Feeds:
Pos
Komentar

Archive for April 26th, 2017

Panggil aku Kartini sajaSukses. Melalui film Kartini, karya Hanung Bramantyo yang disajikan dalam waktu tak lebih dari 2 jam dengan acting para pemeran yang tak diragukan kagi kemampuannya, Christine Hakim, Deddy Sutomo, Dian Sastro, sukses menghadirkan kondisi sosial yang mencekam saat itu. Penjajahan feodalistik yang begitu mengakar oleh Belanda dan bangsa sendiri, tak hanya terhadap rakyatnya yang digambarkan dengan masyarakat yang duduk menyembah ketika bangsawan melewatinya; bahkan Kartini dan semua saudaranya pun harus jalan jongkok (laku dhodhok) ketika menghadap ayahandanya. Jangankan akses pendidikan, bahkan organ seksual perempuan pun, termasuk Kartini dan adik-adiknya, tak berhak dipertahankan oleh pemiliknya, kawin paksa. Air mata penonton terkuras banyak dalam adegan-adegan kawin paksa hingga film berakhir.
Kartini filmSelain Hanung, pada 1982 Sjuman Djaya pernah membuat film Kartini dengan judul “R.A. Kartini” yang berdurasi hampir 3 jam, dibintangi oleh Yenny Rachman, Nani Wijaya.
Film Kartini karya Hanung di atas, memaksa untuk membuka lagi buku lama karya Pramoedya Ananta Toer, “Panggil aku Kartini saja“. Rasanya, Hanung banyak mengacu pada buku ini. Bahkan ada adegan khusus Kartini mengucapkan kalimat ini ke kedua adiknya  “Panggil aku Kartini saja” untuk menghilangkan sekat feodalisme diantara mereka bertiga.
Di tangan Pramoedya, cuplikan surat-surat Kartini bertebaran di dalam buku dengan selingan disana-sini opini Toer menafsirkan maksud penulisnya, hingga mampu bercerita utuh menggambarkan dirinya sebagai sosok lengkap gadis kecil hingga dewasa, melawan kesepian karena pingitan selama 4 tahun, sejak usia 12 tahun, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun. Wafat usia 25 tahun. Tentu, dengan banyak polesan tafsir ideologis yang membingkai karakter perjuangan perempuan Kartini. Emansipansi dan kesetaraan gender.
Tak sepenuhnya getir, dalam buku inipun terungkap kisah cinta yang hangat dan mesra, tempat ia menggantungkan diri dengan seluruh hatinya yang menghauskan cinta. Mereka itu adalah Ayah dan kakaknya yang ketiga, kakak termuda. Hanung sukses menampilkan kenyataan ini di filmnya. Ayahanda yang digambarkannya lembut tutur kata dan sabar tindak-tanduknya. Betapa besar cinta Kartini kepadanya, tertuang dalam suratnya untuk Estella Zeehandelaar, 25 Mei 1899,
“Indah dan mulia tugas yang memanggil kita untuk berjuang bagi kepentingan agung, bekerja buat kemajuan wanita Pribumi yang tertindas, peningkatan rakyat Pribumi, pendeknya menjadi berarti bagi masyarakat, bekerja bagi keabadian; tapi tiadalah aku bisa bertanggung jawab kepada nuraniku, pabila aku serahkan diriku kepada orang-orang lain itu, sementara itu Ayahku, yang paling dahulu berhak atas diriku, kubiarkan menderita dan sakit-sakitan, sedangkan ia membutuhkan aku.
Kewajibanku sebagai anak tidak boleh aku kurangi, tapi pun tidak kewajiban-kewajibanku terhadap diriku sendiri harus aku tunaikan, terutama sekali tidak kalau pabila perjuangan itu bukan saja berarti kebahagiaan sendiri, tapi pun berguna bagi yang lain-lain. Soalnya sekarang adalah memenuhi dua tugas besar yang bertentangan satu dengan yang lain, dan itu sedapat mungkin harus diserasikan. Pemecahan masalah ini ialah bahwa untuk sementara ini aku membaktikan diri kepada ayahku…”
“Ia dapat begitu lembut, dan dengan lunaknya mengambil kepalaku pada kedua belah tangannya, begitu hangat dan mesranya tangannya merangkul daku, untuk melindungi aku daripada bencana yang datang menghampiri. Ada aku rasai cintaku yang tiada terbatas kepadanya dan aku menjadi bangga, menjadi berbahagia karenanya”.
Tentang kakaknya yang ke-3, Toer menulis
“Abang itu tidak mentertawakannya, kalau ia bicara tentang cita-citanya, ia mendengarkan dengan penuh perhatian dan tidak pernah ia membuatnya menggigil dengan jawaban dingin: “Masa bodo, aku hanya orang Jawa!” Dan sekalipun ia tidak menyatakan bersimpati dengan cita-citanya, namun ia tahu, bahwa dalam hati abangnya membenarkannya, Ia tahu, bahwa abangnya berdiam diri, untuk tidak makin menyebabkan huru-hara. Buku-buku yang disodorkan ke tangannya tak lain dari kata-katanya. Ni merasa demikian kayanya dengan cinta ke dua orang kekasihnya ini, dan dengan simpati dari batin abangnya”.
Kompilasi surat-surat tersebut juga mampu menjelaskan kecerdasan Kartini dalam hal seni mengarang dan berpuisi untuk mengekspresikan kepekaan juga keprihatinannya terhadap nasib bangsa yang terjajah dalam segala hal ini.
Kepiawaian menulis adalah satu-satunya kekuatan minimal yang dipunyai Kartini, yang menginsyafi bahwa kepengarangan adalah tugas sosial. Manifes itu tak lain daripada manifes kesadaran batinnya tentang kewajiban-kewajiban terhadap Rakyatnya, Bangsanya, dan Negerinya. Sayang sekali, peran perjuangan Kartini melalui tulisannya ini (dasar pemikiran munculnya ide-ide kerakyatan) kurang kuat terlihat di film Hanung, padahal dari sisi inilah sebetulnya nilai-nilai kepahlawanan Kartini, atau mungkin tertutupi oleh banyaknya adegan dramatik kawin paksa yang kejam menimpa para perempuan pada jamannya.
Pemahaman terhadap kondisi rakyatnya sebagian didapat dari Max Havelaar, karya Multatuli, dari koran majalah, serta dari diskusi-diskusinya dengan orang-orang terpelajar, terutama sekali dari Ayah dan Pamannya sendiri.  Hubungannya dengan Rakyat memang terbatas, tetapi mendalam, dan ia melihatnya dengan pandangan yang jernih, baik tentang kekurangannya maupun kelebihannya. Kartini juga sering membantu pengembangan usaha kerajinan batik dan ukiran.
Tentang sikapnya terhadap Belanda, Kartini, yang hidup dimasa Politik Balas-budi, juga banyak diskusi dengan Ayah dan Pamannya. Salah satu kalimat dalam suratnya,
“Sekali waktu Ayah mengatakan kepadaku: “Ni, jangan kau kira adalah banyak orang Eropa, yang benar suka padamu. Hanya beberapa orang saja.”
Tentang pemahaman atas rakyatnya, Kartini membuat catatan di Jepara 1903:
Sudah umum bahwa kebanyakan dukun yang mengetahui rahasia sesuatu obat terhadap penyakit-penyakit tertentu membawa serta rahasia tersebut ke kuburan bila dia mati, kepada anaknya pun tidak sudi ia mempercayakannya. Rasa setiakawan memang tiada terdapat pada masyarakat Inlander, dan sebaliknya yang demikianlah justru yang harus disemaikan, karena tanpa dia kemajuan Rakyat seluruhnya tidaklah mungkin.
Bahwa yang terbaik harus dikangkangi sendiri dan dianggap sebagai hak pribadi kaum aristokrat, bersumber pada paham sesat, bahwa kaum bangsawan adalah mutlak manusia lebih mulia, makhluk lapisan teratas daripada Rakyat, dan karenanya berhak mengangkangi segala yang terbaik!.
Pramoedya dengan sikap politik dan kepeduliannya yang kental terhadap rakyat kecil, mencoba menggali keberpihakan sosial Kartini melalui tafsir atas surat-suratnya. Dan dia menemukannya, Kartini memahami dan mampu sungguh merasakan kehidupan Rakyat jelata, orang-orang yang melarat dan miskin di sekitarnya. Sekaligus ia dapat melihat, bahwa kemelaratan kemiskinan itu tidak lain daripada penderitaan seluruh Rakyatnya. Ia telah sampai pada suatu sikap, suatu pemihakan, dan sikap ini bukanlah  emosional belaka, melainkan hasil pengetahuan dan pengamatan sosial yang rinci teliti. Bukan lagi pemberontakan fisik yang hanya didorong oleh kebencian terhadap bangsa asing semata. Ujung dari buah renungan Kartini cuma satu: Kerja! Kerja buat Rakyatnya!
Dengan buku karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara, cetakan 3, 2007 ini, pembaca mampu mengerti betul sosok Kartini lebih dalam, sehingga bisa memahami kepahlawanannya.

Read Full Post »

%d blogger menyukai ini: