Feeds:
Pos
Komentar

Archive for November, 2015

Screenshot_2015-11-27-11-49-26-1Berikut ini adalah catatan dari buku The World Energy is Flat, karya Daniel Lacalle dan Diego Parrilla tentang perilaku pasar energi dunia.

Dari sampul bagian dalam buku, penerbit menjelaskan bahwa maksud penulisan buku ini adalah mengungkapkan hasil analisis penulis tentang cepatnya perubahan kondisi pasar energi dan implikasinya terhadap ekonomi global serta perlunya strategi investor yang jeli dan hati-hati untuk memperoleh keuntungan dari situasi pasar yang ada.

Ada 4 bagian besar dalam buku Lacalle dan Parrilla ini, yaitu bagian 1 tentang pilihan strategi energi yang saat ini eksis di berbagai bagian dunia, kemudian bagian 2 tentang analogi fenomena revolusi internet dan gelembung dotcom yang diterapkan untuk analisis minyak dan pasar energi global. Bagian 3 menguasai bagian besar buku yang berisi tentang perataan energi dan 10 hal utama penunjangnya, kemudian bagian 4 adalah tentang implikasi dan peluang dalam pasar finansial.

Perataan dan Globalisasi Energi
Setelah kecelakaan reaktor nuklir Fukushima, yang terburuk sejak Chernobyl 1986, dimana keduanya berada pada skala 7 menurut acuan the International Nuclear Event Scale, banyak negara mulai menutup atau mengurangi reaktor nuklirnya dan berencana untuk tidak melanjutkan pembangunan yang baru. Namun demikian, Fukushima tidak mengubah posisi Perancis yang memenuhi 75% energi negerinya dari pembangkit tenaga nuklir. Demikian juga dengan Tiongkok, yang tetap berencana untuk membangun 70 reaktor nuklir baru hingga tahun 2020. Energi nuklir jelas menjadi ‘ancaman’ penting terhadap akhir dominasi OPEC, minyak. Ditutupnya seluruh pembangkit listrik tenaga nuklir di Jepang, menuntut adanya energi pengganti yang mungkin saja adalah batubara, gas alam, atau minyak. Harga gas alam pun mulai melejit di wilayah Asia hingga $20/MMBtu atau US$110 per barrel of oil equivalent (USD/boe) sehingga menggalakkan transportasi gas alam ke Jepang.

Australia, untuk mengamankan kebutuhan energinya, melakukan investasi hingga $500 juta untuk pembangunan infrastruktur LNG baru.

Tiga tahun setelah bencana Fukushima, Maret 2014, Perdana Menteri Abe menyatakan akan mengaktifkan kembali pembangkit nuklirnya secara bertahap, sehingga dapat memenuhi kebutuhan energinya dan menekan permintaan pasokan gas sekaligus menurunkan harga.

Di belahan dunia yang lain, AS yang mulai khawatir dengan ketahanan energinya justru mengalami kelimpahan, setelah menikmati kekayaan minyak dari proses fracking di lapisan tight oil dan shale gas. April 2012, konsumen gas AS menikmati harga rendah $2/MMBtu, berimplikasi pada insentifikasi substitusi pembangkit listrik tenaga batubara menjadi berbahanbakar gas dan merangsang tumbuhnya industri petrokimia.

Dari fenomena di atas, penulis buku ini berpendapat bahwa pergerakan Harga adalah penanda ketidak-seimbangan, sekaligus pemicu perubahan perilaku ekonomi, “the market defense itself”.

Geopolitik dan tingginya harga minyak
Ketidakseimbangan harga minyak dan gas seperti contoh di atas, yang dipicu oleh kejadian-kejadian lokal, akan mencapai keseimbangan baru karena adanya faktor-faktor kuat dari geopolitik, konsentrasi pasokan dan ketergantungan atas minyak. Misalnya, pada setiap terjadi ancaman geopolitik dan keamanan wilayah, konsumen akan berreaksi dengan cara meningkatkan volume penyimpanan, penemuan cadangan baru hingga peningkatan teknologi baru.

Tahun 2014, akibat terganggunya pasokan minyak dari Libya, sangsi perdagangan minyak Iran, serta kekacauan politik Sudan dan Siria, juga turunnya produksi minyak Irak, menyebabkan meningkatnya harga minyak dunia. Gangguan geopolitik akan menyebabkan naiknya harga minyak, namun dalam jangka lama akan turun kembali. Akhirnya, dunia minyak akan kembali seimbang, rata. A flatter energy world.

Harga minyak di AS pada tahun 2012 hampir 10 kali lipat lebih mahal daripada harga gas. Ini terjadi karena tidak ada mekanisme substitusi langsung dalam jangka pendek antara keduanya. Seperti diketahui bahwa minyak mentah banyak digunakan untuk keperluan transportasi, dan gas alam untuk pembangkit listrik perumahan dan industri. Sementara cadangan gas Amerika yang melimpah, produksi yang tinggi dan harga yang murah, sangat membantu konsumen untuk lebih mengembangkan dan mengimplementasikan teknologi berbahan-bakar gas. Substitusi minyak – gas akan berdampak besar pada pasar minyak mentah. Revolusi substitusi akan berjalan secara global dan implikasi besar akan terjadi pada lintas sektor energi yang mengakibatkan munculnya pemenang dan yang kalah, OPEC ada di dalamnya.

Perbedaan harga yang tinggi antara minyak dan gas akan memicu pengembangan infrastruktur baru, misalnya pabrik LPG, LNG, jalur pipa dan penyimpanan.

Fenomena Revolusi Internet dan Gelembung dotcom
Seperti halnya revolusi pada bidang internet, mobile, broadband dan revolusi teknologi ‘dotcom’ lainnya yang telah mengubah budaya hidup kita, demikian juga dengan revolusi teknologi dibidang minyak dan gas yang memunculkan teknologi ‘fracking’ di Amerika Utara untuk pemboran horizontal pada lapisan batuan mengandung minyak/gas yang ketat (shale gas atau tight rock). Revolusi teknologi yang menjadikan AS sebagai negara produsen minyak terbesar dunia dengan 11 juta bpd (barrels per day). Dibutuhkan produksi minyak OPEC (Call on OPEC) sebesar 29 juta bpd untuk menyeimbangkan pasar.

Selama revolusi dotcom, valuasi kekayaan pada banyak perusahaan menunjukkan kenaikan secara eksponensial. Modal banyak masuk, banyak ide baru, teknologi dan infrastruktur mampu meningkatkan pendanaan dengan mudah. Bahkan banyak investor dan modal ventura justru mencari peluang investasi. Demikian juga dengan sektor migas, revolusi energi mengalami hal dinamis yang sama. Namun, tidak semua hal yang sedang naik akan berujung sebagai pemenang dalam kurun waktu yang panjang. Modal mengalir masuk untuk investasi besar di bidang infrastruktur pasokan, dari kegiatan eksplorasi hingga distribusi. Ekspenditur kapital tahunan melampaui $750 milyar. Akan banyak yang menang ataupun kalah dalam revolusi energi ini, persis sama dengan revolusi internet yang telah mengibarkan Google, Amazon, eBay dan menghancurkan pets.com di AS dan boo.com di Eropa.

Dugaan berlebihan akan tingginya Permintaan mengakibatkan kelebihan kapasitas
Di era revolusi Dotcom, harapan adanya keuntungan yang tinggi didasarkan pada asumsi bahwa akan adanya pertumbuhan eksponensial pada sisi permintaan. Pertumbuhan seolah tanpa batas sehingga pada akhirnya terjadi pembangunan infrastruktur yang melebihi kapasitas. Diantaranya adalah infrastruktur broadband fibre-optic di AS. Demikian juga dengan sektor energi, keputusan investasi banyak didasarkan pada asumsi adanya pertumbuhan permintaan yang tinggi atau sikap optimistik yang berlebihan terhadap masa depan, yang seringkali didasarkan pada kesepakatan diplomasi, dan mengabaikan adanya efisiensi atau substitusi yang terjadi, sehingga bisa diduga akan berujung pada kapasitas berlebihan (overcapacity). Kelebihan kapasitas pasokan energi memang diharapkan oleh konsumen sehingga diperlukan sentralisasi, perencanaan dan strategi yang matang dibawah kendali pemerintah atau badan usaha milik negara. Misalnya, Tiongkok.

Efisiensi merupakan faktor pengubah (game changer) yang berfungsi sebagai penyebab ‘terganggunya’ Permintaan (demand destruction), yang seringkali diabaikan dalam estimasi pertumbuhan Permintaan. Produk industri global telah tumbuh 2% per tahun, dengan tanpa pertumbuhan konsumsi energi sejak 2005. Atau, dunia telah berproduksi semakin banyak dengan menggunakan lebih sedikit energi.

Menurut International Energy Agency (IEA), efisiensi yang semakin tinggi akan mampu mengurangi pertumbuhan permintaan energi global hingga separuhnya. Banyak wacana optimistik yang mengatakan bahwa akan terjadi pertumbuhan permintaan yang besar. Namun penulis memperingatkan bahwa perubahan keseimbangan pasar energi global tidak terjadi karena perputaran siklus biasa, melainkan karena struktural. Perlu diketahui bahwa ekonomi baru, bahkan di Tiongkok, tidak banyak pembangunan industri skala besar dengan konstruksi yang masif.

Pasar energi banyak dikendalikan oleh adanya asumsi ilusif yang terlalu optimistik terhadap adanya pertumbuhan Permintaan, sehingga estimasi pada akhirnya harus direvisi untuk diturunkan supaya lebih realistik. Penulis menyatakan bahwa sejatinya belum pernah terjadi Pasokan atau Permintaan yang betul-betul ekstrim. Perlu kiranya adanya filosofi yang lebih daripada hanya sekedar berpikir “outside the box”, namun juga memahami bahwa data kompilasi yang dipergunakan untuk keperluan estimasi Pasokan-Permintaan, telah banyak dipengaruhi oleh berbagai kepentingan dari banyak pihak, sehingga tidak lagi fokus pada kepentingan pasar saja.

Pemerintah selalu bersikap optimistik terhadap GDP, dan terlalu percaya terhadap adanya korelasi positif antara GDP dan Permintaan energi, yang sebetulnya telah terbantahkan sejak 1998 dimana pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak perlu diiringi dengan kenaikan Permintaan dan produksi.

Overcapacity
Selama awal tahun 2000an, industri telekomunikasi berusaha keras untuk terus mengembangkan tekhnilogi 3G, namun justru pemerintah ‘menghambat’ proses ini melalui penguasaan lisensi, untuk mendapatkan keuntungan maksimal lebih dulu dari teknologi 3G. Hal ini menyebabkan industri beada pada posisi sulit karena khawatir akan terlambat dalam kompetisi pengembangan teknologi. Kasus yang sama juga terjadi pada sektor migas, sehingga industri migas merasa perlu untuk berlomba-lomba investasi supaya tidak tertinggal dalam pengembangan teknologi yang mampu meningkatkan efisiensi.

Menurut penulis, investasi besar selalu tersedia pada setiap kesempatan terlibat dalam perubahan arah permainan pasar, dikenal dengan istilah “position rent”, yaitu keputusan ekonomi untuk investasi dalam jumlah besar di bidang energi, yang tidak hanya untuk mendapatkan keuntungan finansial yang besar semata, namun juga untuk kepentingan memperoleh peluang peningkatan aset dari kemajuan teknologi, juga peluang posisi strategis perusahaan di suatu negara.

Investasi kapital di bidang energi setiap tahun sebesar 5% – 10% dari total investasi ratusan milyar dollar, dilakukan oleh banyak perusahaan untuk keperluan mendapatkan peluang strategis atau keamanan pasokan, walaupun belum tentu ada kepastian pengembalian modal. Porsi investasi tersebut jauh semakin besar untuk perusahaan sekelas Gazprom atau PetroChina, demi turut terlibat dalam ‘mengarahkan permainan’ pasar energi. Jelas bahwa berbagai keputusan strategis ini akan memungkinkan perusahan-perusahaan tersebut dapat lebih tangguh untuk turut terlibat memainkan peran penting dalam persaingan di masa depan.

“Strategic premium” dan “geopolitic risk positioning” di atas, mampu menyebabkan turunnya harga minyak mentah karena kemajuan teknologi dan bertambahnya kapasitas baru yang diakibatkannya, sehingga tidak terjadi krisis pasokan atau tidak terjadi permintaan maksimum (harga tinggi) seperti yang diperkirakan.

Selain teknologi untuk keperluan efisiensi tersebut, juga munculnya modal ventura untuk pengembangan industri diferensiasi produk kilang minyak mentah untuk keperluan sektor transportasi seperti CNG, LNG, mobil listrik dan mobil hibrid. Sayangnya, pengembangan industri mobil listrik justru banyak mengalami hambatan, bukan karena disebabkan oleh lobi-lobi perusahaan minyak, tapi justru salah satunya oleh para pemerintah sendiri. Misalnya, terjadinya kucuran pinjaman dana oleh pemerintah AS untuk industri mobil sebesar $25 milyar, pada Desember 2008 dan pemerintah AS menjadi pemilik mayoritas saham General Motors.

Faktor lain penyebab tidak berkembangnya industri mobil listrik adalah:

1. Harga.
Mobil listrik tidak akan laku bila harga jual masih 50% lebih mahal daripada mobil bbm. Dan mungkin akan laku bila menarik secara fisik, murah dan efisien.

2. Pajak.
Uni Eropa mengenakan pajak bbm sebesar €250 milyar per tahun (pajak bbm 40%-65%). Jadi, bila mobil listrik menggunakan sebagian besar pasokan listrik pemerintah, bisa jadi EU akan beralih mengenakan pajak tinggi pada sektor pembangkit listrik. Selama ini subsidi pembangkit listrik, termasuk energi terbarukan, batubara dan gas telah menyebabkan tingginya rata-rata biaya listrik di Uni Eropa.

Ketidakpastian masa depan energi bisa menyebabkan kerugian karena pengembangan infrastruktur yang berlebihan sehingga terjadi ‘overcapacity’, namun disisi lain justru menguntungkan konsumen karena harga minyak yang akan menjadi murah. Namun ketika aset komoditi dan harga dikendalikan oleh ekonomi marginal, maka ketidakseimbangan yang besar antara Pasokan dan Permintaan dapat menyebabkan fluktuasi harga yang tajam.

Revolusi energi saat ini sangat relevan, ketika krisis-krisis minyak sebelumnya hanya tentang minyak, yang dipicu oleh pertentangan antara Pasokan dan Permintaan, saat ini lebih banyak variasi penyebabnya, seperti gas alam, energi terbarukan dan substitusi bahan-bakar lain yang bisa sebagai ancaman terhadap keberadaan minyak itu sendiri.

10 Gaya Perataan Dunia Energi
Sektor energi global saat ini tidaklah rata (flat), mengingat keberadaan dan biaya energi yang bervariasi di berbagai pelosok dunia. Misalnya harga minyak mentah dan gas.

Sejarah menunjukkan bahwa secara umum keberadaan dan biaya sumberdaya alam, dan energi khususnya, merupakan faktor penting dalam menentukan kesejahteraan dan kemiskinan suatu bangsa, baik di negara maju maupun negara sedang berkembang.

Penulis berpendapat bahwa ada 10 hal yang dapat meratakan (flattener) dunia energi, yaitu:
1. Geopolitics: The Two Sides of the Energy Security Coin
2. The Energy Reserves and Resources Glut
3. Horizontal Drilling and Fracking
4. The Energy Broadband
5. Overcapacity
6. Globalization, Industrialization, and Urbanization
7. Demand Destruction
8. Demand Displacement
9. Regulation and Government Intervention
10. Fiscal, Monetary, and Macroeconomic Flatteners

 

1. Geopolitics: The Two Sides of the Energy Security Coin
Pada tahun 2005, harga minyak mentah jatuh hingga $50/bbl, namun kembali melonjak di tahun 2008 hingga $140/bbl. Untuk pertama kakinya kenaikan harga minyak melonjak tinggi bukan karena geopolitik, namun karena tidak terpenuhinya Permintaan produk kilang (overcapacity) seperti bbm atau solar. Minyak mentah ‘heavy sour’ banyak di pasaran namun kapasitas kilang tidak mencukupi untuk memproduksi permintaan produk minyak yang lebih ringan (light) dan bersih.

Mengingat kebutuhan penggunaan alat transportasi yang tetap tinggi, maka hukum ekonomi pun mulai berjalan, harga minyak mentah naik dan produsen minyak mentah meningkatkan produksinya. Namun Saudi Arabia tidak turut meramaikan peningkatan produksi, bukan karena tidak ingin menikmati harga mahal, melainkan karena sistem kilang global tidak lagi mampu menampung kelebihan minyak Arab Saudi yang heavy dan sour untuk diproses menjadi produk ringan yang diharapkan oleh pasar.

Keseimbangan kekuatan telah bergeser dari para produsen minyak ke perusahaan pengilangan (refinery), walaupun tidak dalam jangka waktu yang lama.

Penyebab lain melonjaknya harga minyak adalah adanya subsidi pemerintah di pasar negara-negara sedang berkembang seperti Tiongkok, India dan Indonesia, untuk mencegah terjadinya lonjakan inflasi, krisis sosial dan melindungi konsumen terhadap fluktuasi harga minyak yang tajam.

Krisis finansial global yang terjadi saat itu, 2008, akhirnya menyebabkan harga minyak mentahpun merosot dari $140/bbl hingga $30/bbl namun kembali stabil setelah OPEC memotong produksinya secara agresif.

Kekacauan politik
Krisis di Irak 2014 menjadi salah satu sebab merosotnya harga minyak, dan lebih buruk lagi, belum ada kejelasan arah geopolitik Timur Tengah.

Minyak Irak sepenuhnya dimiliki oleh negara, dan perusahaan-perusahaan dari negara lain hanya terlibat bekerjasama sebagai kontraktor, bukan pemilik. Hampir seluruh minyak Irak, 80%, u tuk keperluan ekspor, dan lebih dari 77% berasal dari Irak bagian selatan yang uslit dijangksu ISIS.

Ancaman Venezuela untuk tidak mengekspor minyak ke AS semakin melemah karena bagaimanapun produsen membutuhkan pendapatan (revenue) secepatnya untuk mengamankan ‘cashflow’nya. Belum lagi, Venezuela yang pada tahun 2014 adalah negara dengan cadangan terbukti minyak terbesar di dunia, melebihi Arab Saudi, juga eksportir minyak terbesar ke-5 dunia, mengalami krisis ekonomi dengan inflasi mencapai 56% dan kekurangan makanan dan komoditi lainnya.

Perlu juga diketahui bahwa Venezuela ini telah menikmati kenaikan harga minyak tinggi, dari $18bbl menjadi $108/ bbl. Namun, kebijakan ekonomi yang salah, ditambah implementasi yang tidak bertanggungjawab, seperti subsidi yang sangat besar, donasi politik dan bantuan ke nagara sahabat yang juga sangat besar, telah meruntuhkan kekayaan yang diperoleh dari minyak.

Sebelum munculnya Chavez, PDVSA (Petróleos de Venezuela) merupakan perusahaan yang sangat bagus dan efisien di sektor migas, namun setelah restrukturisasi, justru menjadi tidak efisien dengan bertambahnya jumlah karyawan dari 40.000 orang menjadi 121.000 orang, sementara terjadi pengurangan produksi sebesar 16% dan gelembung hutang yang mengkhawatirkan, $7,1 milyar di tahun 1998 menjadi $43,3 pada tahun 2013, m3nurut laporan resmi PDVSA.

Venezuela kini sangat bergantung pada pendapatan dari minyak, dari $100 total pendapatan, $94 berasal dari ekspor minyak mentah. Seperti halnya Iran, Venezuela kini membutuhkan harga minyak sebesar $100/bbrl untuk menyeimbangkan anggarannya.

Beberapa puluh tahun terakhir ini, negara-negara produsen minyak di semenanjung Arab dan tempat lain di dunia, tanpa sengaja telah menghambat sendiri pengembangan cadangan terbukti minyaknya. Cadangan minyak dan gas mereka yang sangat besar ini telah lama tidak dikembangkan dan belum diproduksi. Konflik politik telah merusak infrastruktur yang ada dan membatasi investasi serta pengembangan kapasitas produksi yang baru. Contohnya adalah Iran dan Irak.

Mexico, negara bercadangan minyak besar, mampu menutup investasi asing untuk mengelola minyaknya sejak 1940an dengan tetap memberdayakan perusahaan nasionalnya, Petróleos Mexicanos (Pemex) untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Namun akhirnya harus ‘mengalah’, terhadap tuntutan efisiensi dan investasi asing demi menghadapi rendahnya harga minyak dan gas akibat revolusi industri migas, shale oil/gas di Amerika utara.

Akhirnya, tidak hanya konsumen yang menghadapi resiko fluktuasi harga minyak, namun Geopolitik juga menjadi ancaman terhadap produsen karena bisa menyebabkan rendahnya harga minyak, khususnya dekade akhir ini di Timur Tengah dan Amerika Latin.

Ketahanan energi bagi produsen adalah keamanan permintaan dan kemampuan menahan kelebihan produksi, sedangkan bagi konsumen, ketahanan energi menjadi prioritas tertinggi dalam menghadapi kondisi Geopolitik yang bisa berubah cepat menaikkan harga minyak. Konsumen melindungi dirinya dengan membangun infrastruktur yang melebihi kapasitas sehingga pasokan dapat diamankan.

Revolusi fracking di AS telah mengubah secara dramatis keseimbangan Pasokan/Permintaan minyak dunia, sehingga dunia energi semakin rata dan kompetisi pasar semakin sempurna, sehingga mengurangi peran oligopoli para kartel.
Russia vs Ukraine dan Barat

Tahun 1970 kanselir Jerman Barat Willy Brand mendapatkan kontrak pasokan gas Russia melalui jalur pipa yang melewati Ukraina, sekaligus menandai awal saling ketergantungan Soviet – Jerman. Ini adalah uang besar untuk Soviet dan dukungan ketahanan energi yang penting bagi Jerman. Saat ini pasokan gas ke negara-negara Eropa berada dalam keseimbangan geopolitik. Produksi wilayah domestik Eropa sendiri mampu memenuhi 39% kebutuhannya, dari Rusia 26%, Norwegia 16%, Aljazair 10%, dan sisanya 10% dari berbagai sumber lain, umumnya LNG.

Januari 2006, Russia memutus pasokan gas ke Ukraina, yang berdampak besar terhadap pasokan ke Eropa Tengah. Meskipun kekacauan tidak berlangsung lama, namun trust mulai terganggu dan kekhawatiran kedua belah pihak mulai tumbuh, sehingga ide diversifikasi mulai diwacanakan. Russia mulai mencari peluang komersial baru di Tiongkok dan berencana menambah jalur pipa baru ke Eropa. Sementara Eropa mulai mencari alternatif jaringan pemasok gas baru dan meningkatkan program energi terbarukan untuk mendukung ketahanan energinya.

Akibatnya, krisis yang hanya terjadi sebentar, menjadi berbuntut panjang dan berlarut-larut karena masing-masing mencari peluang diversifikasi, dan mempunyai kapasitas berlebih. Keduanya punya potensi sebagai penyeimbang (flatteners). Situasi semakin rumit karena hutang jatuh tempo dan kompensasi terhadap biaya transit pipa gas ke Eropa. Jan 2004, Ukraina punya hutang ke Gazprom, Russia sebesar $ 2,4 milyar. Eropa dan IMF menjadi penyelamat potensial Ukraina.

Ukraina sebenarnya mendapat harga gas murah dari Russia, $256 mcm, rapu karena situasi geopolitik dimana Ukraina mulai menjauhkan diri dari Russia, maka harga gas Russia untuk Ukraina berubah menjadi $400 mcm. Semua pipa pasokan gas Russia ke Eropa melalui Ukraina, yang mendapat biaya transit dari pengiriman gas ini. Tahun 2013, 25% pasokan minyak dan 33% gas Eropa diperoleh dqri Russia melalui jaringan pipa yang melintas Ukraina.

Dimulainya jalur pipa Nord Stream (September 2011) yang dimulai dari Vyborg, Russia menuju Greifswald, Jerman tanpa melewati Ukraina, merupakan jalur pasokan alternatif yang penting untuk Eropa.

Ukraina
Saat ini Ukraina memang sangat bergantung pada gas Russia. Namun dengan ditemukannya sumberdaya gas yang sangat besar, nomor 3 terbesar di Eropa setelah Russia dan Norwegia, ketergantungan Ukraina tersebut akan berkurang bahkan mulai menjalin hubungan strategis dengan AS untuk melanjutkan eksplorasi dan mengembangkannya.

Ini merupakan mimpi buruk Russia, karena:

1. Independensi energi Ukraina berarti Russia perlu mencari pasar pengganti
2. Dengan cadangan gas terbesar ketiga di Eropa (setelah Russia dan Norwegia), Ukraina sangat potensial menjadi pemasuk utama gas ke Eropa.

Saat penulisan buku ini, krisis Ukraina vs Russia sedang pada puncaknya.

Crimea
Geopolitik negara-negara bekas Uni Soviet semakin memanas dipicu dengan krisis Ukraina yang berdampak pada keseimbangan pasar energi di Eropa, belum lagi dengan kecenderungan Krimea ke Eropa Barat yang tentu akan mengganggu logistik di pelabuhan penting Sebastopol, Laut Hitam.

Dalam perdagangan bilateral, Russia sangat bergantung terhadap Eropa, mengingat kebutuhan gas domestik tidak dapat menyerap seluruh produksinya. Apalagi cadangan shale gas Ukraina dan Polandia cukup besar, belum lagi dengan batubara dan energi terbarukan, maka ketergantungan mereka terhadap Russia juga semakin kecil.

Tidak lama lagi kesaling-tergantungan (interdependency) antara Russia – Eropa akan semakin seimbang, bahkan dalam jangka panjang, ketergantungan Russia terhadap Eropa justru semakin besar.

 

2. Cadangan energi
Kekhawatiran akan terjadinya puncak produksi minyak (peak oil) yang konsep awalnya dimulai dari Malthus, kemudian dikembangkan oleh King Hubbert “theory of peak oil”, yang didasarkan pada tiga hal, yaitu eksploitasi minyak berlebihan, teknologi dan tekanan pasar, ternyata tidak terbukti.

Analisa tersebut ‘melupakan’ adanya kemungkinan temuan cadangan baru, penambahan cadangan, kemajuan teknologi yang menghasilkan sumberdaya unconventional yang sangat besar (shale oil, sand oil, dll.), substitusi energi dan penurunan permintaan (demand destruction).

Perubahan harga minyak selama ini menunjukkan tidak menerus (unsustainable), dinamis, sehingga tidak pernah tercapai ‘peak oil’ karena Permintaan yang tinggi, yang mengakibatkan runtuhnya ekonomi, karena ada berbagai faktor ekonomi yang terlibat di dalamnya, seperti inflasi, devaluasi $, pertumbuhan ekonomi suatu negara, demand destruction, yang perpaduan dari faktor-faktor ekonomi tersebut pada akhirnya akan kembali menyeimbangkan harga minyak dunia lagi dan tak akan terjadi kenaikan harga menerus.

Pendapat bahwa pertumbuhan penduduk akan berbanding linear dengan pertumbuhan konsumsi minyak adalah tidak sepenuhnya benar. Meskipun terjadi pertumbuhan populasi, kekayaan dan produksi, namun konsumsi energi per kapita relatif stabil sejak 1985, karena efisiensi dan pekembangan teknologi. Bahkan di AS, Jepang dan wilayah Uni Eropa, ‘peak oil’ telah terlewati pada tahun 2005, dan sekarang justru sudah lebih rendah konsumsi minyaknya.

Peak oil adalah titik maksimum produksi dan depleted adalah pengurangan fisik cadangan yang tak tergantikan, karena telah dilakukan eksploitasi. Enhance Oil Recovery (EOH) dan kemajuan teknologi, melalui pemboran horizontal dan pemboran laut dalam, telah mampu menggantikan jumlah cadangan minyak terambil. Saat ini investasi total per tahun sebesar $750 milyar dilakukan untuk menemukan cadangan baru.

Produksi minyak tidak akan jatuh karena cadangan berkurang, namun bisa terjadi karena faktor geopolitik. Produksi minyak dunia saat ini mampu mencapai 92 juta bpd bila diinginkan. Cadangan minyak tertambang saat ini sebesar 1,65 trilyun barel, mampu untuk memasok kebutuhan dunia selama 54 tahun dan bahkan bisa lebih lama bila kemajuan teknologi dan efisiensi turut dipethitungkan.

Penambahan cadangan di Saudi Arabia bukan karena adanya temuan baru (discovery) melainkan karena adanya perkembangan teknologi sehingga memungkinkan untuk dapat memproduksi minyak secara ekonomis lebih banyak daripada dimasa lalu. Demikian pula yang terjadi dengan Iran dan Venezuela. Juga Brazil dengan pemboran laut dalam dan shale oil di AS.

Dengan berbasis pada konsep Energy Return On Energy Invested (EROEI), unconventional energy (shale oil, sand oil dll.) dianggap boros energi untuk dapat mengeksploitasi minyak mentah. Asumsi tersebut tidak benar mengingat kemajuan teknologi dan nilai keekonomian bisa mengubah cadangan yang sebelumnya tidak ekonomis, menjadi bernilai ekonomis. Konsep EROEI tidak tepat digunakan untuk analisa ketahanan energi tanpa menambahkan parameter keekonomian.

Saat ini gas asosiasi (associated gas), yang biasa dianggap produk sampingan (by product) dan hanya dibakar (flare) saat memproduksi minyak mentah, mulai diperjual-belikan melalui pipa atau infrastruktur LNG untuk pembangkit listrik, bahan bakar mobil (BBM) kebutuhan rumahtangga dll. Gas alam, yang ramah lingkungan dan berlimpah cadangannya, sudah menjadi andalan pasar energi, dan berada pada posisi yang bagus untuk berkembang lebih lanjut sebagai pembangkit energi listrik, menggantikan peran bahan bakar minyak yang selama ini menjadi monopoli OPEC.

Penentuan harga gas
Pembangunan pipa baru dan infrastuktur LNG sangat padat modal (capital intensive). Produsen/konsumen mempunyai kepentingan yang sama untuk pengadaan infrastruktur tersebut, sehingga lazim terjadi kerjasama dalam jangka lama (20-30 tahun) untuk berbagi resiko dan keuntungan, dengan menggunakan skema bisnis yang paling aman, floating price.

Masalah timbul ketika tidak tersedia harga pembanding untuk perdagangan kargo spot LNG. Memang ada acuan harga untuk tujuan pengiriman ke Henry Hub (HH) di Amerika Utara atau National Balancing Point (NBP) di Inggris, namun harga-harga tersebut hanya berlaku untuk kondisi Pasokan dan Permintaan domestik di AS dan Inggris saja, bukan untuk Jepang dan Jerman, yang perbedaan harganya bisa sangat signifikan.

Untuk itu diperlukan solusi berupa formula khusus untuk konversi harga gas alam dengan harga bahan bakar alternatif lainnya. Jepang mengadopsi formula harga berdasar Japanese Crude Cocktail (JCC) untuk menghitung harga LNG. Faktor konversinya adalah 0.1, artinya bila harga JCC = $30 /bbl, maka harga LNG = $3 /MMBtu. Sementara Eropa menggunakan formula penentuan harga LNG yang lebih rumit, dengan memperhitungkan faktor harga minyak mentah, spesifikasi, batubara, inflasi dll. Secara ringkas, harga LNG berada dalam kurva ‘S’, dimana ada batas bawah dan batas atas sebagai pembatas.

Februari 2009, Platts mengumumkan berlakunya indeks JKM (Japan Korea Marker), yang didasarkan pada penilaian harian terhadap kargo-kargo LNG yang masuk ke Jepang dan Korea, yang merupakan negara importir LNG terbesar dunia.

Tiongkok dan Jepang sangat agresif untuk akuisisi sumberdaya alam, karena 3 hal:

1. Ekonomi
2. Managemen resiko finansial
3. Managemen resiko fisik

Saat ini 25% dari minyak yang diimpor oleh AS dan 30% oleh Tiongkok, berasal dari Afrika, dan propoersi tersebut akannterus meningkat di masa depan. Lebih dari $120 milyar telah dialokasikan untuk investasi sumberdaya alam di benua Afrika dalam beberapa tahun terakhir.

 

3. Horizontal Drilling and Fracking
Kemajuan teknologi perminyakan mampu meningkatkan volume dan efisiensi produksi. Ongkos produksi minyak per barrelnya untuk lokasi di darat AS, lepas pantai AS, Afrika dan Timur Tengah, berturut-turut adalah $34, $52, $45 dan $17.

Teknologi fracking pada awalnya ditemukan untuk memproduksi gas dari dalam lapisan batuan ketat, shale (tight rock), namun ternyata bisa juga dikembangkan untuk keperluan produksi minyak.

Tahun 2000an adalah awal produksi shale gas di AS, yang mampu menambah 1% total gasnya. Tahun 2012, AS telah mampu memenuhi 37% kebutuhan gasnya dari shale gas.

Dari sisi lingkungan, dalam 60 tahun, lebih dari satu juta lubang bor di AS, dilakukan dengan fracking, dan semuanya berada jauh di kedalaman tanah (lebih dari 3.000 feet). Sementara akuifer air tanah berada tak lebih dari 100 m dari permukaan tanah dan dibatasi oleh banyak lapisan batuan kedap air diantaranya sehingga kemungkinan terjadinya kebocoran minyak/gas ke dalam akuifer bisa dianggap kecil dan semakin kecil dengan semamin berkembangnya teknologi.

EIA memperkirakan bahwa sumberdaya shale oil AS sebesar 24 milyar barel, dan dengan menggunakan teknologi fracking yang ada saat ini, ongkos produksi rata-rata shale oil yang ekonomis adalah $60/barrel.

Diperkirakan Eropa mempunyai sumberdaya shale gas sebesar 156 tcm (trillion cubic metres), yang mampu memenuhi kebutuhan gasnya hingga 90 tahun. Sementara sumberdaya shale gas di Tiongkok sebesar 25 tcf.

Shale gas merupakan game changer, sebagai agen penyeimbang yang kuat dan faktor berpengaruh terhadap ketahanan energi dalam persaingan pasokan, yang memungkinkan para importir tradisional mengembangkan sumberdayanya sendiri.

 

4. The Energy Broadband
Jaringan distribusi energi dan globalisasi produk turunan gas alam (LNG, LPG, CNG) merupakan faktor penting perataan dunia energi.

Pipa Nord Stream 1224 km membutuhkan investasi $ 7,4 milyar dan 6 tahun penyelesaian. Selain padat modal dan butuh waktu lama, isu lingkungan juga menjadi penting dalam pembangunan infrastruktur pipa.

Untuk jaringan distribusi kontinental Eurasia, pada tahun 2000an, ekspor minyak Rusia ke Asia mencapai 4%. Saat ini sudah mencapai lebih dari 17%, dan diharapkan mencapai 30% dalam dua tahun lagi. Dengan selesainya jalur pipa Eastern Siberia – Pacific Ocean, maka ekspor minyak Russia ke Asia meningkat dari 0,5 juta bpd menjadi 2,1 juta bpd.

Selain dari Russia, Tiongkok juga banyak memenuhi kebutuhan energinya dari Kazakhstan (minyak 1,5 juta bpd), Turkmenistan dan Uzbekistan (gas 10 milyar cm).

LNG dan globalisasi gas alam
Dalam kondisi temperatur dan tekanan udara normal, methane berada dalam fase gas, namun bila dibekukan hingga – 260F (-162C), akan berubah menjadi cair dengan volume yang jauh lebih kecil, 1/600 dari ukuran pada fase gas, segingga mudah untuk dipindahkan menggunakan alat angkut (truk).

Pembangunan pabrik LNG likuifaksi, pengapalan dan pabrik regasifikasi merupakan investasi yang rumit, sangat padat modal dan butuh waktu lama, sehingga pada umumnya kontrak trading LNG berlangsung lama, bahkan bisa sampai 30 tahun dengan basis “take or pay” (mau gak mau tetap harus bayar).

Australia melakukan investasi pembangunan pabrik LNG sebesar $500 milyar untuk pasokan ke Asia Timur. Banyak negara lain yang sudah mulai berupaya untuk memenuhi pasar di wilayah tersebut.

Harga gas alam ditentukan secara regional, yang selama ini hanya di 3 tempat, yaitu:
1. Henry Hub (HH), AS untuk wilayah Amerika.
2. National Balancing Point (NBP), UK
3. Japan Korea Marker (JKM)

Investasi tanpa keamanan Permintaan atau kepastian harga, dapat membahayakan, terutama bila para konsumen juga turut berinvestasi sehingga menyebabkan kelebihan kapasitas pada akhirnya.

Harga gas di masing-masing wilayah tersebut tidak saling mempengaruhi (independen).

LNG super-cycle
Harga LNG dunia sangat dipengaruhi oleh tumbuhnya shale gas di Amerika, bencana nuklir Fukushima dan geopolitik Rusia-Ukraina.

Penulis berpendapat bahwa pada tahun 2017 akan terjadi penambahan ekspor LNG dunia sebesar 32% dari keadaan saat ini, yang akan diserap oleh pasar sehingga menggantikan alternatif bahan bakar lainnya.

Solid methane
Selain dalam bentuk gas dan cair, methane dalam bentuk padat (CBM, coal bed methane) juga dapat diekspor secara tidak langsung dalam bentuk barang dan jasa.

Harga listrik merupakan kunci penggerak roda industri, sekaligus sebagai keunggulan daya saing. AS menikmati betul rendahnya harga gas alam sebagai stimulus ekonomi dan kontributor utama penyehatan ekonomi AS. Sebaliknya, Jepang mengalami penurunan daya saing sebagai akibat tragedi Fukushima yang menyebabkan kurangnya pasokan pembangkit listrik energi nuklir dan semakin mahalnya harga LNG.

Setelah krisis 1972, kemudian 1979, berbagai pihak mulai perlu langkah strategis untuk mengamankan dirinya dari lonjakan harga dengan cara melakukan eksplorasi yang agresif, diversifikasi pasokan, cadangan minyak strategis, bahan bakar alternatif atau baru, kebijakan efisiensi atau konservasi, atau bahkan biofuel.

Strategi konsumer AS untuk menghadapi resesi minyak dunia adalah dengan Strategic Petroleum Reserve (SPR), yang mampu mempertahankan sumberdaya energi (ketahanan energi) untuk memenuhi permintaan pasar domestik selama 90 hari pada saat terjadi Arab Spring, tanpa impor. Namun mengingat produksi minyak domestik AS yang semakin tinggi hingga suatu saat mampu independen, maka bisa jadi SPR tidak akan diperlukan lagi.

 

5. Overcapacity
Pengusahaan kilang minyak dipicu oleh adanya keuntungan yang diperoleh dari selisih harga antara harga minyak mentah sebagai input dan biaya pengilangan untuk memproduksi minyak yang lebih ‘bersih’ dan berbagai turunannya. Namun seringkali keuntungan yang lebih besar akan diperoleh oleh negara produsen minyak, bukan pengusaha kilang.

Tahun 2008, kilang yang mengalami ‘over capacity’ sempat menikmati keuntungan besar ketika harga minyak mentah dunia mencapai $140 bpd dan permintaan clean oil tinggi. Hal ini tidak berlangsung lama karena mulai marak terjadi peningkatan kapasitas kilang untuk mengajar marjin keuntungan. Di Amerika Utara, kilang bayak menangguk utung karena harga minyak murah (tight oil), sedangkan di Eropa dan Asia, kilang mendapatkan marjin keuntungan yang tipis karena ‘overcapacity’ serta tekanan pemerintah dan konsumen untuk penurunan harga produk kilang.

Kilang-kilang besar biasa dibangun di negara penghasil minyak, demikian pula piha konsumer juga membangun storage/refinary di negara masing-masing untuk mengantisipasi kelangkaan minyak atau tingginya harga minyak, sehingga kedua hal tersebut turut andil sebagai penyebab overcapacity.

Diplomatic demand outlook
Minyak mentah Arab Saudi adalah jenis ‘heavy sour’, berkandungan sulfur tinggi hingga dapat menyebabkan hujan asam. Lebih mendekati atau cocok utk bahan bakar minyak (fossil fuel). Sedangkan produk WTI dan Brent adalah ‘light sweet’.

Lokasi kilang sangat menentukan prospek bisnis pengilangan. Di Amerika Utara, tingginya produksi domestik yang didukung oleh regulasi pembatasan ekspor minyak mentah mengakibatkan keuntungan besar usaha pengilangan. Produksi tinggi minyak mentah menyebabkan kilang dapat membeli minyak mentah dengan harga murah untuk dikonversi menjadi produk kilang yang lebih bagus. ini merupakan keuntungan besar kilang atas tanggungan biaya tinggi dari produsen dan konsumen. Sebaliknya, kilang di Eropa dan Asia mengalami tekanan karena harga minyak Brent dan sejenisnya adalah harga Amerika Utara, sehingga produsen tetap menikmati keuntungan besar, namun atas beban biaya kilang dan konsumen.

Seperti diketahui bahwa sifat dasar industri energi adalah perilaku sinuistik ‘pro-cyclical’, yaitu keyakinan akan adanya permintaan tinggi terhadap minyak di satu sisi, dan penurunan harga yang diakibatkanya karena terjadinya over capacity berhubung pengembangan infrastruktur berlebihan di sisi lain.

 

6. Globalisasi, Industrialisasi, dan Urbanisasi
Ada suatu keyakinan yang sepenuhnya tak bisa dibenarkan, misalnya: dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka akan bertambah pula kebutuhan energi, yang berarti akan bertambah pula polusi udara yang diakibatkannya.

Berikut ini beberapa hal yang tidak mendukung keyakinan tersebut di atas.

Perlambatan pertumbuhan populasi global
Populasi global memang meningkat, namun dengan pertumbuhan yang rendah. Populasi dunia pada tahun 2013 adalah 7 milyar orang, tahun 2050 diperkirakan akan mencapai 9 milyar dan 2100 akan menjadi 11 milyar orang. Pertumbuhan akan menurun, dimana saat ini sebesar 1,25% akan menjadi 0,25% per tahun. Bahkan, 50 tahun lagi pertumbuhan di Eropa Tengah dan Timur akan turun 30%, 22% di Italia dan 14% di Jepang. Artinya, pertumbuhan penduduk terus terjadi, meskipun secara rata-rata, kecil persentasenya.

Struktur usia telah berubah
Dalam model piramida demografi struktur penyebaran usia global, kelompok usia tua semakin bertambah jumlahnya relatif terhadap usia yang lebih muda. Ini akan berimplikasi pada pengeluaran global yang lebih dibutuhkan untuk keperluan pembiayaan pensiun, jaminan kesehatan dan perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Perubahan model demografi ini juga akan berimplikasi pada kebutuhan energi, mengingat perbedaan usia dan area, akan mempengaruhi pola konsumsi energinya.

Pertumbuhan Populasi vs Pertumbuhan Ekonomi vs Pertumbuhan Kebutuhan Energi
Bagaimana pengaruh kebutuhan energi akan berperan dalam peningkatan ekonomi di masa depan? Yang terjadi selama ini adalah, secara rata-rata, pertumbuhan ekonomi semakin justru berbanding terbalik dengan kebutuhan energi.

Populasi Amerika Utara hanya 5% dari populasi dunia, namun mengkonsumsi 24% total energi dunia. IEA memperkirakan bahwa pertumbuhan permintaan energi dunia dalam kurun waktu 2010-2040 sebesar 56% (1,1% per tahun), dengan distribusi regional tidak merata dimana dalam wilayah OECD sebesar 17% dan diluar OECD 90%. Tahun 2040, kebutuhan energi Tiongkok sebesar dua kali kebutuhan AS, atau empat kali India. Sedangkan dalam hal pertumbuhan ekonomi, IMF memperkirakan bahwa pertumbuhan GDP dunia dalam kurun waktu yang sama adalah 411% (3.6% per tahun), dimana 4,7% berada di luar wilayah OECD dan 2,1% di dalamnya. Dari sisi kebutuhan energi, bisa dibedakan dalam dua kategori besar yaitu: kebutuhan energi untuk pembangkit listrik dan industri; serta untuk bahan bakar transportasi.

Ringkasan dari data di atas adalah bahwa pertumbuhan penduduk sebesar 0,25% dan pertumbuhan ekonomi (GDP) sebesar 3,6% per tahun akan menghasilkan pertumbuhan konsumsi energi sebesar 1,5% per tahun.

 

7. Demand Destruction
Efisiensi adalah kunci utama untuk mengamankan Pasokan/Permintaan. Efisiensi bisa terjadi karena tekanan pasar (invisible hand), atau karena kebijakan pemerintah (visibke hand).

Hari ini, 1 dari 10 barrel minyak dunia akan berada di pompa bensin AS. Bila penggunaan bensin di AS bisa lebih irit, dari 24 mpg menjadi 34 mpg (mile per gallon), maka kebutuhan minyak dunia bisa berkurang sebesar 1,65 juta bpd atau sekitar 4% per hari. (30 MPG = 9,4 lt/100km)

Efisiensi dan campurtangan pemerintah merupakan upaya yang bagus untuk mengurangi ketergantungan energi asing, mengamankan cadangan dan menjaga lingkungan.

 

8. Demand Displacement
Dari diskusi dengan banyak pihak, penulis berpendapat bahwa mereka lebih fokus pada sisi Pasokan dan Biaya Produksi daripada sisi Permintaan, serta meyakini bahwa bbm tak akan tergantikan. Asumsi lain adalah negara produsen yakin bahwa mampu mengkontrol harga minyak. Asumsi-asumsi seperti ini jelas berbahaya, karena:

  1. Harga banyak ditentukan oleh Pasokan dan Permintaan.
  2. Konsumen tetap akan beralih pilihan bila harga minyak tinggi
  3. Negara produsen cenderung memberi subsidi berlebihan thd harga minyak tinggi ke konsumen (venezuela, timur tengah, indonesia).

Bahan bakar alternatif, sebagai ancaman eksistensi BBM mulai banyak dipergunakan, misalnya biofuel, gas alam, batubara cair, gas cair, dsb. Beberapa hal yang menjadi faktor penentu terjadinya konversi bahan bakar transportasi dari BBM ke alternatif lainnya adalah:

1. Nilai investasi
Mobil berbahan bakar Gas (NGV), mobil listrik (EV) atau hibrid (HEV) saat ini masih berharga mahal, namun dengan berkembangnya teknologi, harga akan turun, apalagi dengan ditunjang oleh adanya insentif pajak dan besarnya produksi.

2. Biaya operasi
Dengan rendahnya harga gas domestik (shale gas), juga rendahnya energi listrik, diharapkan penggunakan kendaraan transportasi berbahan bakar alternatif akan semaki banyak digemari.

3. Kenyamanan dan jarak penggunaan
Mobil berBBM memang saat ini masih mudah diperoleh, nyaman dan jarak tempuh lebih jauh dibandingkan dengan mobil berbahan bakar gas atau listrik, namun, sekali lagi, dengan pesatnya perkembangan teknologi, mobil berBBM akan tertinggal. Stasiun pengisian gas/listrik saat ini juga masih terbatas jumlahnya, namun masih terus bertambah bahkan bisa diisi di rumah sendiri.

4. Kinerja
Kinerja mobil berbahan bakar alternatif juga mempunyai kinerja yang bagus

5. Lingkungan dan subsidi
Isu lingkungan dan Perubahan Iklim mulai banyak menyerang kebijakan penggunaan bahan bakar fosil

6. Keselamatan
Seringkali yang dikhawatirkan adalah keamanan tanki bahan bakar gas yang mudah meledak. Tidak benar, karena uji kelayakan/keamanan sudah membuktikan bahwa tanki gas adalah aman.

7. Keamanan pasokan
Jelas bahwa pasokan gas di AS tidak akan mengkhawatirkan, mengingat besarnya jumlah cadangan gas dari Shale Gas yang tersedia.

Mengapa mobil listrik sulit berkembang?

  1. Insentif milyaran dollar dari pemerintah AS utk pabrik mobil konvensional
  2. Pajak atas minyak. Pendapatan pajak bensin (petrol) dan diesel (solar) di Uni Eropa sebesar E 250 milyar
  3. Kesalahan model di industri mobil menyebabkan harga mobil semakin mahal. Hanya sistem ‘bahan bakar’ yang diubah, bukan kesuluruhan desain mobil yang diganti.

Kebutuhan peningkatan kapasitas pembangkit listrik

Pembangkit listrik sangat padat modal sehingga diperlukan kemampuan untuk terus dapat beroperasi hingga 60 tahun atau lebih, sehingga mampu menghasilkan keuntungan yang sepadan. Selanjutnya perlu dipertimbangkan pilihan efisiensi teknologi untuk mempercepat dan miningkatkan keuntungan, mengingat pembangkit listrik bisa didukung oleh berbagai bahan bakar seperti gas, minyak, batubara, uranium, air, angin atau matahari. Yang terjadi kemudian adalah energy mix dengan memperhitungkan keamanan pasokan, keekonomian dan lingkungan.

Pembangkit listrik di AS ditopang berturut-turut oleh batubara sebesar 45%, gas 23% (terus tumbuh), nuklir 20%, PLTA 7%, Tenaga angin 2% dan minyak 1% (terus turun). Di Eropa, nuklir, batubara dan gas masing-masing sebesar 25%, PLTA 15%, minyak dan tenaga angin masing-masing 3%. Di Jepang, tenaga nuklir, batubara dan gas masing-masing 27%, sementara minyak masih 8% dan PLTA 8%. Pembangkit listrik di Tiiongkok menggunakan 80% batubara dan 16% PLTA; seadngkan India menggunakan batubara 69% dan PLTA 13%.

Tentang Energi Nuklir, AS, Perancis dan Tiongkok berada dalam sikap yang sama untuk melanjutkan penggunaan dan pengembangannya. Sementara Jerman dan Itali memilih untuk melakukan moratorium penambahan tenaga Nuklir, namun tetap mengimpor listrik dari dari Perancis yang nota bene dibangkitkan oleh Tenaga Nuklir.

The energy domino
Tahun 2013, harga tenaga listrik di Jerman hampir setengah dari harga tahun 2009. Pada kurun waktu yang sama, produsen sel surya yang menjamur di Jerman ‘memaksa’ turunnya biaya produksi karena ekspektasi permintaan yang terlalu optimistik. Perubahan permintaan (substitusi) terjadi karena adanya pilihan energi yang lebih murah dan pasokan yang mudah diperoleh.

Perhitungan kasar menunjukkan bahwa emisi gas CO2 yang diakibatkan oleh penggunaan Gas Alam sebagai pembangkit listrik sebesar 1/3 kali penggunaan batubara. Selain karena kelemahan batubara dalam hal emissi CO2, batubara juga lebih mahal dibanding Gas Alam, yang berlimpah cadangannya di AS (shale gas).

Sebaliknya di Eropa, harga pembangkit listrik tenaga batubara justru lebih murah dibanding menggunakan gas alam, karena biaya emisi CO2 relatif rendah dan tingginya kebutuhan LNG.

Mobil berbahan bakar gas alam, listrik, hibrid, CBM, LNG, biofuel, sel surya, dll; tak jelas benar bahan bakar apa yang akan dominan, namun satu hal yang jelas adalah bahwa BBM akan tergantikan atau paling tidak semakin berkurang penggunaannya.

Nilai kepemilikan beberapa produsen batubara terbesar di AS semakin turun dalam beberapa tahun ini sehingga menimbulkan efek domino “cheap becomes cheaper”.

 

9. Regulasi dan Intervensi Pemerintah
Regulasi lingkungan hidup di AS menuntut adanya energy mix untuk mengurangi polusi udara melalui penggunaan energi terbarukan, namun justru berakhir dengan solusi penggunaan batubara yang bahkan meningkatkan polusi, menggantikan gas alam.

Dalam konteks pemilihan sumber pembangkit listrik, jargon “freedom of choice” menimbulkan tanya “apakah konsumer akan menentukan kebutuhannya atau pemerintah yang akan menentukannya?”. Pengalaman menunjukkan selalu ada ‘kepentingan’ di belakang choice.

Regulasi vs pasar
Regulasi tetap dibutuhkan dalam mekanisme pasar bebas. Persoalan regulasi akan muncul bila bercampur dengan agenda politik, kebutuhan jangka-pendek, digunakan untuk menekan mekanisme pasar atau desain kebijakan/regulasi itu sendiri memang tidak bagus.

Kebijakan lingkungan juga mempunyai andil besar dalam pasar energi. Misalnya, Maret 2014, Tiongkok mencanangkan “perang melawan polusi”. Kebijakan tersebut berdampak strategis karena akan mempengaruhi desain penggunaan energi, mengingat batubara sebagai sumber utama pembangkit listrik, dinilai tidak ramah lingkungan.

 

10. Fiscal, Monetery, and Macroeconomic Flatteners

The “OPEC put”
Sering pasar berpendapat bahwa harga yang ditentukan oleh OPEC, “OPEC put”, merupakan ketentuan harga dasar yang mampu dipertahankan oleh OPEC dengan cara pengurangan produksi. Namun kenyataannya tidak demikian, OPEC tidak akan mengurangi produksinya hingga tidak berproduksi, untuk mempertahankan harga minyak; karena itu berarti 0 revenue, keluar dari pasar, tidak memenuhi kontrak perdagangan dan secara teknis akan membahayakan operasi produksi.

Yang terjadi adalah perubahan strategi dari “defence of price” ke “defence of volume”. Memproduksi minyak lebih banyak dengan harga rendah dengan harapan revenue tetap tinggi.

Studi APIC (Arab Petroleum Investment Corporatiin) menunjukkan bahwa breakeven price meningkat dari 2010 $77/bbl menjadi $100/bbl tahun 2013.

 

Implikasi dan Peluang dalam Pasar Finansial
Pada umumnya, pengusaha mempunyai tiga karakteristik yang khas, yaitu: sebagai penjual yang baik, reaktif dan berpandangan optimis. Sedangkan karakter Think against the box ditunjukkan dengan kemampuan mengidentifikasi inkonsistensi dan siklus perubahan atau setidaknya memahami tingkat potensi resiko yang dihadapi dan kemungkinan penyelesaian masalahnya.

Penulis meyakini bahwa gas alam akan menjadi pemenang dalam revolusi energi, namun tidak menyarankan untuk investasi dengan cara ETF (exchange traded fund) karena dua hal:

  1. Gas alam akan menjadi pemenang dalam hal besarnya volume, bukan dalam hal harga
  2. ETF gas alam AS cukup rumit, bahkan merupakan investasi yang berresiko tinggi

Kerumitan ETF ini menyangkut relasi antara commodity prices vs commodity equities. Commodity prices adalah harga minyak mentah, sedangkan commoditiy equities adalah harga perusahaan. Seringkali para pemain ETF berasumsi bahwa naiknya harga minyak akan berakibat naiknya harga perusahaan, atau berkorelasi positif. Kenyataannya tidak mesti demikian, bahkan bisa berkorelasi negatif, karena beberapa hal, misalnya:

  1. Semakin tinggi harga minyak mentah, semakin tinggi juga resiko terjadinya kenaikan pajak, ekspropriasi, bahkan nasionalisasi
  2. Pemogokan buruh, kekacauan pasokan, kebijakan ‘hedging’, resiko flujtuasi mata uang, lingkungan (kasus BP),

Berbagai resiko tersebut akan berdampak pada valuasi komoditi yang cenderung turun, dinamis dan tidak stabil seiring berjalannya waktu. Mudahnya, komoditi ekuiti ditentukan oleh harga minyak sebesar 1/3 bagian, dan sisanya 2/3 bagian ditentukan oleh faktor-faktor lain (spt tsb di atas), yang tidak berhubungan dengan harga minyak.

Pendapatan Arab Saudi sebesar 90% disumbang oleh minyak. Kebijakan ekonomi dan kebijakan luar negeri Riyadh sepenuhnya bergantung pada minyak. Rencana diversifikasi pemerintah Arab Saudi akan fokus pada bidang energi, pembangkit listrik, eksplorasi gas alam dan produk-produk petrokimia, yang semuanya berhubungan dan didukung oleh industri perminyakan. Arab Saudi membutuhkan 40% minyak per kapita lebih banyak daripada AS, atau lebih dari 3 kalinya Jerman atau Perancis.

Arab Saudi juga merupakan negara dengan subsidi per kapita terbesar di dunia, dan merupakan negara ke-2 di dunia terbesar nilai subsudi absolutnya, $43 milyar (2012), dibawah Iran, sebesar $61 milyar (2012) dengan jumlah penduduk hampir tiga kalinya, 76 juta orang. Arab Saudi menjual minyak untuk keperluan domestik seharga $5 – $15 per barrel.

Negara-negara yang banyak menghamburkan uang untuk subsidi harga bahan bakar minyak, pada umumnya adalah negara-negara produsen minyak, seperti Arab Saudi, Iran, Rusia dan Venezuela (juga Indonesia), yang penggunaan utamanya untuk keperluan sosial dan pembiayaan lainnya, tidak hanya untuk keperluan biaya produksi minyak. Bahkan di Tiongkok dan India, juga Indonesia, dibutuhkan untuk keperluan mengatasi inflasi.

Masalah kemudian akan timbul ketika kebutuhan subsidi yang semakin tinggi akan mendorong harga ‘breakeven’ minyak, untuk menyeimbangkan budget. Harga tinggi bisa diperoleh dengan mengurangi produksi, sedangkan sebagai negara produsen, membutuhkan pendapatan yang semakin tinggi dari peningkatan volume penjualan, maka pada akhirnya akan kesulitan mengurangi produksi daan harga semakin tinggi.

Harga minyak masih mungkin untuk turun, dengan cara melakukan substitusi bahan bakar minyak ke penggunaan gas untuk keperluan transportasi. Dan menurut penulis, hal ini akan menjadi faktor pengganjal dominasi OPEC.

Venezuela telah terperangkap dalam kasus subsidi harga minyak yang semakin besar. Inflasi semakin tinggi dan rakyat sudah termanjakan dengan harga minyak murah.

 

Penutup
Mengingat begitu stragisnya nilai energi bagi suatu negara sebagai agen pertumbuhan ekonomi dan perkembangan industri, maka ‘pertarungan’ akan terus berlangsung antara produsen dan konsumen untuk mencapai keseimbangan kepentingan dan memenangkan kompetisi.

Pertarungan ini umumnya pada aspek ketahanan pasokan energi, dan juga pembiayaan. Dan yang paling utama adalah aspek teknologi dan sumberdaya untuk bisa menghasilkan energi dengan harga yang terjangkau, volume besar dan ramah lingkungan.

Pada akhirnya, pemenang utama dalam revolusi energi adalah konsumen, yang mempunyai akses lebih dan murah terhadap energi.

Ada beberapa ciri pemenang dan yang kalah dari hasil pertarungan keras ini, yaitu:

Pemenang, adalah mereka yang:

  • tidak menganggap penting kecenderungan (trend) pasar dan lebih berpegang pada return on capital sebagai panduan, tanpa harus mengkesampingkan kebijakan.
  • memahami bahwa keyakinan berlebihan terhadap kenaikan Permintaan tidak dapat dijadikan dasar untuk investasi
  • memahami bahwa pasar energi bersifat alami ‘pro-cyclical’, yang bisa jatuh karena oversupply sehingga perlu sifat lentur dalam menghadapi berbagai perubahan
  • memahami kebutuhan dukungan perusahaan energi yang berkelanjutan
  • menyadari sepenuhnya bahwa pemerintah rela mengeluarkan uang demi ketahanan pasokan energi daripada keuntungan finansial

Yang kalah, akan:

  • jatuh dengan cepat karena salah memanfaatkan insentif pemerintah dan terlalu cepat bertindak berdasar gejala-gejala jangka pendek
  • melihat kredit sebagai solusi alternatif untuk ekspansi balance sheet yang menyebabkan sisi finansial semakin rapuh
  • berharap ada perubahan kebijakan untuk dapat menyelesaikan kesalahan strategik perusahaan
  • menunggu perubahan siklus pasar

Akhir dari kompetisi ini semua adalah energi murah dan tersedia bagi semua konsumen.

 

Penulis
Daniel Lacalle is an economist, fund manager and certified financial analyst specialised in Global Energy with experience in equities, bonds and commodities.

Diego Parrilla is a Hedge Fund Manager at BlueCrest Capital Management where he runs a portfolio of liquid macro commodity strategies. A Master of Science in Mineral Economics from the Colorado School of Mines in the USA, and a Master of Science in Petroleum Economics and Management by the French Institute of Petroleum in Paris. France. Diego currently resides ln Slngapore with his wife and three children.

 

Kritik buku

  1. Bagi pemula dalam dunia migas, buku ini sangat direkomendasikan karena padat informasi, khususnya dalam hal ‘permainan’ pasar energi dunia.
  2. Dari sisi penyampaian, perubahan subtopik bahasan cenderung melompat-lompat sehingga bahasan topik terkesan tidak tuntas, atau sepotong-sepotong.
  3. Daftar Pustaka pada akhir masing-masing bab sangat membantu untuk mengetahui lebih dalam tentang pokok bahasan.

 

Daftar Pustaka
1.  Lacalle and Parrilla, The Energy World Is Flat
2. Who benefits from lower oil prices?

Judul buku: The energy world is flat
Penulis: Daniel Lacalle dan Diego Parrilla
Jumlah halaman : 310
Penerbit: Wiley
Tahun: 2015

 

Read Full Post »

Bilowo

‘Bilowo Rangsang’, Ki Manteb Sudarsono, 13 Nov. 2015

Ki Manteb 'in action'Berada di tengah jamuan budaya wayang kulit, selalu terasa gerak tercuri, berat niat untuk beranjak, bahkan ketika hanya sedikit makna luhur terserap dalam benak.

Waranggana berderet duduk tegak beralas kaki tertekuk lentur, kebaya keemasan berkelip menyamarkan kulit, selendang merah menggantung rapi terlipat, berbalut jarik batik hitam merah. Tak tampak wajah kantuk ataupun lelah. Terus senyum terlukis di wajah berrias indah, sesekali berdendang tembang mengalun halus meliuk merdu. Tinggi-rendah, cepat-lambat juga keras-pelan suara, seakan lentur gampang dibentuk. Indah.

WaranggonoBlangkon hitam berbeskap merah, berlirik putih halus dan kain batik gelap membalut bawah tubuh, jarik, menjadi seragam para pengrawit matang usia, terlihat mumpuni dalam jamuan ritual wayang. Rasa gerakkan tangan lincah menabuh saron, peking, bonang, gender, gambang, dsb tampak santai, kadang memandang alat tabuh dalam jangkauan. Sinergi suara bergerak padu, kadang lembut halus berriak tipis, sering juga gelombang bergerak keras cepat berpindah nada, energik. Tetap padu saling isi, gemuruh lembut nyaman terasa.
Bersila tegap Ki Dalang menghadap layar, gamelan mengalun selaras iringi lengan membentang angkat gunungan. Wayang kulit mulai tayang, suatu peradaban dikisahkan. Pertentangan antara yang hak dan bathil “becik ketitik, ala ketara”, dan begitu banyak ‘pepiling’ atau pesan keluhuran budi yang dikemas dalam keseriusan dialog berbeda watak, perang dan canda hingga adzan subuh menutup jamuan penuh makna.
Alhamdulillah senang menikmatinya.
Putri, Putro dan Ki Manteb

Ibu, Putro dan Ki Manteb

Para putri

Para putri dan putu

Para Putri

Para Putri

Read Full Post »

%d blogger menyukai ini: