
Sudah banyak para ahli bisnis korporasi yang menjelaskan ttg suksesnya akuisisi pt. Freeport Indonesia (PTFI) dari aspek bisnis, finansial maupun legal. Menteri Keuangan dan Dirut. Inalum juga sudah menjelaskannya. Saya cuma sedikit menambahkan dari aspek teknis operasi tambangnya.
Ada dua hal yang sering salah dipersepsikan dalam hal pengambil alihan pt. Freeport Indonesia (PTFI), yaitu:
-
Cadangan bijih Tembaga/Emas yang ada dalam perut bumi yang tetap dimiliki RI
-
Perusahaan PTFI sebagai pemegang Kontrak Karya penambangan (sekarang IUP) yang memiliki asset peralatan produksi, infrastruktur dan organisasi
Yang diambil alih 51% adalah Perusahaan PTFI, bukan Cadangan Bijih Tembaga/Emas yang tetap dimiliki RI.
Seperti diketahui bahwa bila tiba saatnya Kontrak Karya habis masa berlakunya, maka tidak serta-merta Operasi Tambang dengan sendirinya bisa dilanjutkan oleh RI, karena aset sarana operasi dan infrastruktur masih dimiliki oleh Freeport McMoran, sebagai pemilik 90% PT Freeport Indonesia. (Belum lagi dengan adanya klausul dalam Kontrak Karya yang memberi kesempatan PTFI dapat memperpanjang kontraknya selama 2 x 10 tahun.) Artinya, bila PT. Freeport Indonesia dinyatakan berhenti pada tanggal yang tertera dalam Kontrak Karya, maka yang terjadi adalah TIDAK ADA aktifitas pertambangan dalam waktu yang tidak jelas, karena RI harus menyediakan infrastruktur operasi yang nilainya bisa lebih besar dari harga 51% saham PTFI (infrastruktur dan hampir semua alat operasi dimiliki oleh Freeport), itupun kalau Freeport bersedia menjualnya. Bila harus menyediakan sendiri, tentu akan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi.
Lalu, mengapa tidak berhenti saja dulu, sambil menunggu menyiapkan operasi penambangan kembali? Nah .. ini yang perlu dipertimbangkan bila terjadi jeda waktu tanpa kegiatan tambang:
-
Perlu adanya Badan Usaha untuk mengoperasikan tambang ex-Freeport dan menyusun ulang infrastruktur fisik dan organisasi. Ketika pt. Freeport Indonesia dinyatakan bubar, maka semua karyawan harus dipulangkan karena tidak ada institusi resmi (PT) yang menaunginya
-
Semua peralatan operasi, fasos dan fasum berhenti dan sebagian peralatan lainnya dikembalikan ke owner (rental). Listrik mati karena power plant berhenti berhubung tidak ada lagi pasokan batubara.
-
Tidak ada perawatan infrastruktur tambang, seperti jalan, drainage system, terowongan, stockpile (tumpukan bijih emas/tembaga hasil penambangan)
Bisa disimpulkan bahwa Kota Hantu (ghost town) akan terbentuk, begitu ptfi dinyatakan bubar. Mungkin hanya kegiatan reklamasi yang masih berjalan.

Proses Pengolahan
Yang menjadi masalah adalah:
-
Tidak adanya perawatan jalan untuk akses penambangan dan pengangkutan barang dan manusia, akan menyebabkan rusaknya jalan. Jalan tambang selalu dibutuhkan perawatan/pengerasan setiap hari karena bukan jalan permanent/aspal
-
Dinding tambang Grasberg yang berbentuk corong dengan diameter 2 km dan kedalaman 1 km bisa longsor karena tekanan air yang tinggi dari belakang dinding, banjir karena drainage yang tersumbat batuan
-
Tidak adanya pompa air di dasar tambang menyebabkan banjir besar
-
Terowongan yang tidak diawasi dan dirawat, akan ambruk. Akses menuju ke area penambangan bawah tanah semakin sulit. Memperbaiki tunner yang runtuh, bisa lebih mahal daripada membuat tunnel baru
-
Proses eksplorasi untuk menambah cadangan dan memodelkan swcara rinci cadangan bijih sehingga memudahkan dan mengefektifkan/efisienkan proses penambangan, tidak dapat dilakukan
-
Peralatan pabrik yang canggih bisa rusak karena tidak ada perawatan dan butuh waktu untuk memulai ulang
-
Masih banyak lagi
Akibat lanjut dari banyak hal diatas adalah mahalnya biaya untuk memulai lagi penambangan, bahkan bisa menjadi tidak ekonomis untuk melanjutkan operasi tambang. Alasan menghindari kerugian besar karena jeda waktu operasi ini, juga menjadi pertimbangan penting untuk segera dilakukan pengambil-alihan ptfi sehingga bisa dijamin kemenerusan operasi tambang.