Akrobat norma sedang terjadi pada bangsa ini, kejujuran sebagai nilai luhur yang dijunjung tinggi ajaran spiritual manapun, kini telah longsor dikalahkan oleh kehendak kekinian masyarakat yang lebih mengutamakan kebutuhan wadag/material sesaat daripada keluhuran budi yang disadarinya sejak dulu kala.
Satu keluarga telah diusir dari kampungnya di Surabaya karena membuka kecurangan ujian nasional di sekolah anaknya. Tragis. A’am, anak kelas enam SD yang pintar di Surabaya, dipaksa oleh gurunya untuk mengedarkan ‘contekan’ ke teman-temannya supaya mendongkrak jumlah kelulusan di sekolahnya. Dengan alasan dilematis yang dipaksakan sang guru, ‘niat baik membantu teman-teman’ membuat sang A’am terpaksa melakukan kehendak jahat sang guru. Ajaran keluarga dan beberapa guru lainnya untuk selalu bersikap jujur telah membuatnya mengalami Rasa Bersalah dan berujung cerita pada sang Ibu. Sontak, marah dan kecewa menguras emosi sang Ibu, mendengar cerita buah hatinya, yang merasa sudah memberikan bekal moral luhur pada sang anak telah dihancurkan oleh pihak yang selama ini telah dipercaya untuk memberikan pendidikan yang lebih baik, sekolah.
Pengungkapan ironi ini oleh sang Ibu ke publik menyebabkan keluarga A’am diusir oleh lingkungannya karena rasa khawatir atas nasib kelulusan anak-anak mereka. Absurd …
Jujur, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah lurus hati, bersih, tidak bohong, tidak curang, benar. Semua keterangan mengenai Jujur bernilai positif bahkan jadi ajaran dasar/basic yang ditanamkan orangtua sejak kita semua masih belia. Lalu mengapa nilai luhur ini bisa demikian mudah dikhianati?
Tekanan sosial dan perilaku para pemangku ‘kebijakan’ yang tidak bisa dijadikan panutan mungkin jadi penyebab luruhnya nilai luhur ini, selain alasan teknis sistem pendidikan yang menyebabkan ekses sistematis tindak ke’tidak-jujur’an terjadi dalam ujian nasional.
Rasa tidak percaya diri orangtua akan kemampuan sang anak (karena memang tak pernah mengujinya), rasa kekurangan akan frekuensi belajar di rumah dan kelengkapan ajar (buku dan akses belajar lainnya), serta tidak adanya pelajaran tambahan atau les menjelang ujian seperti yang dilakukan pada keluarga ‘berpunya’; juga ketakutan gagal ujian yang berarti perlu ekstra penanganan psikis terhadap anak dan keluarga menghadapi bayang-bayang tekanan sosial , serta kondisi ekonomi domestik yang pas-pasan hingga semakin menambah beban kelelahan psikis keluarga, menyebabkan para orangtua mengambil jalan pintas ‘penyelamatan’ anak dari kegagalan ujian dengan cara cepat, sepakat dan murah, nyontek massal.
Para pemangku kebijakan, yang di mata kaum ‘pinggiran’ masih dianggap sebagai kaum cerdik-pandai yang sering kali tampil di depan umum dengan berbagai solah-tingkahnya membawa ‘kabar’ kebajikan, ternyata .. banyak tersangkut masalah hukum, baik kejahatan keuangan maupun tindak asusila .. obrolan pinggir jalanpun mengatakan ‘loh kalau yang sudah kaya aja menganggap korupsi adalah hal kecil, kok nyontek yg ‘membantu’ murid dan guru dan gak korupsi kok gak boleh”. Jadi ya LANJUTKAN nyonteknya …
Peringkat kelulusan dari suatu sekolah ternyata linier dengan anggaran, artinya sekolah dengan peringkat tinggi, apalagi masuk kategori sistem SBI (sekolah berbasis internasional) karena jumlah kelulusan yang tinggi akan mendapat kocoran anggaran pendidikan dari depdikbud lebih banyak daripada sekolah yang biasa-biasa saja, ini berakibat upaya ‘apa saja’ perlu dilakukan untuk mempertahankan peringkat. Rektor Universitas ternama, dalam wawancara dengan tv swasta pernah mengatakan bahwa beberapa sekolah di suatu daerah telah melakukan kerjasama yang tidak benar dalam melakukan pengawasan ujian nasional demi kepentingan menjaga peringkat kelulusan sekolah masing-masing.
Dengan paparan di atas, saya berharap para pimpinan negeri ini supaya menghentikan segala polah tingkah ‘memoles wajah’ dan jadilah panutan yang sejujurnya dan pimpinlah rakyatmu ini untuk menjunjung nilai luhur bangsamu, JUJUR.