Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Desember, 2019

The Two Popes
imagesSepertinya baru 1 minggu ini film The Two Popes muncul di deretan film Netflix. Di antara berbagai cover film yang menampilkan wajah2 cantik, ganteng, sangar, namun ada yang mencolok mata berupa dua pria tua berjubah dengan topi kecil yang menempel di kepalanya, gambaran petinggi gereja katolik yang membuatku berhenti menggulung layar mencari film yang menarik utk dinikmati. Betul, itu film baru produksi Netflix yang dibintangi dua pria tua, Anthony Hopkin dan Jonathan Pryce. Sebuah karya film sejarah tentang dialog antara Paus Benedict XVI dan penggantinya Paus Francis.
Film akhir tahun yang sangat mengesankan. Selama hampir 2 jam penuh film ini diisi dialog filosofis antara mereka berdua, Paus Benedict (Jerman) yang konservatif dan Paus Francis (Argentina) yang liberal (theologi pembebasan?). Dengan lokasi pengambilan gambar  berpindah-pindah, dari Gereja Vatikan, taman, kediaman Paus dan sudut pengambilan gambar yang bagus, terlihat keindahan lokasi yang sunyi bersih. Kontras warna antara jubah mereka dengan lingkungan taman yang hijau tertata rapi, sangat indah.
Akting Anthony Hopkin sungguh enak dilihat, serasa mimik wajah asli seorang Paus yang sejuk bersahaja. Tua renta bertongkat, jalan tertatih dengan guratan wajah dalam, sering hanya memicingkan sebelah mata dan kernyit dahi terlihat, tanpa perubahan gerak otot wajah. Namun kadang menghadirkan sorot mata tajam, tegas mempertahankan tradisi ratusan tahun yang menurutnya bagian dari ritual gereja. Demikian juga akting Jonathan Pryce sebagai Kardinal Bergoglio, sangat bisa menggambarkan sosok panutan pejuang kemanusiaan yang rela tidak popular di negerinya, Argentina, ketika sedang terjadi gejolak politik karena kediktatoran rejim militer. Pilihan jalan perjuangan yang berlawanan dengan rekan-rekan pimpinan gereja membuatnya dijauhi jemaat dan rekan-rekannya, bahkan dianggapnya sebagai pengkhianat.

Sikap keukeuh Paus Benedict mempertahankan tradisi gereja yang menjaga jarak dengan paktek politik represif menjadi dialog yang menarik, tak membosankan meskipun hanya antara mereka berdua saja. Contoh sikap konservatif diceritakan sang sopir bahwa Benedict lebih suka menerima tamunya dengan menggunakan pakaian kebesaran Paus dan sang tamu mengenakan jubah kardinalnya. Berbeda dgnnya, Bergoglio lebih membumi sederhana, bahkan tak bersedia menempati rumah dinasnya yang menurutnya mewah, ditunjukkan dengan hobbynya bersenandung lagu-lagu pop dan kecintaannya pada sepakbola yang tak perlu disembunyikannya. Sikapnya yang pro-poor terungkap dalam ucapannya ketika berdialog dengan kolega kardinal lainnya, “Reforms need a politician” dan “Being pope is like being a martyr”. Menurutnya, pemilihan Paus saat itu (yang dimenangkan oleh Paus Benedict) hanya akan memperlambat reformasi gereja, sehingga membuatnya bermaksud mengundurkan diri sebagai Kardinal, “I can do more good as a simple parish priest”.

Film ini dimulai dengan wafatnya Paus Yohanes II, lalu proses pemilihan Paus dan kedatangan kardinal Bergoglio di Vatikan karena Surat Pengunduran Dirinya yang dilayangkan ke Paus Benidicte. Dialog perbedaan visi dan rencana tindakan gereja terhadap perubahan jaman seperti masalah perkawinan pastor, kehidupan selibat, homoseksual, pemberian komini pada yang bercerai, dll. yang beberapa kali diselingi adegan masa lalu Bergoglio dalam warna hitam-putih, ketika Argentina masih dalam kekuasaan rezim represif, menjadi isu utama film ini. Perbedaan penafsiran terhadap fenomena sosial ini perlu “… build bridges, not walls”, menurut Bergoglio. Sangat menarik, hingga diakhiri dengan munculnya Bergoglio sebagai Paus baru, hingga saat ini (2019). Bagaimana ujung dialog dan munculnya Paus baru? Silahkan menikmatinya di Netflix. Saya sendiri sudah dua kali menontonnya.
Tautan:
  1. Pope Francis – A Man of His Word

Read Full Post »

%d blogger menyukai ini: