Di masa kecilku.
Kemeja dan pantalon warna coklat muda berbahan ‘dril‘ tebal itu terlihat gagah dikenakan bapakku setiap hari ke tempat kerjanya. Ibu bergaun panjang hingga selutut, membonceng sepeda duduk menyamping. Wajar saja.
Pemuda bercelana panjang dan lebar di bagian bawah kakinya, ‘cutbrai‘ katanya. Sibuk menyapu jalan kesannya, dengan sepatu ‘jènggel‘ berhak tinggi dan kemeja lengan panjang terbuka dua kancing atasnya. Serasa sudah paling modis saja sepertinya. Tentu dengan rambut gondrong sepundaknya. Pengin menirunya.
Rok mini mekar di bawah untuk bergaya para perempuannya. Dan kacamata besar menutupi wajahnya. Sepeda mini berkemudi tinggi menjadi kegemaran para murid SD SMP saat itu. Nyaman saja melihatnya
Lima tahun kemudian.
SMAku membebaskan murid memilih pakaian kesehariannya. Bila di SMA lain berpakaian rapi, seragam dan bercelana panjang. Di sekolahku malahan banyak memilih celana pendek, bersandal jepit dan berrambut panjang. Lusuh, tanpa seragam. Tentu sepeda jengki masih jadi andalan. Perilaku bukan ditentukan dari bungkus, kredonya. Puas kami memilih kesenangan diri. Jantan rasanya.
80an
Dua kancing atas kemeja terbuka itu masih bergaya. Bedanya, ada tshirt di dalamnya dan ditarik ke atas lengan panjangnya … haha gaya sekali rasanya … gondrong masih berlanjut, bagian belakang saja. GoBel julukannya.
Akhir 80an.
Entah kapan persisnya.. semangat religius setelah era Orba, mulai tampak dlm pilihan gaya pakaiannya. Baju koko, celana cingkrang, jilbab, semakin terlihat .. ungkapan kata bahasa Arab pun mulai sering terdengar.
Sepakat sudah, pak menteri pendidikan mengaturnya. Tidak melarang, namun juga tidak mewajibkan, murid berbusana sesuai keyakinannya. Tak perlu kiranya pengguna suatu model pakaian tertentu merasa dirinya lebih suci, atau di lain pihak merasa lebih berbudaya hanya karena berkebaya. Pakaian itu pilihan. Budaya itu bergerak. Dan kesucian itu kuasaNya. Biasa saja.
Tinggalkan Balasan