akhirnya berkesimpulan bahwa Meursault adalah monster yang tidak berperasaan dan pantas mendapatkan hukuman mati. Walaupun pembela berharap hukuman akan lebih ringan namun hakim memutuskan bahwa Meursault akan dihukum penggal di depan publik.

Sementara menunggu eksekusi, di penjara Meursault bertemu dengan pendeta, namun menolak untuk berpaling kepada Tuhan, karena menurutnya itu hanya akan membuang waktu saja. Meursault marah karena paksaan sang pendeta untuk merubah sikap atheisnya, dan meledak karena rasa frustasi pada absurditas kondisi manusia dan penderitaannya atas ketidak-berartian keberadaannya. Pada akhirnya, ia menangkap ketidak-pedulian alam semesta terhadap manusia, “seolah-olah kemarahan itu telah membersihkanku, menghilangkan harapan, untuk pertama kalinya pada malam itu dalam cahaya bintang, aku membuka diri pada ketidak-pedulian semesta. Aku bahagia dan berharap akan banyak yang hadir untuk melihat eksekusi terhadapku dengan teriakan benci”.

Read Full Post »

Ini cerita buat mas Adi yg mungkin masih sulit membayangkan perjalanan bapaknya menuju ke tempat kerjanya.

Tepat 17:30 Bapak masuk taxi Bluebird GJ4079 di Kampung Cina Kotawisata, hujan mulai turun deras. Hari ini 17 Nov 2010 bertepatan degan hari libur Iedul Adha, Sampai dengan pintu toll Jagorawi, lalulintas cukup lancar, sedikit tersendat karena beberapa mobil mogok karena hujan deras atau antrian depan mall Junction. Jalan tol Jagoirawi yang licin kjarena hujan, dan lalulintas yang ramai ke arah Jakarta, membuat kecepatan mobil tidak lebih dari 50 km/jam. Butuh waktu 30 menit untuk sampai di pintu tol TMII dan bayar Rp. 2500 dr pintu Cibubur. Gak sampai 10 menit dah harus bayar Rp. 6500. di pintu Ciliilitan, dan hujan dah reda atau tidak hujan sepertinya di sini.

Lancar lewat tol semanggi karena hari libur, kalau hari kerja gak akan berani lewat dalm kota, lebih baik lewat tol priok. Sampai Tol Cengkareng bayar Rp. 5000 tepat jam 18:37 dan gak lama kemudian sudah sampai di terminal 1C, tempat checkin Airfast. Ongkos taksi dari Kotawisata ke bandara, Rp. 193 ribu.

Checkin di counter Airfast dengan menunjukkan tiket (sekaligus boardingpass) dan ID Card PTFI, tidak lupa mengatakan tujuan ke TEMBAGAPURA sehingga bagasi mendapat label TPRA, yang berarti bagasi akan dibawa langsung oleh truk ke Tembagapura, tanpa harus kita ambil di Timika. Diperkirakan bagasi akan sampai Tembagapura sekitar jam 13:30 wit di kantor ERG (Emerency Response Group), dan bisa kita ambil kapanpun. Bapak minta kursi di deretan sebelah kiri berharap bisa tidur nyandar ke dinding dan hanya dua deret kursi sehingga mudah untuk ke toilet, dapat nomor 10A.

Route airfast MD82 malam ini adalah Jakarta-Denpasar-Makassar- Timika, biasanya route JKT-SBY-MKS-TMK. Gak masalah, itu biasa. Di Bali, airfast berhenti sebentar dan penumpang ke Timika tidak turun, untuk menaikkan/menurunkan penumpang. Di Makassar, hanya satu jam dari Bali, penumpang turun selama 25 menit. Makan malam diberikan dua kali yaitu JKT-DPS atau JKT-SBY, dan yang kedua penerbangan MKS-TMK. Agak menjengkelkan memang karena diberikan makan saat jam tidur, kira-kira jam 02:00 wit. Saran Bapak, kalau gak mau makan dan mau tidur saja, sebaiknya tunggu sampai pembagian makan dilakukan oleh pramugari lalu katakan ‘tidak makan’, karena kalau tidur sebelumnya maka makanan akan tetap ditempatkan di meja kita.

Akhirnya airfast landing di Timika sekitar jam 6:15wit. Bagasi berlabel Tembagapura tidak perlu kita tunggu, karena akan langsung dibawa oleh truk via darat ke Tembagapura.

Penumpang dengan tujuan Tembagapura yang sudah mempunyai tiket heli, langsung menuju ke ruang pemberangkatan dengan menunjukkan ID Card dan tiket heli. Boarding pass bernomor urutan pemberangkatan (M1, M2 dst) akan diberikan di counter checkin airfast setelah ID Card dan tiket heli dicatat dan timbang badan termasuk tas jinjing dilakukan. Akhirnya, masuk ruang tunggu untuk menunggu panggilan sesuai nomor boardingpass (M1, M2 dst) dari security (satpam).

Penerbangan heli ke Tembagapura kira-kira 15 menit. Nah, kalau mas Adi dan Ibu nanti sampai di Tembagapura, Bapak pasti sudah berada disitu untuk jemput. Bagaimana, berani berangkat berdua dengan Ibu?

Read Full Post »

Wisata Amerika Latin

Judul: Surat dari Bude Ocie
Penulis: Rossie Indira
Tebal Buku: 232 halaman
Penerbit: Kompas
Tahun: 2010

Buku yang dikategorikan oleh Kompas sebagai ‘Seri Perjalanan dan Wisata’ ini memang ringan dan jelas penyampaiannya sekaligus enak dibaca dan membangkitkan rasa ingin tahu lebih banyak tentang subyek cerita. Gaya cerita ‘mendongeng’, untuk kedua keponakannya, memberikan kesan santai dan dekat dengan pembaca serta tak terbelenggu oleh gaya bahasa baku, dalam bercerita. Memang piawai penulisnya, yang seorang arsitek ITB kelahiran 1962 ini, dia bisa memotret keadaan dengan jernih dengan menggunakan rangkaian kata yang dibantu dengan berbagai gambar meskipun hanya hitam-putih.

Perjalan wisata ke empat negara Amerika Latin yaitu Chile, Peru, Argentina dan Uruguay adalah cerita utama dalam buku ini, disajikan secara terpisah berdasar negara yang dikunjungi. Foto-foto dan keterangannya, sebagai bagian cerita turut melengkapi imajinasi pembaca, tanpa lupa menuliskan sumber gambarnya. Bila dilengkapi dengan peta lokasi Negara, Kota besar dan obyek-obyek wisata yang dimaksud oleh penulis, rasanya akan semakin menyenangkan dan menambah pengetahuan bagi pembaca.

Silahkan membacanya sendiri, ditanggung akan menambah ketertarikan anda akan negara-negara Amerika Latin, yang punya pengalaman yang sama dengan negeri ini dalam hal penjajahan, namun telah bangkit dan terlihat seperti negara maju lainnya.

Read Full Post »

Lompatan Waktu

Sambil beristirahat di Rimba papua hotel pagi ini, aku sempat ngobrol dengan seorang perempuan muda, yang aku tahu dia adalah seorang dokter dari rumah sakit internasional, yang ramah dan senang menceritakan pengalaman kerjanya dan sayangnya akan mengundurkan diri dari tempat kerjanya untuk kembali ke Bandung dan melanjutkan kuliahnya sebagai dokter spesialis.

Pembicaraan basa-basi dimulai dengan pertanyaan standard ‘berapa lama sudah bekerja di sini?’, ‘ bekerja di mana’, ‘ bagaimana cutinya’, dst dst … akhirnya sampai pada pernyataan, bukan pertanyaan loh, ‘saya paling suka praktek di Banti’ .. wah ini pernyataan yang menarik buatku, karena asumsiku dokter lebih suka kerja di kota bila memang pilihan itu tersedia..

Banti adalah kampung kecil di pinggir kota tambang tembaga di Papua. Kampung ini sudah dibangun oleh perusahaan asing tersebut dan disediakan sarana klinik, bank dan perumahan kecil, termasuk juga listrik. Pos polisi juga tersedia dan berada tepat di batas area proyek pertambangan dan Banti. Penduduk semakin banyak yang berdatangan dari berbagai suku, baik dari dataran rendah maupun dataran tinggi, bahkan dari luar Papua, termasuk pulau Jawa.

Pada awalnya, pendapatan penduduk yang datang ke Banti banyak diperoleh dari berkebun dan mendulang emas di sungai yang mengalirkan tailing sebagai sisa pengolahan konsentrat tembaga/emas. Penggorengan aluminium (wajan) banyak dipergunakan sebagai dulang, berbeda dengan masyarakat Kalimantan atau Tasikmalaya yang menggunakan dulang dari kayu, yang memang dibuat sesuai dengan peruntukannya.

Klinik yang tersedia di Banti ini adalah bagian dari Rumah Sakit besar di Tembagapura, yang menempatkan tiga dokter setiap harinya dan tiap hari bisa sampai seratus pasien harus ditanganinya, tidak hanya dari Banti tapi juga kampung2 di sekitarnya seperti Arowanop dan Tsinga yang berada di balik gunung dan mesti dijemput heli ptfi untuk bisa berobat. Heemm banyak juga ya …..

“Praktek di Banti lebih menarik, karena kami merasa bisa terlibat dalam ‘penyuluhan’ tentang konsep hidup sehat” jelasnya. “Seberapa jauh sih mereka tidak tahu tentang kesehatan?”, tanyaku. Sesaat dia terdiam, terlihat berpikir “jauh sekali pak.”, jawabnya. Lalu berbagai cerita ttg kejadian yg berhubungan dg kesehatan, hubungan sosial, kdrt mulai muncul untuk mendukung pendapatnya bahwa ‘jauh sekali’.

“Saya pernah menolong kelahiran bayi di kamar mandi, pak.” ceritanya. Ini bukan merupakan hal yang istemewa, atau sudah biasa masyarakat lakukan. “Banyak dari mereka juga masih percaya bahwa pembedahan atau operasi akan menyebabkan masuknya roh jahat dalam tubuh.”, lanjutnya. Aku cuma membayangkan, bagaimana dengan kurban perang suku yang seringkali mata anak panah menancap di tubuhnya. Cerita yang juga mengagetkan adalah “Saya pernah menemukan anak yang kehilangan jari kelingkingnya, ternyata menurut ibunya itu sengaja dipotong karena ada anggota keluarga yang meninggal”. Edan …

Korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) baik perempuan maupun laki-laki sering juga ditangani para dokter muda ini. Perempuan patah tangan di pagi hari karena dihajar lelaki yang mengaku suaminya. Lelaki patah tangan disore hari yang dihajar suami dari perempuan yang diganggunya… Aneh, sepertinya kekerasan fisik bukan suatu hal yang serius di masyarakat ini. Lembaga perkawinan nampaknya tidak dikenal dan anak sebagai buah perkawinan tidak cukup menjadi prioritas perhatian mereka. “Biasa terjadi, seorang ibu tidak mau menyusui anaknya karena si ibu sedang bertengkar dengan suaminya” ceritanya, “bahkan pernah seorang ibu menawarkan anaknya yg masih balita, “ibu bawa sudah anak saya ini” ketika saya minta untuk merawat anaknya baik-baik” lanjutnya. Cerita yang lebih tragis “pernah saya mendapat cerita ttg adanya seorang anak yang tewas dimakan babi karena ditinggal ibunya keluar rumah” cerita dokter dg semangat. Oohh gila … semoga ini terjadi berpuluh-puluh tahun yll… Ketersediaan klinik di lingkungan masyarakat ternyata masih belum cukup dan masih perlu sosialisasi yang berkesinambungan, tentang perlunya pola hidup sehat.

Ketertinggalan pendidikan membuat jurang pengetahuan yang sangat dalam antara masyarakat Banti dan kaum pendatang di proyek pertambangan berskala dunia di sebelahnya. Aku yakin tidak banyak yang tahu tentang cerita seperti ini dilingkungan para pekerja tambang tersebut.

Lompatan waktu telah terjadi pada batas pintu gerbang yang memisahkan Banti dan perusahaan tambang itu.. Ironis ..

Read Full Post »

%d blogger menyukai ini: