Sutradara: Kenneth Branagh
Ada yang memilih pergi
Ada yang memilih tinggal
Ada yang tersesat dalam pilihan
Demikian kalimat akhir dalam film BELFAST.
Film hitam-putih berjudul Belfast, yang bisa dinikmati di Netflix ini memenangkan satu Oscar untuk kategori Best Original Screenplay. Juga memenangkan penghargaan BAFTA untuk kategori Outstanding British Film of The Year. Aplikasi IMDB mencatatnya telah memenangkan 51 award dan 237 nominasi. Capaian luar biasa. Film produksi 2021 ini ditulis dan disutradarai oleh Kenneth Branagh, berkebangsaan Irlandia Utara, tang lahir di Belfast. Para aktor dan aktris pun dominan berasal dari Irlandia Utara. Jude Hill, bintang ciliknya yang menawan aktingnya, Caitriona Balfe yang berperan sebagai Ibu, Jamie Dornan sebagai Ayah dan bintang kawakan Ciaran Hinds sebagai Kakek.
Entah mengapa, film berlatar-belakang Irlandia Utara selalu mengundangku untuk menontonnya. Apapun genrenya. Mungkin karena masa kecil saat senang-senangnya membaca koran, selalu disuguhi berita luar negeri tentang kerusuhan disana. Sinn Fein, partai politik di Irlandia Utara dan IRA sayap militernya, Bobby Sands, anggota IRA yang bunuh-diri serta Gerry Adams pimpinan IRA, menjadi pengingat kerusuhan di Irlandia Utara saat itu.
Karena film Belfast ini, buku lama tentang proses perdamaian di Irlandia Utara, The Fight for Peace (dibeli di Perth 1994), karya Mallie & McKittrick, yang selama ini menjadi rujukan pengetahuanku tentang konflik kekuasan Irlandia Utara, kembali mengundangku untuk membaca ulang.
Film ini dibuka dengan kerusuhan aksi massa kelompok Protestan terhadap kelompok Katolik. Terjadi penyerangan fisik dan perusakan properti. Teriakan para demonstran serta jeritan ibu dan anak mengiringi brutalitas tindakan massa. Gambar hitam putih bergerak cepat. Dramatik. Chaos.
Kamera beralih fokus pada aktifitas seorang ibu yang sibuk tungganglanggang keluar-masuk rumah, mengamankan anak-anaknya. Sembunyi di bawah meja. Hingga kerusuhan mereda.
Cerita beralih pelan dari jalanan ke ruang privat. Dialog terjadi dalam keluarga. Krisis ekonomi mulai terasa. Dan film mulai menyajikan konflik rumahtangga yang gamang terhadap pilihan domisili yang dikhawatirkan berdampak keterasingan politik dan tercabutnya akar budaya.
Tak lelah mengikuti alur cerita hingga film berakhir. Melihatnya seperti film dokumenter. Natural, tak berlebihan namun sangat terasakan konfliknya. Serasa tak berjarak antara layar dan penontonnya. Perang dan brutalitas konflik sosial selalu depresif bagi rakyatnya.
Bagaimana akhir cerita? Selamat menonton. Kereen…
Tinggalkan Balasan