Resume The Economist edisi 23 Jan. 2016 “Who’s afraid of cheap oil?“.
Berikut angka-angka yg dilansir The Economist berkaitan dengan terjunnya harga minyak dunia. Selama 18 bulan ini, harga minyak telah turun dari $110 ke $27 pada 16 Januari 2016 lalu.
- Perhitungan kasar menunjukkan bahwa turunnya harga minyak sebesar 10%, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 0.1%-0.5%
- Produksi shale oil AS sebesar 5 juta bpd tahun 2008 dan meningkat hingga 9 juta bpd saat ini, karena efisiensi dan kemajuan teknologi. Kenaikan produksi ini menyebabkan Arab Saudi membanjiri dunia dengan minyak mentah, dengan harapan oversupply, sehingga akan menurunkan harga hingga ‘fracking‘ di AS tidak lagi ekonomis
- Saudi Arabia dengan OPECnya semakin menanggung beban karena Iran sudah siap bergabung dalam pasar minyak dunia sebesar 3-4 juta bpd
- Spekulasi pasar memperkirakan harga minyak bisa turun menembus $10 per barrel
- Negara-negara pengimpor minyak di Eropa dan Asia Selatan sudah menikmati rendahnya harga minyak. Bahkan tagihan impor minyak di Eropa sudah turun hingga 2% dari GDPnya sejak pertengahan 2014. India dan Tiongkok juga banyak diuntungkan dengan rendahnya harga minyak
- Program ‘green‘ juga diuntungkan dengan rendahnya harga minyak, karena harga gas juga akan mengikuti, sehingga energi batubara yang selama ini dianggap mencemari lingkungan, akan dengan sendirinya tersingkir.
- Sebaliknya, rendahnya harga minyak, bisa menjadi bencana bagi negara-negara yang pendapatan utamanya bergantung pada minyak, seperti Venezuela dan Arab Saudi, bahkan mampu menyebabkan kekacauan geopolitik di jazirah Arab.
- Belanja aset industri migas di AS telah merosot hingga separuhnya
- Hutang korporasi hingga $650 milyar sejak 2007 di pasar negera berkembang, sebagian besar berada pada sektor industri migas
- Harga minyak rendah menyebabkan Rusia diperkirakan akan mengalami krisis anggaran dalam beberapa bulan lagi, karena GDP yang sudah merosot tajam, bahkan Venezuela telah menyatakan dalam kondisi krisis ekonomi ketika menghadapi inflasi 140%.
- beberapa kapal tanker berada di pantai teluk Persi dengan muatan 50 juta barrel minyak Iran, sudah siap ekspor
- Iran saat ini juga siap meningkatkan produksi minyaknya 500,000 barrel per hari (bpd) menjadi 1,5 juta bpd, dan akan meningkat menjadi 4 juta bpd
- Saat ini kekhawatiran para produsen minyak bukanlah karena kelangkaan cadangan, melainkan justru karena membanjirnya pasokan di pasar dunia
- Penambahan pasokan minyak dunia 5 tahun terakhir dari ‘shale oil‘ AS sebesar 4,2 juta bpd, 5% produksi global, menyebabkan kekacauan pasar, oversupply.
- IEA 19 Januari 2016 memperkirakan bahwa dunia akan kelebihan pasokan minyak.
- Tahun lalu, dunia telah memproduksi minyak 96,3 juta bpd, namun hanya terserap dipasaran sebesar 94,5 juta bpd, sehingga ada kelebihan pasokan 1,8 juta setiap harinya, yang dengan cepat memenuhi tanki-tanki penyimpanan, dan pada akhirnya tersimpan dalam tanker-tangker di tengah laut, seperti Khark di Iran, yang harus segera dimanfaatkan
- Produsen minyak ‘fracking’ di AS sudah mengurangi produksinya sebesar 400.000 bpd, namun secara keseluruhan AS justru meningkatkan produksinya hingga 900.000 bpd, menurut IEA.
- Penggunaan drilling rig di AS juga turun hingga hanya 40% yang masih beroperasi
- Menurut McKenzie, dengan harga minyak $30 per barrel, hanya 6% produsen minyak dunia yang gagal memenuhi biaya produksi. Pemboran Eksplorasi baru di laut-dalam termasuk yang sulit dilakukan karena membutuhkan biaya produksi hingga lebih dari $60 per barrel. Namun bila sudah terpasang, produksi akan mampu berjalan dengan harga minyak yang lebih rendah
- Rusia akan mengurangi belanja publik hingga 10%
- Nigeria, sebagai negara penghasil minyak bahkan mengenakan 70% pajak pendapatan industri minyak
- Arab Saudi tahun lalu sudah mengalami defisit anggaran 15% dari GDP.
Meskipun kesadaran akan Perubahan Iklim semakin tinggi dan industri minyak besar mulai mengembangkan produksi gas yag lebih bersih daripada batubara, The Economist masih berpendapat bahwa “Too early to assume that the era of the petrol engine is coming to an end. Whatever they do, the era of oil shocks is far from over”.
Lalu, bagaimana dengan negara kita dalam menghadapi turunnya harga minyak?
Pengurangan karyawan industri minyak sudah terjadi, Kerja Sama Operasi Pertamina juga sudah banyak yang ‘tiarap’, bahkan drill rig milik Pertaminapun sudah banyak yang menganggur, tapi mengapa tak terdengar upaya ‘penyelamatan’ dari pemerintah? Insentif sebagai alternatif bantuan penyelamatan pun juga tak terdengar. Insentif disini dimaksudkan sebagai ‘kelonggaran’, misalnya pengurangan jenis pekerjaan atau pengurangan perpanjangan waktu pemenuhan firm commitment, pengurangan kewajiban penyetoran uang operasi ke dalam escrow account, dll.
Sebagai negara importir minyak, seharusnya diuntungkan dengan kondisi ini, tapi mengingat kita masih memperlakukan produksi minyak sebagai state revenue, maka tentunya dianggap pendapatan nasional akan turun. Hal ini akan beda bila minyak dianggap sebagai barang modal untuk kepentingan industri, maka akan menguntungkan.
Tinggalkan Balasan