Sering kita mendengar “saya kan bermaksud baik, kenapa tidak diterima?”. Apa yang dimaksudkan sebetulnya? Pertanyaan philosofis menurutku.
Melihat kebaikan ibarat melihat durian berduri banyak di kulitnya. Kebaikan itu sendiri ada di tengahnya, sedangkan masing-masing duri adalah cara pandang terhadap kebaikan. Representasi cara pandang tersebut ditunjukkan dengan beragamnya ideologi atau mazhab pemikiran filosofis yang berbeda di dunia ini. Pemikiran dialektis, kajian holistik dan optimasi terhadap berbagai cara pandang inilah yang diharapkan bisa diterima semua pihak untuk disepakati.
Di dalam komunitas egaliter dimana setiap individu punya bobot suara yang sama, maka dalam era demokrasi diterapkan sistem perwakilan untuk merumuskan dan menyepakati suatu ‘kebaikan’. Sedangkan dalam suatu komunitas yang sudah disepakati jenjang otoritasnya (birokrasi pemerintah, perusahaan, organisasi lainnya, dll.), nilai ‘kebaikan’ diputuskan oleh pihak pengemban otoritas, meskipun selalu ada cara untuk melakukan perubahan yang biasanya juga telah diakomodir salam suatu sistem yang dianut bersama. Nah, kesepakatan-kesepakatan seperti ini harus diterima dan dijalankan sehingga tidak terjadi chaos. Artinya, memaksakan ‘kebaikan’ menurut cara pandang sendiri supaya diikuti banyak pihak dalam suatu komunitas, hanya akan membuat kegaduhan.
Tautan di bawah ini banyak menunjukkan contoh bahwa dalam memandang suatu masalah, selalu ada berbagai ‘kebaikan’ dari berbagai sisi, yang tidak jarang justru bertentangan.
…
Tautan:
1. “Justice“, Michael Sandel
2. “What money can’t buy“, Michael Sandel
Tinggalkan Balasan