Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Desember 18th, 2010

Candide, ou l’Optimisme

Betulkah kita berada di “Best of all possible Worlds”?

Judul: Candide, Optimisme Dalam Hidup
Judul asli: Candide, ou l’Optimisme
Penulis: Voltaire
Tebal Buku: 256 halaman
Penerbit: Liris
Tahun: 2009

Buku ini ditemukan di rak buku khusus novel, paling belakang, Gramedia Grand Indonesia, yang ternyata masuk dalam daftar “100 Most Influential Books Ever Written” dan “1001 Books You Must Read Before You Die”.

Diterbitkan pertama kali di Paris, Perancis, 1759 dalam bahasa Perancis, karya Voltaire ini bercerita tentang tokoh muda protagonis, Candide yang tinggal dalam kenyamanan istana (castle) di Jerman dan mendapatkan indoktrinasi Leibnizian, Optimisme, oleh mentornya, Pangloss. Setelah mengalami berbagai pengalaman hidup yang getir, Voltaire berkesimpulan bahwa Candide harus menolak Optimisme dan menjalani hidup dengan berkarya.

Optimisme dalam filosofi Theodicy dari Gottfried W. Leibniz adalah “all is for the best because God is a benevolent deity”, semua adalah untuk yang terbaik karena Tuhan adalah dewa kebajikan. Konsep ini yang ditentang keras oleh Voltaire, terlebih setelah bencana alam besar, tsunami, yang terjadi di Lisbon, semakin meyakinkannya bahwa bila ini adalah ciptaan yang terbaik (bencana), maka seharusnya ada yang lebih baik lagi.

Meskipun kecil dan tipis, novel ini disajikan penulisnya dalam 30 bagian yang padat dengan setting yang banyak berhubungan dengan sejarah, seperti gempa bumi dan tsunami di Lisbon yang memakan korban hingga ratusan ribu orang, tahun 1755 dan plot yang bergerak cepat. Berdasar settingnya, novel ini bisa dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu Bab 1-10 di Eropa, 11-20 di benua Amerika dan 21-30 di Eropa dan Ottoman.

Selain novel terjemahan, Wikipedia juga jadi acuan informasi untuk penulisan sinopsis ini.

Bab I–X
Cerita dimulai di istana Baron Thunder-ten-tronckh, Westphalia (bagian Jerman sekarang), tempat tinggal sang putri, Cunégonde; Candide sang sepupu; Pangloss, sang guru; Paquette, sang pembantu; dan sisanya adalah keluarga besar Baron. Tokoh utama adalah Candide, seorang pemuda yang halus dan lurus, dan sangat tertarik pada Cunégonde. Dr. Pangloss, adalah seorang professor metafisika-theologi-kosmolonigologi, yang selalu optimis, dan mengajarkan muridnya bahwa semua adalah untuk yang terbaik karena Tuhan adalah dewa  kebajikan. Ajaran inilah yang melekat pada pribadi Candide dan menjadi topik utama cerita.

Semuanya tampak harmoni hingga Cunégonde mendapati Pangloss sedang melakukan hubungan intim dengan Paquette di taman, yang ‘mengilhami’nya untuk mencoba melakukan hal yang sama dengan Candide. Usaha ini gagal dilakukan karena tertangkap oleh sang Baron, ketika Cunégonde dan Candide sedang berciuman. Marahlah sang Baron dan mengusir Candide keluar istana.
Candide ditangkap oleh tentara Bulgar (Prusia), direkrut dan ditugaskan untuk berperang melawan bangsa Abaria (representasi dari Prusia vs Perancis). Candide melarikan diri dari dinas ketentaraan menuju Belanda dan untuk selanjutnya ditolong oleh Jacques, pengikut anabaptist, yang kemudian memperkuat rasa optimisnya. Di Belanda, Candide menemukan Pangloss sebagai pengemis yang sedang terserang penyakit siphilis. Pangloss mengaku bahwa dirinya terkena penyakit tersebut karena berhubungan badan dengan Paquette. Dia juga mengagetkan Candide dengan ceritanya bahwa istana Thunder-ten-Tronckh telah dihancurkan oleh pasukan Bulgars, dan Cunégonde beserta seluruh keluarganya telah tewas, dibunuh. Pangloss sembuh dari penyakitnya dengan bantuan Jacques, namun kehilangan satu mata dan satu pendengarannya. Selanjutnya, ketiganya berlayar ke Lisbon.

Di pelabuhan Lisbon, kapal mereka terhempas oleh badai. Jacques terlempar ke laut saat menolong pelaut dan sebaliknya sang pelaut tak sedikitpun bergeming untuk menolongnya. Candide terhenyak menyaksikannya, namun Pangloss mencoba menenangkannya dengan ungkapan bahwa pelabuhan Lisbon memang tercipta untuk “kepergian” Jacques. Hanya Pangloss, Candide, dan sang pelaut kasar, yang membiarkan Jacques terlempar ke laut, yang hidup dan sampai ke Lisbon, yang baru saja terkena gempa bumi, tsunami, yang memakan korban puluhan ribu manusia. Sang pelaut pergi untuk menjarah puing-puing akibat gempa, sementara Candide terluka dan membutuhkan pertolongan. Ini adalah bagian dari situasi yang optimistik menurut cara pandang Pangloss. Absurd ..

Keesokan harinya, Pangloss dan Candide ditangkap karena telah mendiskusikan filosofinya tentang optimistik dengan pengikut Inkuisisi Portugis, dan akan disiksa dan dibunuh dalam upacara “auto-da-fé” untuk ‘menenangkan’ Tuhan dan mencegah terulangnya bencana alam. Candide mendapat hukuman cambuk, sementara Pangloss akan digantung. Namun gempa bumi mendadak terjadi, dan Candide bisa melolskan diri. Dia didatangi oleh seorang perempuan tua yang mengajak ke suatu rumah, tempat tinggal Cunégonde yang masih hidup. Candide terkejut, karena Pangloss pernah bercerita bahwa Cunegonde telah diperkosa dan dibunuh. Cunégonde mengakuinya bahwa dirinya memang telah diperkosa namun diselamatkan oleh seseorang, yang kemudian menjualnya ke pedagang Yahudi dan membagikan tubuhnya ke pejabat korup setempat. Ketika sang pejabat pulang ke rumah dan menemukan Cunegonde sedang bersama pria lain, Candide membunuhnya. Candide dengan kedua perempuan itu meninggalkan kota menuju benua Amerika. Sepanjang perjalanan, Cunégonde meratapi nasibnya yang selalu dirundung malang. Sang perempuan tua akhirnya bercerita untuk menenangkannya, bahwa dirinya lebih menderita daripada Cunégonde, karena telah dipotong pantatnya untuk memberi makan orang-orang yang kelaparan.

Bab XI–XX
Ketiga manusia itu akhirnya tiba di Buenos Ayres, dan Cunégonde akan dikawini oleh Gubernur Don Fernando secara paksa. Seorang pejabat kehakiman Portugis datang dan menemukan Candide, lalu menuduhnya telah membunuh pejabat Portugis. Candide melarikan diri ke Paraguai dengan ditemani pengawalnya, Cacambo.

Di perbatasan menuju Paraguay, Cacambo dan Candide menemukan saudara laki-laki Cunégonde. Dia menceritakan bahwa setelah pembantaian keluarganya, pastor Yesuit menemukannya masih hidup, dan selanjutnya membawanya untuk turut serta dalam tarekat Yesuit. Ketika Candide menyatakan bahwa dirinya berniat untuk menikahi Cunégonde, kakaknya langsung menyerangnya, marah dan Candide menusuknya hingga tewas. Setelah prosesi kematian sang Yesuit, Candide dan Cacambo melarikan diri. Dalam pelariannya, dengan memakai pakaian Yesuit, mereka menjumpai dua perempuan telanjang berlarian dikejar oleh dua monyet. Dengan maksud menyelamatkan kedua perempuan itu, Candide dengan cepat menembak mati kedua monyet, yang ternyata menurut Cacambo kedua perempuan itu sedang bercanda dengan masing-masing pasangannya, monyet yang tewas itu. Tragis..

Cacambo and Candide ditangkap dan akan dihukum mati dengan cara memanggangnya hidup-hidup oleh suku Oreillons, karena memakai pakaian Yesuit, yang menjadi musuh mereka. Cacambo meyakinkan orang-orang Oreillons bahwa Candide telah membunuh seorang Yesuit dan menggunakan pakaiannya untuk menyelamatkan diri. Akhirnya mereka berdua dibebaskan dan pergi berjalan kaki dengan hanya makan buah diperjalanan selama berhari-hari.

Setelah perjalan yang panjang dan lama itu, mereka berdua sampai di kota terpencil dan nyaman, El Dorado, yang secara geographis terisolir namun jalanan dibangun dengan batu berharga, tidak ada pendeta, dan raja yang selalu ceria. Candide and Cacambo merasa senang tinggal selama satu bulan di El Dorado, namun Candide masih selalu teringat dengan Cunégonde, dan akhirnya menyatakan kepada sang raja untuk pergi lagi. Sang raja mengijinkannya dengan memberinya banyak bekal walaupun menurutnya itu bukanlah ide yang bagus. Pasangan ini melanjutkan perjalanan, dengan ditemani ratusan domba dan berbekal banyak uang, yang secara berangsur-angsur akan habis karena dicuri dalam petualangan berikutnya.

Candide dan Cacambo dalam petualangannya sampai di Suriname, lalu berpisah. Cacambo menuju Buenos Aires untuk menjemput Cunégonde, sementara Candide mempersiapkan diri untuk perjalanan ke Eropa dan menunggu keduanya di sana. Candide tertipu dan dan semua dombanya dibawa lari pelaut Belanda. Sebelum meninggalkan Suriname, Candide merasa perlu untuk mencari kandidat yang cocok untuk teman perjalannya dan Martin adalah orangnya.

Bab XXI–XXX
Martin adalah seorang sarjana miskin, teman perjalanan Candide, mengaku sebagai pengikut ajaran Manichea, yang percaya bahwa dunia ini diatur oleh dua kekuatan yang berseberangan dan seimbang, baik dan jahat.. Sepanjang perjalanan, Martin dan Candide berdebat tentang filsafat, Martin melihat keadaan semesta ini akan selalu penuh dengan permusuhan, sementara Candide, masih selalu optimis dalam hatinya. Ketika Candide berkata, ” Kau lihat bahwa kejahatan kadang-kadang mendapatkan hukumannya”, Martin menjawab “ya, tapi mengapa para penumpang lain juga ikut tewas? Tuhan boleh menghukum penjahat, tapi iblislah yang menenggelamkan sisanya”. (Hal. 145)

Sesampainya mereka di Inggris, seorang laksamana sedang ditembak mati karena tidak cukup banyak membunuh lawan. Martin menjelaskan bahwa di Inggris perlu untuk membunuh seorang laksamana untuk memberi semangat yang lainnya, “pour l’encouragement des autres”. Candide, merasa ngeri melihat budaya ini, dan bermaksud meninggalkan Inggris secepatnya.

Setelah ditunjukkan berbagai adegan satire di institusi Eropa lainnya, Candide dan Martin bertemu Paquette, pelayan yang menyebabkan Pangloss terinfeksi sifilis, di Venesia. Dia sekarang menjadi pelacur, dan menghabiskan waktu bersama seorang biarawan, Brother Giroflée. Meskipun keduanya tampak bahagia di permukaan, namun sebenarnya mereka merasa putus asa, bahwa Paquette telah menunjukkan keberadaan yang menyedihkan sebagai objek seksual, dan sang biarawan merasa benci karena sudah terindoktrinasi oleh agamanya.

Sementara Candide dan Martin sedang makan malam, Cacambo datang dan memberikan kabar bahwa Cunégonde berada di Konstantinopel, sebagai budak kotor yang bekerja mencucui piring untuk pangeran Transylvania. Dalam perjalanan untuk menyelamatkan Cunégonde, Candide menemukan Pangloss dan saudara Cunégonde sebagai pendayung kapal yang mereka tumpangi. Candide membeli kebebasan mereka dengan harga yang mahal. Mereka menceritakan bagaimana bisa selamat, tapi meskipun kegelapan telah dilewati, optimisme Pangloss tetap tak tergoyahkan: “Aku tetap mempertahankan opini pertamaku. Lagipula aku adalah seorang filsuf, dan tidak bisa melawan diriku sendiri. Selain itu, Leibniz tidak mungkin salah, dan doktrin keseimbangan pra-penciptaan adalah hal terbaik di dunia ini, demikian pula ‘plenum’ dan ‘materia subtilis'”. (Hal. 224).

Mereka akhirnya sampai di pantai Ottoman, dan bergabung dengan Cunégonde, yang terlihat kotor, dan seorang perempuan tua. Candide membeli kebebasan mereka berdua dan menikahi Cunégonde karena penghinaan saudaranya terhadap dirinya. Paquette dan pendeta Giroflée juga bergabung dan tinggal di perkebunan yang dibeli Candide dengan harta terakhirnya.

Suatu hari, mereka menemui seorang darwis, yang dikenal sebagai flsuf terbaik di Turki, dan Pangloss bertanya tentang mengapa hewan seaneh manusia diciptakan dan mengapa ada kejahatan di bumi ini. Sang darwis menjawabnya denga oertanyaan: “Waktu Sultan mengirimkan kapal ke Mesir, apakah dia memusingkan tikus-tikus di gudang kapal akan terusik atau tidak?”, dan membating pintunya di depan mereka. Kembali dari rumah sang darwis, mereka melihat seorang Turki dan menayakan apakah dia mengetahui tentang berita tewasnya dua pejabat karena dicekik dan terbunuhnya beberapa lainnya karena ditusuk. “Aku tidak tahu apapun tentang peristiwa yang kau omongkan”, jawabnya “dan aku sudah cukup puas bepergian kesana-kemari untuk menjual buah-buahan kebunku”, tambahnya.. Dia tinggal bersama empat anaknya, “Pekerjaan yang kami lakukan ini mencegah tiga keburukan besar: kelesuan, kejahatan dan kemelaratan”. Lalu mereka pulang dan siap untuk mulai berkebun, dan Candide mulai tak menghiraukan Pangloss tentang “hal yang tercipta dengan baik”. “Ayo kita mencangkuli kebun kita”, ajak Candide.

Read Full Post »

%d blogger menyukai ini: