Baru saja ‘farewell party’ dilakukan secara meriah untuk dua karyawan yang akan mengundurkan diri dan pindah kerja di tempat baru, yang tentunya lebih ‘baik’ menurutnya.
Ada hal yang ‘mengganggu’ menurutku karena dalam acara semacam ini, ‘pengunduran diri’ karyawan selalu dimaknai sebagai ‘kelulusan’ oleh sebagian pihak manajemen, entah ini dimaksudkan sebagai ‘guyonan’ atau hal serius, seolah perusahaan telah sukses mendidik karyawannya sehingga siap bekerja di perusahaan lain. Ironis.
Sejak Januari 2011, sudah 10 karyawan staff mengundurkan diri dan dari sisi persentase, jumlah tersebut termasuk paling besar dibanding dengan divisi lainnya dalam perusahaan. Bila ini adalah institusi pendidikan maka divisi ini masuk dalam kategori berprestasi, sayangnya ini adalah institusi industri yang tentunya jelas mengejar laba, maka tingginya angka keluar-masuk karyawan bukanlah hal yang patut dibanggakan alias perlu dipertanyakan karena jelas akan mengganggu rantai produksi. Banyak pelatihan perlu dilakukan pada karyawan baru yang berimplikasi pada biaya, waktu dan tenaga. Dan yang lebih berat adalah dampak psikis bagi karyawan lainnya, yang seolah penyebab tingginya ‘turn-over’ bukanlah hal yang perlu diperhatikan karena karyawan mudah tergantikan dan kinerja yang baik bukanlah hal yang patut dipertahankan, alih-alih ditingkatkan.
Coba kita bayangkan, seandainya pemilik perusahaan ini mengetahui bahwa biaya yang telah dikeluarkan untuk pelatihan ternyata justru lebih banyak me’lulus’kan karyawan dan bukan meningkatkan kinerja perusahaan atau keuntungan, apa kira-kira reaksinya?
Penyebab tingginya ‘keluar-masuk’ karyawan perlu dievaluasi lebih dalam, bahkan alasan tingginya harga penawaran di luar pun semestinya tidak menjadi alasan memudahkan ‘lulus’nya karyawan karena karyawan terlatih yang sudah menjadi bagian dari budaya kerja perusahaan memang seharusnya perlu dipertahankan.
Ah ini cuma membayangkan apa yang perlu dilakukan seandainya perusahaanku nanti terjadi ‘brain drain’.