Buku ini terasa sangat Pramoedya, mewakili suara kaum tertindas yang tidak mendapat perlindungan dan keadilan dari penguasa, namun justru teraniaya dan termiskinkan secara struktural.
Judul: Arok-Dedes
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Tebal Buku: 574 halaman
Penerbit: Lentera Dipantara
Tahun: 2009
Cetakan: 6
Judul, gambar sampul dan, tentu saja, penulisnya sudah jadi jaminan bakal larisnya buku ini. Cerita tentang Ken Arok ini pasti sangat familiar bagi kita semua. Ketika masih di Sekolah Dasar, buku sejarah dan guru sangat berperan besar dalam mencitrakan tokoh satu ini. Seorang perampok, pengacau, pembunuh kejam; itulah kesan yang didapat ketika tokoh ini disajikan dalam buku sejarah. Di tangan sang empunya, Pramoedya, kesan ini sungguh berbalik.
Para tokoh utama juga sudah dikenal luas oleh para pembaca, persis seperti yang tertulis dalam buku sejarah di sekolah, seperti Tunggul Ametung, Empu Gandring, Kebo Ijo, Loh Gawe, Ken Umang dan tentu saja Ken Arok dan Ken Dedes; namun peran dan citra masing-masing banyak berbeda, bahkan berlawanan.
Keyakinan agama punya andil besar dalam proses pemberontakan di Tumapel. Para pemberontak dan kaum teraniaya adalah pengikut Syiwa sementara aparat pemerintah adalah pemuja Wisnu dalam agama Hindu. Kaum Brahmana Syiwa sangat disegani dan segala titahnya akan diikuti oleh pengikutnya, sementara brahmana Wisnu dalam pemerintahan (Belakangka) dicitrakan haus kekuasaan.
Empu Gandring adalah pande besi, ahli pembuat senjata untuk keperluan pemerintah. Tak ada cerita tentang kutukan keris tujuh turunan sang empu seperti yang biasa diceritakan para guru sejarah. Bahkan dalam buku ini, Gandring adalah aktor intelektual perebutan kekuasaan di Tumapel, di belakang Kebo Ijo, bukan sosok teraniaya yang dilakukan oleh Arok seperti yang selama ini tertulis dalam buku sejarah di sekolah.
Dedes dalam buku ini punya peran utama yang sangat penting untuk jatuhnya akuwu Tumapel, Tunggul Ametung. Sebagai prameswari, penyembah Syiwa seperti umumnya masyarakat yang teraniaya dari kasta Sudra hingga Brahmana di Tumapel, Dedes punya kekuasaan besar dalam istana yang hanya bisa dikalahkan oleh sang suami. Dedes digambarkan sebagai perempuan brahmani yang cantik, berpengetahuan dan berjiwa soial tinggi serta disukai masyarakat, berbeda dengan Tunggul Ametung yang dicitrakan sebagai bodoh dan berperangai rendah seperti perampok, pemerkosa, pembunuh, rakus dan pengecut.
Arok, seperti halnya dalam pelajaran sejarah di sekolah, adalah anak angkat suatu keluarga yang tidak mengenal orang tua biologisnya. Digambarkan sebagai anak yang cerdas, setia kawan, punya jiwa kepemimpinan bagus serta patuh pada para guru/brahmana. Menurut Loh Gawe, dalam buku ini, Arok adalah satu-satunya sudra yang bisa menjadi satria dan brahmana dalam 100 tahun saat itu. Karena kecerdasannyalah, Arok bisa mengatur strategi perang yang ampuh untuk mengalahkan pasukan Tumapel dan kelompok Kebo Ijo. Bahkan pemberontakan dan penaklukan terhadap Tunggul Ametung bisa dibungkusnya sebagai perlindungan terhadap kekuasaan Tumapel dan prameswari untuk menghindari konflik terbuka dengan kerajaan Kediri, yang dipimpin ileh Krtajaya.
Dalam hubungannya dengan Arok-Dedes, Pramoedya menafsirkannya bahwa Dedeslah yang berminat untuk menjadikan Arok sebagai suaminya, bukan Arok yang berminat untuk memilikinya (cerita sejarah). Pada akhir cerita, Ken Arok disebutkan memiliki dua prameswari, yaitu Ken Dedes dan Ken Umang.
Novel sejarah yang sepertinya didukung dengan studi kepustakaan ini ditulis Pramoedya 1970 ketika beliau masih di Pulau Buru (setelah Tetralogi Bumi Manusia) dan termasuk karya tulis yang terlarang untuk diterbitkan saat Orde Baru masih bercokol. Banyak orang berpendapat bahwa cerita Arok-Dedes versi Pramoedya ini merupakan ‘sindiran’ atas revolusi 65, dengan Soeharto sebagai tokoh sentral. Dan ini tersamar dalam catatan Pramoedya di awal cerita, “Mungkin kau lupa. Jatuhkan Tunggul Ametung seakan tidak karena tanganmu. Tangan orang lain harus melakukannya…” Betulkah?
Tinggalkan Balasan