Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Januari, 2011

A Russian Diary

“They concentrate on the positive and pretend the negative isn’t there”, Anna Politkovskaya.

Judul: A Russian Diary
Penulis: Anna Politkovskaya
Tebal Buku: 370 halaman
Penerbit: Random House, New York
Tahun: 2007

Anna, pemegang paspor Amerika, lahir 1958 di New York, adalah putri seorang diplomat Soviet yang bertugas di UN, belajar Jurnalistik di Moscow State University dan mendapat ‘kemewahan’ untuk akses informasi melalui buku, majalah dan media cetak lainnya, yang dimasukkan ayahnya dari luar negeri. Disertasinya mengenai puisi-puisi Marina Tsvetaeva (tewas gantung diri), yang dilarang oleh Stalin.

Sebagai wartawan harian Novaya Gazeta, Anna, penerima berbagai penghargaan dunia untuk karya jurnalistik dalam penegakan HAM, tewas ditembak dengan tiga peluru di dada dan satu peluru di kepala, 7 Oktober 2006 pada usia 48 tahun di apartementnya, Moscow, karena tulisannya tentang Perang Chechnya dan kritik pedasnya terhadap pemerintahan Putin.

Buku dalam format Diary ini selesai sebelum Anna terbunuh di Moscow, bercerita dalam kurun waktu Pemilu Parlemen 2003 hingga peristiwa pembajakan sekolah Beslan akhir tahun 2005. Sumber data diperolehnya dari berbagai wawancara dengan banyak pihak yang tertindas karena kebijakan Putin, termasuk para ibu dari anak-anak yang tewas saat pembajakan sekolah Beslan, para tentara Russia yang berperang di Chechnya namun ‘ditinggalkan’ pemerintahnya, para militia Chechen dukungan Putin, juga dengan orang-orang yang pernah diculik oleh aparat keamanan. Di pihak lain, Anna juga mewawancarai para veteran dan pimpinan perang Chechen.

Membaca buku ini seperti membuka harta karun berisi informasi langka tentang Russia, di bawah Putin, yang ternyata masih sangat tertutup dan berwajah gelap. Kecurangan, pembunuhan sadis, penculikan yang semuanya bermotif politik, nasionalis sempit dari beberapa partai dan kelompok radikal dengan jargonnya “Russia for the Russians”, dan kebijakan publik yang sangat jauh dari niatan untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan rakyat. Anna menganggap pemerintahan Putin tidak berbeda dengan masa pemerintahan Stalin.

Karya jurnalistik yang sungguh sangat berani tentang nasib rakyat Russia dalam pemerintahan Putin yang represif, kejam dan korup.

Penyajian peristiwa dibagi menjadi tiga Bab dan Penutup, dalam format Diary, yang sesuai dengan urutan waktu. Banyak kutipan wawancara, siaran televisi dan tentu saja juga opini penulisnya.

Bab 1
The Death of Russian Parliamentary Democracy
Dec 2003 – Mar 2004
Bab ini berisi tentang peristiwa masa pemilu parlemen dan pemilu presiden. Segala usaha pemenangan United Russia Party, partai pemerintah Putin, yang dlanjutkan dengan pemilu Presiden diceritakan dengan jelas, bahkan cenderung sinis.

Kecurangan, penculikan, intimidasi, bahkan pembunuhan sadis terhadap pimpinan partai oposisi serta, bom bunuh diri, mewarnai pemenangan Pemilu Parlemen dan Presiden Russia. Posisi sebagai partai pemerintah (incumbent) membuat Putin semakin sewenang-wenang dalam membuat kebijakan tentang Pemilu. United Russia party memanfaatkan birokrat -Mantan pejabat Patai Komunis dan Young Commnist League telah direkrut sebagai pegawai pemerintah- dan politik uang untuk kemenangan Putin.

Menurut Anna, secara ideologis, Duma baru (setelah runtuhnya USSR), lebih berorientasi ke politik tradisional, daripada menuju ke arah demokrasi Barat. United Russia melakukan kooptasi bahwa masyarakat Russia telah dipermalukan oleh Barat, dengan propaganda anti Barat dan anti kapitalis.

Hampir tidak ada seorang demokratpun dalam Russian Parliament, yang mampu melakukan lobi2 demokratis secara konstuktif dan beroposisi dengan benar. Kaum demokrat tidak lagi tertarik untuk ‘menyentuh’ 40% rakyat Russia yg berada di bawah garuis kemiskinan. Kaum demokrat telah diam dan ‘menyerah’ untuk kemenangan Putin.

Partai-partai Pro-Putin menguasai Duma. United Russia menguasai 212 kursi, 65 kursi lainnya adalah “independent” juga pro Kremlin. Konfigurasi di Duma tidak memungkinkan adanya oposisi. “Duma bukan tempat berdebat, melainkan untuk pekerjaan legislasi”, ungkap Putin, setelah kemenangannya.

Meskipun pada 2003, partai United Russia tidak memenuhi cukup suara untuk merubah konstitusi (301 suara dibutuhkan), namun Kremlin selalu punya cara untuk merekayasa mayoritas konstitusional. Peraturan hukum selalu bisa dirubah dengan alasan “in order to avoid destabilizing the situation in the country”.

Pada 24 Desember 2003, Grigorii Yavlinsky (partai oposisi, Yabloko) menyatakan bhw Russia mempunyai pseudo-multyparty parliament, pseudo free and fair elections, pseudoimpartial judiciary dan pseudoindependent mass media.

Teror, intimidasi, penculikan membuat hanya Irina Khakamada yg pada akhirnya berani berhadapan langsung terhadap Putin sebagai pesaing utama dalam Pemilu Presiden, sedangkan lainnya lebih mendukung Putin, meskipun ada enam calon presiden peserta pilpres ini.

Bab 2
Russia’s Great Political Depression
Apr-Dec 2004
Pada bab kedua ini, Anna sedikit meneruskan peristiwa Pemilu, yang diakhiri dengan pelantikan Putin yang kedua kalinya, 7 Mei 2004. Cerita selanjutnya lebih banyak berhubungan dengan peristiwa di wilayah Caucasus, Chechnya dan sekitarnya.

Peristiwa meledaknya bom dalam mobil Presiden Repulic of Ingushetia, Murat Zyazikov, di Nazran, Ingushetia, yang negaranya berbatasan dengan Chechnya. Presiden selamat.

Dicurigai ini karena dugaan korupsi yg dilakukan oleh presiden dan keluarganya. Kecurigaan lainnya adalah beberapa penculikan oleh pemerintahannya, yang dihubungkan dengan isu Chehnya.

Anna mempertanyakan ketiadaan komitmen pres Zyazikov untuk menjalankan pemerintahan yang demokratis dan berperikemanusiaan. Mengapa saat kekuasaan di tangan justru digunakan untuk berbohong, memutar-balik fakta, mendukung tindak korupsi, menghindari bangsanya, menakutinya dan akhirnya, tidak mencintainya? “When there is no justice, there is rough justice. People lose patience” ungkapnya.

Seperti halnya Putin, Zyazikov melakukan hal yang sama dalam hal kebebasan pers. Alih-alih menyelesaikan persoalan bangsa, malah melakukan kontrol dan sensor pemberitaan televisi. Penculikan, teror, kekerasan juga terjadi dalam pemenangan Zyazikov sbg pres Ingushetia.

Peristiwa detil pembajakan sekolah Beslan dan usaha pembebasan sandera oleh aparat keamanan pemerintah yang justru memperbanyak jumlah korban, hingga tindakan sensor media oleh pemerintah beberapa hari sesudahnya juga diceritakannya dalam bab kedua ini.

Bab 3
Our Winter and Summer of Discontent
Jan-Aug 2005
Dalam bab ketiga ini, banyak diisi dengan peristiwa memuncaknya rasa frustrasi rakyat Russia terhadap pemerintahnya.

Russia’s Heroes (para Pahlawan dengan penghargaan resmi dari pemerintah) melakukan mogok makan. Ini dilakukan krn Duma, 13 Jun, melaksanakan pemotongan kesejahteraan mereka. Diikuti dengan munculnya partai baru, partai para ibu tentara Russia (Mother’s Sodiers Party) sebagai oposan pemerintah. Kemudian aksi penolakan kehadiran para ibu korban pembajakan sekolah Beslan, atas undangan Putin ke Moscow, karena menganggap pemerintah Putin tidak serius melindungi keamanan rakyatnya dalam pembajakan sekolah Beslan.

Tidak ada yang dinyatakan bersalah dalam kasus banyaknya korban tewas dalam usaha pembebasan sandera pembajakan sekolah Beslan. Lebih dari 300 tewas, termasuk 186 murid sekolah.

Bab Penutup
Am I Afraid?
Pada bab penutup bukunya, Anna memberikan kritik keras untuk perbaikan kesejahteraan bangsa Rusia dan tuntutannya untuk menghentikan perang di North Caucasus.
Namun sayangnya tidak terlihat adanya perubahan, bahkan pemerintah cenderung buta/tuli dengan keluhan rakyatnya, dan tetap dengan gaya hidupnya yang rakus akan kekayaan. Bahkan disinformasi bahwa masyarakat sipil dan oposisi dibiayai oleh CIA, Inggris, Israel, terus dilakukan sebagai bagian tindak represi.

Read Full Post »

Kudeta Arok-Dedes

Buku ini terasa sangat Pramoedya, mewakili suara kaum tertindas yang tidak mendapat perlindungan dan keadilan dari penguasa, namun justru teraniaya dan termiskinkan secara struktural.

Judul: Arok-Dedes
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Tebal Buku: 574 halaman
Penerbit: Lentera Dipantara
Tahun: 2009
Cetakan: 6

Judul, gambar sampul dan, tentu saja, penulisnya sudah jadi jaminan bakal larisnya buku ini. Cerita tentang Ken Arok ini pasti sangat familiar bagi kita semua. Ketika masih di Sekolah Dasar, buku sejarah dan guru sangat berperan besar dalam mencitrakan tokoh satu ini. Seorang perampok, pengacau, pembunuh kejam; itulah kesan yang didapat ketika tokoh ini disajikan dalam buku sejarah. Di tangan sang empunya, Pramoedya, kesan ini sungguh berbalik.
Para tokoh utama juga sudah dikenal luas oleh para pembaca, persis seperti yang tertulis dalam buku sejarah di sekolah, seperti Tunggul Ametung, Empu Gandring, Kebo Ijo, Loh Gawe, Ken Umang dan tentu saja Ken Arok dan Ken Dedes; namun peran dan citra masing-masing banyak berbeda, bahkan berlawanan.

Keyakinan agama punya andil besar dalam proses pemberontakan di Tumapel. Para pemberontak dan kaum teraniaya adalah pengikut Syiwa sementara aparat pemerintah adalah pemuja Wisnu dalam agama Hindu. Kaum Brahmana Syiwa sangat disegani dan segala titahnya akan diikuti oleh pengikutnya, sementara brahmana Wisnu dalam pemerintahan (Belakangka) dicitrakan haus kekuasaan.

Empu Gandring adalah pande besi, ahli pembuat senjata untuk keperluan pemerintah. Tak ada cerita tentang kutukan keris tujuh turunan sang empu seperti yang biasa diceritakan para guru sejarah. Bahkan dalam buku ini, Gandring adalah aktor intelektual perebutan kekuasaan di Tumapel, di belakang Kebo Ijo, bukan sosok teraniaya yang dilakukan oleh Arok seperti yang selama ini tertulis dalam buku sejarah di sekolah.

Dedes dalam buku ini punya peran utama yang sangat penting untuk jatuhnya akuwu Tumapel, Tunggul Ametung. Sebagai prameswari, penyembah Syiwa seperti umumnya masyarakat yang teraniaya dari kasta Sudra hingga Brahmana di Tumapel, Dedes punya kekuasaan besar dalam istana yang hanya bisa dikalahkan oleh sang suami. Dedes digambarkan sebagai perempuan brahmani yang cantik, berpengetahuan dan berjiwa soial tinggi serta disukai masyarakat, berbeda dengan Tunggul Ametung yang dicitrakan sebagai bodoh dan berperangai rendah seperti perampok, pemerkosa, pembunuh, rakus dan pengecut.

Arok, seperti halnya dalam pelajaran sejarah di sekolah, adalah anak angkat suatu keluarga yang tidak mengenal orang tua biologisnya. Digambarkan sebagai anak yang cerdas, setia kawan, punya jiwa kepemimpinan bagus serta patuh pada para guru/brahmana. Menurut Loh Gawe, dalam buku ini, Arok adalah satu-satunya sudra yang bisa menjadi satria dan brahmana dalam 100 tahun saat itu. Karena kecerdasannyalah, Arok bisa mengatur strategi perang yang ampuh untuk mengalahkan pasukan Tumapel dan kelompok Kebo Ijo. Bahkan pemberontakan dan penaklukan terhadap Tunggul Ametung bisa dibungkusnya sebagai perlindungan terhadap kekuasaan Tumapel dan prameswari untuk menghindari konflik terbuka dengan kerajaan Kediri, yang dipimpin ileh Krtajaya.

Dalam hubungannya dengan Arok-Dedes, Pramoedya menafsirkannya bahwa Dedeslah yang berminat untuk menjadikan Arok sebagai suaminya, bukan Arok yang berminat untuk memilikinya (cerita sejarah). Pada akhir cerita, Ken Arok disebutkan memiliki dua prameswari, yaitu Ken Dedes dan Ken Umang.

Novel sejarah yang sepertinya didukung dengan studi kepustakaan ini ditulis Pramoedya 1970 ketika beliau masih di Pulau Buru (setelah Tetralogi Bumi Manusia) dan termasuk karya tulis yang terlarang untuk diterbitkan saat Orde Baru masih bercokol. Banyak orang berpendapat bahwa cerita Arok-Dedes versi Pramoedya ini merupakan ‘sindiran’ atas revolusi 65, dengan Soeharto sebagai tokoh sentral. Dan ini tersamar dalam catatan Pramoedya di awal cerita, “Mungkin kau lupa. Jatuhkan Tunggul Ametung seakan tidak karena tanganmu. Tangan orang lain harus melakukannya…” Betulkah?

Read Full Post »

Kebiasaan menulis tanggal di awal tahun ini harus betul-betul dirubah secara sadar, tidak seperti biasanya yang hanya perhatian pada tanggal dan bulan, sedangkan untuk tahun, seringkali digoreskan seperti tandatangan saja ‘2010’, tanpa sadar. Hal ini yang senyatanya berubah dengan pergantian tahun, sementara kehidupan terus berlangsung sebagaimana adanya dan penanggalan hanya mengikutinya.

Penanggalan adalah kreasi manusia semata untuk memberi bobot kuantitatif keberlangsungan semesta, sementara kehidupan hanya perlu dijalani dengan segala pernak-perniknya, yang tak mengenal jeda, hanya ada awal dan akhir saja, karena batas-batas telah ditentukan olehNya.

Angka-angka dalam sistem penanggalan itupun sudah mulai kehilangan arti di bumi ini. Tak ada lagi yang mau memberikan kepastian nilai dalam angka-angka itu sebagai pembatas waktu berlangsungnya ketamakan, kesewenang-wenangan, keangkuhan dan berbagai tabiat rendah kemanusiaan lainnya. Bahkan, mereka yang seharusnya punya kuasa memainkan angka-angka itu untuk menghentikan kegelapan, malah berdiri dibelakangnya, takut tergilas. Absurd..

Angka tidak lagi simbol kuantifikasi yang bebas nilai, tapi berubah menjadi sifat relatif yang bergantung pada persepsi. Tingkat korupsi, kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dst. ditentukan oleh angka-angka yang kesahihan nilainya sangat tergantung pada keluwesan bersilat lidah dan tindak saling dukung. Bila siapapun yang punya otoritas untuk terlibat dalam merubah kebijakan tidak lagi berani menggunakan angka sebagai nilai pasti pembatas waktu kegelapan, maka pergantian tahun menjadi tidak bermakna, melainkan hanya perubahan goresan saja, 2011.

Read Full Post »

%d blogger menyukai ini: