19 Juni 2012, Lion Air Boeing 737-800 terbang jam 5:00 WIB dari bandara Soekarno-Hatta, Jakarta langsung membubung tinggi di ketinggian 37000 kaki. Pesawat bersih, penuh penumpang dan terasa sejuk dengan interior dominan berwarna biru. Mendarat di bandara Mutiara Palu jam 8:20 WITA.
Tepat jam 9 pagi Toyota HI-Lux double cabin membawa kami bertiga menuju Morowali via Poso (lihat peta, dari titik A menuju B). Sungai banyak terlihat kering. Jalan ditutup selama 2 jam, tepat saat kami memasuki Kebun Kopi, antara Palu-Toboli, karena perbaikan jalan akibat longsor. Toboli adalah pertigaan jalan di pantai timur Sulawesi tempat bertemunya jalan dr Manado-Makassar dan Palu-Makassar. Toboli-Manado 1000km dan Toboli-Makassar 900km.
Istirahat siang, kami makan ikan bakar di resto pinggir pantai kota Lebo, Kab. Parigi. Restoran sepi tanpa nama, tak satupun terlihat tamu kecuali kami bertiga. Hanya tersedia satu box ‘iglo’ berisi ikan baronang. Kami memesan masing-masing satu ikan baronang dengan cah kangkung dan es nutrisari. Kenyang dengan harga terjangkau, Rp. 40.000 per orang. Siap melanjutkan perjalanan di panas terik. Lebo-Poso sekitar 150 km, lebar jalan hanya mampu untuk dua mobil bahkan seringkali kami harus keluar badan jalan saat menyalip truk. Klakson mobil kami terus berbunyi mengingat seringkali motor/sepeda keluar ke jalan raya dari pintu rumah yang dekat sekali ke badan jalan, dengan mendadak.
Setelah 43 km perjalanan, kami sampai di Kec. Tolai, 107 Km menuju Poso. Cukup ramai, terlihat pompa bensin, Tiki dan BNI. Samsurizal Tombolotutu calon bupati yg banyak muncul balihonya di pinggir jalan, banyak modal sepertinya.
Kecamatan Balinggi, 1/2 jam dr Tolai, banyak dihuni warga Bali, pagar rumah kas Bali dan pura, termasuk simbol patung yang dibungkus kain hitam-putih terlihat di pinggir jalan. Sawah hijau dan tanaman coklat banyak terlihat sepanjang jalan di kecamatan ini. Rumah adat Bali ini masih banyak terlihat hingga mendekati kota Poso. Ada cerita bahwa masyarakat Bali di Poso banyak terlibat dalam usaha perdamaian saat kerusuhan etnik terjadi di awal 2000an. Beberapa puing-puing sisa rumah dan bangunan bekas terbakar saat kerusuhan masih terlihat, namun banyak juga sudah terlihat direnovasi. Poso sudah aman dan mulai membangun. Toko mobil Haji Kalla sedang dibangun di kota ini. Antrian bahan bakar bensin terlihat panjang, banyak motor juga membawa jerigen. Entah apa penyebabnya, kuota bbm yang kurang atau penjual eceran yang menimbun?
Kecamatan Sausu di Kabupaten Poso dipisahkan dengan kabupaten Parigi oleh sebuah sungai besar. Sampai di kecamatan Tambarana jam 15:30, berjarak 170 km dari Palu dan 50 km lagi menuju Poso. Kira-kira 40 km sebelum masuk Poso, jalan rusak dan aspal lepas dari badan jalan. Perbaikan sedang dilakukan.
Masuk kabupaten Poso jam 16:30 disambut dua tower BTS (telkomsel?) di kiri/kanan jalan. Rumah-rumah adat Bali masih banyak terlihat dengan tanaman coklat di depannya. Depo Pertamina di sebelah kiri jalan terlihat luas dan bersih, walaupun sempat terbakar saat kerusuhan yang sangat traumatik terjadi beberapa tahun yang lalu. Pusat kota ditandai oleh pusat pertokoan kecil (pasar?) di pojok perempatan. Konon, saat terjadi kerusuhan, pasar ini sangat dijaga oleh aparat keamanan sebagai pusat ekonomi dan tempat pengungsian.
Perjalanan Poso – desa Tomboyali menggunakan jalan raya Poso-Luwuk, kemudian belok ke kanan di pertigaan Taiawa. Jalan sempit dan rusak di beberapa lokasi. Sampai di desa Malino, perjalanan semakin berat setelah melewati desa Sumara, karena memasuki hutan heterogen dengan pohon-pohon berbatang kecil dan gelap, sudah jam 18:30wita dan tanpa signal handphone. Jembatan banyak rusak, sehingga seringkali kami harus menyeberang sungai kecil maupun besar, untungnya di hulu tidak sedang hujan walaupun air sudah menutupi lampu depan mobil dan merendam knalpot. Toyota Hilux memang handal.
Alhamdulillah akhirnya sampai juga kami di kampung Tambayoli pada jam 20:00 wita, setelah total 11 jam perjalanan dari Palu. Desa terlihat terang dan hidup di malam hari karena mendapat bantuan listrik dari perusahaan tambang nikel. Desa, yang masuk kecamatan Bungku Utara, kabupaten Morowali ini berada di dekat muara laut lepas Sulawesi bagian timur, berisi tak lebih dari 200 rumah, yang sebagian warganya bermatapencaharian sebagai petani, peternak dan pekerja tambang. Banyak rumah mulai dibangun dan ekonomi mulai menggeliat tumbuh karena pertambangan mulai beroperasi beberapa bulan yang lalu, efek ganda (multiplier effect) telah terjadi. Semoga keberadaan perusahaan tambang disana bisa menjadi berkah untuk masyarakat sekitar dan perusahaan. Amin.
WOW!! pengalaman yang menakjubkan!!
cerita yang menarik