Penulis: Kim Ghattas
Sub-judul: A jorney with Hillary Clinton from Beirut to the Heart of American power
Tebal buku: 368 halaman
Penerbit: Times Books
Tahun: 2013
Kim Ghattas, jurnalis perempuan berkebangsaan Libanon, bekerja sebagai koresponden BBC untuk wilayah Timur Tengah dan berkantor di Beirut. Lahir 1976, menyelesaikan kuliah di Libanon, kemudian mendapatkan tugas dari BBC pada tahun 2008 ke Wahington DC, menjadi bagian dalam kelompok kecil wartawan yang dikenal sebagai “The Travelling Press Corps” untuk meliput dari dekat kegiatan menteri Luar Negeri Hillary Clinton di Washington DC dan saat berkunjung ke berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, dalam satu pesawat Boeing 757 yang sama. AS menyediakan empat pesawat Boeing 757 bagi Distinguished Visitors (DVs), yaitu Wakil Presiden, Kementrian Luar Negeri, Pertahanan dan anggota Kongres, untuk keperluan kunjungan ke negara lain.
Ghattas mencoba menjelaskan kedigdayaan AS melalui berbagai kutipan kecil wawancara dan dialognya dengan Hillary Clinton sebagai Menteri Luar Negeri, para staf menteri Luar Negeri, dan beberapa pejabat AS dan luar negeri, ketika Hillary mengunjungi negara yang bersangkutan. Menurutnya, AS sedang menyandang beban berat untuk menyelesaikan masalah nasional atau masalah2 dunia yg berkaitan dengan kepentingan nasionalnya. Ghattas dengan jelas menyatakan kekagumannya terhadap personalitas, ethos kerja, penguasaan masalah dan sikap politik Hillary, yang fokus untuk mengkampanyekan hak perempuan dan anak-anak ke seluruh dunia. Dunia tidak akan menjadi tempat yang lebih baik bila setengah populasi dunia masih merasa tersingkirkan.
Buku ini bukan biografi Hillary, walaupun terdapat sedikit kutipan dialog dan ‘life style’ Hillary di dalamnya; melainkan tentang pandangan mata dan opini Ghattas terhadap AS dan sikap Hillary dalam menerjemahkan kebijakan luar negeri Obama. Seringkali sikap Hillary dianggap Washington terlalu mendahului atau tidak sesuai dengan Washington, khususnya tentang masalah Timur Tengah, dimana Hillary cenderung menunjukkan simpati dan dukungan yang ‘berlebihan’ terhadap Palestina.
Berikut ini adalah beberapa catatan Ghattas tentang kunjungan Hillary di berbagai belahan dunia.
Jepang
Sambutan hangat masyarakat Jepang, raja Akihito beserta istri, Michiko dan Perdana Mentri Taro Aso diberikan sejak kedatangannya di bandara Haneda, Tokyo. Akihito beserta istri pernah berkunjung ke Gedung Putih pada pemerintahan Bill Clinton 1994. Pertemuan bisnis dan politik dilakukan Clinton saat kunjungan tersebut. Masyarakat Jepang mulai merasa terganggu dengan keberadaan 10 pangkalan militer AS di Jepang, yang sudah ada sejak 60 tahun yll. Khususnya masyarakat pulau Okinawa yang gerah karena pangkalan militer berada di pusat kota, juga setelah terjadinya pemerkosaan gadis 12 tahun oleh 3 tentara AS tahun 1995.
Indonesia
Indonesia yang disebutnya sebagai negara muslim terbesar dunia dan negara demokrasi terbesar ke-3 dunia, sempat dibahas dua kali dalam buku ini. Pertama, tentang masuknya Indonesia dalam rangkaian kunjungan pertama menlu AS Hillary Clinton ke Asia (Jepang, Indonesia, Korea Selatan dan Tiongkok). Clinton disambut dengan demo anti-AS di depan istana. Di tahun 2000, 75% penduduk Indonesia mempunyai pandangan positif terhadap AS, namun setelah kasus “11 September”, melorot menjadi hanya 29%. Ghatta menafsirkan bahwa ini disebabkan kebijakan politik luar negeri Bush “war on terror’ serta invasinya ke Afghanistan dan Iraq memberi kesan memusuhi negara-negara Islam di dunia. Namun seperti halnya negara-negara lain, Indonesia punya harapan hubungan bilateral yang lebih baik kepada Obama, ketika terpilih sebagai Presiden AS, yang pernah tinggal serta sekolah selama empat tahun di Indonesia, demikian juga sebaliknya. Hillary juga sempat berkunjung ke sekretariat ASEAN di Jakarta dan mendapat sambutan positif dari Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan, karena pada pemerintahan AS sebelumnya, Bush telah ‘absen’ secara politik di wilayah Asean. ASEAN telah lama berharap kepada AS untuk menandatangani bersama suatu kesepakatan ‘hubungan baik’, Treaty of Amity and Cooperation (TAC) sebagai langkah awal supaya AS bisa menjadi bagian dalam East Asia Summit (EAS). Clinton menyatakan bahwa AS bukan hanya merupakan kekuatan di trans Atlantik tapi juga di trans Pasifik, untuk itu AS pasti akan menandatanginya. Kedua, tentang masukan Indonesia bahwa Myanmar berminat untuk membuka diri secara politik terhadap pergaulan dunia.
Korea
Sambutan hangat diberikan kepada Hillary, saat berkunjung ke Ewha Womans university, yang didirikan pada 1886 oleh misionaris Amerika dan sebagai ‘sister college’ dari Wellesly college tempat Hillary pernah menuntut ilmu. Hillary memulai pidatonya dengan menvatakan bahwa hak-hak perempuan bukanlah sekedar isu moral, melainkan isu keamanan (security issue). “Tak ada demokrasi tanpa partisipasi penuh perempuan dan tak akan ada ekonomi pasar bebas tanpa keterlibatan peremluan”. Banyak pertanyaan personal diajukan oleh para hadirin terhadap Hillary dan semua dijawabnya secara ringan, terbuka dan akrab. Ini salah satu kepiawaian Hillary dalam membina hubungan dengan masyarakat di berbagai negara yang dikunjunginya, termasuk juga dengan para wartawan.
Tiongkok
Krisis ekonomi hlobal telah menghantam AS dan dunia. Tiongkok telah memiliki Surat Berharga AS (treasury bill) sebesar lebih dari $1 trilyun dan pertumbuhan ekonominya melebiui 8% per tahun (buku ini dicetak 2013). Tahun 2008, pemerintahan AS mencatat bahwa Tiongkok masuk dalam urutan terringgi dalam hal pelanggaran HAM, bahkan Hillary sendiri pada saat itu mendesak Bush utk tidak menghadiri pembukaan Olimpiade Beijing. Mengingat hal tsb di atas, Hillary berbagi ingormasi kpd para jurnalis di pesawat dalam penerbangan menuju Yiongkok bahwa HAM hanya menjadi bagian kecil dari agenda pembicaraan bilateral, atau bukan fokus pembicaraan. Bidang ekonmi akan menjadi fokus pembicaraan. Hillary faham betul mengenai agenda pembicaraan AS-Tiongkok tersebut karena Tiongkok mempungai banyak kelemahan di bidang HAM seperti, kasus tutuntutan kemerdekaan budaya atau otonomi Tibet dan pengakuan terhadap eksistensi Dalai Lama. Ko gres AS dan LSM mulsi mempertanyaman dikap pemerintahan Obsma yg mulao melemah thd isu HAM Tiongkok ini. Bahkan berita utama di halaman depan berbagai media cetak di AS dan Eropa banyak menyoroti sikap politik Obama yang cenderung melemah terhadap praktek Hak Azasi Manusia di Tiongkok.
Hillary gemas thd pemerintah yg dianggapnya tidak peduli thd masukannya ttg HAM ini. Tentang HAM ini, akan melakukan dengan caranya sendiri, yaitu bekerjadama dg organisasi2 ajar rumput, dengan menggunakan kekuatan internet atau apapun untuk melewati kelambanan sikap pemerintah. Konsejwensi dari cara Hillary yang cepat dalam memberikan tanggaoan atau pernyataan ke publik yang tidak lagi harus disiapkan seutuhnya dalam lembaran pidato, melainkan melalui nedia sosial, tv kabel, internet, seringkali harus ‘berhadapan’ dg pemerintah katena komentar2nya dianggap tidak sesuai dengan sikap resmi pemeritah.
Hillary pernah membuat jengah pemerintah RRT di tahun 1995 dalam forum PBB di Beijing. Saat itu Hillary, sebagai First Lady dan penggiat HAM, mengucapkan “human’s right are women’s right and women’s right are human rights”. Pemerintah Tipngkok langsung memblokade rekaman tv di ruang konfrensi dan satu2nya acuan untuk pidato Hillary secara resmi adalah People’s Daily, hanya satu kalimat “American Mrs. Clinton made a speech”.
Ghattas menggambarkan tempat pertemuan sebagai ruang besar dengan banyak lampu kristal bergantungan. Dua deret meja panjang berjajar berjarak 1,5 m, dipisahkan dengan tiga pot bunga di tengahnya dan berderet kursi di salah satu sisinya, berhadapan. Suatu susunan ruang rapat yang diluar kebiasaan.
Ekonomi, Perubahan Iklim dan Korea Utara adalah agenda utama pembicaraan, yang disampaikan oleh pihak Tiongkok dalam pertemuan pertama dengan Hillary, sebagai Menlu AS. Bahasa pengantar adalah bahasa Inggris. Tiongkok sempat menyebutkan ‘one-China Priciple’ dalam pembicaraan tersebut yang berarti hanya ada satu Tiongkok, tidak ada Taiwan. Hillary menanggapinya dengan mengatakan bahwa sikap AS tetap tidak berubah selama 30 tahun bersahabat dengan Tiongkok. AS tidak mendukung kemerdekaan Taiwan, namun juga tidak mengakui otoritas Tiongkok terhadap kepulauan tersebut.
Keseimbangan kekuatan antara AS – Tiongkok secara perlahan mulai bergeser beberapa tahun ini, dan semakin cepat pada masa awal pemerintahan Obama. Ketika ekonomi AS mulai lambat bergerak dan finansial dunia juga dalam situasi menyusut, justru Tiongkok mulai terlihat tumbuh berbudaya dan semakin kaya. Oliampiade Beijing menunjukkan hal tersebut.
Iraq
Total biaya perang AS di Iraq adalah $800 Milyar selama 8 tahun atau sekitar $3000/detik. Bila digabung dengan biaya di Afganistan bisa mencapai $1T. Invasi AS ke Iraq memang berhasil meruntuhkan kekuasaan otoriter Sadham Hussein tetapi juga telah mmbunuh lebih dari 100.000 rakyat Iraq. Dan senjata pemusnah massal sebagai alasan utama invasi AS Maret 2003, ternyata juga tidak pernah terbukti. Ini semua adalah beban politik dan ekonomi AS yang harus diatasi oleh Obama dan Hillary sebagai representasi politik luar negerinya.
Ghattas berpendapat bahwa pada awalnya adalah ketakutan bangsa Iraq atas kediktatoran Sadham Hussein yang menyebar teror kepada bangsanya selama 20 tahun. Pemerintahan Sunni yang menghancurkan Shiah. Namun anehnya, Sadham tidak juga melindungi Sunni yang telah mendukungnya. Shiah yang pada awalnya merasa terancam di negerinya, berharap AS dapat menyelamatkannya, justru mulai berbalik mengecam AS sebagai penjajah yang sangat berkuasa dan bermaksud menghancurkan Iraq. Dan akhirnya, mereka juga yang kemudian berharap AS segera meninggalkan Iraq namun lebih dulu harus meningkatkan kondisi kehidupan bangsanya. Obama memang sangat ingin segera menarik kekuatannya dari Iraq.
Menurutnya, Hillary menyangga beban politik berat untuk menjawab pertanyaan2 bernuansa fatalis dimana suatu bangsa sudah terbiasa diperintah dan tak berhak ‘berpikir’ dimasa Sadham Hussein dan harus dijawab oleh pihak lain, yaitu bahwa AS adalah penjajah dan harus bertanggungjawab dengan apa yang telah dilakukannya. Intinya adalah Iraq tidak siap dengan jatuhnya Sadham Hussein. Di sisi lain, ada suatu pendapat bahwa AS sebagai kekuatan hegemonik memang sedang berminat terhadap kekayaan Iraq tanpa merasa berkewajiban membayarnya. Dua hal resebut adalah pendapat yang sangat mengemuka di Iraq dan negara-negara Timur Tengah.
Libanon
Tahun 1983, bom bunuh diri telah menghancurkan barak militer AS di Libanon dan membunuh 241 marinir. Hezbollah sebgai sayap militan Shiah diduga sebagai pelakunya. Israel menguasai wilayah selatan Libanon 1978, dan Hezbollah mengambil alihnya pada tahun 2000, bahkan sebagai bagian dari kekuatan politik yang berkoalisi dengan Syiah dan Iran, mempunyai wakil di kabinet pemerintah Libanon. Salah satu alasan Hillary berkunjung ke Libanon adalah untuk mendapat gambaran peta politik yang jelas dalam pemerintahan Libanon, mengingat Hezbollah yang dianggap pemerintah AS sebagai teroris telah berada di dalamnya. Selain itu, juga karena rasa empati dan keinginan AS untuk mengurangi penderitaan masyarakat Libanon akibat perang sipil, yang juga dilihat Hillary dan Bill Clinton melalui berita di media.
Sejarah, kenangan dan opini Ghattas sejak masa kecil hingga kuliahnya di Beirut, Libanon banyak mewarnai isi buku ini.
Palestina-Israel
Dalam pertemuan internasional di Mesir, Hillary menjanjikan untuk memberikan bantuan finansial untuk Palestina sebesar $300 juta, setelah Israel melakukan penyerangan secara brutal di Jalur Gaza (Gaza Strip), beberapa saat setelah pelantikan Obama sebagai presiden AS, dan membunuh hampir 1.400 bangsa Palestina, termasuk 300 anak-anak serta menyisakan kehancuran ekonomi.
Wartawan Arab tidak merasa begitu penting terhadap bantuan AS tersebut karena janji AS terhadap bangsa Palestina dianggap sudah terlalu sering, namun kehidupan bangsa Palestina justru semakin memburuk akibat penjajahan bangsa Israel. Pertanyaan mereka adalah “Apakah kemerdekaan negara Palestina bisa terjadi dalam tahun ini?”.
“You all know that this is a very difficult and complex set of issues. You also know that l personally am very committed to this. And I know that it can be done. I believe that with all my heart. I feel passionately about this. This is something that is in my heart, not just in my portfolio“, jawab Hillary yang menyebabkan White House gelisah.
Tahun 1998, sebagai First Lady, Hillary juga pernah menyatakan dalam Youth Summit di Swiss, yang dihadiri delegasi Palestina, Israel, Yordania, Mesir dan Amerika, bahwa: “The Palestinians should have their own state“. Pernyataan yang mendahului kebijakan politik luar negeri AS ini segera mendapat tanggapan dari White House bahwa pernyataan Hillary tersebut bukanlah kebijakan resmi AS. Namun Hillary tetap bersikap keras bahkan menjanjikan bahwa pemeeintahan Obama sedang bekeeja keras unyuk mewujudkan perdamaian dan negara bagi bangsa Palestina. “I wish it could happen tommorow. I wish it could happen certainly by the end of this year. But I will not give up. We will make progress“. Suatu pernyataan yang muncul dari dalam hati dan membuat para jurnalis Arab terperangah dan berlanjut dengan tepuk tangan aplus meriah penuh harap. Hal ini tidak lepas dari program Obama sendiri yang dinyatakannya pada hari kedua menjabat sebagai presiden AS, bahwa mencari solusi terhadap konflik berkepanjangan Arab-Israel yang sudah berlangsung 60 tahun juga merupakan kebutuhan keamanan nasional AS. Pemimpin negara yang pertama kali dihubungi Obama pada tanggal 21 Januari melalui telepon setelah pelantikannya, adalah presiden Palestina, Mahmoud Abbas.
Mahmud Abbas dan Ehud Olmert, Perdana Mentri Israel dari partai Kadima, telah beberapa kali melakukan pertemuan pedamaian dengan atau tanpa keterlibatan AS selama dua tahun dan menunjukkan perkembangan yang bagus. Namun kabar baik tersebut menjadi mentah kembali setelah Benjamin Netanyahu dari partai Likud menggantikan Ehud sebagai Perdana Menteri. Netanyahu adalah pihak yang geram mendengar peryataan Hillary ttg ‘kemerdekaan Palestina’ di tahun 1998.
Ketika Netanyahu berkunjung ke White House pada 18 Mei, Obama menyatakan dengan jelas bahwa pembangunan di West Bank harus dihentikan. Namun Netanyahu justru menjawab di media bahwa kebutuhan keluarga atas pembangunan gedung sekolah dan perluasan perumahan adalah hal yang wajar dan tak bisa dihentikan. Kembalinya Netanyahu membuat upaya perdamaian Israel-Palestina kembali mengalami kemunduran.
Mei 27, Hillary bertemu menlu Mesir di kementerian luar negeri AS dan membuat pernyataan di depan media bahwa: “pernyataan presiden Obama sudah sangat jelas, ketika Netanyahu di sini. Beliau menginginkan diberhentikannya pembangunan”. Pernyataan Obama yang kembali diulang oleh Hillary memberikan signal bahwa AS sedang menunjukkan ke Israel bahwa AS lah yang berkuasa, bukan Israel.
Pakistan
Kunjungan Hillary ke Pakistan direncanakan untuk menemui para pengusaha, aktifis perempuan, pimpinan adat dan wawancara oleh para jirnalis.
Sejak keberangkatan, Hillary memang sudah menyiapkan diri menjadi ‘sasaran tembak’ kekesalan warga Pakistan yang marah terhadap kebijakan luar negeri AS. Pakistan memang bukan musuh, tapi juga bukan sahabat AS. Namun AS adalah salah satu negara yang mengakui lemerdekaan Pakistan pada tahun 1947. Bantuan militer dari AS ke Pakistan sempat dihentikan di tahun 1990, namun AS kembali menawarkan bantuan setelah terjadi peristiwa 11/9 yang disambut presiden Pakistan, Pervez Musharraf, dengan menjanjikan kesetiaannya sebagai sahabat AS. Paket bantuan finansial non-militer disetujui oleh kongres AS sebesar $7,5 Milyar selama 5 tahun, dan akan diberikan dengan syarat digunakan untuk meningkatkan pelayanan rakyat serta memperbaiki institusi pemerintahan sipil, setelah bertahun-tahun dalam rejim diktator militer. Pakistan menganggap persyaratan tersebut sebagai bentuk intervensi asing, namun tetap saja tawaran bantuan finansial tersebut diambilnya.
Dalam penerbangan menuju Pakistan, Hillary mendapat pengarahan dari ahli politik Afganistan dan Pakistan yaitu Richard Holbrook, diplomat senior dan deputinya, Vali Nasr. Vali Nasr adalah ahli Islam dan profesor politik internasional. Lahir di Iran dan pindah ke AS setelah Revolusi Iran 1979. Sempat tinggal satu tahun di Pakistan untuk penelitian tentang fundamentalisme Islam, dalam rangka studi S3nya.
Lingkungan perkantoran kedutaan AS dan pemukiman karyawannya berada dalam area tertutup dengan tingkat pengamanan yang sangat ketat dan terpisah tegas dengan masyarakat Pakistan. Vali menganjurkan supaya Hillary mulai membuka eksklusifitas ini dengan cara berkomunikasi dengan masyarakat sipil Pakistan yang lebih luas untuk meredakan kecurigaan dan ketegangan psikososial masyarakat. Kecurigaan tersebut terungkap ketika sesi tanya-jawab pers dengan Hillary, yaitu kekhawatiran bahwa AS hanya akan ‘menggunakan’ Pakistan seperti saat AS menggunakan Pakistan untuk mendestabilisasi kekuasaan Rusia di Afganistan. “I’ve learned from my mistakes”, jawab Hillary. Ghattas memberi penilaian positif terhadap jawaban Hillay ini, mengingat AS tidak pernah mengakui kesalahan kebijakan yang terjadi dimasa lalu.
Dalam pertemuan bisnis, para pengusaha Pakistan menanyakan tentang kelonggaran/fasilitas perdagangan dan tambahan bantuan finansial AS. Menurut Ghattas, Hillary justru heran mendapat pertanyaan tersebut. Para pengusaha besar Pakistan yang sudah sangat maju tersebut seharusnya perlu lebih serius membayar pajak demi pembangunan bangsanya daripada menuntut bantuan asing untuk menyelesaikan masalah mereka.
Penutup
Masih banyak lagi negara lain yang dikunjungi Hilary bersama para wartawan tersebut dan menjadi subyek pembahasan penulis dalam buku ini. Pengalaman hidup masa muda Ghattas di Libanon yang jadi ajang adu kekuasaan Timur Tengah, sangat mempengaruhi subyektifitas penulisan. Keberpihakan penulis yang cenderung melihat dunia dari sudut pandang politik luar negeri AS, sekaligus sinis dan cenderung menyalahkan negara-negara sedang berkembang, sangat terasa setelah membaca buku ini seluruhnya, khususnya pada bab-bab akhir tentang Turki, Pakistan, Afganistan, Iran, dll.
Penulisan waktu seringkali hanya tanggal dan bulan sehingga cukup menyulitkan pembaca untuk membayangkan urutan waktu kejadian, mengingat penulis juga memasukkan opini dan sejarah masa lalu dalam buku ini.
Secara umum, buku ini layak untuk memperkaya pengetahuan kita dalam hal kebijakan luar negeri AS dan cara kerja menteri luar negeri dalam menjalankan misi nasionalnya.
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Read Full Post »