Judul: JUSTICE, What’s the right thing to do?
Penulis: Michael J. Sandel
Tebal Buku: 308 halaman
Penerbit: Farrar, Strauss and Giroux; New York
Tahun: 2009
Buku menarik ini berisi ‘rekaman’ kuliah umum filsafat politik oleh Professor Michael Sandel di Universitas Harvard yang sangat digemari hampir ribuan mahasiswanya. Ada duabelas file video ‘live’ kuliah ini, termasuk diskusi dengan mahasiswa, yang masing-masing berdurasi satu jam, juga bisa diunduh gratis dari youtube.com atau itunes.apple.com.
Hal yang menarik dari Justice adalah ‘mengganggu’ nurani sekaligus visi pembaca untuk selalu mempertanyakan secara kritis dari banyak sisi tentang Keadilan sebagai buah kebijakan manusia sehari-hari untuk memenuhi kewajibannya sebagai bagian dari masyarakat modern. Judul-judul bab dalam buku ini sejak awal halaman memang merangsang untuk terus ingin mengetahui isinya, selain isi antar bab memang berkaitan dan menerus. Beberapa yang menarik misalnya: Doing The Right Thing, The Greatest Happiness, Do We Own Ourselves?, Who deserve what?
Beberapa hal yang dibahas dalam kuliah ini adalah tentang SARA (affirmative action), tindak kanibal, perkawinan sejenis, pasar bebas, pajak si kaya untuk si miskin, aborsi, euthanasia, hak individual vs kepentingan umum, dll. Contoh kasus-kasus di atas digunakan Sandel untuk menguji konsep Keadilan dan Moral dari para filsuf moral mulai dari Aristoteles hingga Immanuel Kant, John Rawls dan Aristoteles.
Sandel membedakan tiga pendekatan (Three Ways of Thingking) terhadap Keadilan, yaitu pertama, Utilitarian, yang menyatakan bahwa untuk mendefinisikan Keadilan dan untuk melakukan hal yang Benar adalah dengan memaksimalkan kesejahteraan atau kebahagiaan kolektif masyarakat. Kedua, adalah Kebebasan memilih (freedom), Libertarian memberikan contoh tentang Pasar Bebas (free market), tanpa keterlibatan pemerintah. Ketiga, adalah pendekatan Nilai Luhur yaitu memberikan pada yang berhak.
Beberapa contoh kasus Keadilan yang muncul di bagian awal buku ini yang didekati dengan tiga hal di atas. Pertama, tentang mahalnya barang-barang kebutuhan rumahtangga di New Orleans setelah badai Katrina meluluhlantakkan kota itu (price gouging). Apakah pedagang berhak menentukan harga semaunya, hanya berdasar Hukum Ekonomi semata (penawaran-permintaan)? Bagaimana peran pemerintah? Bagaimana tanggungjawab sosial? Kedua, tentang penghargaan Purple Heart bagi tentara AS yang mengalami cacat fisik di medan perang. Mengapa ‘cacat’ psikis, yang seringkali mengakibatkan trauma perang tidak mendapatkan penghargaan serupa? Apakah cacat psikis bukan pengorbanan atau tidak menunjukan sikap patriotik? Terakhir tentang kucuran dana pemerintah (bailed out) saat krisis finansial 2008. Mengapa para CEO lembaga keuangan AS justru mendapat ‘reward’ berlebihan justru saat mereka tidak mampu mengendalikan runtuhnya finansial AS? Mengapa masyarakat AS justru menanggung beban melalui penggunaan pajak akibat ulah para CEO?
Kasus pertama (price gouging), kelangkaan barang di New Orleans, setelah badai Katrina, membuat pedagang meningkatkan harga barang/jasa semaunya untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Pasar ideal yang Adil mensyaratkan adanya unsur maksimalisasi Kesejahteraan (welfare) bagi para pedagang melalui keuntungan dan Kebebasan (freedom) memilih dalam transaksi bagi konsumen berdasar informasi yang benar serta didasari Nilai luhur (Virtue) dalam bertransaksi. Persoalan Keadilan muncul ketika perdagangan hanya memenuhi unsur maksimalisasi Kesejahteraan pedagang namun tidak didasari Kebebasan konsumen untuk memilih, berhubung bencana alam menyebabkan situasi darurat dan kemiskinan, dan jelas perilaku keserakahan mencederai Nilai keluhuran masyarakat.
Kasus Kedua tentang Penghargaan Purple Heart ini muncul ketika semakin banyak korban perang di Afganistan dan Irak yang menderita mimpi buruk setiap hari, depresi akut, bahkan bunuh diri; sementara penghargaan hanya diberikan pada korban meninggal dan cacat fisik. Keadilan dipertanyakan berdasar Nilai Keluhuran pengorbanan yang dirasakan setara bagi penderita cacat psikis dan cacat fisik. Berbeda dengan medali militer, medali Purple Heart ini diberikan pemerintah AS sebagai penghargaan Pengorbanan, bukan Keberanian, sehingga alasan bahwa cacat psikis diakibatkan oleh ketakutan di medan perang sungguh tidak dapat diterima. Berdasar logika moral teori Keadilan Aristoteles, maka tidak bisa ditentukan siapa yang berhak menerima medali tanpa lebih dulu mempertanyakan Nilai-Nilai Luhur Pengorbanan seperti apa, yang bisa diberi penghargaan (teleologikal).
Kasus Keadilan ketiga adalah tentang Bailout, saat institusi keuangan AS mengalami kebangkrutan di tahun 2008-2009. Para CEO AS membela diri bahwa ini disebabkan oleh faktor eksternal dan mereka telah berbuat semaksimal mungkin dan gagal. Kemarahan masyarakat AS mencuat karena ketidak-adilan dirasakan akibat dana bailout banyak dipergunakan untuk Kesejahteraan para CEO yang dianggap tidak layak menerimanya karena tidak ada Nilai Keluhuran yang diperbuatnya. Masyarakat mempertanyakan, bila ‘faktor eksternal’, bukan kesalahan CEO, dianggap sebagai penyebab keruntuhan, mengapa ‘faktor eksternal’ sebagai penyebab kesuksesan finansial dianggap sebagai kesuksesan para CEO tersebut?
Kritik Utilitarianisme (Bentham)
Pendekatan Utilitarianisme, dengan sifatnya yang mengutamakan sisi kuantitatif daripada kualitatif, tanpa sadar sering kali menjadi praktek penyelesaian masalah sosial di jaman modern sekarang ini, yang berimplikasi terjadinya ketidakadilan moral. Metoda Cost-Benefit analysis untuk menyelesaikan kasus-kasus lingkungan/sosial adalah turunan dari teori pemikiran Utilitarian ini. Salah satu contoh kasus dilema moral dengan pendekatan Utilitarian yang diberikan Sandel adalah The Runway Trolley.
Kisah ini mengandaikan pembaca sebagai pengendara lori yang sedang berjalan turun dengan cepat dengan rem yang tidak bekerja. Di ujung depan rel lurus itu sedang ada lima pekerja yang sedang memperbaiki rel, yang bila tertabrak, pasti akan fatal akibatnya, tewas. Namun, ada kemungkinan membelokkan lori ke cabang rel sebelahnya dengan resiko menabrak satu orang penjaga rel, yang juga berakibat fatal, tewas. Apa yang akan anda lakukan? Hampir semua orang yang melihatnya akan berteriak “banting setir!!”, seolah setuju bahwa menewaskan satu orang lebih baik daripada lima orang.
Dengan mengubah sedikit cerita, rekomendasi akan berbeda. Seandainya pembaca berdiri berdua dengan penjaga rel yang berbadan besar, di rel sebelah dan kali ini lori, yang dikendarai orang lain, tidak dapat dibelokkan namun tetap melaju cepat ke arah lima pekerja. Mengetahui bahwa lori akan menewaskan lima pekerja, dan tubuh anda tidak cukup kuat menahan laju lori, maka anda mendorong penjaga rel yang berbadan besar itu hingga jatuh di atas rel dan menghalangi laju lori, dan menewaskannya. Lima pekerja selamat. Hampir semua pembaca pasti tidak membenarkan keputusan anda untuk mengorbankan penjaga rel.
Mengapa pilihan keputusan pada kasus kedua tidak dibenarkan, sedangkan dua kasus tersebut persis sama, mengorbankan satu orang untuk keselamatan lima orang?
Contoh kasus lainnya, yaitu pembunuhan bersama terhadap satu orang penumpang sekoci dan memakannya, untuk mempertahankan hidup di tengah laut; kasus melemparkan manusia ke tengah gelanggang untuk diadu dengan singa dijaman kekaisaran Roma sebagai hiburan masyarakat; kasus ‘the city of happines’ yaitu mengucilkan seorang anak gadis yang terganggu mentalnya dengan maksud supaya tidak mengganggu masyarakat; diajukan Sandel untuk menguji teori Keadilan Utilitarian, yang dicirikan dengan prinsip utamanya yaitu kebahagiaan tertinggi (to maximize happiness) sekaligus mengurangi penderitaan/ketidak nyamanan, meskipun harus mengorbankan minoritas. Dari sisi Keadilan Utilitarian, tiga kasus di atas (masih ada beberapa contoh lainnya) jelas memenuhi prinsip Utilitarian, yaitu demi memprioritaskan ‘kebahagiaan tertinggi’, namun apakah secara moral bisa diterima?
Komentar para mahasiswa tentang kasus dilema moral ini beragam dan menarik untuk direnungkan. Masih ada beberapa contoh kasus dilema moral diberikan Sandel dalam buku ini, yang juga dapat dilihat langsung selengkapnya di youtube.com.
Kritik Utilitarian menurut Sandel menyangkut dua hal, yaitu:
1. Hak-Hak Individual
2. Penyeragaman Nilai berdasar Mata Uang (cost and benefit ratio analysis)
1. Hak-Hak Individual
Pendekatan Utilitarian dianggap tidak menghargai Hak individual. Interogasi para tahanan terorisme dengan cara menyiksa untuk mendapatkan informasi rencana pemboman, demi melindungi keselamatan publik, adalah salah satu contoh yang diberikan Sandel tentang pelecehan Hak Individual.
2. Penyeragaman Nilai berdasar Mata Uang
Cost benefit Analysis adalah bentuk praktek Utilitarian yang yang secara teknis biasa dipergunakan oleh pemerintah atau perusahaan besar untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan persoalan sosial/lingkungan dengan cara memberikan bobot nilai numerik terhadap variabel kulitatif, sehingga memudahkan perhitungan. Contoh: Cost-Benefit analysis yang dilakukan Phillip Morris di Czech memberikan hasil bahwa pemerintah Czech banyak mendapat keuntungan finansial dengan banyaknya perokok muda di negaranya, karena akan banyak warga meninggal pada usia muda sehingga mengurangi biaya asuransi kesehatan, perumahan dan pensiun, selain pendapatan dari pajak rokok tentunya. Sikap Utilitarian ini jelas melecehkan Nilai Luhur kehidupan manusia seperti penderitaan karena penyakit, penderitaan keluarga dan kematian itu sendiri.
Libertarian
Dalam hubungannya dengan Pasar, Libertian sangat tidak mendukung keterlibatan pemerintah untuk turut campur mengaturvnya. Ciri utama Libertarian adalah mendewakan Kebebasan (freedom of choice) dan prinsip-prinsip dasarnya adalah:
1. No Paternalism, menolak campur tangan pemerintah untuk mengatur keselamatan individu dalam beraktifitas, selama tidak mengganggu pihak lain
2. No Morals Legislation, menolak campur tangan pemerintah untuk menilai moral individu dalam menentukan kebijakan
3. No Restribution Income or Wealth, menolak kebijakan pemerintah untuk mengatur ‘subsidi silang’ (mengambil dari yang berlebih untuk yang kekurangan).
Menurut Sandel, kaum Libertarian ini biasa dilekatkan terhadap kelompok konservatif di AS, yang umumnya berada di Partai Republik. Beberapa pendukungnya, adalah Milton Friedman (Capitalism and Freedom), Friederich Hayek (The Constitution of Liberty) dan Robert Nozik (Anarchy, State and Utopia).
Libertarian menolak pajak karena dianggap pemerasan tenaga-kerja atau pelanggaran hak individual untuk mendapatkan kebahagiaan tertinggi dari pendapatannya. Selanjutnya, upah adalah hak pekerja atas hasil jerih-payahnya, bukan hak pemerintah untuk mengambil sebagian melalui pajak, apalagi hak yang tak berpunya. Dengan demikian, bisa dimengerti sikap Partai Republik AS saat ini yang sangat resisten terhadap upaya Obama menaikkan pajak pendapatan. Contoh lain adalah apakah seseorang berhak membeli ginjal orang lain, melalui kekayaan dan kebebasannya, untuk maksud kesenangan belaka? Apakah seseorang bebas menentukan hidup-matinya sendiri (euthanasia)?
Immanuel Kant
Menurut Immanuel Kant, moralitas bukanlah mencari kebahagiaan tertinggi (utilitarian), melainkan menghormati kemanusiaan sebagaimana adanya (to respect humanity as an end in itself); dan tindakan disebut bermoral bukanlah karena menghasilkan kebaikan, tetapi karena niat (motif) baik itu sendiri, tanpa ‘pamrih’ atau maksud lain. Penjaga toko membatalkan maksudnya untuk menaikkan harga mainan yang akan dibeli seorang anak, yang tidak mampu menawar, karena khawatir bila ketahuan oleh publik akan membuatnya ditinggalkan pelanggan. Menurut Kant, tindakan penjaga toko tersebut adalah baik namun kurang bermoral karena ada ‘pamrih’ di dalamnya, keuntungan bisnis.
Aristoteles
Menurut Aristoteles, Keadilan adalah memberikan pada yang berhak. Tentang politik ia berpendapat bahwa politik berguna untuk membentuk masyarakat yang baik, serta meninggikan kebenaran.
Kritik Sandel tentang moral untuk Aristoteles adalah pernyataannya bahwa sebagian orang memang dilahirkan sebagai ‘budak’, yang lebih baik dipimpin/dimiliki oleh ‘tuan’nya. Mungkinkah pemikiran Aristoteles belum bisa lepas dari jamannya?
Pada bab terakhir berjudul ‘Justice and The Common Good’, Sandel kembali menegaskan bahwa Maksimalisasi Kesejahteraan dan Kebebasan Memilih, tidak cukup untuk mencapai masyarakat yang ‘baik’ (secara moral, etika dan hukum dapat dibenarkan), melainkan hanya pendekatan Nilai Luhur (cultiviting virtue), maka keadaan tersebut bisa dicapai. Untuk itu perlu ada kesepakatan dan cita-cita bersama tentang masyarakat yang ‘baik’ dan membangun kultur masyarakat yang memberi ruang terhadap adanya perbedaan.
Membaca buku ini hingga selesai dan merefleksikannya terhadap kehidupan kita di negeri ini, akan memunculkan renungan keadilan moral seperti:
– Apakah adil bila pemerintah terus melakukan import beras, bawang merah, daging demi memenuhi kebutuhan Nasional, namun disaat yang sama menjatuhkan harga barang di petani?
– Apakah adil bila pemerintah terus memproduksi kendaraan bermotor demi meningkatkan pendapatan nasional, namun di saat yang sama jalan raya tidak ditambah/diperbaiki?
– Dan lain-lainnya..
[…] “Justice“, Michael […]