Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Desember 12th, 2010

Syukur itu bersifat Aktif

Matahari pagi yang cerah membuatku keluar ruangan untuk sebentar menjemur diri sambil membuka jaket, menghilangkan bersin-bersin yang sudah lama aku alami bila udara dingin lama menyergap.

Datang menghampiriku seorang kawan pria yang berpenampilan ‘spiritual’, maksudkan cara berbusana seperti itu, biasa diasosiasikan dengan sikap atau perilaku yang agamis. Setelah beberapa saat berbasa-basi, topik pembicaraan mulai dia geser pada keluhan bahwa bawahannya banyak yang tidak menunjukkan rasa syukur. Wah … Ini mulai mengganggu kenyamanan berjemur… “Aku selalu menggunakan alasan spiritual untuk meredakan kegelisahan mereka karena rasa ketidakadilan yang dialaminya, karena alasan rasional sudah tidak bisa diterimanya”, ungkapnya. “Bersyukurlah bahwa kalian bisa bekerja di sini, di luar sana banyak sekali pengangguran”, tambahnya.

Usut punya usut, ternyata sang kawan ini memdapat tekanan dari atasannya untuk menyelesaikan suatu proyek dengan sumber daya manusia yang sangat terbatas dibandingkan proposal yang diajukannya, namun karena rasa tanggung jawab profesionalnya (menurutnya), maka dia harus memaksakan subordinatnya utk menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya bukan tanggung-jawabnya, seperti membersihkan tempat kerja dan ruang kerja yang sangat berdebu. Betulkah ini karena rasa tanggungjawab profesional? Atau ketidakmampuan meyakinkan atasan?

Bagaimana dia memaknai etika profesional, yang sebetulnya berada dalam tataran rasional? Kenapa dialihkan menjadi tataran spiritual (syukur), yang berarti menjadi wilayah personal? Absurd …

Dengan sedikit menggigil (padahal masih berjemur) berusaha menurunkan tekanan darah, aku bertanya “mengapa out of the box dalam dirimu itu hanya berhenti pada kepentingan institusi yang membayarmu, kenapa tidak lebih luas hingga sampai kepentingan bangsamu?”. Aku jadi merenung, ada fenomena memang, bahwa semakin tinggi posisi seorang semakin terkooptasi dia dalam hegemoni management institusinya.

Tanggungjawab profesional, menurutku, seharusnya mengacu pada etika profesional yang mengandaikan tanggungjawab pada YME (bagi yang percaya), bangsa dan negaranya, keluarganya, lingkungan tempat kerjanya dan institusi tempat kerjanya, sesuai dengan otoritas yang dipunyainya..

Tentang logika syukur yang dimaknainya seperti di atas, aku jadi berpikir, “apakah karyawan pabrik, karyawan pertambangan, para guru, para perawat, korban Lapindo yang melakukan demo, tidak bersyukur?”. “Apakah bangsaku dulu bisa merdeka dengan logika syukur semacam ini?”. Syukur, menurutku bersifat aktif, membangun, memperbaiki; bukan pasif, diam dan melakukan pembiaran atas kebatilan serta cenderung bersikap fatalis..

Read Full Post »

%d blogger menyukai ini: