Terbaca di timeline facebook saya: “… menyakitkan..”, begitu posting teman di facebook memberi komentar terhadap lampiran posting temannya yang menanggapi sampul depan majalah Tempo 26 Agustus 2014. Intinya adalah mengecam redaktur tempo yang dianggapnya tidak sensitif terhadap perasaan para pendukung PS dan telah melakukan ‘pembunuhan karakter’ beliau. Sikap ini diamini banyak temannya yang komentar di dalam wall tersebut, dengan ungkapan kasar terhadap Tempo bahkan tak sedikit yang mencaci presiden Jokowi.
Melihat sampul depan Tempo tersebut (belum baca isinya), tanpa sedikitpun bermaksud membela, bagi saya yang tak paham dengan seni karikatural, rasanya hambar dan kering saja, tak bermakna penghinaan atau pengagungan pada siapapun, meskipun kalau dilihat kostum yang dipergunakan sosok tersebut sepertinya memang dimaksudkan untuk menggambarkan pak PS. Mungkin justru karena saya tak melihat wajah pada gambar tsb, maka tak menggugah tafsir sedikitpun, sehingga jadi aneh membaca komentar2 yang berlebihan tersebut.
Nuansa kontras dalam wall tersebut terasa ketika di satu sisi menuntut sensitifitas redaktur Tempo, tapi di sisi lain begitu semangat menghujatnya dalam bahasa yang kasar, bahkan tak sedikit yang salah alamat dengan menghujat presiden terpilih konstitusional Jokowi. Jadi ingat masa pilpres yg lalu ketika buletin penuh fitnah yang sangat menyakitkan, Obor Rakyat, beredar di masyarakat. Proses hukum sudah berlangsung, berita dan foto terdakwa Obor Rakyat banyak muncul di media, tapi tak satu katapun muncul kecaman dari para penggede partai pendukung PS. Belum lagi beredarnya ucapan Rest In Peace, fitnah non-muslim, koruptor, PKI, dll, yang semuanya ditujukan pada Jokowi. Dimana para pengecam cover Tempo sekarang ini, pada saat itu? Dengan ukuran moral yang sama, saya berasumsi semestinya para pengecam Tempo ini juga mengecam para penyebar fitnah tersebut, dan justru akan sangat terhormat bila saat itu pak PS sendiri yang melakukannya. Sayang, beliau diam seakan setuju cara-cara kotor ini dilakukan. Bisa anda bayangkan perasaan para pendukung dan keluarga pak Jokowi ketika fitnah bertubi-tubi diarahkan pada beliau? Bahkan ketika lembaga keadilan tertinggi MK, yang telah disepakati bangsa ini sebagai penjaga gawang demokrasi, memutuskan tidak menerima gugatan PS-HR terhadap KPU, masih juga boosting opini akan adanya kecurangan pihak JKW-JK terus dilakukan. Jelas sengaja ditunjukkan sikap tidak mengakui atau menegasikan kemenangan JKW-JK dengan berbagai cara.
Oposisi adalah juga bagian terhormat yang sangat dibutuhkan dalam sistem demokrasi, tentunya bila sikap oposan kritis dilakukan terhadap kebijakan pihak pemerintah secara rasional untuk perbaikan nasib bangsanya, bukan dilakukan dengan niatan deligitimasi kekuasaan hanya karena kalah dalam kompetisi pilpres. Sepakat, tak perlulah terus saling menyakiti dan mari bersatu membangun negeri, dimanapun posisi politik kita berada. Salam damai, Persatuan Indonesia.
Tinggalkan Balasan