Mainan baru yang kuperoleh sejak Feb. 2012 ini memang sering memaksa untuk dibawa jalan, Nikon D90. Kamera yang bagus untuk pemula, begitulah saran dari para pemain lama. Mata sering terpacu untuk lebih jeli melihat sekitar, yang selama ini sering terabaikan, dan melintas begitu saja. Mainan ini mengingatkanku pada alm. Bapak di tahun 70an dengan Kodaknya, yang kalau memotret harus diintip dari atas kamera, bahkan lengkap dengan ruang dan peralatan cuci-cetaknya. Kamera manual dan film hitam-putih. Kami sekeluarga turut sibuk memproses film hingga menjadi foto di atas kertas, dalam ruang gelap berlampu merah, redup. Cukup menarik untuk bisa menuliskan proses cuci-cetak film ini, sayang aku sudah banyak lupa, tapi nanti akan kutulis setelah ingatan kembali terjaga.
Juwana
Dalam rangka ziarah makam orangtua di Juwana, D90 dan lensa kit 18-105 mm turut menjadi bekal. Sirrr … sedikit nyeri di hati melewati rumah kosong yang dua tahun lalu Ibu masih di situ, Bapak lebih dulu menggalkannya, setahun sebelumnya.
Obyek pertama yang aku harapkan adalah suasana ‘tambak udang’ di pinggir kali. Ternyata udang sudah dipanen, kering, penuh alang-alang. Aktifitas menjaring ikan di pinggir kali juga tidak aku dapatkan. Hanya satu momen yang terjebak dalam kamera, tiga anak bersepeda pulang sekolah.
Warung kecil yang menjajakan masakan ikan laut menjadi tempat makan siang bersama kakak dan adik-adikku. Murah, lengkap dan pedas. Mangut ikan Pe, sop kepala Manyung, kepiting, udang, bothok telor kepiting, sambel pete adalah menu yang terhidang, dan es kopyor sebagai penutupnya.. … Nyusss ..
Obyek foto berikutnya adalah kapal di kali Juwana. Sayang warna langit kurang ramah, berawan gelap, mendung. Sudut pengambilan gambar tidak bagus dan kurang berwarna, hanya biru menguasai warna kapal.
Semarang
Sewaktu kecil, sering aku dibawa bapak/ibu beranjangsana ke saudara di Semarang tapi tak sekalipun terlintas untuk mampir ke Lawang Sewu, gedung perkantoran Kereta Api jaman Belanda, meskipun mondar-mandir keliling Tugu Muda, di depannya.
Test kamera low-light aku lakukan dari jendela Shantika hotel dengan obyek neon sign ‘Kawasan Simpang Lima’, lalu keluar menuju Lawang Sewu, jalan kaki.
Lawang Sewu
Dengan membayar tiket Rp. 10 ribu dan pemandu wisata Rp. 35 ribu, tamu bisa keliling memotret sambil mendapatkan cerita sejarah Lawang Sewu dari pemandu. Malam itu cukup banyak pengunjung, yang seringkali berbisik-bisik tentang cerita mistis gedung ini dari banyak media. Tentang sejarahnya bisa googling dengan penunjuk “Lawang Sewu” atau “wisata semarang”. Dari sisi luar gedung, pencahayaan tertata bagus.
Kombinasi cahaya lampu kuning yang menyorot dinding gedung, taman yang tertata rapi, lorong panjang yang bersih dan terang, dan jendela gothik di bagian atas, juga cahaya dari Tugu Muda di balik gedung, sungguh bagus jadi obyek fotografi. Gedung Percetakan tua yang terawat dengan lampu-lampu kuning terang di dalamnya, dan cahaya kuning lembut di luarnya, juga indah dilihat dari luar melalui jendela-jendela besar yang terbuka.
Yang juga menarik, lokomotif buatan Jerman yang dipergunakan di jaman Belanda juga dipajang di depan gedung. Memang masih ada gedung yang gelap, pengap, belum tertata. Berbeda dengan suasana malam hari yang terlihat lembut, pada siang hari gedung Lawang Sewu terlihat kokoh, kaku dan kering.
Kota Lama
Di daerah Kota Lama, aku hanya sempat memotret Gereja Blendhuk yang terawat baik, bersih dan masih aktif dipergunakan. Ingin rasanya melihat bagian dalam bangunan ini, namun situasi tidak memungkinkan berhubung sedang ada Kebaktian.
Gedung tua Marba, yang sepertinya masih aktif dipergunakan, sempat juga aku potret. Ada satu gedung tua di jalan Gereja Blendhuk ini yang sudah tidak dipergunakan, lusuh, tidak terawat.
Masih banyak obyek foto yang perlu dilihat di Kota Lama ini, seperti setasiun Tawang dan beberapa gedung disekitarnya, juga obyek lainnya di kota lunpia ini, Semarang. Sampai jumpa…
Tinggalkan Balasan