Seminggu setelah menikmati wayang kulit ‘Betara Kala’ dalam acara ruwatan, kemudian dilanjutkan malam harinya dengan ‘Wahyu Makutharama’ oleh dalang Ki Purbo Asmoro, rasanya seperti mengingatkan masa kecil manakala alm. Bapak selalu mendampingiku mendengarkan wayang kulit di radio RRI, sambil menjelaskan jalan ceritanya. Setidaknya, setahun dua kali kami selalu menonton wayang kulit di siang dan malam hari saat acara sedekah bumi di kampung kami. Sering juga rasanya saat itu menonton pentas wayang orang berbayar.
Kerinduan bawah sadar akan hiburan wayang ini, sedikit terobati ketika menonton sendratari Ramayana di candi Prambanan beberapa tahun yll, yang pentasnya diadakan hampir setiap hari. Ide pemda DIY patut didukung, mengingat sulitnya para menggemar kesenian wayang orang atau wayang kulit untuk dapat menikmatinya secara langsung (live).
Bahasa Jawa tingkat tinggi (krama inggil) dan Jawa Kuno (Kawi?) yang jarang terdengar dalam percakapan sehari-hari, begitu deras meluncur lancar dari bibir ki dalang Purbo Asmoro saat memainkan wayang dan delapan waranggono (sinden) ketika melantunkan berbagai tembang dengan cengkok yang begitu indah lentur mengalun keras-lemah, tinggi-rendah seolah tak berbatas kepanjangan napas dan ketinggian nada. Bukan main ..
Suara beragam alat musik gending seperti bonang, saron, peking, gambang, gender, gong, dll. Yang dimainkan para pengrawit, begitu terdengar harmonis mengalun halus, kadang menghentak keras dengan kelincahan gerak pukulan gendang beraneka bunyi mengiringi tembang para pesinden atau gerak wayang yang semuanya berada dalam koordinasi pimpinan sang dalang, Ki Purbo Asmoro.
Lamat-lamat suara gending mengalir lembut ditembus nada rendah bergetar suara sang dalang melantunkan suluk pembuka adegan. Petuah luhur tentang kehidupan, beruntun keluar dari mulut Semar dalam dialognya dengan Kresna. Indah mengagumkan ..
“Sesuluh babagan kautaman. Sumbere wong padu niku wonten sekawan. Pasulayan perkawis:
- Bandha
- Wanita
- Kawasisan
- Panguaos
Derajad mung sampiran, bandha mung titipan”
Gerak tangan sang dalang yang kadang halus tanpa getaran atau kuat dan lincah (sabetan) memainkan adegan perang, membuat komunikasi antar peran dapat dimengerti lebih mudah. Lucu, sedih, marah, nakal ataupun wibawa dapat tergambar jelas dari gerak wayang dan suara dalang dalam memainkan peran atau watak tiap wayang yang berbeda. Tak terlihat keletihan dari para sinden dan pengrawit juga sang dalang, yang memainkan orkestrasi gerak dan suara hampir selama 9 jam, mulai dari jam 19 hingga 4 subuh.
Membanggakan, melihat adanya satu pelajar SMK Karawitan dan dua mahasiswi S1 Karawitan Solo begitu fasih melantunkan tembang-tembang yang diminta oleh dalang, seakan hapal luar kepala. Desi, sang pelajar SMK bahkan luwes menampilkan tarian dan mahir memainkan saron, rebab dan gendang berirama jaipongan, banyumasan dll. Luar biasa.. terpikir seketika, pemerintah perlu membuat banyak program nyata untuk melindungi bahkan mempopulerkan budaya luhur semacam ini.
Beruntunglah, teknologi komunikasi sudah mampu menyajikan pagelaran wayang kulit papan atas seperti Ki Purbo Asmoro, Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono, Ki Narto Sabdo, dll melalui youtube.com. Baru saja penulis menikmati “Lahirnya Wisanggeni” oleh Ki Purbo Asmoro selama 6 jam melalu Youtube.com. Terimakasih untuk para pihak yang telah mengunggah kesenian luhur ini ke youtube.com sehingga para penggemar di seluruh dunia bisa turut menikmatinya.
Salam Budaya.
Tinggalkan Balasan