
Freeport McMoran, Desember 2014
Judul di atas adalah keinginan sejak lama, dan semakin memuncak setelah munculnya kegaduhan kasus ‘papa minta pulsa’. Berikut ini adalah rangkuman dan opini terhadap perundang-undangan dan pemberitaan di media massa, yang berkaitan dengan PT. Freeport Indonesia (PTFI)
Pada awalnya hanyalah keinginan supaya negeri yang kaya akan sumberdaya alam ini bisa mempunyai institusi yang mampu mengeksploitasi, mengelola dan memanfaatkan hasilnya, sendiri. Tentu, termasuk dalam hal ini adalah mampu mengelola dengan lebih efisien dan menguntungkan bagi bangsa sendiri, dibanding bila dikelola oleh asing. Adanya batas waktu Kontrak Karya tentulah salah satunya dimaksudkan supaya suatu saat bangsa ini bisa mengelolanya sendiri.
Mengetahui bahwa masa kontrak segera habis, tahun 2021, dan melihat sendiri di lapangan bahwa bangsa kita memang mampu secara teknis, finansial dan managerial, baik individual maupun kerja kelompok, bahkan banyak yang lebih ‘jago’ dibanding para ahli asing, maka STOP FREEPORT semakin ingin segera terwujud. Bagaimana caranya?
Nah, soal cara ini sebetulnya tidak rumit, biarkan saja waktu berjalan hingga habis masa kontraknya dan, selesai. Stop, jangan diperpanjang. Itu maunya, namun susah ternyata, karena ekses berbagai regulasi justru bisa menjerat leher kita sendiri.
UU Minerba No.4 tahun 2009 dan berbagai turunannya adalah pangkal permasalahan. UU ini sendiri sebetulnya dimaksudkan utk menaikkan nilai tambah bahan tambang dengan cara melakukan proses lebih lanjut setelah penambangan dilakukan, yaitu proses Pengolahan dan Permurnian seperti diamanatkan dalam UU Minerba No. 4 tahun 2009.
Supaya lebih jelas melihat keterkaitan antara UU 4/2009 dengan kerepotan dalam masalah perpanjangan Kontrak Karya PTFI (PT. Freeport Indonesia), perlu disampaikan dulu kronologis munculnya regulasi tersebut dan implikasinya.
1. KK PTFI Perpanjangan-1 tahun 1991
– tidak ada kewajiban peningkatan nilai tambah (pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri)
– Pasal 24 Kewajiban divestasi terdiri dari dua tahap, yaitu:
Tahap 1: melepas saham ke pihak nasional sebesar 9,36% dalam 10 tahun pertama sejak 1991
Tahap 2: mulai 2001, PTFI harus melepas sahamnya sebesar 2% per tahun sampai kepemilikan nasional menjadi 51%.
2. UU Minerba No. 4 tahun 2009
Kewajiban melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian
3. PP No. 23 tahun 2010 ttg Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
– Bab VIII ttg Peningkatan Nilai Tambah (kewajiban pengolahan/pemurnian)
– Bab XIV Ketentuan Peralihan (KK tetap berlaku)
4. Permen ESDM No. 7 tahun 2012 ttg Peningkatan Nilai Tambah
– Pasal 25: melakukan Pengolahan DAN/ATAU Pemurnian
– Lampiran: Cu > 99%, Au > 99%
5. PP No. 24 tahun 2012 ttg Perubahan ke-1 PP No. 23 tahun 2010
Pemegang IUP (bukan KK) wajib divestasi 51% pada tahun ke-10
6. Permen ESDM No. 1 tahun 2014 ttg Peningkatan Nilai Tambah
Lampiran: Pengolahan Cu > 15% (Freeport lolos)
7. PP No. 1 tahun 2014 ttg Perubahan ke-2 PP No. 23 tahun 2010
– psl 112 no 1. : KK tetap berlaku hingga habis masa berlakunya
– psl 112 no 2. : bila blm perpanjangan ke-1 dan/ atau ke-2, DAPAT diperpanjang menjd IUP Perpanjangan
– psl 112 no. 3 : wajib mengutamakan kepentingan dalam negeri
– psl 112C no. 1. : Wajib melakukan Pemurnian di dlm negeri
8. PP No. 77 tahun 2014 ttg Perubahan ke-3 PP No. 23 tahun 2010
– KK tetap berlaku hingga habis masa berlakunya
– psl 112d no. 2a: divestasi 20%
Membaca rentetan aturan hukum pertambangan dalam kaitannya dengan PTFI di atas, rasanya seperti menjerat leher sendiri, karena ternyata tidak mudah melaksanakannya berhubung banyak kontradiksi atau kejanggalan di dalamnya, misalnya:
- Divestasi hingga 51% seperti yang diamanatkan Kontrak Karya Perpanjangan ke -1 tidak juga dipenuhi oleh PTFI hingga saat ini. Mengapa?
- UU Minerba No. 4 tahun 2009 mewajibkan pengolahan dan pemurnian, sedangkan PP No. 1 tahun 2014 menyatakan bahwa KK, yang tidak ada kewajiban menaikkan nilai tambah di dlmnya, tetap berlaku hingga habis masa kontrak.
- UU Minerba No. 4 tahun 2009 tidak menyebutkan batas minimum kadar masing-masing logam yang diijinkan untuk ekspor setelah melewati proses pengolahan/pemurnian. Tidak bisa dijadikan rujukan untuk dilaksanakan.
- PP No. 23 tahun 2010 memastikan KK tetap berlaku. Sehingga Freeport dan Newmont merasa tidak terkena kewajiban menjalankan UU Minerba No. 4 tahun 2009.
- Permen ESDM No. 7 tahun 2012 diharapkan sebagai aturan pelaksanaan untuk melaksanakan UU Minerba No. 4 tahun 2009 karena sudah ada batas minimum kadar masing-masing logam yang diijinkan untuk ekspor setelah melewati proses pengolahan/pemurnian, yaitu 99%. Namun bila PP ini dijalankan, maka bisa diduga bahwa semua pertambangan mineral logam akan tutup karena tidak satupun perusahaan tambang di Indonesia telah melakukan pengolahan/pemurnian semua bijihnya hingga menghasilkan kadar logam 99%. Gegabah dan mengapa baru 2012 Permen keluar (3 tahun)?
- Permen ESDM No. 1 tahun 2014 mengubah batas minimum kadar masing-masing logam yang diijinkan untuk ekspor, contoh: Cu > 15%, NPI Ni > 4%. Perubahan batas kadar Cu ini menyelamatkan Freeport karena kadar Cu dalam konsentrat hasil pengolahan (mengandung Au dan Ag) sudah di atas 15%, sehingga tetap bisa melakukan ekspor konsentrat. Itupun tanpa ketentuan batas minimum kadar emas di dalamnya. Namun untuk pertambangan nikel, yang umumnya pengusaha nasional (hanya Vale yang pershn asing), sangat mematikan, mengingat belum adanya smelter yang bersedia mengolah/memurnikan bijih nikel produksi pertambangan lokal, selain Vale dan Antam yang hanya mampu untuk memurnikan bijih dari tambangnya sendiri.
- Mengapa kewajiban divestasi 51% dalam KK, diubah pemerintah menjadi hanya 20% dalam PP No. 77 tahun 2014? Yang sangat menyedihkan, hasil negosiasi hanya mewajibkan Freeport divestasi 30%.
Saat ini sebanyak 90,64% saham PT Freeport Indonesia (PTFI) dimiliki oleh Freeport McMoran Copper & Golden Inc. Sementara itu sisanya, sebesar 9,36% dimiliki oleh Pemerintah Indonesia.
Menurut penulis, pemerintah saat ini sedang menerima buah simalakama, karena:
- Mewajibkan PTFI membangun smelter ini akan ‘menjerat’ Pemerintah untuk memberikan ijin Perpanjangan ke-2 Kontrak Karya PTFI dengan alasan besarnya investasi yang harus digelontorkan dan payback period yang melewati masa selesainya Kontrak Karya (2021). Freeport tentu sangat sadar bahwa seluruh aset akan dibeli pemerintah bila Kontrak Karya tidak diperpanjang dan ini akan jadi beban finansial negara.
- Di sisi lain, membiarkan PTFI ekspor konsentrat (hasil Pengolahan) tanpa melakukan Pemurnian (membangun smelter) untuk meningkatkan nilai tambah, jelas akan menguras sumberdaya alam dan merugikan NKRI.
Berikut ini adalah hasil renegosiasi KK antara pemerintah RI dengan PTFI yang selintas terlihat menguntungkan RI. Betulkah demikian?
Hasil Renegosiasi Pemerintah dan PTFI
Klausul Sebelumnya Kesepakatan.
1. Luas Lahan 212.950 ha 125.000 ha
2. Pembangunan smelter Tak bersedia Bersedia
3. Divestasi Saham 51 % 30 %
4. Perpanjangan Kontrak 2021 2041
5. Pemenuhan kandungan lokal 100 % 100 %
6. Royalti 1 % 3,75 %
Banyak pihak mengatakan bahwa keuntungan negara yang diperoleh dari Royalti akan jauh lebih kecil bila dibandingkan dari perolehan pajak PTFI. Demikian juga dengan pengurangan luas Kontrak Karya, tidak akan menambah keuntungan negara, berhubung wilayah yang dilepas pasti bukanlah lokasi cadangan tembaga/emas, melainkan wilayah pendukung saja. Tentang pemenuhan kandungan lokal, ini sudah diingatkan oleh Direktorat Jendral Pertambangan Umum sejak awal tahun 2000an kepada para kontraktor asing, bahkan penulis pernah turut menghadiri seminarnya, namun selalu ada alasan untuk menundanya. Pada umumnya disebabkan oleh kualitas barang dan jasa yang tak memenuhi persyaratan teknis atau keselamatan. Kesediaan PTFI untuk membangun smelter sebagai bentuk pemenuhan UU akan menguntungkan PTFI dan NKRI. Namun bangsa ini jelas akan dirugikan dengan divestasi yang hanya sebesar 30%, dibanding kewajiban Kontrak Karya yang mewajibkan divestasi 51%; juga perpanjangan Kontrak Karya hingga 2041, dari yang seharusnya cukup hanya sampai 2021.
Sepertinya para ahli hukum kita perlu mengevaluasinya lebih dalam, sehingga bisa ditemukan celah hukum yang memungkinkan untuk tidak memperpanjang kontrak PTFI, namun tanpa dampak hukum yang merugikan bangsa ini.
_______________
- Grasberg: Au: 179 mm @ 1.06 ppm = 189,740 kg
- Grasberg Block Cave: Au: 1012 mm @ 0.77 ppm = 779,240 kg
- DOZ: Au: 146 mm @ 0.69 ppm = 100,740 kg
- Big Gossan: Au: 54 mm @ 0.99 ppm = 53,460 kg
- DMLZ: Au: 472 mm @ 0.71 ppm = 335,120 kg
- Kucing Liar: Au: 406 ppm @ 1.07 ppm = 434,420 kg
Total Emas (Au): 1,892,720 kg
Bagus ulasannya…., sudah saatnya grasberg dan underground mine beserta semua fasilitasnya menjadi milik bangsa Indonesia.., sudah terlalu banyak uang hasil dr Tambang tsb lari ke US spt salah satunya pembelian Phelps Dodge.
Good job Mas..
Suwun om Danis, salam utk klg. Sukses
Suwun om