Sambil beristirahat di Rimba papua hotel pagi ini, aku sempat ngobrol dengan seorang perempuan muda, yang aku tahu dia adalah seorang dokter dari rumah sakit internasional, yang ramah dan senang menceritakan pengalaman kerjanya dan sayangnya akan mengundurkan diri dari tempat kerjanya untuk kembali ke Bandung dan melanjutkan kuliahnya sebagai dokter spesialis.
Pembicaraan basa-basi dimulai dengan pertanyaan standard ‘berapa lama sudah bekerja di sini?’, ‘ bekerja di mana’, ‘ bagaimana cutinya’, dst dst … akhirnya sampai pada pernyataan, bukan pertanyaan loh, ‘saya paling suka praktek di Banti’ .. wah ini pernyataan yang menarik buatku, karena asumsiku dokter lebih suka kerja di kota bila memang pilihan itu tersedia..
Banti adalah kampung kecil di pinggir kota tambang tembaga di Papua. Kampung ini sudah dibangun oleh perusahaan asing tersebut dan disediakan sarana klinik, bank dan perumahan kecil, termasuk juga listrik. Pos polisi juga tersedia dan berada tepat di batas area proyek pertambangan dan Banti. Penduduk semakin banyak yang berdatangan dari berbagai suku, baik dari dataran rendah maupun dataran tinggi, bahkan dari luar Papua, termasuk pulau Jawa.
Pada awalnya, pendapatan penduduk yang datang ke Banti banyak diperoleh dari berkebun dan mendulang emas di sungai yang mengalirkan tailing sebagai sisa pengolahan konsentrat tembaga/emas. Penggorengan aluminium (wajan) banyak dipergunakan sebagai dulang, berbeda dengan masyarakat Kalimantan atau Tasikmalaya yang menggunakan dulang dari kayu, yang memang dibuat sesuai dengan peruntukannya.
Klinik yang tersedia di Banti ini adalah bagian dari Rumah Sakit besar di Tembagapura, yang menempatkan tiga dokter setiap harinya dan tiap hari bisa sampai seratus pasien harus ditanganinya, tidak hanya dari Banti tapi juga kampung2 di sekitarnya seperti Arowanop dan Tsinga yang berada di balik gunung dan mesti dijemput heli ptfi untuk bisa berobat. Heemm banyak juga ya …..
“Praktek di Banti lebih menarik, karena kami merasa bisa terlibat dalam ‘penyuluhan’ tentang konsep hidup sehat” jelasnya. “Seberapa jauh sih mereka tidak tahu tentang kesehatan?”, tanyaku. Sesaat dia terdiam, terlihat berpikir “jauh sekali pak.”, jawabnya. Lalu berbagai cerita ttg kejadian yg berhubungan dg kesehatan, hubungan sosial, kdrt mulai muncul untuk mendukung pendapatnya bahwa ‘jauh sekali’.
“Saya pernah menolong kelahiran bayi di kamar mandi, pak.” ceritanya. Ini bukan merupakan hal yang istemewa, atau sudah biasa masyarakat lakukan. “Banyak dari mereka juga masih percaya bahwa pembedahan atau operasi akan menyebabkan masuknya roh jahat dalam tubuh.”, lanjutnya. Aku cuma membayangkan, bagaimana dengan kurban perang suku yang seringkali mata anak panah menancap di tubuhnya. Cerita yang juga mengagetkan adalah “Saya pernah menemukan anak yang kehilangan jari kelingkingnya, ternyata menurut ibunya itu sengaja dipotong karena ada anggota keluarga yang meninggal”. Edan …
Korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) baik perempuan maupun laki-laki sering juga ditangani para dokter muda ini. Perempuan patah tangan di pagi hari karena dihajar lelaki yang mengaku suaminya. Lelaki patah tangan disore hari yang dihajar suami dari perempuan yang diganggunya… Aneh, sepertinya kekerasan fisik bukan suatu hal yang serius di masyarakat ini. Lembaga perkawinan nampaknya tidak dikenal dan anak sebagai buah perkawinan tidak cukup menjadi prioritas perhatian mereka. “Biasa terjadi, seorang ibu tidak mau menyusui anaknya karena si ibu sedang bertengkar dengan suaminya” ceritanya, “bahkan pernah seorang ibu menawarkan anaknya yg masih balita, “ibu bawa sudah anak saya ini” ketika saya minta untuk merawat anaknya baik-baik” lanjutnya. Cerita yang lebih tragis “pernah saya mendapat cerita ttg adanya seorang anak yang tewas dimakan babi karena ditinggal ibunya keluar rumah” cerita dokter dg semangat. Oohh gila … semoga ini terjadi berpuluh-puluh tahun yll… Ketersediaan klinik di lingkungan masyarakat ternyata masih belum cukup dan masih perlu sosialisasi yang berkesinambungan, tentang perlunya pola hidup sehat.
Ketertinggalan pendidikan membuat jurang pengetahuan yang sangat dalam antara masyarakat Banti dan kaum pendatang di proyek pertambangan berskala dunia di sebelahnya. Aku yakin tidak banyak yang tahu tentang cerita seperti ini dilingkungan para pekerja tambang tersebut.
Lompatan waktu telah terjadi pada batas pintu gerbang yang memisahkan Banti dan perusahaan tambang itu.. Ironis ..
seperti sisi yg ada di ujung wormhole….
seperti saya bilang, mengenal minyak bumi, adalah bisa jadi, kemunduran sosial bagi masyarakat banti….