6 Oktober 1978
Ruhollah Khomeini sampai di Paris. Kota yg dipilih karena kemudahan akses media internasional dan adanya kebebasan bicara. Tinggal di kota kecil Neauphle-le-Château, di luar Paris. Penerbangan ditemani oleh puteranya, Ahmad, Ebrahim Yazdi (pemimpin The Liberation Movement of Iran (Nehzat-e azadi-ye Iran) atau LMI (disebut juga Iran Freedom Movement, or IFM),) dan 2 lainnya. Sebelumnya, Sadegh Ghotbzadeh dan Abolhassan Banisadr (intelektual Paris) mengurus Visa Khomeini utk 3 bulan tinggal di Perancis.
Dalam 4 bulan di Perancis, Khomeini sudah menyelesaikan wawancara dengan 132 media nasional/internasional. Semakin terkenal. Mohsen Sazegara mengatur wawancara media massa tersebut.
Mohsen Sazegara meninggalkan Iran pada tahun 1975 untuk belajar di Chicago, di mana dia berteman dengan Yazdi dan bergabung dengan LMI. Ia kembali ke Iran tahun 1978, dengan membawa pamflet tentang revolusi dan dokumen rahasia untuk sesama aktivis LMI. Mohsen Sazegara membantu mengorganisir pemogokan dan demonstrasi. Serta memunculkan beberapa slogan untuk revolusi, diantaranya, “Marg barg shah, Death to the shah” dan “Shah beyad beravad, The shah must go”.
Ebrahim Yazdi, Sadegh Ghotbzadeh, dan Abolhassan Banisadr menterjemahkan pidato-pidato Khomeini setiap harinya kedalam bahasa Perancis dan Inggris untuk konsumsi internasional.
Ratusan pengunjung Khomeini semakin banyak berdatangan dari Iran dan negara-negara Islam lain. Dari bermacam-macam kelompok. Shiah, Sunni, Ikhwanul Muslimin dan berbagai kelompok Islam yang terrepresi di negaranya (Mesir, Iraq, dll). Mereka merasa mendapatkan inspirasi, ide dan taktik baru untuk melawan penguasa dzalim di negaranya masing-masing.
Khomeini mengatakan pada wartawan Guardian, “I don’t want to have the power or the government in my hand. I am not interested in personal power.”
Bani Sadr meminta Khomeini untuk tidak menyatakan tentang wilayat al-faqih atau negara theokrasi Islam. Bahkan sebaliknya Khomeini menyatakan bahwa perempuan Iran bisa menjadi Presiden. Hemmm …
1 Februari 1979
Pukul 1 dini hari, Air France Boeing 747, membawa Khomeini dan rombongan menuju Tehran, Iran. “Hichi (nothing)”, jawab Khomeini ketika ditanya wartawan ABC News, Peter Jennings di dalam pesawat yang membawanya ke Tehran, “Ayatollah, would you be so kind as to tell us how you feel about being in Iran?”
Dua opsi yang semula direncanakan di Perancis adalah:
- Membuat pemerintahan di pengasingan yang akan mendapatkan pengakuan internasional. Kemudian memaksa PM Shahpour Bakhtiar untuk mengundurkan diri. Atau,
- PM Shahpour Bakhtiar mengajukan pengunduran diri ke Khomeini di Perancis dan mempersilahkannya untuk membentuk kabinet serta melakukan referendum untuk membentuk pemerintahan baru.
Mohsen Sazegara menyetujui permintaan Khomeini untuk segera kembali ke Tehran setelah kaburnya Shah Iran. Ebrahim Yazdi tidak setuju,
“Mohsen, I understand, you’re right, but here in Neauphle-le-Château, there are only low-ranking clerics around Ayatollah Khomeini. We can control them, we can control the ayatollah. In Iran, there are high-ranking clerics, his friends, and they will take him out of our hands. Whatever we have done so far will be ruined by them.”
Sikap Ebrahim Yazdi mewakili kekhawatiran kelompok nasionalis kiri, para inisiator gerakan massa di Iran.
21 Februari 1979
Yasser Arafat meninggalkan Tehran
22 Februari 1979
Ebrahim Yazdi menerima pesawat charter dar Islamabad, Pakistan yang membawa penumpang dari Ikhwanul Muslimin (IM) Syria dan Mesir, Jamaat e-Islami Pakistan, dan lainnya dari Kuwait, Arab dan Indonesia. Mereka bermaksud bertemu dengan Khomeini. Youssef Nada sebagai penyandang dana IM Mesir mencharter pesawat tersebut. IM bermaksud mengangkat Khomeini sebagai pemimpin bangsa Islam. Mereka melihat kemenangan Khomeini sebagai kemenangan terhadap opresi, kolonialisme dan imperialisme.
Tinggalkan Balasan