Film di akhir minggu
November 19, 2017 oleh anangsk

Baru tahu ada aplikasi HOOQ di First Media televisi berbayar dan kebetulan masih promo Rp. 20.000 per bulan, langsung tangkap.. Kebetulan juga, sudah lama pengin nonton film Indonesia, yang bukan horor pastinya. Kenapa ya serasa mereka ingin berlomba memenangkan festival film horor? Mungkin ada statistik perfilman kita, yang menyajikan persentase jumlah produksi film horor per tahun? Perlu dibandingkan dengan produksi film dengan kategori sejenis di negara-negara lain. Gak jelas juga misi apa yang mau disampaikan dengan film horor ini. Ah gak usahlah ngomongin berpanjang-panjang dengan film horor..
Ngeri..
…
Sabtu kemarin, empat film Indonesia aku tonton menggunakan aplikasi HOOQ, yaitu:
Soekarno, Critical Eleven, Melbourne Rewind, Winter in Tokyo. Satu film politik

dan tiga film drama. Aku bukan kritikus film, hanya penikmat film. Artinya parameter apa saja yang perlu digunakan sebagai alat penilai sebuah film, tidak aku pahami. Lebih tepatnya, belum berusaha untuk mempelajarinya. Yang ada selama ini hanya “suka” atau “tidak suka”, itu saja. Soekarno aku pilih karena ingin
refreshing sejarah yang sudah puluhan tahun yang lalu kupelajari. Masa SMA lah, sejarah perjuangan banyak terekam dalam otakku. Tiga film drama lainnya kupilih karena menurut sinopsisnya berlatarbelakang tinggal di luar negeri dan diadaptasi dari novel yang laris di negeri ini. Baru tahu juga bahwa dalam rumahku pun ada novel
Winter in Tokyo, bacaan istriku.. 🙂 Novel bagus katanya, karya Ilana Tan. Aku selalu kagum dengan para penulis bagus.
…

Selesai nonton Soekarno, aku merasa bahwa film ini perlu juga ditonton oleh para anak kita, yang sudah berjarak jauh dengan sejarah para pendiri bangsanya. Tidak mesti sepakat dengan tafsir sejarah dan visualisasinya, tapi setidaknya bisa memancing daya kritis berpikir dialektis untuk mencari tahu kebenaran sejarah. Dari sisi ini, aku merasa film G30S PKI menjadi layak tonton, untuk dijadikan pemicu berpikir kritis generasi milenial, dan tidak dipaksakan sebagai satu-satunya tafsir kebenaran sejarah. Kembali dengan film Soekarno, urutan peristiwa sejarah sejak Soekarno kecil hingga Proklamasi Kemerdekaan sangat membantu ingatan. Yang sebelumnya hanya keping-keping puzzle peristiwa yang berserakan, seolah bisa tersambung runtut dalam cerita yang utuh dalam film ini. Visualisasi kekejaman Belanda dalam kerjapaksa dijaman Gubernur Jendral Herman Willem Daendels, kemudian Romusha Jepang, juga pelecehan perempuan untuk memenuhi syahwat para tentara Jepang, kemiskinan dan kelaparan, mampu melengkapi kebutuhan suasana emosi atau situasi psikologis masyarakat saat itu. Film ini juga mencoba menjawab atas keraguan berbagai pihak tentang status Kemerdekaan RI, apakah hasil perjuangan para pendiri bangsa ataunpemberian Jepang. Silahkan tonton filmnya sebagai karya seni, kebebasan anda menilainya.
…

Tiga drama lainnya adalah adaptasi dari novel karya penulis negeri ini. Di toko-toko buku off-line maupun on-line sekarang ini banyak sekali berjajar novel karya penulis muda negeri ini. Cerita berlatar-belakang kehidupan luar negeripun juga banyak ditemui. Hebat. Kekagumanku terhadap para penulis novel ini, berujung pada pilihan nonton flim
Critical Eleven dari novel terlaris karya Ika Natassa,
Melbourne Rewind dari novel Winna Efendi dan
Winter in Tokyo dari novel karya Ilana Tan. Menghibur, filosofis dan kreatif dalam hal tema dan jauh beda dengan dengan film-film drama adaptasi tahun 70-80an yang melihat problem kehidupan begitu sederhana. Film-film menarik yang mewakili jamannya. Sedikit kritik untuk
Winter in Tokyo, dialog berbahasa Jepang terlihat jelas teknis
dubbingnya, mengganggu. Silahkan menonton filmnya, nikmati sesuai jamannya. Santai … 🙂
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Tinggalkan Balasan