Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Juni, 2021

Beberapa minggu yang lalu, dunia maya negeri ini gaduh karena unggahan dan tanggapan yang saling bersilangan.

  1. Video beredar menampilkan 3 anak berseragam SD menyeberang sungai denhan bergelantungan di keranjang yang meluncur dari letinggian pinggir sungai ke seberang sungai.
  2. Sebuah gambar menampilkan soal pilihan berganda yang isinya diharapkan untuk memilih antara Pancasila atau Islam.
  3. Berbagai komen tentang dibatalkannya keberangkatan haji 2021

Yang terjadi kemudian, bisa diduga, pengadilan di dunja maya terhadap pemangku kebijakan (Pemerintah). Hanya berdasar unggahan sepotong gambar dan video fersebut. Bila realita adalah gambar besar, obyek unggahan tersebut hanyalah bagian kecil atau sekeping puzzle dari gambar besar, yang tentunya tidak cukup informasi untuk dapat diberikan penilaian terhadapnya.


Keping-keping kecil lainnya dari masing-masing ketiga puzzle tersebut mulai bermunculan di dunia maya bebrapa hari kemudian. Gambar puzzle mulai jelas.

  1. Video 3 anak SD sedang bermain setelah pulang sekolah. Bukan pulang/berangkat dari/ke sekolah. Meluncur bergantungan mengunakan peralatan perkebunan sawit. Bukan alat penyeberangan sungai ke sekolah. Tidak ada isu kesulitan penyeberangan sungai.
  2. Sampai sekarang tidak ada konfirmasi dari manapun terkait soal pilihan ganda “Pancasila atau Islam”. Keping puzzle itu tetap tidak jelas bagi publik. Pertanyaan muncul utk dapat melengkapinya: apakah ini soal dalam test yang sudah ada jawaban ‘kebenaran’ untuk masing-masing soal? Sehingga Nilai Kelulusan didasarkan kebenaran pilihan jawaban. Atau, apakah ini soal ujian Psikotest/Kepribadian atau semacamnya, yang dipilih bukan untuk menentukan kebenaran jawaban? Seperti diketahhi bahwa psikotest didasarkan pada komposisi pilihan jawaban dari serangkaian soal, yang akan menentukan kategori Kepribadian seseorang. Artinya, tidak ada jawaban Benar/Salah dalam soal ujian semacam ini. Dan, biasanya ada beberapa macam test. Nah, belum ada konfirmasi tentang hal tersebut diatas. Puzzle tidak bisa diselesaikan. Penilaian terhadapnya tidak layak dilakukan.
  3. Penjelasan resmi oleh Menteri Agama dan pihak otoritas Pemerintah Arab Saudi tentang pembatalan haji telah diberikan. Tidak ada isu hutang kepada otoritas haji Arab Saudi. Tidak ada isu penggunaan dana haji untuk pembanghnan infrastruktur, oleh pemerintah. Cleared.

Mengapa publik cepat sekali memberikan respon mnegatjf terhadal pemberitaan yang sebetulnya belum jelas? Mengapa publik mudah menghakimi daripada mencari tahu kebenaran suatu informasi? Rasanya, unggahan-unggahan puzzle diatas bukanlah tanpa maksud oleh pengunggahnya. Dampak dari narasi yang dibangun adalah persepsi buruk terhadap pemerintah. Respon positif (mendukung narasi pengunggah) adalah harapan utama pengunggah terhadap puzzle-puzzle diatas.


Sedikit mengulang tentang Neural Behaviour Approach dalam blog ini. Reptilian Brain adalah fungsi otak yang berhubungan dengan respon terhadap ‘ancaman’. Disebut juga sebagai ‘otak primitif’, yang memicu respon fisiologis untuk hasil yang positif dalam situasi kritis atau dalam tekanan. Reptilian brain ini mempunyai fungsi primitif, yaitu tidak bisa belajar, tidak bisa berevolusi atau adaptasi. Juga tidak mempunyai memori. Ada 3 respon dalam menghadapi ancaman, yaitu Flee (lari), Fight (melawan), Freeze (merunduk). Respon bisa berubah-ubah seiring waktu dalam menghadapi ancaman. 


Sehubungan dengan kasus diatas, sepertinya netizen dengan karakter yang didominasi sifat Fight menjadi target kampanye semacam ini, dengan harapan segera memberi respon. Netizen-netizen yang didominasi reptilian brain berkarakter Fight ini, akan segera merespon unggahan-unggahan yang ‘mengancam’ persepsinya tanpa merasa perlu untuk mencari informasi lain untuk memverifikasi kebenaran informasi. Emosional. “Pemerintah zalim”. Itulah target respon dari unggahan puzzle literasi tersebut diatas. Semakin gaduh ketika Confirmation Bias dan Teori Konspirasi ikut bermain di dalamnya (baca: the death of expertise). Sempat terjadi respon tersebut namun ‘buyar’ setelah fakta sebenarnya terkuak. 


Fenomena Quick Response terhadap provokasi yang diarahkan ke Reptilian Brain yang berkarakter Fight seperti diatas akan terus terjadi, selama para pemiliknya tetap senang bermain medsos. Dan Prefrontal Brain yang menjadikan manusia sebagai mahluk berpikir, tidak mendapat kesempatan mengambil alih pembuatan keputusan rasional. Dan kegaduhan akan terjadi lagi.

Read Full Post »

Judul: The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why it Matters

Penulis: Tom Nichols

Penerbit: oxford University Press

Tahun: 2017


Dari beberapa channel Youtube, yang selalu menjadi pertanyaan Nichols hingga merasa perlu untul menulis buku ini adalah, “Why do people keep arguing with experts?”. Di AS mulai ada kecenderungan setiap orang untuk ‘mengkuliahi’ mereka yang sudah ahli dibidangnya. Ada skeptisisme terhadap pengetahuan dan kepakaran dan mulai agresif melakukan penolakan terhadapnya. Masalahnya adalah, dalam masyarakat AS yang republik dan demokratis, mengandaikan bahwa pimpinan pemerintahan semestinya adalah para ahli yang bisa dianut oleh bangsanya. Inilah yang menjadi kegalauan Nichols yang diungkap dalam bukunya, “The Death of Expertise“. Sistem pendidikan, narsisisme, media berita dan internet, turut andil terjadinya skeptisisme masyarakat terhadap kepakaran.

Dua cerita menarik di awal buku ini adalah, yang pertama, tahun 2015 muncul Public Policy Polling di AS yang ditujukan pada kaum Republikan dan Demokrat, “apakah mendukung kebijakan pemerintah utk membom negara Agrabah?”. Hampir sepertiga responden Republik semangat mendukung. Hanya 13% menentang dan sisanya tidak jelas. Sementara hanya 19% responden Demokrat mendukung pemboman, dan 36% menentang.  Agrabah adalah negara fiksi dalam film Disney, Aladdin 1992. Semangat sekali warga AS, tapi …

Cerita kedua tentang polling yang dilakukan Washington Post 2014, utk memilih apakah AS perlu intervensi militer terhadap Rusia yang dianggap invasi terhadap Ukraina. Peserta polling di AS ternyata dengan semangat menyetujui tindakan militer AS terhadap Rusia. Celakanya, hanya 1 orang dari 6 orang AS yang megetahui lokasi Ukraina dalam Peta Dunia. Aha … terlalu semangat. Patriotik, tapi …


Dua cerita diatas mewakili beberapa cerita sejenis lainnya yang dianggap Nichol bisa menunjukkan ketidak-pedulian bahkan resistensi masyarakat AS terhadap kepakaran yang bisa dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan atau setidaknya sebagai sumber pengetahuan yang valid.

Menurut Nichols, situasi anti-rasional sudah sangat memprihatinkan. Keadaan dimana akses pengetahuan semakin mudah diperoleh, namun keengganan untuk belajar justru semakin rendah. Menurutnya, situasi seperti ini sudah terjadi dimana-mana. Canada, Eropa juga mengalaminya. Bukan hanya semakin meningkatnya jumlah masyarakat kurang berpengetahuan, namun bahkan mengingkari bukti-bukti fundamental dan menolak argumentasi yang logis dari para pakar. Rasanya hal ini ridak banyak terjadi di negara kita tercinta, Indonesia. Disini masyarakat masih sangat menghormati para pakar, walaupun tak jarang terjadi kesalahan pengobatan atau kesalahan analisis sosial karena kepentingan para pakar yang berragam.

Ada sedikit rasa kurang nyaman membaca buku ini, sehingga perlu beberapa kali mengulang secara acak untuk memahami. Nichols cenderung konservatif, merasa jabatan dan pendidikan formal (termasuk dirinya) seolah menjadi pengakuan strata kepakaran tertinggi dan mendudukkan manusia berpengetahuan lainnya sebagai public intelectual, yang menjembatani antara masyarakat awam (laypeople) dengan para pakar. Nichols bersumsi bahwa Pakar seolah tak pernah dengan ‘sengaja’ melakukan kesalahan. Konsep dan praktek politik yang dilakukan para pakar politik, kalaupun tidak secara ‘gamblang’ melakukan kebohongan publik, mereka dengan kompetensinya mampu memanipulasi kebenaran.

Buku ini terbit 2017 dan lahir dari keprihatinan Nichols terhadap sikap masyarakat umum AS (laypeople), walaupun sebenarnya ini sudah jadi  fenomena mendunia, dalam menghargai hasil pemikiran para pakar, untuk merespon persoalan –  persoalan sosial yang terkait dengan dirinya. Ketidak-butuhan atau ketidak-pedulian publik terhadap pendapat para ahli yang bahkan sudah masuk dalam kategori arogansi karena merasa sudah mampu mendapatkan informasi “valid” sendiri melalui  internet/media sosial, akan membahayakan masyarakat itu  sendiri, mengingat validitas informasi yang masih perlu dipertanyakan. Dan semakin menarik keberadaan buku ini dengan momen kepemimpinan Donald Trump yang dianggap oleh sebagian masyarakat AS tidak mewakili kepentingan publik. Apakah keterpilihan Trump sebagai Presiden AS memang sudah didasari  informasi hasil analisa  sosial –  politik yang mumpuni oleh para ahli? Atau hanya berdasar permainan Bias Konfirmasi oleh para ahli komunikasi politik Trump? 

Tulisan tentang ketidakpedulian kepakaran (expertise), yang menjadi keprihatinan Nichols ini sebenarnya bukan yang pertama. Tahun 2015, terbit “The State of the American Mind”, sebuah buku kumpulan artikel tentang menurunnya daya kritis masyarakat AS, kemudian juga munculnya buku karya Ilya Somin, professor Hukum, “Democracy and Political Ignorance” yang menulis di dalamnya “the size and complexity of government have made it more difficult for voters with limited knowledge to monitor and evaluate the government’s many activities. The result is a polity in which the people often cannot exercise their sovereignty responsibly and effectively.”

Nichols memberikan penjelasan atas adanya beberapa kemungkinan penyebab “kematian kepakaran” yang berimbas pada kesulitan komunikasi bahkan perdebatan tidak substansial dalam masyarakat. Dalam penyajiannya, Nichols memaparkan beberapa aspek terkait “kematian kepakaran” ini dalam enam bab, selain  Pendahuluan di awal bukunya, dan Kesimpulan di akhir bukunya. Cukup padat materi yang disajikan, namun cukup informatif untuk dapat  memahami fenomena kerumitan komunikasi di era Informasi saat ini.

Bab I, Experts and Citizens

Pada bab ini Nichols menyajikan opini tentang keberadaan fenomena yang sudah mewabah di AS bahwa masyarakat ‘kebanyakan’ (laypeople) mempercayai dirinya sudah sangat berpengetahuan. Bahkan merasa dirinya lebih berpengetahuan daripada para professor sekalipun, hingga mampu menjelaskan bahkan berdebat tentang banyak hal, mulai dari sejarah imperialisme, seni, ideologi bahkan tentang vaksin sekalipun.

Di ranah media sosial akhir-akhir ini, konflik semakin gaduh dengan perdebatan, provokasi yang seringkali dipicu informasi yang diragukan kebenarannya. Diluar kompetensinya, seseorang bisa dengan percaya-diri menjelaskan tentang virus Covid-19 dan vaksinasi, hanya berdasar informasi dari internet. Banyak data dikumpulkannya untuk membenarkan pendapatnya, tanpa peduli informasi sudah kadaluarsa karena pendapat ahli memang tak berada di pihaknya. Bias Konfirmasi sudah terjadi untuk membenarkan pendapatnya. Sangat tidak berbasis sain namun lazim terjadi.

Namun demikian, rasanya jadi aneh ketika Nichols berpendapat bahwa : “… they are less likely to be wrong than nonexperts”, atau “It rarely occurs to the skeptics that for every terrible mistake, there are countless successes that prolong their lives”. Mungkin saja angka memang menunjukkan demikian, bahwa Pakar lebih jarang melakukan kesalahan, namun kualitas dampak dari kesalahan pakar bisa sangat berbahaya, bahkan bisa berakibat fatal. Ini karena keputusan-keputusan yang berresiko fatality, biasanya dilakukan oleh para Pakar.

Pernah penulis alami, hingga harus diangkut ambulans dari Musium nasional Singapura ke RS karena tiba-tiba sesak napas, bahkan bicarapun sudah tidak mampu, akibat tidak kuat atas efek obat anti diabetik yang diberikan oleh dokter internis tanpa lebih dahulu menjelaskan kemungkinan efek tersebut. Internet menjelaskan bahwa salah satu dampak penggunaan obat tersebut adalah produksi gas dalam lambung. Efek tersebut tidak pernah lagi terjadi, sejak tidak dikonsumsinya obat tersebut. Dokter internis mengakui bahwa sesak napas tsb akibat obat yang diberikannya.


Nichols yang memasukkan dirinya sbg bagian dari kaum public intelectual, seolah berharap dimaklumi terhadap berbagai kasalahan yg pernah dilakukan kaum ‘pakar’. “Doctors routinely tussle with patients over drugs. Lawyers will describe clients losing money, and sometimes their freedom, because of unheeded advice. Teachers will relate stories of parents insisting that their children’s exam answers are right even when they’re demonstrably wrong. Realtors tell of clients who bought houses against their experienced advice and ended up trapped in a money pit”.

Bab 2. How Conversation Became Exhausting

Perbedaan pendapat antara para Pakar dengan masyarakat umum atau diantara masyarakat sendiri adalah wajar dan biasa sejak dulu kala. Namun perbedaan-perbedaan tersebut di era sekarang ini cenderung meruncing dan sering berujung perdebatan yang emosional. Melelahkan. 


Menurut Nichols tingkat pendidikan masyarakat yang semakin bagus, akses data yang lebih mudah, sosial media yang semakin marak penggunanya dan semakin mudahnya masuk ke ruang publik, semakin mempermudah keterlibatan masyarakat dalam perdebatan tentang banyak hal yang berkaitan dengan dirinya. Namun ternyata, alih-alih berbagai kemudahan tersebut memperbaiki komunikasi di ruang publik, justru sebaliknya memperburuk. Semangatnya tidak lagi mencari kebaikan bersama, namun memuaskan diri dengan mengalahkan lawan komunikasi.


Dalam perdebatan yang cenderung mencari “menang” dan tidak lagi peduli dengan “benar”, maka hanya bukti-bukti pendukung yang sesuai dengan pendapatnya sajalah yang dipilih, dan dikumpulkan untuk mendukung pemenangan. Confirmation Bias mulai dilakukan. Bisa dengan cerita Dongeng, Superstitious (mithos), atau yang paling rumit dan penuh intrik, serta membutuhkan keahlian tinggi, adalah dengan menyusun Teori Konspirasi. Konsep yang sangat digemari oleh mereka yang kesulitan memahami rumitnya persoalan dunia ini, sekaligus penggemar cerita dramatik, juga narsisis.

Nichols berpendapat bahwa kecenderungan natural ini bisa dilakukan siapa saja, baik masyarakat awam, maupun para pakar sekalipun. Tentang hal ini, penelitian psikologi David Dunning dan Justin Kruger dari Cornell University 1999, yang dikenal sebagai “the Dunning-Kruger Effect,” mengatakan bahwa “the dumber you are, the more confident you are that you’re not actually dumb“. 🙂 Selanjutnya Dunning mengatakan “… we all overestimate ourselves, but the less competent do it more than the rest of us”.

Sangat sering kita jumpai di era media sosial dan diskusi daring, yang berujung perdebatan antara para ahli dengan mereka yang merasa ahli atau tidak  kompeten. Penyebab mereka yang tidak  kompeten menilai dirinya terlalu tinggi adalah karena kurangnya kemampuan yang disebut Metakognisi. Ini adalah kemampuan yang didefinisikan oleh Benjamin Bloom sebagai lemahnya diri menguasai aspek kognisi, yaitu  mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi suatu masalah. Akibatnya, bisa saja terjadi mereka yang tidak kompeten ini akan bersikap ofensif/defensif berlebihan tanpa menyadari bahwa sudah jauh dari subyek pembicaraan ketika berhadapan dengan ahlinya.

Komunikasi diantara masyarakat umum, atau antara para pakar dengan masyarakat umum, semakin sulit bila sudah melibatkan emosi, khususnya bila tidak kondusif untuk salah satu pihak. Untuk itu karakter terpenting bagi para pakar adalah kemampuannya menahan diri untuk tetap netral, tidak berpihak, bahkan dalam kasus kontroversi sekalipun.

Bab 3. Higher Education – The Customer Is Always Right
Para tetua berasumsi bahwa jenjang tingkat pendidikan akan dengan sendirinya “menyelesaikan” perdebatan publik yang tidak substansial dan tidak setara. Dengan kata lain, semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, maka akan semakin argumentatif dalam menyelesaikan persoalan dibidangnya. Dengan sistem pendidikan yang berorientasi bisnis komoditi (komodifikasi), pendapat tersebut diatas, tidak lagi dapat dibenarkan. Bahkan, ada kecenderungan, semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, semakin tinggi tuntutan untuk diperlakukan istimewa karena merasa sudah membayar mahal. Artinya, justru pendidikan tinggi turut andil dalam kekisruhan komunikasi publik karena kepakaran telah dipermainkan.

Nichols berpendapat bahwa institusi pendidikan tinggi di AS masih gagal dalam memberikan pendidikan ke mahasiswanya tentang pengetahuan dan keahlian dasar sebagai fondasi pembentuk kepakaran, yaitu berpikir kritis, “the ability to examine new information and competing ideas dispassionately, logically, and without emotional or personal preconceptions”.

Budaya baru dalam aspek pendidikan di AS adalah bahwa menempuh pendidikan tinggi adalah kewajiban. Dampak buruk dari cara pandang tersebut adalah program pendidikan hanya untuk memenuhi kewajiban, sehingga pendidikan menjadi komoditi. Dan peserta didik merasa sebagai raja yang sudah menunaikan kewajibannya, membayar biaya kuliah. Transaksi kelulusan terjadi dan matilah kepakaran.

4. Let Me Google That for You

Kesan yang diperoleh dari membaca buku ini, penulis menganggap internet dengan berbagai aplikasinya menyumbang banyak terjadinya ketimpangan komunikasi antara masyarakat awam dan para pakar. Meskipun diakuinya bahwa internet bukanlah penyebab utama. Seolah Wikipedia, Google dan media sosial tak layak dipergunakan sebagai alat untuk mencari informasi karena validitas kebenaran yang ia ragukan. Benar pendapat Nichols bahwa informasi dalam Wikipedia adalah sumbangan banyak pihak dengan minimum supervisi, namun juga diakuinya bahwa banyak informasi yang benar adanya. Lalu, apa sebenarnya maksud Nichols dengan cercaannya terhadap aplikasi informasi dalam Internet? Pengguna Internet pun ada berbagai kategori tingkatan pengetahuan. Dan rasanya, mostly paham bahwa info dari Internet bukanlah sumber yang terjamin validitasnya untuk dapat dipergunakan sebagai rujukan ilmiah. Perlu diuji lagi kebenarannya berbasis sains.

Nichols menulis buku yang isinya sudah banyak dipahami masyarakat awam sekalipun. Khusus tentang Internet di bab 4, Nichols seperti gagap menghadapinya. Di satu sisi mengecam, namun disisi lainnya juga mengakui ada kebenaran disana. Harapan yang terlaku tinggi bahwa masyarakat seharusnya ‘bergantung’ saja terhadap para pakar (bukan internet), jadi terasa naif. Dari sini justru terlihat kelemahan para pakar yang tidak mampu lagi berperang melawan derasnya arus informasi di era internet. “Experts trying to confront this kind of stubborn ignorance may think they’re helping, when in fact they’re basically trying to throw water on a grease fire. It doesn’t work and only spreads the damage around”. Mestinya para PAKAR justru mampu membuat strategi dengan pemilihan alat/aplikasi yang tepat untuk dapat membanjiri informasi di internet yang diyakini kebenarannya.

Nichols juga mengakui nahwa Internet bukanlah penyebab utama tantangan terhadap kepakaran. Namun, internet mempercepat runtuhnya bangunan komunikasi antara masyarakat awam dengan Pakar. Internet bagaikan gudang besar membanjiri berbagai informasi. Dari yang valid, berguna hingga informasi sampah, yang dapat diakses dengan mudah. 

Kecepatan pergerakan dan berragamnya informasi sudsh terbukti mampu meruntuhkan kekuasaan di beberapa negara. Bagaikan pisau bermata dua, internet sebagai media informasi bisa sangat membantu, namun juga sangat berbahaya bila kemampuan literasi pengguna sangat rendah. Semakin membahayakan karena informasi dalam internet tidak mudah untuk dihilangkan atau dihapus. Dan mudah sekali untuk disebar-luaskan.

5 The “New” New Journalism, and Lots of It

Di awal bab ini Nichols menyajikan beberapa contoh berita di media resmi yang terlihat valid informasinya, tapi ternyata salah. Contoh berita mengenai Coklat yang dapat membuat kurus dan adanya jembatan yang menghubungkan Gaza dengan Israel. Keduanya adalah berita tidak benar. Bagi konsumen yang tidak cukup kritis untuk menguji kebenarannya, berita tersebut bisa berakibat fatal.

Untuk mengkonsumsi berita dengan benar, perlu adanya kewajiban bagi konsumen untuk lebih kritis. Nichols menyarankan empat hal untuk dilakukan dalam mencerna berita, yaitu:

  • Rendah hati
    • Mulai dengan asumsi bahwa penulis lebih memahami persoalan daripada konsumen berita
  • Variatif
    • Tidak mengkonsumsi berita dari sumber yang sama terus-menerus
  • Tidak sisnis
    • Wartawan bisa salah karena tida teliti dalam menyajikan informasi. Namun tidak bermaksud berbohong
  • Kritis
    • Siapa penulisnya? Apakah ada editornya? Apakah ini media berit atau politik? Apakah informasi visa diverifikasi?Apakah ada media lain yang tidak sependapat dengan beritanya?

Menurutnya, membaca berita adalah keterampilan yang akan menjadi lebih baik bila lebih sering melakukannya.

6. When the Experts Are Wrong
Beberpa contoh:

Teen Debunks Professor’s Claim That Anti-Irish Signs Never Existed

Dari hasil berselancar di internet, pelajar kelas 8, Rebecca Fried, menemukan bahwa jargon “No Irish Need Apply” yang ditulis oleh seorang ahli sejarah, Richard Jensen, ternyata berita tidak benar.

Tahun 1970, ahli nutrisi AS yang didukung Pemerintah menyatakan bahwa telor ayam berbahaya untuk dikonsumsi karena akan meningkatkan kolesterol jahat (LDL), yang berakibat mematikan. Yang terjadi kemudian justru peningkatan jumlah kematian karena obesitas berhubung makan berlebihan untuk kompensasi diet telor ayam. Empat puluh lima tahun kemudian, 2015, pemerintah AS menyatakan sebaliknya, bahwa telor ayam tidak berbahaya bahkan menyehatkan.

Para pakar politik pun banyak melakukan kesalahan ketika memberikan analisis bahwa Uni Soviet masih kuat dan Gorbachev masih sangat pegang peranan. Kudeta terjadi dan Uni Soviet runtuh di tahun 1991. Gorbachev tak sekuat yang digambarkan para politikus.

Dokter, sebagai pakar medis yang dampak keahliannya dirasakan langsung oleh masyarakat, sering juga melakukan kesalahan. Kesalahan bisa terjadi pada langkah penasihatan, pemberian resep obat atau tindakan medis lainnya. Kesalahan tersebut bahkan bisa berakibat kematian.


“Even when the experts all agree, they may well be mistaken”, Bertrand Russell.


Banyak pakar melakukan kesalahan, mulai yang berdampak ringan hingga berat bahkan menyebabkan bencana mematikan. Semua ada alasannya, namun masyarakat tetap percaya pada keahlian para pakar tersebut. Sama halnya percaya pada pengendara kendaraan umum atau pilot, yang memang sudah teruji secara formal dengan pengalaman, pendidikan, sertifikat, lisensi dll. Namun tingkat kepercayaan masyarakat akan berbeda bila dihadapkan pada para pakar yang berpendidikan tinggi dengan pengalaman di bidangnya selama puluhan tahun. Apalagi mempunyai jabatan pemerintahan sebagai staf ahli presiden, menteri atau senat di AS.


Tentang kemungkinan bahwa seorang pakar bisa berbuat salah, Nichols bersikap mendua. Disatu sisi merasa perlu dihargai kepakarannya. Disisi lain, kesalahan Pakar perlu disikapi sebagai kelaziman belaka. Dengan pembelaan, jarang terjadi kesalahan pakar. Nichols lupa bahwa kesalahan Pakar justru seringkali berdampak besar dan berbahaya. Dan, imbalan penasihatan dari seorang Pakar di AS adalah sangat mahal. Konsekuensinya adalah tuntutan terhadap validitas pemikiran seorang Pakar akan sangat tinggi.

Conclusion Experts and Democracy
Ada kecenderungan bahwa buku ini adalah ungkapan puncak kekecewaan Nichols yang dipicu kemenangan Trump dalam Pilpres AS 2016. Bukan karena dia mendukung kandidat Presiden yang kalah, namun lebih karena ketidak-pedulian para pemilih terhadap “kebenaran” informasi bahwa Trump abai terhadap pendapat publik. Nichols menyebutnya sebagai “Anti-intellectualism”. Disini kebenaran Dunning-Kruger Effect diuji. Bahwa, semakin bodoh seseorang, akan semakin tidak mampu mengenali bahwa dirinya bodoh. Pendidikan para pendukung Trump, menurut Nichols, berada pada posisi tersebut. Rendah pendidikan.


Nichols mengingatkan bahwa ada lima kesalahpahaman pubkik terhadap para Pakar, yaitu:

  1. Pakar bukan Dalang
  2. Pakar tidak bisa mengatur para Pemimpin dalam mengimplementasikan pensihatannya
  3. Pakar tidak mengatur kebijakan publik secara rincindari konsep hingga eksekusinya
  4. Pakar tidak pada posisi untuk terlibat dalam pengambilan keputusan oleh Pemimpin terhadap Penasihatannya.
  5. Pakar hanya memberikan penjelasan dan pilihan

Dalam masyarakat demokratis, layanan penasihatan dan berbagai analisis para Pakar adalah bagian dari kontrak sosial. Masyarakat mendelegasikan kekuatannya dalam mengambil keputusan dalam berbagai persoalan rumit kepada parlemen. Sedangkan, para pakar atau staf ahli Parlemen atau Pejabat Publik lainnya, berharap supaya pemikiran yang sesuai kompetensinya dapat diterima publik selayaknya. Relasi Pakar dengan Publik ini didasarkan pada kepercayaan. Trust. Bila Trust ini hilang, maka akan terjadi chaos dalam demokrasi karena kurangnya pilihan-pilihan rasional berbasis sains untuk pengambilan keputusan. Otoritarian akan terjadi. Akibat buruk ini yang menjadi kekhawatiran utama dari Nichols.

Tautan:

  1. The Campaign against Established Knowledge and Why it Matters
  2. How ignorance became a virtue
  3. Wikipedia: “The Death of Expertise”
  4. Tom Nichols: Are Facts Dead?
  5. Why Don’t Americans Trust Experts Anymore?
  6. Tom Nichols, “The Death Of Expertise”

Rekomendasi

Buku yang sudah banyak sekali di’review’ dan tayang di berbagai media cetak maupun channel video ini layak untuk dibaca. Meskipun kepercayaan publik terhadap Kepakaran, di negara kita tercinta ini, masih relatif tinggi, namun penyebab-penyebab umum Kematian Kepakaran, seperti disebutkan oleh Nichols, sudah mulai muncul. Misalnya, reaksi spontan para netizen terhadap Hoax semakin tinggi. Kemudahan akses informasi dari internet, menyebabkan semakin banyaknya netizen merasa “tahu segalanya”. Tanpa merasa perlu melakukan validasi data. Melemahnya “critical thinking”.


Namun di sisi lain, para Pakar yang mempunyai ‘kontrak sosial’ terhadap publik, banyak diantaranya yang tidak sepenuhnya memberikan layanan semestinya. Rendahnya produksi layanan analisis sosial atau kebijakan, atau bahkan memberikan bias informasi karena kepentingan politiknya. Selamat membaca.

Read Full Post »

%d blogger menyukai ini: