Tulisan yang tayang di media berita elektronik ini, http://pedomannews.com/umum/26171-refleksi-akhir-tahun-2013-tentang-pertambangan telah mengalami pembaruan di paragraf akhir.
Negara kita tidak lagi mengijinkan ekspor mineral dalam bentuk bijih (masih berupa batu/tanah) tanpa melalui pengkayaan mineral, atau lebih jelasnya, tanpa pengolahan lebih lanjut sehingga kadar mineral relatif meningkat hingga mencapai persentase tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah, karena telah disisihkannya mineral ikutan lainnya. Ini pesan utama dalam UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang kemudian dilanjutkan dengan terbitnya Permen Pertambangan No. 7/2012.
Tidak ada yang salah dalam UU ini, bahkan telah beberapa kali dimuat di media cetak bahwa asosiasi pengusaha pertambanganpun turut mendukung isi UU ini, yang terkandung maksud luhur di dalamnya, khususnya dalam klausul ‘menimbang’ yaitu: untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.
Pertambangan mineral nikel, emas, tembaga, timah, besi mangan, timbal dan mineral lainnya (ada 14 mineral), adalah yang menjadi sasaran utama UU ini, tidak termasuk batubara berkalori tinggi yang dianggap tidak lagi perlu dikayakan kandungan kalorinya sehingga diijinkan untuk langsung ekspor.
Persoalan mulai muncul ketika langkah-langkah penetapan UU mulai dijalankan, mulai dengan program Clean and Clear, kemudian penerapan Kuota Ekspor yang pengurusannya melibatkan dua kementrian, yaitu Pertambangan dan Perdagangan, pajak ekspor mineral yang mencapai 20%, dan yang terakhir adalah tersedianya pabrik pengolahan dan pemurnian produk tambang (smelter).
Clean and Clear
Clean and Clear adalah program direktorat pertambangan untuk mengklarifikasi bahwa semua Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan oleh Bupati tidak bermasalah secara hukum. Hal utama yang menjadi perhatian adalah status hukum lahan, misalnya tumpang-tindih atau sengketa lahan. Dengan banyaknya IUP yang telah diterbitkan oleh Pemda, khusunya IUP batubara di Kalimantan dan nikel di Sulawesi, usaha dirjen Pertambangan dengan program ini patut didukung, untuk mencegah terjadinya sengketa lahan. Mengingat ketidak-siapan daerah dalam memgelola database status lahan secara terintegrasi dengan pihak-pihak terkait lainnya, seperti pertambangan, kehutanan, pertanian, lingkungan hidup tata-kota dll., sehingga sudah seharusnyalah ada instansi pemerintah yang memgambil alih kebutuhan ini. Dirjen Pertambangan sudah memulainya dengan konsep GISnya sejak tahun 1990an dan cukup efektif dalam mengelola KK(Kontrak Karya) maupun PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara).
Kuota Produksi
Berdasar status Clean and Clear, Laporan Eksplorasi dan Feasibility Study yang telah dilakukan perusahaan tambang maka Direktorat Pertambangan memberikan rekomendasi kuota produksi sebagai bentuk pelaksanaan UU No. 4/ 2009 dan diserahkan ke departemen Perdagangan untuk memperoleh Ijin Ekspor Terbatas. Untuk proses ini bisa membutuhkan waktu hingga 3 bulan karena kekurangan tenaga-kerja du instansi terkait. Perhitungan keekonomian tambang jelas akan bermasalah karena perencanaan tambang harus dirubah sesuai dengan kuota produksi yang seringkali lebih kecil daripada perencanaan ‘cashflow’ yang dibuat oleh pengusaha saat mengajukan IUP.
Pajak ekspor mineral 20%
Dalam UU No. 7 telah ditetapkan bahwa pajak ekspor dikenakan terhadap mineral sebesar 20%. Ini menjadi persoalan pengusahaan tambang, khususnya nickel yang pernah mencapai harga $27.000 per ton di LME (London Metal Exxhange) pada bulan Februari 2011 dan terus menurun hingga tak lebih dari $15.000 per ton selama semester dua tahun ini, apalagi ditambah 20% pajak.
Smelter
Benar bahwa pemerintah memang tidak mewajibkan pemilik IUP harus membangun smelter, melainkan bisa bekerjasama dengan pemilik smelter dalam negeri lainnya. Namun, dimana smelter nikel, emas, aluminium di Indonesia saat ini? Kalaupun ada, itu milik perusahaan-perusahaan besar saja, seperti Inco, Aneka Tambang, Freeport. Bagaimana dengan perusahaan tambang skala kecil-menengah? Membangun smelter, termasuk pembangkit listrik di dalamnya, adalah entitas bisnis yang berbeda dengan usaha penambangan. Mengapa pemerintah tidak membangun smelter untuk menampung bijih produksi tambang-tambang yang telah diberinya ijin IUP selama ini untuk berproduksi?
Beberapa hal yang perlu diketahui tentang smelter ini adalah:
- Proyek hilir pertambangan padat modal dengan marjin keuntungan rendah sehingga dibutuhkan waktu pengembalian modal yang cukup lama, bahkan bisa melebihi umur tambang yang dimilikinya
- Membutuhkan pembangkit listrik yang juga padat modal, bahkan bisa melebihi nilai IUP itu sendiri, apalagi dilingkungan pertambangan yang biasa berada di lokasi terpencil
- untuk membangun smelter skala kecil seperti yang berbahan mentah nikel, dibutuhkan waktu 18 bulan, sementara untuk smelter skala menengah ke atas membutuhkan waktu 2-3 tahun
- Dibutuhkan pasokan bahan tambang (bijih) yang cukup sehingga smelter bisa bekerja dalam kapasitas optimal, sesuai cash flow yang direncanakan.
Harian Kompas, 28 Desember 2013, memuat kesanggupan 253 perusahaan tambang untuk mematuhi Pakta Integritas, yang termasuk di dalamnya kesanggupan perusahaan tambang untuk memenuhi kewajiban menyediakan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter). Pada akhir tahun 2012, banyak dimuat media bahwa dirjen Pertambangan menyatakan 154 perusahaan telah menyerahkan proposal pembangunan smelter. Banyak pengusaha pertambangan hanya tersenyum sinis dengan ekspos pejabat pertambangan tentang hal di atas mengingat kompleksitas pembangunan smelter.
Betulkah angka-angka tersebut di atas? Cobalah data tersebut diperinci lebih lanjut untuk mengetahui status kelanjutan proposal tersebut. Berapa persen realisasi kemajuan pembangunannya? Mengapa pejabat pertambangan sudah cukup senang hanya dengan proposal saja?
Amanat UU No. 4 tahun 2009 patut dan harus kita dukung. Lalu bagaimana dengan pengangguran, yang menurut asosiasi pertambangan sudah mencapai puluhan ribu orang, akibat tutupnya industri pertambangan? Bagaimana komitmen pemerintah untuk melindungi usaha kecil-menengah? Freeport dan Newmont sudah menyatakan bahwa awal 2014 akan menutup usahanya bila tidak tersedia smelter di Indonesia.
Mengingat Menteri Pertambangan Jero Wacik pernah mengatakan bahwa prioritas utama sasaran UU No. 7/2009 adalah perusahaan kecil karena lebih mudah diatur, sedangkan perusahaan besar seperti Freeport atau Newmont adalah prioritas berikutnya, maka muncul praduga apakah ini berarti akan mengalahkan yang kecil dan membela yang besar? Bukti kecurigaan ini mulai tampak ketika wacana menurunkan batas ‘peningkatan nilai tambah’ (pengkayaan) mineral akan diturunkan. Seperti diketahui bahwa Freeport/Newmont telah melakukan pengolahan di lokasi tambangnya namun tidak mampu memenuhi target persentase pengkayaan mineral emas, perak dan tembaga sebesar 99% seperti yang ditetapkan dalam Permen ESDM No. 7/2012. Mari kita tunggu seberapa serius pemerintah menjalankan UU dan PerMennya di tahun politik 2014. Apakah akan melindungi MNC seperti Newmont dan Freeport, dan membunuh usaha kecil-menengah, yang anaknya sendiri, atau tegar menegakkan amanah UU untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara BERKEADILAN?
Yang parah setau saya, di pemerintahan itu untuk dapat dokumen clear and clear bisa keluar duit ratusan juta dari pengusaha. ckckckckc
[…] Refleksi akhir tahun 2023 tentang Pertambangan […]