Penulis: Firdaus Ali*) Jumat 14 03 14 @ 14:45 PDIP secara resmi mengumumkan Jokowi untuk Calon Presiden RI dari PDIP yang diikuti oleh masyarakat dengan penuh harap. Penantian panjang yang sarat polemik serta dipenuhi dikotomi pro dan kontra majunya Jokowi sebagai Capres RI terbalas. Pengumuman tersebut pasti disambut dengan syukur dan suka‐cita pihak yang penuh harap bahwa perubahan kedepan akan lebih pasti jika dipimpin oleh seorang Jokowi. Di pihak lawan, tentunya menimbulkan kecewa amat sangat, karena seorang Jokowi tentunya menjadi saingan yang berat sesuai hasil dari berbegai survei.
Di wilayah bagian selatan Ibukota pengumuman pencalonan Jokowi dilakukan oleh DPP PDIP dilakukan dengan sangat sederhana seakan tanpa persiapan gempita sebagaimana lazimnya kandidat dari partai lain ketika mengumumkan balon presiden mereka. Terpaut jarak nun di utara Ibukota, tepatnya di Rumah Si Pitung di Kampung Marunda yang merupakan representatif dari daerah kumis (kumuh dan miskin) Jakarta, Jokowi dengan cara sangat sederhana dan bersahaja menyampaikan kepada publik tentang amanah yang baru saja dia terima dari Megawati Soekarnoputri. Dengan mengucapkan Bissmillahirohmanirrohim kemudian Jokowi mencium bendera Merah‐Putih dengan hikmat. Selanjutnya Jokowi lugas melangkah meneruskan rutinitas “blusukan” Jumat tersebut.
Sebagai negara demokrasi yang sedang terus berjuang untuk maju dengan menjunjung martabat dan keadilan, tentunya berbeda pandang dan pendapat adalah suatu hal yang wajar. Dari anugerah perbedaan plurarisme tersebut bangsa ini bisa menjadi bangsa yang hebat. Hari Minggu, 16 Maret 2014 kemaren adalah hari pertama kampanye untuk Pileg 9 April 2014. Lazimnya kesempatan pesta demokrasi 5‐tahunan ini diisi dengan saling puji atau hujat demi untuk meyakinkan calon pemilih agar memilih partainya. Namun, saling hujat dan berbagai bentuk kampanye negatif lainnya bukanlah cara yang baik untuk dapat memenangkan hati masyarakat pemilih, kiranya pemilih sekrang sudah cukup pintar untuk dapat menilai. Akankah dari suatu perbuatan yang dipenuhi emosi negatif yang dibungkus untuk tujuan mulia suatu “perubahan” akan mendapat restu sang Pencipta untuk mencapainya?
Pemilu Legislatif dan Presiden kali ini akan sangat berbeda dengan yang sebelumnya. Sosok fenomenal Jokowi akan menjadi fokus baik bagi banyak pihak Catatan perjalanannya (track‐record) yang sarat dengan pencapaian peningkatan kapasitas diri mulai dari bawah, yaitu dari seorang pedagang meubel yang menjadi walikota berprestasi di Solo melangkah menjadi Gubenur di wilayah sentral Indonesia yaitu DKI Jakarta. Jokowi memang baru 17 bulan memimpin ibukota dengan segala kompleksitas masalahnya, namun dia sudah memperlihatkan kinerjanya untuk rakyat, berproses dengan nyata menuju suatu perubahan. Namun, tentunya lumrah pula jika semua lawan politiknya kini kemudian mencoba menyerang Jokowi melalui berbagai media komunikasi yang ada dengan mengatakan dia gagal ini dan itu serta tidak punya pengalaman dan lain sebagainya. Termasuk menghujat bahwa Jokowi ingkar janji.
Sesungguhnya mengatakan bahwa Jokowi tidak bertanggungjawab dan ingkar‐janji karena meninggalkan Jakarta dengan kompleksitas masalah perkotaannya, adalah kesalah‐ pahaman yang besar. Jokowi tidak akan penah meninggalkan Ibukota seandainya nanti terpilih menjadi Presiden NKRI. Jika Jokowi menjadi Presiden bahkan akan semakin memperkuat komitmennya untuk Ibukota, karena Jokowi sudah mengalami dan paham akan pentingnya peran dan komitmen Pemerintah Pusat untuk pembenahan Ibukota ini. Salah satu kunci utama membenahi ibukota ini dengan lebih cepat dan terintegrasi adalah sangat dibutuhkan adanya komitmen yang kuat dari Pemerintah Pusat (yang dikomandoi oleh Presiden), tidak hanya komitmen anggaran tetapi yang lebih penting adalah otoritas koordinasi untuk kerja yang lebih terarah dan terintegrasi. Permasalahan kota Metropolitan Jakarta terkait erat dengan kota‐kota atau daerah penyangga disekitarnya. Diperlukan koordinasi lintas Propinsi dan Kota/kabupaten sehingga pembenahan ibukota dan wilayah sekitarnya dapat sinergi, harmoni dan konsisten. Untuk itu dibutuhkan bantuan dan komitmen serius dari Pemerintah Pusat.
Dalam sejarah penataan ibukota suatu negara, peran dan tanggungjawab Pemerintah Pusat sangat menentukan karena Capital City adalah simbol kehormatan (dignity) suatu bangsa. Masalah‐masalah perkotaan di DKI tidak akan pernah bisa diselesaikan oleh siapapun gubernurnya jika tidak ada pemahaman yang utuh oleh yang memimpin negara ini tentang akar permasalahannya. Sebagai orang yang pernah menjadi Gubernur Jakarta, dengan posisinya sebagai Presiden kelak, Jokowi justru akan mempunyai keleluasan dalam otoritas koordinasinya. Jokowi justru dapat membantu Gubernur penerusnya untuk dengan cepat dan terarah menangani masalah ibukota, baik berupa kemacetan, banjir, krisis air, dan penataan ruang yang terus memperburuk daya tampung dan daya dukung lingkungan ibukota ini. Kiranya, tanpa campur tangan Pemerintah Pusat dan sikap konsisten dari Presidennya, ibukota sulit dan lambat dibebaskan dari masalah perkotaan yang terus membelitnya karena sebagian besar kewenangan lintas wilayah ada di Pemerintah Pusat.
Oleh karena itu, jika ada yang menuduh bahwa Jokowi tidak pantas maju sebagai Capres karena beliau belum berbuat dan bahkan gagal membenahi kemacetan dan banjir di ibukota, itu adalah bentuk rasa frustrasi dan bahkan mungkin saja keberpihakan kepada existing sistem yang korup yang dalam 17 bulan terakhir ini dirubah oleh Jokowi bersamaAhok. Bagaimana kemacetan Ibu Kota dapat diselesaikan oleh seorang Gubernur DKI Jakarta sepihak jika kendali pengadaan kendaraan bermotor dipegang oleh pusat sedangkan upaya membangun sistem transportasi cepat masal terlambat diwujudkan Pusat. Penyelesaian masalah banjir tidak akan mencapai proses kemajuan seperti kini, jika tanpa upaya gerak cepat yang dilakukan oleh Jokowi secara teknis sementara pengelolaan kawasan hulu tidak ada dalam kendali koordinasinya. Sehingga upaya teknis penanganan banjir ibukota hanya sebatas mencoba menghilangkan titik genangan dalam kota dan memastikan pengerukan kali dan situ‐situ dipercepat. Karena memang itulah sebatas kewenangan yang sesungguhnya dimiliki oleh Pemprov DKI.
Dari 13 sungai atau kali yang selalu mengancam ibukota, hanya 4 kali yang kewenangan pengelolaannya ada di Pemprov DKI. Bahkan kewenangan pengelolaan waduk dan situ ada di Kementerian Pekerjaan Umum. Apa kurangnya seorang Jokowi yang ingin mengimplementasikan infrastruktur multi fungsi untuk tujuan pengendalian banjir, genangan, dan air baku untuk ibukota serta sekaligus untuk penanganan kemacetan secepat mungkin dengan TIDAK meminta alokasi dana APBN dan APBD sama sekali? Dalam hal ini justru Pemerintah Pusat yang menghambat dengan berbagai alasan sehingga Jokowi belum bisa segera mewujudkan Terowongan Multi Fungsi (TMF) Jakarta atau dikenal dengan Multi‐ purpose Deep Tunnel (MPDT). Kita masih beruntung pada musim hujan ini tidak mengalamibencana banjir yang parah padahal hampir sebagian besar belahan bumi di utara katulistiwa mengalami bencana banjir paling buruk dalam 60‐80 tahun terakhir ini, seperti yang dialami UK, Perancis Selatan, Italia, Jerman, AS, China, Kanada, dan bahkan Brazil sekalipun.
Selama ini, hampir seluruh gubernur yang memimpin ibukota ini yang telah mencoba menangani ibukota hanya dengan kewenang (power) dari selatan (baca: Balaikota di Medan Merdeka Selatan) selalu gagal dan larut dalam buruknya birokrasi. Padahal Jakarta sudah dikukuhkan sebagai ibukota NKRI melalui Undang No. 29 tahun 2007 yang sampai hari ini belum ada satupun PP aturan peraturan turunannya yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Melalui Pemilu 2014 khususnya PiIpres 2014 inilah kesempatan untuk merubah cara penanganan ibukota yaitu dengan kewenangan yang didorong penuh dari utara (baca: Istana Presiden di Medan Merdeka Utara). Ketika kemaren Jokowi mendeklarasikan pencapres‐annya kawasan kumis ibukota, itu adalah simbol semangat Jokowi akan menata Indonesia dari daerah termarjinalkan dan termiskin demi Indonesia Baru yang lebih baik dan bermartabat.
Jika ada yang mempertanyakan kematangan dan pengalaman Jokowi untuk bisa memimpin bangsa ini, itu adalah sangat wajar sekali. Rakyat Amerika Serikat pada tahun 2009 juga punya ketakutan dan kekuatiran yang dalam ketika Obama yang berpenampilan tidak menarik dan terutama berasal dari keturunan ras Afro‐American (bahkan pernah dididik di negara ketiga yang bernama Indonesia) maju mencalonkan diri menjadi Presiden ke‐44 negara adi daya tersebut. Namun toh takdir membuktikan walaupun dalam situasi kondisi sosial AS yang masih dipenuhi bayang‐bayang diskriminasi terhadap kulit hitam dan dalam kondisi ekonomi AS yang tengah terpuruk oleh ulah kebijakan pendahulunya Bush Jr., Obama justru mendapat percayaan rakyat dan bangsa AS untuk memimpin negara tersebut, bahkan untuk periode ke‐dua kalinya.
Dari belahan bumi yang lain, adalah Lee Myung‐bak Presiden Korea Selatan yang telah dicatat sejarah membawa perubahan dan kemajuan signifikan bagi Korsel. Dia adalah bekas Walikota Seoul yang berhasil menata kembali Sungai Cheonggyecheon menjadi surga yang membentang di tengah kota Seoul. Diapun terkenal kerap melakukan “blusukan” setidaknya 2 kali seminggu. Sementara itu, Ma Ying‐jeou adalah bekas walikota Taipe (1998‐ 2006) yang sukses menata kemacetan dan krisis air di Taipe dan kemudian terpilih menjadi Presiden Taiwan pada 2008 dan terpilih kembali menjadi Presiden untuk kedua kalinya pada tahun 2012. Dia terkenal sebagai pemimpin kota Taipe yang sederhana dan mempercepat penanganan masalah kota Taipe dalam posisinya sebagai Presiden Taiwan.
Dalam rasionalitas inilah, apapun yang akan terjadi pada Pilpres 9 Juli 2014 nanti, Jokowi tidak akan meninggalkan Jakarta apalagi menelantarkan janji‐janjinya. Saat ini, beliau mendapat amanah bertarung untuk insyaAllah dapat hijrah dari Selatan ke Utara demi menjemput kapasitas (sumber daya) yang lebih, otoritas penuh, dan kewenangan yang lebih dari cukup untuk menuntaskan amanah yang lebih besar tidak hanya untuk membantu permasalahan di Ibukota NKRI saja tetapi juga untuk seluruh wilayah NKRI yang selama ini termarjinalkan oleh pemimpin pendahulunya.
*) Firdaus Ali, PhD.
- Pengajar & Peneliti Teknik Lingkungan FTUI Pendiri dan
- Pimpinan Indonesia Water Institute
Catatan:
Gambar-gambar di atas ditambahkan oleh admin blog, diperoleh dari media sosial Facebook.