Sub-judul: The Moral Limits of Markets
Penulis: Michael J. Sandel
Format: eBook
Penerbit: Farrar, Straus and Giroux/ New York
Tahun: 2013
Setelah bukunya tentang kritik moral yang terkenal, ‘Justice: What’s the Right Thing to Do?‘, dan kemudian banyak didiskusikan di berbagai universitas di dunia, maka kembali muncul buku kedua Michael J. Sandel, masih tentang kritik moral, yang berkenaan dengan semakin meningkatnya komodifikasi berbagai hal ke dalam kehidupan sosial, keluarga dan individu yang melindas berbagai nilai kebajikan yang ada selama ini.
Mekanisme Pasar dan Moral
Dalam bab Pendahuluan bukunya, Sandel menulis kalimat pembuka yang mengganggu: “There are some things money can’t buy, but these days, not many. Today, almost everything is up for sale”.
Benar adanya, begitu banyak penawaran berlalu-lalang di depan kita, baik saat berada di ruang publik maupun ruang privat; melalui media cetak, elektronik bahkan penawaran secara langsung. Namun, tak semua penawaran tersebut mampu terbeli oleh setiap orang. Juga, tak semua penawaran tersebut memang layak untuk diperjual-belikan atau paling tidak, masih menjadi perdebatan moral dalam masyarakat, misalnya perdagangan hak emisi karbon, penawaran kewajiban antrian untuk mendapatkan tiket apapun, perdagangan organ tubuh, menyediakan diri untuk percobaan pengobatan dll. Kelayakan moral inilah yang menjadi pokok bahasan buku Sandel ini.
Saat ini kita berada dalam kurun waktu dimana hampir semua hal dapat diperjual-belikan. Mungkin, hampir lebih dari tiga dekade ‘pasar’ atau tepatnya ‘nilai-nilai pasar’ telah merasuki kehidupan kita tanpa terasa. Ekonomi telah menjadi domain imperial yang menerobos masuk ke segala bangsa di dunia. Kini, logika jual-beli tidak hanya berlaku terhadap kebutuhan saja, namun sudah menguasai hampir segala segi kehidupan, bahkan untuk hal yang tidak dibutuhkan sekalipun. Betulkah kita memang menginginkan kehidupan yang seperti ini?
Era Kejayaan Pasar
Dalam konteks AS, era ini dimulai pada awal 1980an, saat Ronald Reagen dan Margaret Thatcher mencanangkan bahwa mekanisme pasar, bukan pemerintah, merupakan kunci kesejahteraan dan kebebasan. Ini berlanjut di tahun 1990an ketika Bill Clinton dan Tony Blair memoderasi mekanisme pasar yang lebih ‘bersahabat’ dengan esensi yang tetap sama bahwa kapitalisme adalah jalan utama menuju kesejahteraan masyarakat. Saat ini, masa kejayaan mekanisme pasar mulai surut (baca: The End of Normal) mengingat runtuhnya finansial global di tahun 1998 dan 2008. Banyak pihak beranggapan bahwa nilai moral dalam jantung kejayaan mekanisme pasar adalah keserakahan, yang berujung pada tindakan yang sangat berresiko dan sulit dipertanggungjawabkan.
Namun demikian, tidaklah cukup hanya melakukan cercaan terhadap nilai keserakahan, melainkan perlu kepekaan kritis terhadap tindak perilaku pasar dalam masyarakat kita, termasuk batasan-batasan moral dalam menentukan barang dan jasa yang layak diperdagangkan. Mekanisme pasar, dan budaya berpikir yang berorientasi pasar, telah menjangkau bahkan mulai menguasai norma-norma kehidupan tradisional dan ini merupakan capaian budaya kapitalisme yang sangat signifikan pada saat ini.
Kekuasaan pasar yang telah menjangkau sektor kesehatan, pendidikan, keselamatan publik, keamanan nasional, lingkungan, dan kebutuhan sosial lainnya merupakan hal yang tidak lazim terjadi 30 tahun yang lalu di AS. Hari ini, semua itu telah kita telan tanpa menyadarinya. Semua hal ada ‘harga’nya.
Semua ada ‘harga’nya
Pertanyaan Sandel “Mengapa khawatir arah kehidupan sosial dimana semua hal dapat diperdagangkan?”. Jawabnya adalah karena alasan Kesenjangan dan Korupsi.
Dalam masyarakat dimana semua hal diperdagangkan, maka kehidupan semakin berat bagi masyarakat berpendapatan rendah dan kesenjangan ekonomi akan semakin lebar. Juga, komodifikasi semua hal akan mempertajam rasa ketidak-setaraan sehingga memacu untuk lebih bernafsu mendapatkan atau ‘mendewakan’ uang.
Pendapatan tinggi dan kekayaan berlebih masih belum menjadi persoalan penting bila dipergunakan untuk belanja barang-barang mewah, namun akan menjadi ‘berbahaya’ bila dipergunakan untuk keperluan belanja politik, kemudahan atau eksklusif terhadap akses pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan perumahan, yang seharusnya menjadi hak publik.
Alasan kedua berhubungan dengan kecenderungan pasar yang merusak. Memberikan harga (uang) terhadap sesuatu yang ber’nilai’ dalam hidup adalah tindak yang merendahkan atau merusak nilai itu sendiri.
Ketika kita memastikan bahwa suatu barang bisa diperjual-belikan, maka itu berarti bahwa secara implisit barang tersebut layak diperlakukan sebagai komoditi atau instrumen yang berguna dan bisa menguntungkan. Namun sejatinya tidak semua barang dapat diperlakukan seperti itu. Contoh yang paling jelas adalah manusia. Perbudakan dikecam karena memperlakukan manusia sebagai komoditi yang dapat diperjual-belikan. Perlakuan tersebut gagal memberikan nilai kemanusiaan dimana manusia seharusnya diperlakukan sebagai makhluk yang dihormati dan memiliki harga diri, alih-alih diperlakukan sebagai obyek atau alat untuk memperoleh keuntungan belaka.
Kelaziman di Indonesia saat pemilu atau pilkada untuk memilih anggota DPR/D atau Pemimpin Daerah atau Presisen, banyak terjadi ‘perdagangan’ suara, sehingga ‘pesta demokrasi’ menjadi barang mewah, alias mahal. Komodifikasi ‘suara’ jelas secara moral tidak dapat dibenarkan, karena pemungutan suara adalah hak/kewajiban warga negara, bukan hak personal yang dapat dirubah seenaknya menjadi komoditi. Contoh sederhana ini menjelaskan bahwa merubah hak mulia sebagai warganegara menjadi komoditi akan merusak atau merendahkan nilai hak itu sendiri, atau lazim disebut sebagai Korupsi Nilai.
Untuk menentukan posisi suatu barang, apakah berada dalam mekanisme pasar atau tidak, dan bagaimana menentukan ‘nilai’ terhadapnya, perlu dilakukan pengkajian moral dan politis secara kritis (kesehatan, pendidikan, keluarga, sumberdaya alam, seni, kewajiban warganegara, dll.), bukan pengkajian ekonomi.
Komodifikasi banyak hal telah menyeret kita semua dari Ekonomi Pasar (Market Economy) ke dalam Masyarakat Pasar (Market society), dan perbedaan yang jelas dari kedua hal tersebut adalah: Ekonomi Pasar merupakan sebuah alat yang berharga dan efektif untuk mengatur aktifitas produktif; sedangkan Masyarakat Pasar adalah cara hidup, dimana nilai-nilai Pasar telah menyerap semua aspek kemanusiaan. Ini adalah sebuah tempat dimana hubungan-hubungan sosial dibangun berdasar nilai-nilai Pasar.
Perdebatan besar yang hilang dalam kultur politik kontemporer adalah aturan-aturan dan jangkauan pasar-pasar tersebut. Misalnya: Apakah kita menginginkan Ekonomi Pasar atau Masyarakat Pasar? Aturan pasar seperti apa yang bisa menjangkau kehidupan publik dan hubungan antar personal? Bagaimana kita menentukan bahwa sesuatu bisa diperjual-belikan atau tidak? Dan, bagaimana menentukan sesuatu tersebut berada dalam kategori nilai-nilai keutamaan (non-market value)? Dalam hal apa, uang tidak berlaku? Hal-hal inilah yang akan dijawab dalam buku ini.
Pemikiran kritis terhadap peran dan jangkauan Pasar di dalam masyarakat perlu dimulai dari dua hal penting, yaitu:
- Masih kuatnya basis pemikiran Mekanisme Pasar, walaupun telah terjadi kegagalan pasar yang parah dalam 80 tahun ini.
- Ketiadaan wacana publik tentang batas-batas moral terhadap praktek Mekanisme Pasar
Seperti banyak kritikus kapialisme, Sandel juga berpendapat bahwa Era kejayaan Pasar telah usai dan sekarang saatnya mulai mempertimbangkan tentang pentingnya nilai-nilai kebajikan atau moral. Krisis finansial global 2008 sedikit meruntuhkan kepercayaan publik terhadap Mekanisme Pasar, meskipun lebih mendiskreditkan pemerintah, daripada sistem perbankan.
Masalah perpolitikan di AS, juga Indonesia, bukannya lamban mengambil putusan dalam hal masuknya nilai-nilai Pasar karena terlalu banyak pertimbangan moral, melainkan justru terlalu sedikitnya komponen moral dan spiritual dalam pertimbangan keputusan politik. Wacana politik para pimpinan negeri juga telah gagal dalam mengakomodir kepentingan rakyatnya. Beberapa penyebab kekosongan moral dalam politik kontemporer, salah satu penyebabnya adalah justru karena adanya upaya memendam wacana publik untuk memperbaiki kehidupan sosialnya (swa-sensor).
Dengan harapan menghindari konflik sektarian, seringkali kita memaksakan diri untuk memendam atau meninggalkan keyakinan moral dan spiritual ketika berada di ruang publik. Alasan-alasan demi kebebasan pasar juga menyebabkan hilangnya argumen moral kehidupan masyarakat. Salah satu sifat daripada Pasar adalah ketidakpeduliannya terhadap penilaian yang terlalu tinggi atau terlalu penting terhadap suatu barang atau tindak sosial. Perdebatan masyarakat tentang batasan-batasan moral mekanisme pasar akan bermuara pada kesimpulan apakah suatu pasar akan melayani kepentingan masyarakat atau tidak.
Dalam buku ini, Sandel banyak memberikan contoh kasus praktek mekanisme Pasar yang layak diperdebatkan dari sisi moral, misalnya membayar orang untuk menggantikan dirinya dalam antrian, sistem ‘3 in1’ (3 penumpang dalam 1 mobil) supaya mobil dapat menggunakan jalan raya tertentu, biaya tol yang lebih mahal untuk dapat menggunakan jalan yang lebih lengang, dll.
Pendekatan keekonomian dalam praktek sosial sehari-hari
Pada umumnya, para ekonom tidak berkepentingan dengan nilai moral, setidaknya merasa bukan dari bagian kewajiban seorang ekonom untuk mempertimbangkannya. Menurutnya, bagian dari pekerjaan mereka adalah menjelaskan perilaku manusia, bukan menilainya. Norma-norma seperti ‘apakah yang mengatur berbagai macam aktifitas?’ atau ‘bagaimana harus memberikan nilai semua itu?’, bukanlah bagian dari pekerjaan mereka. Sistem harga lah yang menentukan nilai suatu barang sesuai kesepakatan masyarakatnya, bukanlah berdasarkan nilai kepentingan atau kecocokan. Namun demikian, persoalan moral ini tetap membayangi langkah para ekonom, setidaknya dalam dua hal: pertama karena perubahan jaman dan kedua, karena perubahan cara pandang ekonom terhadap subyek.
Pada beberapa dekade yang lalu, pasar dan pemikiran yang berorientasi pasar berada pada suatu keadaan dimana kehidupan tradisional diatur oleh norma-norma luhur bukan pasar. Seiring dengan berjalannya waktu, semakin banyak nilai ‘harga’ dikenakan terhadap setiap hal, yang sebelumnya bukanlah barang ekonomi. Misalnya, program Insentif Sterilisasi, Penurunan Berat Badan, antrian, dll.
Di era modern ini, ekonom berpendapat bahwa ekonomi tidak hanya berhubungan dengan produksi dan konsumsi barang/jasa saja, namun juga merupakan ilmu tentang perilaku manusia. Diberbagai aspek kehidupan, perilaku manusia dalam pengambilan keputusan selalu mempertimbangkan lebih dahulu ‘costs and benefits’ untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Bila idea ini benar, maka setiap hal akan mempunyai ‘harga’. Harga tersebut bisa eksplisit, seperti mobil, kulkas, daging dll; atau bisa juga implisit, seperti perkawinan, anak, pendidikan, aktifitas kriminal, diskriminasi rasial, partisipasi politik, lingkungan atau bahkan kehidupan manusia. Peduli atau tidak, semuanya itu akan berada dalam ranah hukum ekonomi, yaitu ‘supply and demand’.
Sandel menyajikan buah pikirnya dalam lima bab besar, yaitu Pendahuluan, kemudian dilanjutkan dengan kajian kritis moral Antrian di bab 1, lalu persoalan tentang program insentif yang tidak pada tempatnya di bab 2. Konsep tentang bagaimana Nilai-Nilai Pasar telah menguasai Nilai-Nilai kebajikan yang telah ada sebelumnya, berada pada bab 3. Persoalan moral tentang perdagangan asuransi jiwa disajikan dalam bab 4, dan terakhir, bab 5 adalah tentang periklanan sebagai mekanisme pasar yang sudah masuk dalam wilayah privat.
1. Perdagangan Jasa Antrian
Pada bab ini Sandel mengkritisi perilaku antrian sebagai bagian aktifitas keseharian. Prinsip dari usaha jasa ini adalah mendapatkan urutan terdepan tanpa harus bersusah-payah turun mengantri. Misalnya, membayar orang untuk berada dalam antrian untuk mendapatkan tiket travel, tiket theater, pelayanan dokter, dll.
Ini praktek ‘ketertiban’ publik yang buruk dan sudah lama terjadi, bahkan sudah berkembang kearah ‘ketidakadilan’ dengan munculnya para ‘calo’. Berikut ini adalah beberapa contoh yang berkaitan dengan usaha jasa antrian.
Jalur Cepat
British airlines di bandara Inggris dan United Airlines di AS menyediakan fasilitas Fast Track bagi penumpang kelas eksekutif, yaitu layanan khusus untuk penumpang sehingga mendapat kesempatan untuk melewati imigrasi dan security check-in tanpa harus mengantri bersama penumpang kelas ekonomi. Persoalan muncul ketika penumpang kelas ekonomi juga diijinkan menggunakan fasilitas Fast Track, bila bersedia membayar dengan harga tertentu.
Security checks, adalah masalah keamanan nasional, seharusnya tidak mengenal perbedaan kelas sosial, sehingga perlakuan istimewa terhadap penumpang yng mampu membayar lebih, tidak dapat dibenarkan.
Banyak pihak merasa keberatan terhadap ide penjualan hak untuk berada di posisi depan dalam suatu antrian untuk dapat menggunakan fasilitas publik, dengan cara apapun. Alasan mendasar penolakan ini adalah bahwa si kaya akan selalu mendapatkan pelayanan utama dibanding si miskin untuk dapat menggunakan fasilitas publik yang sama, karena kemampuan daya beli yang tinggi..
Jasa Layanan Antrian
Jasa layanan untuk menempatkan orang tetap berada dalam barisan antrian dengan maksud mendapatkan tiket yang akan dibayar oleh pemesan sehingga tidak perlu harus turut bersusah-payah mengantri untuk mendapatkannya.
Di AS, ketika Congress mengadakan ‘dengar pendapat’, panitia akan menyediakan kursi untuk para awak media dan masyarakat umum dalam jumlah terbatas berdasar antrian.
Karena para pelobi sangat berminat untuk hadir maka mereka menggunakan perusahaan jasa ‘pengantri’ yang akan untuk berbaris dalam antrian selama semalam sehingga bisa mendapatkan kursi tamu. Biaya untuk jasa antrian ini bisa sampai ribuan dollar. Sarikat Pekerja di AS menganggap pekerjaan sebagai tenaga antrian adalah bagian dari ekonomi pasar bebas.
The Washington Post dalam editorialnya, menentang praktek perdagangan antrian dan menganggapnya sebagai tindak yang merendahkan Congress dan melecehkan masyarakat.
Calo Tiket Pelayanan Kesehatan
Di rumah sakit papan atas di Beijing, sudah menjadi ‘lazim’ bahwa untuk segera mendapatkan pelayanan dokter, bisa membeli ‘tiket’ sehingga tidak perlu berlama-lama menunggu dalam antrian. Sistem seperti ini jelas tidak dapat dibenarkan mengingat orang yang lebih sehat dan mungkin tidak harus segera memerlukan perawatan dokter, justru bisa mendapatkan kesempatan lebih dahulu dibanding pasien yang lebih parah, hanya karena mempunyai uang lebih.
Apakah pasien yang mempunyai uang dan bersedia membayar lebih, berhak untuk melewati antrian dan mendapatkan pelayanan lebih dahulu dibanding pasien lainnya?
Makna Moralitas Pasar
Etika antrian adalah “first come, first-served”, yang bersifat egaliter dan berkeadilan, tanpa memperdulikan kekuasaan dan uang, namun dari ketiga contoh di atas, kini sudah berubah menjadi “you get what you pay for”. Pergeseran makna ini menjadi semakin besar dengan semakin luasnya jangkauan pasar dan uang, hingga memasuki segala aspek kehidupan, yang sebelumnya dikuasai oleh norma-norma sosial kemasyarakatan (bukan Pasar).
Mengkritisi benar/salah terhadap perilaku antrian di atas, dapat memberikan masukan pemikiran tentang seperti apakah sejatinya moralitas pasar ini. Terlihat bahwa mereka punya rasa simpati yang rendah terhadap etika antrian.
Kasus moralitas pasar terhadap etika antrian di atas, bisa diturunkan dalam dua hal, yaitu:
- Penghargaan terhadap kebebasan individu (libertarian). Masyarakat seharusnya bebas intuk menjual/membeli apapun yang dibutuhkan sejauh tidak melanggar hak pihak lain
- Memaksimalkan kepuasan publik (utilitarian). Mekanisme Pasar akan memberikan keuntungan para pihak, baik pembeli maupun penjual, hingga dapat memenuhi semua kebutuhan masyarakatnya.
Mekanisme Pasar atau Antrian?
Dari beberapa contoh kritik moral perilaku Pasar terhadap sistem antrian, muncul pendapat bahwa hal ini menempatkan masyarakat biasa dalam posisi yang dirugikan karena menjadi lebih sulit bagi mereka untuk bisa mendapatkan tiket, berhubung tidak mampu membayar jasa antrian atau membeli harga tiket lebih mahal melalui caĺo. Ini alasan kuat penolakan mereka terhadap jasa antrian atau percaloan.
Banyak ekonom berpendapat bahwa seseorang bersedia membayar lebih untuk bisa mendapatkan barang/jasa karena mengerti dan menghargai lebih tinggi terhadap nilai barang/jasa yang diinginkannya. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar karena banyak penonton sepakbola yang rela berhimpit-himpitan dalam antrian hanya untuk mendapatkan tiket paling belakang, justru sangat mengerti permainan dan pemain bola yang akan ditontonnya, dibanding para penonton yang duduk di kursi VVIP, yang mungkin saja hanya karena mempunyai kekuasaan atau finansial lebih untuk mendapatkan kursi tersebut dengan mudah.
Dengan demikian, argumen utilitarian bahwa mekanisme pasar selalu lebih baik daripada sistem antrian untuk mendapatkan suatu barang/jasa, tidak sepenuhnya benar. Ada kalanya mekanisme pasar merupakan cara yang tepat bagi pihak yang bersedia membayar lebih mahal karena nilai barang/jasa yang memang lebih tinggi, namun ada kalanya sistem antrian yang lebih tepat.
Mekanisme Pasar dan Korupsi Nilai
Pendekatan Utilitarianisme, dengan sifatnya yang mengutamakan sisi kuantitatif daripada kualitatif, tanpa sadar sering kali menjadi praktek penyelesaian masalah sosial di jaman modern sekarang ini, yang berimplikasi terjadinya ketidakadilan moral. Metoda Cost-Benefit analysis untuk menyelesaikan kasus-kasus lingkungan/sosial adalah turunan dari teori pemikiran Utilitarian ini. Dengan pendekatan utilitarian, suatu barang dapat memiliki nilai tinggi, bahkan melebihi nilai kegunaannya untuk dapat diperjual-belikan (over value).
Sebaliknya, korupsi yang selama ini selalu diasosiasikan dengan keuntungan pendapatan yang diperoleh dari tindak penyalah-gunaan kekuasaan, dalam arti yang lebih luas, dapat diartikan melakukan penurunan ‘nilai’ (degradation) terhadap suatu barang/jasa atau tindak sosial.
Korupsi ‘nilai’ terjadi pada contoh di atas, ketika diperlukan biaya untuk masuk ruang sidang, atau membiarkan calo untuk mendapatkan keuntungan dari apa yang dimaksudkan pemerintah sebagai ‘hadiah’ untuk rakyatnya, yang seharusnya gratis. Perubahan festival publik menjadi sebuah bisnis, merupakan usaha untuk keuntungan pribadi yang tidak dapat dibenarkan. Seolah menonton pesta kembang-api pada perayaan Kemerdekaan, namun rakyat harus bayar.
Selain hal itu, ada ketidakadilan disini, dengan tersingkirnya masyarakat yang kurang mampu untuk turut masuk dalam ruang sidang, hanya karena tidak dapat membayar jasa antrian.
2. Insentif
Program-program insentif untuk mensukseskan program pemerintah, komunitas lokal ataupun misi keluarga juga mendapat perhatian Sandel, dari sisi moral. Beberapa contoh program insentif yang disajikan adalah:
– Sterilisasi
Project Prevention adalah program insentif sebesar $300 bagi para ibu yang mengalami ketergantungan obat-obatan (drug), untuk menunda kehamilan atau melakukan sterilisasi. Setiap tahun dilahirkam ribuan bayi dengan ketergantungan obat akibat dari perilaku para ibu tersebut. Lebih dari 3.000 perempuan telah mengambil kesempatan ini sejak program insentif ini diadakan oleh yayasan yang dipimpin oleh Barbara Harris pada tahun 1997.
Para kritikus Project Prevention menganggap program ini sebagai bentuk ‘penghinaan moral’ (morally reprehensible) atau tindak penyuapan untuk melakukan sterilisasi. Alih-alih membantu penyembuhan ketergantungan obat, program ini justru malah memberikan subsidi penggunaan obat, sehingga muncul ungkapan “Don’t Let a Pregnancy Ruin Your Drug Habit”.
Secara moral, program insentif semacam ini perlu diperdebatkan dengan dua alasan, yaitu Pemaksaan dan Penyuapan. Kategori Pemaksaan dimaksudkan karena tidak adanya ‘kehendak bebas’ untuk menolak tawaran sebesar $300 sebagai pengganti sterilisasi. Kondisi ketergantungan obat bagi pada perempuan yang pada umumnya berada pada situasi finansial yang lemah, tawaran program ini dapat dirasakan sebagai suatu penyelamatan. Penyuapan adalah hal berbeda, karena didasari pada kesepakatan para pihak untuk menjual dan membeli. Yang ditentang dengan usaha penyuapan, dalam hal ini adalah karena merupakan bagian dari tindak Korupsi, dimana ‘memperjual-belikan’ hak melahirkan anak, seberapapun tinggi nilai finansialnya, merupakan tindak korupsi nilai Moral. Pemaksaan tidak akan bisa diterima secara moral, berapapun tingginya nilai tukar yang ditawarkan. Untuk itu, perlu dilakukan uji Moral pada setiap transaksi Pasar yang terjadi, dengan mempertanyakan: pada kondisi apa suatu transaksi Pasar akan berrelasi dengan Kebebasan Kehendak (freedom of choice)? dan juga, pada kondisi seperti apa dapat dikategorikan sebagai Pemaksaan?
– Membayar siswa untuk berprestasi
Praktek insentif untuk memberikan semangat para siswa sehingga mampu mendapatkan hasil ujian yang baik di sekolahnya, sudah menjadi kelaziman di manapun, bahkan tidak perlu lagi diperdebatkan, baik secara finansial maupun moral. Logika ekonomi terhadap program insentif yang ‘berbau’ penyuapan ini adalah bahwa semakin banyak diberikan insentif/uang, maka semakin giat siswa belajar, dan semakin bagus hasil ujian. Ternyata logika ini tidak benar, program Advanced Placement (AP) di AS menunjukkan bahwa benar, insentif di bidang pendidikan bisa memacu prestasi siswa, namun tidak benar bahwa besarnya nilai insentif akan menentukan tingginya prestasi siswa. Program AP telah sukses mengubah kultur belajar siswa dalam memaknai sebuah keberhasilan tanpa terjebak dalam usaha ‘penyuapan’ siswa untuk mendapatkan hasil yang baik.
– Suap untuk Kesehatan
Norma ekonomi pasar juga telah memasuki sektor kesehatan. Kampanye pemerintah tentang kesehatan untuk menghentikan kebiasan merokok dan menurunkan kelebihan berat badan, ternyata tidak banyak membantu, atau gagal. Milyardan dollar telah habis per tahunnya untuk keperluan pengobatan tersebut, namun tetap tidak mengurangi angka perokok atau obesitas. Bukan karena kualitas obat atau nasihat dokter yang tidak bagus, melainkan karena rendahnya determinasi para pasien untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pada akhirnya, dokter dan asuransi merasa perlu menawarkan insentif kepada para perokok, penderita obesitas, pengidap penyakit jantung, stroke dan schizoprenia, untuk memotivasi dirinya supaya lebih serius mengikuti anjuran atau nasihat dokter dan mengkonsumsi obat-obat yang dianjurkannya. Di AS misalnya, para penderita potensi serangan jantung mendapatkan insentif $90/bulan untuk mengkonsumsi obat pencegahnya; demikian pula penderita schizoprenia di Inggris mendapatkan $22/bulan, atau para remaja putri mendapatkan $68 untuk dilakukan vaksinasi pencegah kanker rahim.
Muncul pertanyaan kritis berkaitan dengan moral, “perlukah program insentif untuk kebutuhan kesehatan bagi dirinya sendiri?”. Keberatan publik terhadap program insentif ini, pada umumnya didasarkan pada potensi adanya unsur Ketidakadilan dan Penyuapan.
Program insentif yang dibayarkan dari pendapatan pajak dirasakan banyak pihak sebagai bentuk ‘pemanjaan’ terhadap pengidap penyakit yang tak perduli pada kesehatan dirinya. Ini adalah penanganan yang tidak adil, mengingat masih banyaknya para pengidap penyakit yang serius membutuhkan bantuan keuangan untuk proses penyembuhannya.
Penanganan yang benar terhadap kesehatan pribadi adalah bentuk penghargaan pada diri sendiri. Lebih dari 90% perokok di AS, yang telah menerima insentif, kembali menjadi perokok setelah 6 bulan sejak dihentikannya insentif.
– Insentif yang kurang tepat
Beberapa contoh lainnya tentang insentif terhadap aktifitas keseharian dalam keluarga, yang sering terjadi namun kurang pada tempatnya, misalnya:
– memberi uang kepada anak setiap kali mengucapkan ‘terimakasih’ saat menerima pemberian bantuan atau barang dari orang lain atau ‘maaf’ ketika melakukan kesalahan terhadap orang lain.
– memberi insentif uang kepada anak supaya sering membaca buku.
Maksud pemberi uang adalah memberi ajaran atau motivasi kepada anak untuk berbuat baik atau menghargai orang lain, namun bisa terjadi kesalahan tanggapan dari anak hingga menganggap kedua perbuatan tersebut hanya sebagai ‘alat’ untuk mengumpulkan uang dan tanpa sadar telah merendahkan nilai moral yang terkandung dalam maksud ajaran tersebut. Seperti diketahui, bahwa ‘aturan baku’ masyarakat yang berorientasi Pasar adalah kemampuan dan kemauan untuk membayar. Mekanisme Pasar bukanlah hanya alat perdagangan belaka, namun melekat di dalamnya adalah norma-norma. Begitu suatu tindak sosial dimulai dengan perilaku Pasar, maka selanjutnya norma-norma Pasarlah yang berlaku, dimana semua barang mempunyai nilai-nilai tukar finansial.
Denda vs Biaya?
Dalam hal kritik moral, Sandel memberikan pengertian yang jelas tentang perbedaan antaran Denda dan Biaya (fee). Denda bermakna adanya pelanggaran secara moral, sementara Biaya hanyalah harga transaksi semata tanpa adanya keterlibatan moral di dalamnya. Ketika Denda diperlakukan sebagai Biaya maka terjadi pengaburan pelanggaran moral didalamnya.
Didasarkan pada konsep Pasar dimana uang sebagai tolok-ukur nilai suatu barang, maka denda yang diperlakukan sebagai komoditi akan mudah terbeli oleh si kaya (a piece of cake).
– Kebijakan Satu Anak di Tiongkok
Di Tiongkok, denda sebesar kurang-lebih 200.000 yuan telah dikenakan terhadap para pelanggar kebijakan ‘1 anak’ sejak kebih dari 30 tahun yang lalu, untuk mengurangi pertumbuhan penduduk. Nilai denda sebesar itu terasa sangat berat bagi rata-rata pekerja, namun terasa ringan bagi para selebriti, pengusaha kaya atau olahragawan berprestasi. Banyak pihak menyesalkan para the haves yang bersikap arogan dengan membayar denda tersebut dengan ringan seolah membayar jasa murah untuk bebas menambah anak, dan mendesak pemerintah Tiongkok untuk memberikan hukuman sosial dan denda yang lebih besar sehingga bisa dirasakan oleh mereka bahwa perbuatan yang dilakukannya dengan mempunyai anak lebih dari satu adalah melanggar kebijakan pemerintah. Ada nilai moral dibalik kebijakan ‘1 anak’ yang diturunkan derajatnya dari status denda terhadap hukuman atas pelanggaran kebijakan, menjadi uang jasa (fee) yang bisa dibayarkan seenaknya, seolah pemerintah telah menjual hak untuk menambah anak bagi yang mampu membayarnya.
Perdagangan Ijin Polusi
Pilihan moral yang perlu dipikirkan oleh pemerintah dalam kaitannya dengan emisi karbon adalah:
- Menentukan batasan jumlah emissi dan memberikan sangsi bagi perusahaan yang melewati batas tersebut? Atau,
- Mengijinkan adanya perdagangan emissi ?
Perlu adanya keputusan pemerintah tentang arah kebijakan lingkungan. Mengijinkan negara untuk membeli hak jntik menyebarkan polusi, seperti halnya mengijinkan masyarakat untuk membeli tiket supaya bebas membuang sampah seenaknya.
Berdasar pada analogi yang sama, Sandel juga memberi contoh problematik moral tentang diberikannya ijin untuk berburu badak dan walrus.
Disini kita bisa temui bahwa pemaknaan Pasar tidaklah cukup tanpa pemaknaan moral.
Keterkaitan Insentif dengan Moral
Paul Samuelson penulis buku ekonomi yang kita pelajari semasa kuliah, mengidentifikasi masalah ekonomi adalah harga, upah, bunga, saham dan pinjaman, bank dan kredit, pajak dan belanja. Ekonomi menjelaskan depresiasi, pengangguran, inflasi, produktifitas, termasuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kini, ekonomi tidak hanya berhadapan dengan masalah produksi, distribusi dan komsumsi tapi juga tentang interaksi antar manusia, bahkan sudah menjadi panduan utama dalam setiap pengambilan keputusan dalam berbagai permasalahan sosial ataupun individual. ‘Insentif’ finansial adalah salah satu cara dalam sistem ekonomi pasar untuk menyelesaikan berbagai masalah tersebut di atas.
Steven D. Levitt, an economist at the University of Chicago, dan Stephen J. Dubner dalam bukunya Freakonomics menyatakan bahwa “insentif merupakan penanda kehidupan modern” dan “ekonomi sejatinya adalah studi tentang insentif”. Ini berarti nilai ekonomi pasar sudah masuk kehidupan sosial sehari-hari masyarakat jauh lebih dalam.
Insentif adalah bentuk intervensi dari para pembuat kebijakan (ekonom) untuk merancang, merekayasa dan melaksanakannya. Penurunan berat badan, ajakan bekerja keras atau pengurangan polusi bisa dilakukan dengan program Insentif ini. Para ekonom meyakini bahwa belum ada persoalan dunia ini yang tak terselesaikan dengan menggunakan cara insentif. Penyelesaian masalah dengan program insentif mungkin tidak selalu berjalan mulus, perlu paksaan, denda bahkan hukuman, namun masalah utama tetap dapa pada akhirnya terselesaikan. Insentif bagaikan sebuah peluru, yang sangat berkuasa untuk merubah keadaan. Inilah yang ditengarai Adam Smith sebagai “invisible hand“. Begitu Insentif menjadi ‘landasan kehidupan modern’, maka Ekonomi Pasar akan menjadi tangan yang kuat, berkuasa dan manipulatif.
Ungkapan Levitt and Dubner yang terkenal: “Morality represents the way we would like the world to work, and economics represents how it actually does work”.
Para ekonom sering berpendapat tidak benar bahwa Pasar tidak mempengaruhi nilai barang yang diaturnya. Pasar meninggalkan jejak pada norma-norma sosial. Bahkan sering terjadi bahwa Insentif, sebagai bagian perilaku Pasar, justru mendominasi nilai-nilai kebajikan yang ada sebelumnya.
3. Pasar yang mengalahkan Moral
Pada bab 3 dalam buku ini, Sandel kembali fokus pada pokok bahasan sesuai judul bukunya “Dalam hal apa sesungguhnya, uang layak dipergunakan atau tidak?”. Dengan cara yang berbeda, “Adakah yang tak terbeli oleh uang?”.
WHAT MONEY CAN AND CANNOT BUY
Dua azas penolakan ekonomi pasar yang umum dipergunakan untuk menilai kelayakan uang sebagai alat tukar, adalah:
- Azas Keadilan Ketidaksetaraan akses terhadap informasi dan kapital serta kondisi finansial personal menyebabkan rendahnya posisi tawar dalam perdagangan
- Azas Korupsi Merendahkan nilai-nilai kebajikan moral terhadap suatu hal yang seharusnya tidak untuk diperjual-belikan
Contoh permasalahan dilihat dari dua hal di atas:
Perdagangan organ tubuh
– Azas Keadilan
Di negara maju seperti AS, seringkali disebabkan karena kondisi finansial seseorang. Perdagangan dilakukan tidak dalam kondisi setara antara penjual dan pembeli, ada keterpaksaan.
– Azas Korupsi
Perdagangan anggota tubuh manusia jelas merupakan korupsi/degradasi moral terhadap makna kehidupan, yang ‘melihat’ anggota tubuh manusia sebagai ‘onderdil’ kelengkapan mesin kehidupan belaka.
Perdagangan Anak
– Azas Keadilan
Menempatkan anak-anak sebagai obyek perdagangan adalah sama saja dengan melepaskan nilai orangtua ke dalam pasar atau menganggap anak sebagai suatu barang yang murah
– Azas Korupsi
Perbedaan harga perdagangan anak menunjukkan bahwa nilai anak hanya didasarkan pada ras, jenis kelamin, intelektual, fisik dll.
Prostitusi
– Azas Keadilan
Siapapun yang menjual tubuhnya untuk kepuasan seksual pihak lain, umumnya disebabkan oleh keterpaksaan akibat kemiskinan, ketagihn obat-obatan, kekerasan.
– Azas Korupsi
Korupsi nilai-nilai perempuan dan membangun sikap buruk perilaku seksual.
Satu alasan mengapa Pasar menjadi tempat memperdagangkan barang adalah karena pasar memberikan kebebasan untuk memilih. Namun, pilihan-pilihan yang ada bisa saja bukan karena kebebasan, melainkan karena keterpaksaan, sehingga penawaran tidak terjadi secara adil.
Pasar tidak sepenuhnya hanya sebuah alat, tempat atau mekanisme belaka, karena sesungguhnya melekat di dalamnya adalah nilai-nilai. Dan tidak jarang, di dalam Pasar itu juga dipenuhi oleh nilai-nilai kebajikan, yang seharusnya tidak untuk diperjual-belikan.
Runtuhnya Nilai Kebajikan
Insentif finansial dan mekanisme pasar lainnya dapat menguasai norma-norma keluhuran yang telah ada.
Banyak contoh menunjukkan bahwa keterlibatan seseorang atau sekelompok orang dalam aktifitas sosial yang diyakininya sebagai tindak yang luhur, justru akan menolak bila dipaksakan dengan insentif finansial, karena dirasakan sebagai pelemahan motivasi, komersialisasi atau degradasi moral.
Dua Prinsip Nilai Ekonomi Pasar
Pertama, komersialisasi suatu aktifitas sosial tidak akan merubah nilai-nilai di dalamnya. Atau, uang dan relasi Pasar tidak akan menurunkan nilai kebajikan yang telah ada sebelumnya.
Kedua, perilaku beretika merupakan komoditi yang perlu dipertimbangkan keekonomiannya. Semakin sering dipergunakan, semakin sedikit akan tersisa. Dalam asumsi paham Pasar ini, perilaku yang lebih banyak berbasis Pasar, dan menggunakan sedikit basis moral, dianggap dapat menghemat sumberdaya etika yang tak terbarukan.
Altruisme, kemurahan, solidaritas dan semangat kebangsaan tidaklah sama dengan komoditi, yang semakin berkurang jumlahnya kerena penggunaan. Karakter-karakter tersebut lebih mirip sebagai otot yang semakin kuat karena terus dilatih.
“Dalam sebuah kota yang tertata, setiap insan akan dengan senang hati berkumpul bersama di taman terbuka, namun dibawah kepemimpinan yang kacau, tak satupun berminat berada dalam ruang publik yang sama”, kata Rousseau.
Lanjutnya, “Begitu pelayan publik menyerah sebagai pemimpin untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya dan uang dijadikan alat utama untuk membuat kebijakan daripada pendekatan kemanusiaan, maka pemerintahan sudah tak jauh dari keruntuhan”.
Apa yang salah dengan komersialisme?
Banyak kritik dari para aktifis sosial terhadap periklanan yang dianggapnya telah menembus ruang dan waktu tanpa peduli nilai-nilai moral dan menyebutnya sebagai “polusi”, “nilai komersial yang rendah”, “penyakit” yang menyebabkan “keringnya hati dan pikiran” masyarakat dunia.
Cukup sulit melawan tekanan nilai-nilai Pasar, bahkan seringkali juga sulit mencari alasan keberatan terhadap gencarnya periklanan yang masuk ke ruang publik dan ruang privat, bahkan sampai ke kamar tidur, dalam dua dekade ini.
Penolakan terhadap kekerasan Pasar didasarkan pada konsep bahwa relasi Pasar hanya dapat disebut bebas bila kondisi para pihak yang bertransaksi jual-beli dalam keadaan adil, tanpa paksaan dan juga hanya bila tidak ada pihak yang tergantung secara finansial, independent.
Perdebatan politik saat inipun umumnya masih pada masalah antara mereka yang berkeinginan supaya tidak ada intervensi terhadap Pasar, dan mereka yang berharap akan adanya keadilan, kesempatan dan akses yang sama terhadap Pasar.
Ini bukan tentang paksaan dan ketidakadilan, melainkan tentang degradasi Nilai terhadap aktifitas sosial, dan obyek kebendaan. Kritik moral terhadap komersialisme sebenarnya adalah tentang penolakan korupsi Nilai.
Komersialisme di Sekolah
Banyak sekolah di AS saat ini yang mendapatkan sponsor dari suatu produk industri, dan hampir 80% dari seluruh materi pendidikannya akan cenderung ‘miring’ atau berpihak pada produk tersebut, atau sedikitnya tidak akan melawan keberadaan produk yang diiklankannya. Kesulitan jelas akan dialami oleh sistem pengajaran dalam sekolah semacam ini, mengingat adanya kontradiksi moral di dalamnya.
Periklanan dimaksudkan supaya orang tertarik untuk memuaskan keinginannya, sementara pendidikan diharapkan untuk menghasilkan siswa yang mampu berpikir kritis sehingga dapat mengendalikan nafsunya. Tujuan utama periklanan adalah menarik pembeli, sedangkan tujuan pendidikan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Cukup berat memang tantangan pendidikan di era kebebasan pasar sekarang ini, untuk menjaga jarak dengan budaya pop yang cenderung kearah etika konsumerisme.
Penutup
Banyak aktifitas Pasar yang secara moral berada tidak pada tempatnya, misalnya dalam kehidupan keluarga, pekawanan, seksual, prokreasi, kesehatan, pendidikan, lingkungan, seni, olahraga dll. Begitu perilaku Pasar dan periklanan mulai mengubah sifat suatu barang, perlu segera dipertanyakan secara kritis bagaimana posisi seharusnya Nilai moral barang itu berada, karena keraguan untuk menunjukkan keyakinan moral dan spiritual sendiri ke ranah publik, maka Pasar akan menentukan Nilai-Nilai moral tersebut untuk kita.
Disaat kesenjangan finansial yang semakin tinggi, memperdagangkan semua hal dalam konsep Ekonomi Pasar akan semakin memperdalam jurang perbedaan kehidupan sosial masyarakat.
Mulai munculnya kejayaan Pasar di AS tiga dekade yang lalu, berada dalam waktu yang sama ketika wacana publik sedang terjadi kekosongan nilai-nilai moral dan spiritual yang substansial. Oleh karenanya, perlu terus dikampanyekan secara terbuka di ruang publik tentang Nilai benda-benda tertentu dan berbagai tindak sosial yang patut dihargai dan dihormati.
Kita hidup dalam ruang yang tercerai-berai; domisili, bekerja, belanja, sekolah dan bermain berada di tempat yang berbeda-beda. Ini bukanlah kehidupan yang nyaman dan juga tidak demokratis. Demokrasi tidak menuntut kesetaraan absolut, melainkan membutuhkan masyarakat yang bisa saling berbagi. Perbedaan status sosial karena latar belakang budaya, pendidikan, pekerjaan dll. dapat menyebabkan konflik antar anggota masyarakat dalam kehidupan keseharian. Dengan demikian diperlukan adanya saling pengertian dan tindak sosial yang nyata untuk merawat ‘ruang’ bersama sehingga kehidupan keseharian bisa berjalan nyaman dan damai.
Pada akhir bukunya, Sandel mengatakan bahwa persoalan tentang Ekonomi Pasar sebenarnya adalah pilihan tentang kehidupan bersama seperti apa yang ingin kita jalani. Apakah kita menginginkan masyarakat yang semua hal bisa diperjual-belikan? Ataukah, kita menginginkan kehidupan masyarakat yang mempunyai keyakinan nilai moral, dimana tidak semua hal bisa diperjual-belikan? Pertanyaan yang membangunkan dari kelelapan. Silahkan pembaca merenungkannya dan menjawabnya, sendiri.
Tinggalkan Balasan