Penulis: Jeff Rubin
Tebal Buku: 262 halaman
Penerbit: palgrave macmillan
Tahun: 2012
Setelah bukunya Your World Is About To Get A Whole Lot Smaller, laris terjual, Jeff Rubin, dalam buku barunya mengemukakan bahwa era minyak murah telah usai dan akan berujung pada berakhirnya masa pertumbuhan ekonomi. Lalu, apa artinya kehidupan tanpa pertumbuhan ekonomi?
Sebagai pembuka bukunya, Rubin memulai dengan informasi tahun 1889, tentang robohnya petinju akibat pukulan lawan yang menggunakan gelang besi (bare-knuckle) di kepalan-tangannya. Sejak saat itu, penggunaan sarung tinju mulai diwajibkan dalam setiap pertandingan tinju. Namun, korbanpun sering tak terhindarkan akibat pukulan di kepala yang merusak otak atlit. Ilustrasi ini untuk menunjukkan bahwa usaha perbaikan suatu sistem bisa menyebabkan kerusakan dalam hal lainnya. Hal ini menurut Rubin juga terjadi saat AS mengambil kebijakan terus-menerus menggelontorkan uang ke dalam sistem ekonomi untuk mengamankan pertumbuhan ekonomi negaranya, seperti bail-out, quantitative easing atau skema lainnya, yang justru bisa menyebabkan keterperosokan lebih dalam, karena tanpa mengkaitkannya pada faktor tingginya harga minyak dunia.
Perubahan kecepatan pertumbuhan ekonomi
Harga minyak saat ini sangat menentukan kecepatan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Seperti halnya manusia yang membutuhkan makanan, maka demikian pula dengan ekonomi yang membutuhkan energi. Sehingga bisa dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah fungsi konsumsi energi. Dan sumber energi yang sangat penting untuk ekonomi global adalah minyak.
Bank Sentral dan kementerian ekonomi selalu menghitung potensial pertumbuhan ekonomi supaya negara dapat berjalan dengan aman dan lancar. Ada dua hal yang biasa dipergunakan sebagai acuan potensial ekonomi, yaitu pertumbuhan produktifitas, yang biasa juga disebut sebagai perubahan keluaran per individu, dan yang kedua adalah pertumbuhan tenaga kerja.
Begitu pentingnya Pertumbuhan Ekonomi, bahkan pimpinan Federal Bank, Ben Bernanke, atau gubernur Bank of Canada seringkali menyebut sustainability untuk mengatakan kelanggengan pertumbuhan ekonominya. Para pimpinanan Bank Sentral ini meyakini bahwa bila terjadi pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari seharusnya maka dianggap telah terjadi gangguan sistem, slack of the system. Dari sisi produktifitas, ini berarti banyak pabrik telah berproduksi kurang dari kapasitas optimumnya, atau pabrik bekerja hanya dengan satu giliran (shift) saja, bukan dua giliran seperti seharusnya. Dalam hal tenaga kerja, ini juga berarti banyak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja atau dengan kata lain banyak perusahaan tidak membuka lowongan kerja. Kegagalan mencapai tingkat pertumbuhan potensial ekonomi berarti meningkatnya pengangguran, atau menurunnya indeks lowongan kerja.
Bila ekonomi berkembang melewati batas potensial pertumbuhannya maka tingkat pengangguran akan turun, yang biasanya dianggap sebagai hal yang positif. Namun, rendahnya pengangguran bisa berarti tingginya biaya belanja, yang berujung pada tingginya jumlah uang beredar hanya untuk mendapatkan sedikit barang dan jasa, atau tidak cukup banyak barang dan jasa tersedia untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
Dalam kondisi seperti di atas, para pekerja punya posisi tawar untuk menuntut gaji yang lebih tinggi terhadap perusahaan, yang berarti semakin meningkatnya inflasi.
Bagi para ahli ekonomi yang mengamati status kesehatan finansial suatu negara, mengetahui posisi tingkat pertumbuhan ekonomi adalah sangat penting untuk menentukan strategi pengamanan, sehingga bila terjadi gangguan atau slack maka para pengambil kebijakan akan segera menggelontorkan stimulus, yang diyakini akan mampu meningkatkan pertumbuhan tanpa harus menanggung inflasi. Namun bila ekonomi sudah mendekati tingkat potensialnya, alih-alih menambah pertumbuhan, malahan hanya akan menyebabkan tingginya inflasi.
Semakin tinggi perbedaan antara portensial pertumbuhan ekonomi dengan aktual produksinya, biasa disebut output gap, akan memacu para pengambil kebijakan untuk segera mengambil tindakan untuk menutupnya. Tahun 2008, Bank Federal AS memperkirakan output gap ekonomi negaranya sebesar 6% dibawah tingkat potensial GDPnya sehingga Bernanke menyatakan bunga bank akan sangat rendah, bahkan mendekati nol sampai setidaknya akhir 2014 (buku ini diterbitkan 2012), untuk menggairahkan berputarnya roda ekonomi.
Menurut Rubin, menetapkan bunga hutang rendah adalah strategi kebijakan ekonomi konvensional yang lazim diterapkan untuk mengamankan ekonominya. Dengan dalih potensial pertumbuhan ekonomi, kebijakan bank sentral AS ini ternyata juga terjadi di Eropa dan Amerika Utara untuk menutup output gap yang cukup besar. Signal itu ditunjukkan dengan semakin naiknya jumlah angka pengangguran yang hampir dua kali lipat dibanding dekade sebelumnya di sebagian negara-negara kaya seperti 34 negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Devolopment), yang berarti juga tingginya kapasitas tidak terpakai dalam rantai produksinya.
Satu hal yang terlupakan dalam pengambilan kebijakan stimulus untuk memacu mesin ekonomi ini, menurut Rubbin, adalah harga minyak satu dekade yang lalu adalah masih $20 per barrel, (sekarang lebih dari $100/barrel). Dan, harga minyak tidak dianggap sebagai variabel yang dapat dipergunakan untuk menentukan seberapa besar stimulus diperlukan untuk mengamankan pertumbuhan, kecuali komponen tingkat produktifitas dan tenaga kerja. Bila saja bank-bank sentral turut memperhitungkan faktor harga minyak, mungkin kebijakan moneter akan memutuskan lebih sedikit uang digelontorkan kedalam sistem ekonomi. Politisi mungkin juga akan kebih berhati-hati untuk turut menyetujui skema paket-paket stimulus yang dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Lalu, bagaimana bila pola permainan sistem ekonomi telah berubah? Bagaimana bila ternyata kebijakan yang diambil oleh pihak-pihak berwenang ternyata salah?
Belum lama berselang ketika harga minyak dunia $20/barrel, AS adalah lokomotif pertumbuhan ekonomi global. Washington menikmati surplus anggaran, tingkat pengangguran rendah, harapan pensiun muda yang menarik karena nilai simpanan yang tinggi berdasar pengamatan bursa saham Dow Jones. Namun mimpi itu berantakan, dan sekarang pertumbuhan ekonomi AS sedang dalam perjuangan dimana defisit anggaran mencapai lebih dari satu trilyun dollar, dan hampir 13 juta pengangguran, serta pada saat yang sama harga minyak dunia mencapai empat kali lipat. Bukan suatu hal yang kebetulan.
AS bukanlah satu-satunya negara maju yang menderita karena tingginya biaya energi. Dari Eropa hingga Jepang, semua pemerintahan sedang berjuang untuk mengamankan pertumbuhan GDPnya, namun alih-alih semua usaha perbaikan ekonomi membawa keberhasilan, justru malah menambah kesulitan. Defisit anggaran AS tidak pernah setinggi saat ini setelah perjuangan ekonomi yang keras pasca Perang Dunia II. Akhirnya, ekonomi tidak dapat tumbuh lebih tinggi karena kemampuan membeli bahan bakar sangat rendah. Realitas menunjukkan bahwa harga minyak sangat menentukan kecepatan pertumbuhan ekonomi.
Akhir pertumbuhan ekonomi berarti pemerintah membutuhkan perubahan radikal untuk mengelola ekonominya. Saat ini, Fiskal dan Kebijakan Moneter masih menjadi dua hal utama penentu langkah pertumbuhan ekonomi yang sehat. Namun dengan tiga digit harga minyak per barrel, kebijakan ekonomi seperti tersebut di atas sudah menjadi bagian masa lalu atau harus mencari terobosan kebijakan yang berbeda.
Kebijakan Quantitative Easing adalah cara bank sentral AS membanjiri uang ke dalam sistem ekonominya dengan tujuan memutar roda produksi. Penerbitan Surat Utang berjangka waktu lama (bond) dengan ROR rendah diharapkan dapat membantu mengamankan ekonominya disaat ketidaakpastian finansial yang tinggi sehingga dapat lebih menarik investasi. Investor biasanya lebih suka menyimpan dananya dalam bentuk Surat Utang saat badai finansial mendera. Sebagai bagian dari program Quantitative Easing ini, Fed Bank juga melakukan penetrasi pasar penjaminan kredit untuk dapat mengatur turunnya bunga punjaman secara efektif, sehingga dapat menekan biaya kredit perumahan. Suatu upaya Fed untuk mendamaikan kembali pasar perumahan.
Dengan rendahnya bunga pengembalian Bond, Fed berharap mendapatkan dollar lebih banyak dari para investor. Rendahnya permintaan dollar akan menyebabkan pelemahan nilai mata uang $, yang akan memperkuat sektor ekspor nasional dan merangsang tumbuhnya produk dalam negeri dibanding barang impor dan berujung pada berkurangnya pengangguran.
Bank Federal meyakini bahwa implementasi kebijakan ekspansi moneter akan mencegah ekonomi AS terperosok lebih dalam dari apa yang terjadi pada tahun 2008. Namun Quantitative Easing masih didasarkan pada pemikiran ekonomi konvensional yang menganggap Pertumbuhan Ekonomi sebagai tujuan akhir. Namun yang terjadi justru harga minyak tetap tinggi berapapun banyaknya uang beredar.
Minyak adalah bahan bakar pertumbuhan
Lebih dari dua pertiga bagian dari setiap barrel minyak adalah untuk keperluan transportasi. Untuk volume yang sama, minyak menghasilkan energi dua kali lipat lebih banyak daripada penggunaan batubara, atau empat kali lipat penggunaan gas alam. Itulah sebabnya, seberapapun banyaknya pemboran shale gas dilakukan di Amerika Utara, tetap tidak mampu menggantikan minyak sebagai bahan bakar transportasi. Kurang dari 1% total kendaraan di AS menggunakan propan, gas alam cair yang umumnya dipergunakan sebagai bahan bakar. AS sudah banyak melakukan usaha untuk mengembangkan energi altetnatif, namun tetap saja belum mampu menggantikan fungsi minyak bumi.
Harga minyak bumi masih menjadi faktor utama pertumbuhan ekonomi dunia. Harga minyak yang rendah akan memacu pertumbuhan, sebaliknya harga minyak yang tinggi tak terjangkau akan menghentikan mesin pertumbuhan.
Hubungan antara harga minyak dan GDP bersifat linear. Selama empat dekade, menurut Rubbin, rata-rata 1% kenaikan konsumsi minyak akan menaikkan 2% pertumbuhan GDP global. Ini berarti bila pertumbuhan GDP mencapai 4% seperti saat sebelum resesi 2008, konsumsi minyak naik 2% per tahun. Saat harga minyak $20/barrel, kenaikan konsumsi minyak 2%/tahun masih cukup masuk akal, namun saat mencapai harga $100/barrel (puncaknya $147%/barrel, 2008), bisa dibayangkan kebutuhan uang yang harus tersedia, bila pertumbuhan konsumsinya 2%/tahun, pasti cukup menyebabkan runtuhnya ekonomi AS.
Selama empat dekade, fakta menunjukkan bahwa setiap kali harga minyak naik tinggi, saat itu juga ekonomi global memgalami resesi. Tahun 1973, saat perang Yom Kippur, menuntut OPEC memutus ekspor ke AS dan negara-negara sahabat Israel lainnya sehingga tahun berikutnya GDP AS mengalami penurunan 2,5%. Kemudian berturut-turut saat Revolusi Iran dan Perang Irak.
Fatih Birol, ahli ekonomi di IEA (International Energy Agency), memperkirakan bahwa pendapatan pertahun 12 negara anggota OPEC mencapai tidak kurang dari satu trilyun dollar pada tahun 2011. Sementara itu AS mengalami defisit anggaran sebesar satu trilyun dollar untuk menyelamatkan ekonominya yang berbasis minyak. Ini berarti akan sama bila AS langsung membelanjakan stimulus ekonominya ke negara-negara pengekspor minyak.
Menurut IEA, produksi minyak konvensional telah mencapai puncaknya dan akan segera terus turun selama beberapa dekade kedepan, meskipun ini bukan berarti tidak lagi akan ditemukan cadangan minyak baru. Rubbin meyakini bahwa cadangan minyak baru akan terus ditemukan. Yang dimaksud penurunan produksi minyak konvensional disini adalah bahwa masa depan pertumbuhan ekonomi akan disokong oleh minyak berharga mahal, dan berasal dari sumber minyak non-konvensional seperti tar sands, ladang minyak di laut-dalam atau oil shale, yang kurang ramah lingkungan dengan resiko mulai dari emisi karbon hingga potensi kontaminasi air tanah.
Ditemukannya berbagai cadangan minyak non-konvensional akan bermuara pada satu hal, yaitu harga minyak mahal. Seperti diketahui, bila harga minyak naik, ekonomi akan terkontraksi dan berakibat resesi. Kebutuhan minyak akan turun dan berlanjut dengan merosotnya harga minyak. Secara perlahan, ekonomi akan kembali pulih dan kebutuhan minyak kembali tinggi. Demikian siklus harga minyak dan pertumbuhan ekonomi yang terus berlangsung.
Terlihat disini bahwa bukan keberadaan cadangan fisik minyak yang menjadi isu utama dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, namun kebih pada persoalan biaya ekonominya. Dengan kata lain, sumberdaya minyak hanya akan berarti secara ekonomi bila memang tersedia uang untuk membelinya.
Tugas industri energi tidak hanya mencari cadangan minyak, namun juga mencari cara sehingga minyak tersebut secara ekonomi memang mampu untuk dipergunakan. Dan hal inilah, yang menurut Rubbin gagal dilakukan oleh para industrialis perminyakan dunia. Sumberdaya minyak mungkin saja ditemukan, namun biaya produksi yang tinggi menyebabkan ekonomi dunia tidak mampu menanggungnya.
Saat ini dunia membutuhkan 90 juta barrel minyak per hari (2012) untuk dibakar. Dengan kondisi pertumbuham ekonomi dunia yang sangat rendah, mungkin tidak perlu lagi dibutuhkan lebih banyak minyak untuk dibakar, atau malah lebih sedikit atau bahkan tidak dibutuhkan lagi membongkar cadangan minyak tar sands atau mengangkat minyak yang berada di dasar Samudra Artik.
Puncak kejayaan minyak (oil peak) bisa juga berarti ‘akhir pertumbuhan ekonomi’.
Zerro-sum world
Zerro-sum world adalah permainan dimana negara pemenang memperoleh semua keuntungan dari kekalahan pihak lain. Pada tahun 1980an, China memgkonsumsi minyak tak lebih dari 2 juta barrel per hari, dan sekarang (2012) mencapai 9 juta barrel per hari. Saat itu produksi minyak dunia masih terasa lapang untuk memenuhi kebutuhan China, namun saat kebutuhan minyak dunia begitu cepat tumbuh seperti saat ini, maka negara lain yang tak cukup mampu dengan harga minyak tinggi terpaksa harus menyerahkan pasar minyak ke China.
Zero-sum game dalam hal memperebutkan pasokan minyak dunia, diperkirakan akan dimenangkan oleh China atas ‘kehilangan’ dipihak AS. AS mengkonsumsi minyak lebih dari 20% dari produksi dunia, sementara hanya mampu memproduksi kurang dari 10%, sehingga harus melakukan impor untuk menutup sisa 10% kebutuhan minyaknya. Namun bila pertumbuhan ekonomi China terus melewati AS maka China akan mempunyai keunggulan komparatif dalam kompetisi global untuk memperebutkan lebih banyak minyak.
Kebutuhan akan minyak di negara sedang berkembang semakin cepat tumbuh dibanding di negara maju. Konsumsi minyak di China dan India tumbuh sebesar 10% per tahun dan cenderung semakin meningkat. Pada tahun 2010, China menambah konsumsinya hampir 1 juta barrel per hari. Sebaliknya, sebelum resesi ekonomi 2008, kebutuhan minyak negara-negara OECD mencapai 50 juta barrel per hari, namun pada tahu 2009 telah turun menjadi 45 juta barrel per hari. Artinya, harga minyak dunia sebesar $100 per barrel bukan masalah besar bagi negara-negara separti China atau India yang sedang haus akan minyak, namun menjadi masalah besar bagi pasar minyak tradisional seperti OECD. Lalu, mengapa China dan India mampu memghadapi harga minyak diatas $100 per barrel?
Banyak pihak beranggapan bahwa kemampuan daya beli minyak bangsa China atau India ini disebabkan oleh adanya subsidi yang besar dari pemerintahnya. Tidak sepenuhnya benar. India memberikan subsidi untuk harga bensin dan solar tidak lebih dari $10 milyar per tahun, lebih kecil dari pendapatan pajak yang dipergunakan AS untuk subsidi produksi ethanol berbahan dasar jagung. AS memang tidak memberi subsidi pada kilang minyak supaya dapat menjualnya dengan harga murah, tapi negara mengenakan pajak sangat rendah pada rakyatnya untuk belanja bahan bakar.
Konsumsi minyak di negara-negara sedang berkembang, yang sedang bagus pertumbuhan ekonominya seperti China dan India, lebih sensitif terhadap pertumbuhan pendapatan per capita, daripada tingginya harga minyak. Bila anda baru pertama kali memiliki mobil, maka kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bukanlah hal besar untuk dipikirkan. Di India dan China, pendapatan tumbuh lebih cepat daripada di Amerika Utara, Eropa atau Jepang sekalipun. Di China dan India, banyak mobil baru terjual bukan untuk menggantikan mobil tua, melainkan untuk menggantikan sepeda sehingga kebutuhan BBM jelas semakin tinggi. Selain itu, China dan India masih menggantungkan minyak sebagai alternatif utama untuk pembangkit listrik bila terjadi masalah dengan batubara. Energi gas dan air belum menjadi alternatif utama pembangkit listrik seperti di negara-negara OECD.
Negara-negara OECD telah menjadi pasar minyak yunior, yang sebelumnya pernah mencapai puncak saat harga minyak antara $70-$80 per barrel. Meskipun AS masih menjadi konsumen minyak tertinggi, namun telah mengalami penurunan sebesar 10%, atau 2 juta barrel per hari, sejak sebelum resesi dan cenderung terus semakin turun. Dalam dunia zero-sum, penurunan konsumsi minyak negara-negara OECD sebenarnya memang tak terhindarkan bila melihat keberlanjutan pertumbuhan ekonomi China dan India.
Lingkungan
Tentang lingkungan, Rubbin mengakui bahwa ada kaitan langsung antara kenaikan temperatur global dengan emisi karbon karena ulah manusia, meskipun banyak pihak lain juga beranggapan bahwa itu hanyalah fenomena natural yang mungkin disebabkan oleh aktifitas pembakaran matahari. Namun, mengingat minyak adalah ‘bahan bakar’ pertumbuhan ekonomi, maka dengan adanya resesi ekonomi, secara langsung akan juga mengurangi emisi karbon.
Berbagai upaya penurunan emisi karbon telah diusahakan dengan melakukan serangkaian diskusi dan kerjasama antar negara di dunia yang intinya adalah penyebab emisi harus dikenakan biaya mahal, dengan harapan akan mengurangi emisinya. Namun ternyata hal inipun menjadi masalah karena negara-negara sedang berkembang menganggap bahwa jumlah kumulatif emisi karbonlah yang harus menjadi basis perhitungan penyebab perubahan iklim, bukan total emisi tahunan. Bila konsep ini diterima maka AS jelas menanggung biaya emisi terbesar, meskipun total emisi karbon terbanyak saat ini adalah China. Emisi karbon AS secara kumulatif sejak Revolusi Industri sebesar 27% dari total emisi dunia, sementara emisi China hanya 9,5%. Bila hal ini belum tuntas, maka akan sulit untuk menuntut negara lain mengatur kebijakan emisi terhadap industri domestiknya.
Mengingat masih rumitnya perhitungan kredit karbon, maka resesi ekonomi bisa menjadi jalan keluar sementara untuk mengurangi emisi karbon, bahkan tanpa perlu usaha keras perdebatan ditingkat legislatif sekalipun. Sebagai contoh adalah AS, pada saat resesi ekonomi tahun 2008, penurunan emisinya mencapai 3% dan pada 2009 sebesar 7%.
Penutup
Di akhir bukunya, Rubbin berpendapat bahwa, mulai dari kenyataan tentang semakin turunnya kecepatan pertumbuhan ekonomi AS, defisit anggaran dan potensi bencana lingkungan karena emisi karbon, maka bisa diambil kesimpulan bahwa ungkapan pertumbuhan ekonomi akan langgeng, adalah salah. Melainkan hanya sementara.
Pemerintah harus berhenti untuk terus berusaha melindungi ekonominya dari serbuan biaya energi tinggi dengan cara penghematan dan efisiensi penggunaan bahan bakar. “.. do with less is better than always wanting more”, ini penggalan kalimat terakhir dari Jeff Rubin, yang sebetulnya adalah inti sari dalam buku ini.
Kritik Buku
Buku ini enak dibaca dari awal hingga akhir, mudah dicerna dan cukup ‘ringan’ namun tetap memberikan informasi yang bagus tentang resesi 2008 dan dampaknya di Eropa serta hubungannya dengan harga bahan bakar fosil dunia.
Tinggalkan Balasan