Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Februari, 2014

Ramayana Ballet

Tepat hari pertama kalender baru 2014 mulai dipergunakan, kami bertiga sampai di Yogya. Tak banyak berbeda yang biasa kami lakukan di kota ini, tapi selalu ingin untuk kembali. Entah mantra apa yang ditiupkan kota ini hingga banyak orang percaya bahwa siapapun yang pernah tinggal untuk sekolah ataupun bekerja di sini, akan selalu merindukan untuk kembali walaupun hanya sebentar saja. Namun ada baiknya perjalanan singkat ini aku tuliskan sebagai pengingat kecil jalan-jalan santai keliling keraton dan menonton pagelaran sendratari Ramayana di Prambanan.

Keliling Keraton
Kali ini gak banyak yang bisa diceritakan, karena keraton yang sedianya menjadi minat utamaku liburan kali ini ternyata harus tutup dan tidak menerima kunjungan wisatawan karena sedang berduka atas wafatnya adik Sultan HB X.

Di sekitar keraton banyak mas becak yang menawarkan jasa mengantar tamu sekaligus menjadi pemandu wisata keliling keraton sambil mengunjungi cagar budaya serta bercerita tentang sejarahnya. Tarif murah ditawarkan sebesar Rp25 ribu saja dan membawaku keliling keraton. Menurut mas becak, yang menemaniku keliling keraton siang itu, almarhum adalah pejabat keraton yang mengurusi karyawan, kira-kira semacam pejabat HRD atau kepegawaian dalam perusahaan atau pemerintahan.

Penjaga Gerbang Keraton

Penjaga Gerbang Keraton

Pintu gerbang bagian dalam keraton berbahan kayu tebal hitam yang tinggi, dalam keadaan tertutup. Seorang pria sepuh bersahaja menjaga pintu gerbang, berbusana Jawa lengkap dengan kain batik, berkemeja surjan biru gelap bergaris hitam melekat di badan, dan belangkon tanpa beralaskan kaki, tak lupa keris terselip di punggungnya dalam stagen yang melingkar erat di badannya, terlihat duduk diam di atas dingklik panjang dengan senyum ramah di wajahnya, saat para wisatawan memintanya menjadi obyek fotonya. Sementara beberapa penjaga keraton lainnya tampak beristirahat dalam pondok kecil tak jauh dari pintu gerbang.

Bangsal Pancaniti

Bangsal Pancaniti

Di depan pintu gerbang, berdiri bangunan besar beratap joglo semacam pendopo, yang dinamai Bangsal Pancaniti. Terlihat lantai berukuran 5x5x1 m di bagian tengah yang lebih tinggi dari lantai sekitarnya tanpa meja  kursi di atasnya. Menurut sang pemandu, bangsal Pancaniti ini dulu digunakan sebagai ruang sidang pengadilan keraton, dan lantai yang tinggi berpagar besi itu adalah tempat duduk sang hakim. Bangsal ini sekarang dipergunakan sebagai tempat pentas seni karawitan, macapat (membaca puisi Jawa yang dinyanyikan) dan tari Jawa.

Tepat di luar pintu masuk area keraton sebelah timur adalah tempat becakku parkir dan di depannya adalah rumah milik keluarga Sultan. Menurut mas becak, setiap putra/putri keraton yang telah menikah, harus bertempat tinggal di luar keraton. Kebetulan mas becak ini berdomisili sekitar keraton, yang bapaknya bekerja sebagai penjaga keraton.

Becak berjalan ke selatan di luar dinding timur keraton, lalu berbelok ke arah barat menuju alun-alun Kidul, mampir sebentar di tempat tinggal Sultan HB VII. Rumah tembok yang tak terlihat besar dengan taman kecil di depannya ini sekarang dipergunakan untuk memproduksi batik sekaligus sebagi tempat menjualnya.

Kereta Kencana HB VII

Kereta Kencana HB VII

Kereta kebesaran terlihat parkir di samping rumah dan dua foto besar berdampingan, sultan HB VII beserta permaisurinya, terpampang di dinding teras rumah seolah menyapa para tamunya. Foto tua selalu berkesan magis, menurutku. Sebuah patung besar perempuan tua sedikit menutupi jalan masuk ke dalam rumah, tidak jelas merepresantikan siapa. Di bagian dalam rumah banyak dipenuhi kain batik dan lemari tua. Banyak wisatawan sedang bertransaksi kain batik dengan para ibu penjaga rumah. Di bagian samping luar rumah adalah tempat prosesi pembuatan kain batik.

HB VII dan Permaisuri

HB VII dan Permaisuri

Bangunan sebelah rumah sultan HB VII adalah masjid tua yang seharysnya menjadi satu bagian dengan rumah sultan HB VII. Menurut mas becak, setiap tiang masjid ini dibuat dari satu pohon tunggal.

Perjalanan dilanjutkan ke arah barat, melewati alun-alun Kidul, yang terkenal dengan dua pohon beringin besar di tengahnya. Ada kepercayaan bahwa seseorang akan selalu gagal berjalan melewati tengah-tengah antara ke dua pohon tersebut dengan mata tertutup.

Rumah putra HB VII

Rumah putra HB VII

Becak mampir di kediaman putra HB VII. Rumah berpendopo besar dengan banyak tiang kayu ukir berwarna coklat dan atap yang juga berukir megah. Sebagian dari pendopo ini dipergunakan sebagai restoran. Sepi tanpa pengunjung. Prasasti hitam dari batu terpasang di depan pendopo dengan pahatan tulisan berwarna keemasan yang isinya menyatakan bahwa rumah ini pernah digunakan sebagai studio radio, cikal-bakal Radio Republik Indonesia, pada tahun 1928-1934. Berjalan ke belakang melewati samping barat rumah, terdapat musholla besar, redup kurang cahaya. Di bagian belakang rumah tampak berderet puluhan kamar dengan tempat tidur kecil berseprai putih tertata rapi. Masih menurut mas becak, kamar-kamar ini juga disewakan bila ada tamu yang berminat menginap. Terbayang sepi dan redup di sepanjang lorong saat malam hari. Wingit…

Tamansari

Tamansari

Becak kembali berjalan dan berhenti di Tamansari, pemandian sultan dan para selir keraton. Di antara kolam para selir dan kolam sang raja, terdapat bangunan berjendela tinggi. Menurut cerita, dari jendela ini sang raja memanggil selir pilihannya untuk bergabung dengannya berendam di kolam raja. Banyak sekali pengunjung di Tamansari, yang memerlukan tiket untuk memasukinya.
Perjalanan berbecak keliling keraton berhenti di pintu belakang sebelah barat, tepatnya di bangsal Kemagangan.

Ramayana Ballet, Prambanan

Pelakon Ramayana

Pelakon Ramayana

Anak-anakku

Anak-anakku

Ini adalah obyek wisata yang memang sudah masuk dalam prioritas kunjungan ke Yogya saat itu. Sendratari Ramayana diselenggarakan secara berkala di area sekitar candi Prambanan, Yogyakarta. Pada bulan Mei s/d Okt pentas malam hari di tempat terbuka berlatar-belakang candi Prambanan, sedangkan bulan-bulan lainnya, musim hujan, pentas di dalam ruang tertutup. Tiket VIP berharga Rp. 200 ribu. Pentas hari itu dilakukan dua kali, jam 16:00 dan 19:30 dalam ruangan. Ruang pentas tertata apik, lantai luas di bagian tengah dengan bangku penonton berundak mengelilingi bagian kiri-kanan dan depan. Gamelan dan pesinden berada di latar depan. Sorot lampu berwarna-warni dan sistem pengeras suara yang melantunkan bunyi keras-lemah gamelan dengan irama yang cepat-lambat mengiringi tarian, cukup memberikan nuansa dramatik dalam kisah Ramayana.Sendratari disajikan dalam empat babak dengan jeda di masing-masing babak memberikan cukup waktu untuk sedikit menikmati hidangan yang bisa dibeli di depan pintu ruang pentas.

Rahwana dan Shinta

Rahwana dan Shinta

Gerak gemulai Dewi Shinta dari semua lekuk tubuhnya mulai dari jentikan jemari lentiknya, lambaian selendang hingga kibasan kecil tumitnya untuk memindahkan ujung kain panjang yang terseret di belakangnya, juga gerakan patah bertenaga seperti yang disajikan Cakil serta langkah dan bentangan lengan gagah setinggi bahu Rahwana sangat indah untuk dicermati. Semua gerak lentur, halus kadang lembut,

Hanoman dan Shinta

Hanoman dan Shinta

kadang gagah menghentak para penari yang tak pernah henti, juga dengan mimik muka menyajikan emosi para tokohnya apalagi didukung para pemain gamelan tanpa cacat suara, juga sorot lampu yang mendukung cerita, pasti sangat menarik untuk terus dinikmati, apalagi bagi para pecinta budaya dan fotografi. Puas menikmati sajian sendratari Ramayana dan sangat direkomendasikan bagi para pecinta wisata budaya. Terimakasih bagi penyelenggara. Sayang, anak-anak kami belum bisa menikmatinya.

Read Full Post »

%d blogger menyukai ini: