Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘Bräutigam’

Disclaimer

Kata “Penulis” dalam tulisan dibawah ini dimaksudkan sebagai “Penulis Buku”.

PEMBUKA

Dalam Kongres Nasional Partai Komunis China ke-19, Oktober 2017, Presiden Xi Jinping menyatakan, 

“blaz[ed] a new trail for other developing countries to achieve modernization” and that “[i]t offers a new option for other countries … who want to speed up their development while preserving their independence.” (Bab 5).

Selanjutnya, dalam pidatonya di tahun 2017, Presiden Xi menyatakan bahwa 

“[w]e will … strengthen international cooperation on anticorruption in order to build the Belt and Road Initiative with integrity.”

Kalimat dalam editorial majalah the Economist, edisi 15-21 Oktober 2022, halaman 13 bisa mewakili cara pandang China terhadap persepsi Barat, yang sering menggunakan norma sendiri untuk mengukur sikap dan tindakan bangsa lain.

Mr Xi’s aim is not to make other countries more like China, but to protect China’s interests and establish a norm that no sovereign government need bow to anyone else’s defini­tion of human rights.

Berita harian Bisnis.com berjudul “Jokowi Bertemu Xi Jinping, Segini Total Investasi China di Indonesia” menyebutkan bahwa China menduduki peringkat kedua sebagai investor asing terbesar pada semester I tahun 2022, setelah Hongkong. Tercatat US$3,6 miliar atau meraih porsi 16,8 persen dari total investasi yang masuk selama semester I/2022. Proyek Nasional atas biaya China sudah masuk negeri kita ini sejak pembangunan Waduk Jatigede, Jalan Tol Medan-Kualanamu hingga Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Tak faham tentang siapa lebih diuntungkan dalam kerjasama dengan China, buku Banking on China. The aims and impacts of China’s Development Program ini bisa sedikit memberi pencerahan. Dari kacamata Barat tentunya. Berikut ini disampaikan inti tulisan dan opini beberapa Bab dari buku ini.

Buku ini ditulis oleh 5 orang peneliti, yaitu: 

  1. Axel Dreher is Professor of International and Development Politics, Universität Heidelberg, Heidelberg, Germany. He is also a Fellow at CEPR, CESifo, and AidData.
  2. Andreas Fuchs is Professor of Development Economics and Director of the Centre for Modern East Asian Studies at the Georg-August-Universität, Göttingen, Germany. He is also Director of the Kiel Institute China Initiative.
  3. Bradley Parks is the Executive Director of AidData, a research lab at William & Mary, Virginia. He is also a Non-Resident Fellow at the Center for Global Development.
  4. Austin Strange is an Assistant Professor of International Relations at The University of Hong Kong.
  5. Michael J. Tierney is Professor of Government and Director of the Global Research Institute at William & Mary, Virginia. 

Sistematika penyajian

  1. Alasan ditulisnya buku ini menjadi ulasan panjang dalam BAB 1. 
  2. Kemudian dilanjutkan dengan sejarah Bantuan Pembiayaan China pada BAB 2. 
  3. Metode kompilasi data pembiayaan China di abad 21 disajikan pada BAB 3. 
  4. Bab-bab selanjutnya adalah penjelasan terhadap berbagai pertanyaan, misalnya pada BAB 4, seperti apakah status program pembangunan global China? Atau, negara manakah dan sektor apakah yang menerima bantuan dana China? Apakah kategori Aid atau Loan? 
  5. Kemudian BAB 5 adalah, faktor-faktor apakah yang mempengaruhi alokasi bantuan China ke berbagai negara di dunia? Dan, bagaimana bila motif tersebut dibandingkan dengan para pendonor tradisional atau kreditor, seperti World Bank? 
  6. Lalu di BAB 6, apa yang menentukan alasan perbedaan alokasi bantuan pembangunan China di berbagai wilayah dalam suatu negara? Apa bedanya dengan alokasi bantuan dana dari World Bank? 
  7. Kemudian di BAB 7 adalah penjelasan dari pertanyaan: bagaimana dampak pertumbuhan ekonomi dan hasil dari berbagai pembangunan yang berasal dari bantuan pembangunan China? Apakah dampak ekonomi dari pembiayaan pembangunan China yang bermotivasi politik, akan berbeda hasilnya secara signifikan, daripada jenis bantuan pembangunan Tiongkok lainnya? 
  8. Dan pada BAB 8 disajikan penjelasan terhadap pertanyaan, apa dampak bantuan China terhadap isu korupsi, konflik sosial, lingkungan, demokrasi? Bagaimana tingkat keefektifan bantuan dari Barat? 
  9. Akhirnya di BAB 9 adalah pendapat penulis tentang bagaimana China perlu melakukan rekonsiliasi terhadap aturan dan standar pembangunan internasional atau Barat.

LATARBELAKANG PENELITIAN

Negara-Negara penerima Bantuan Proyek Pembangunan China, 2000-2014 (ref. Banking on Beijing)

Penulis meneliti isu terkait tujuan dan dampak bantuan pendanaan China, yang berupa Pinjaman (lending) dan Hibah (aid), untuk proyek-proyek di negara-negara sedang berkembang. Analisis data dilakukan sebanyak 4500 proyek, senilai $358 milyar, di 138 negara, selama 15 tahun. Pendanaan dari China banyak ditujukan ke negara-negara di Afrika, semenanjung Arab, Asia Tengah, Afghanistan, Pakistan, Srilangka, juga Indonesia, dll. Informasi rinci tentang Hibah/Pinjaman dari China untuk Pembangunan di negara Srilanka, Tanzania dan Pakistan banyak disampaikan dalam buku ini.

Analisis data dimaksudkan untuk mengetahui beberapa hal. Diantaranya adalah tentang motivasi Bantuan. Apakah kemanusiaan atau komersial? Bagaimana skema bantuan diberikan? Bagaimana dengan risiko dan keuntungan negara penerima bantuan? Apa perbedaan dan persamaan dengan bantuan dari lembaga donor atau negara Barat?

Pengumpulan dan kompilasi data untuk kebutuhan penelitian ini, dilakukan oleh Aiddata, William & Mary’s Global Research Institute. Salah satu penulis buku ini adalah Direktur Eksekutif Aiddata, Bradley Parks.

Kalimat pembuka di halaman pertama buku ini bisa menjadi Pengantar bagi para pembaca untuk memperkirakan isi bukunya :

China is now the lender of first resort for much of the developing world, but Beijing has fueled speculation among policymakers, scholars, and journalists by shrouding its grant-giving and lending activities in secrecy.

Sejak bab pertama dalam buku ini, secara tersurat sudah menunjukkan prasangka buruk Penulis terhadap maksud pemerintah China untuk membantu pembiayaan pembangunan ekonomi negara-negara sahabat. Dan ternyata memang prasangka buruk itulah motif utama penelitian dilakukan. Yang kemudian berusaha dibuktikannya pada bab-bab berikut, dengan analisis statistik berdasar data yang dikumpulkan dari berbagai sumber.

Beberapa kutipan berita negatif yang disadur dalam Bab I buku ini misalnya, 

  • “praktek bantuan China melemahkan negara penerima karena menyuburkan korupsi, menguasai industri ekstraktif, dan melanggengkan hutang”.
  • “China sudah menggelontorkan cadangan mata-uang asingnya sebesar $3 triliun sebagai bantuan pembiayaan pembangunan, untuk menguasai pengaruh politik global”.
  • “China membantu pembangunan infrastruktur pemutar roda ekonomi negara-negara sahabat, seperti jalan raya, kereta api, jembatan dan bendungan, dengan lebih mengutamakan pada kecepatan pembangunan daripada kualitas, mengabaikan isu lingkungan, sosial, keselamatan kerja serta lemah pada sistem pengawasan dan evaluasinya”.
  • Pembiayaan oleh bank di Beijing secara ekonomi tidaklah efisien. Namun diakui bahwa memang dibutuhkan untuk keperluan pembiayaan proyek-proyek besar.
  • China adalah rekanan pembangunan yang pragmatis, dan berusaha mendapatkan beragam kepentingan ekonomi dan politik. 
  • Dll.

Tahun 2013, President Xi Jinping mencanangkan Belt and Road Initiative (BRI). Dan menggelontorkan US$1 triliun, untuk program pembiayaan infrastruktur global.

Dana besar Beijing untuk pendanaan pembangunan bagi negara-negara sahabat berpendapatan rendah-sedang tersebut, menjadikan kekhawatiran AS dan sekutunya. 

Just fifteen years ago, China was a net recipient rather than a net donor of aid. So, how did we get here?” 

Sehingga pada Oktober 2018, Dewan Perwakilan AS memberlakukan BUILD (Better Utilization of Investment Leading to Development), yaitu institusi finansial pendanaan pembangunan, untuk bersaing dengan China di seluruh dunia. Dan pada September 2019, mereka menggelontorkan US$375 Juta untuk bantuan “Countering Chinese Influence”.

Pada tahun 2019 itu juga, Jepang dan Australia bergabung dengan AS mencanangkan “Blue Dot Network”, untuk menghadapi BRI (Belt and Road Initiative). Mereka membentuk jaringan kerjasama untuk menerapkan sertifikasi kualifikasi proyek sehingga bisa mendapatkan bantuan pendanaan di wilayah Indo-Pasifik dan seluruh dunia. Kelayakan pasar, transparansi dan keberlanjutan finansial pembangunan infrastruktur menjadi perhatian penting.

Tahun 1980-1990an, China bersikap low-profile dalam kebijakan investasi atau pembiayaan asingnya. Deng Xiaoping mencanangkannya sebagai prinsip “hide your capabilities, and bide your time”. Namun berubah di tahun 1999 setelah Beijing mencanangkan strategi “Going Out”. Bank milik pemerintah China – China Eximbank dan China Development Bank – ditugasi untuk membantu perusahaan-perusahaan China di luar negeri supaya mampu berdiri kokoh dan sanggup bersaing di pasar global. Mulai agresif.

Strategi Going Out ini diberlakukan karena kondisi ekonomi yang perlu mendapat perhatian Beijing, yaitu:

  • Industri domestik China sedang mengalami masalah over produksi. Perusahaan-perusahaan baja, besi, semen, aluminium dan kayu, tidak efisien dan merugi.
  • Oversupply mata-uang asing. Surplus perdagangan tahunan menyebabkan cepatnya pertumbuhan cadangan mata-uang asing, sehingga berisiko instabilitas makro-ekonomi (inflasi atau revaluasi mata-uang). Oleh karenanya, Beijing berharap bisa menempatkan kelebihan dollar dan euro di outlet-outlet luar negerinya yang produktif.
  • Untuk menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi domestik yang tinggi, China perlu untuk menambah kecukupan sumberdaya alam. Sehingga bank-bank nasional diwajibkan membantu proyek-proyek di luar negeri yang fokus pada industrial, infrastruktur, dan akuisisi sumberdaya alam.

Setelah 15 tahun (2000-2014) menjalankan strategi Going Out, pengeluaran China untuk pembangunan di luar negeri meningkat pesat. Sumbangan dan pinjaman tanpa bunga ke dunia yang sedang berkembang, banyak diberikan dalam mata-uang Renminbi. Berjalannya waktu, perilaku Beijing mulai berubah. Dari Benefactor bergeser kearah Banker, yang memberi pinjaman dengan bunga harga pasar.

Untuk mengatasi masalah kelebihan produksi, kelebihan mata-uang asing dan kekurangan akses sumberdaya alam, perbankan Beijing memberlakukan kebijakan:

  1. Pinjaman dengan mata-uang asing, berbunga mendekati harga pasar
  2. Mewajibkan para peminjam luar negeri untuk memenuhi keperluan industrinya, seperti baja dan semen, supaya membeli dari China
  3. Mempermudah Pembayaran Hutang dengan menggunakan pendapatan dari penjualan komoditi ke China

Setelah tahun 2000, pengeluaran Beijing untuk Bantuan Pembangunan luar negeri berbunga rendah (Aid) semakin berkurang. Sebaliknya pemberian Pinjaman (Debt) semakin bertambah. Hanya 23% dari total pengeluaran luar negeri China selama tahun 2000-2014 yang masuk dalam kategori Bantuan (Aid), menurut definisi OECD-ODA (Organisation for Economic Co-operation and Development’s – Official Development Assistance). Sebaliknya, dalam rentang waktu yang sama, anggota Development Assistance Committee (DAC), berasal dari negara-negara industri Barat (termasuk Jepang dan Australia) yang menguasai pasar finansial pembangunan internasional, telah mengeluarkan total 90% dari belanja luar negerinya untuk keperluan ODA (Official Development Assistance). 

Sayangnya, buku ini hanya menyajikan Angka Bantuan diatas, hanya dalam format Persentase saja. Tidak termasuk Angka Nominalnya. Berapa besar angka Bantuan negara-negara Barat? Apakah lebih besar dari pengeluaran China?

Munculnya kontroversi di kalangan jurnalis, politisi dan peneliti tentang program Bantuan Pembangunan luar negeri China ini, menurut Penulis karena adanya kesulitan membedakan antara proyek-proyek yang dibiayai dengan gratis atau bunga rendah (Aid), dengan proyek-proyek yang dibiayai oleh Pinjaman berbunga pasar atau mendekati bunga pasar (Debt). 

Lebih jauh, Penulis mencurigai bahwa niat baik China hanyalah bungkus untuk maksud tersembunyi lain, yaitu:

  • Membeli loyalitas penguasa korup dan rejim otoriter penerima bantuan
  • Mengeksploitasi sumberdaya alam tanpa memperdulikan dampak lingkungan
  • Membuat keuntungan finansial yang tidak adil, untuk kepentingan perusahaan China di pasar global 

Pemerintah China dianggap tidak cukup transparan dalam mengelola Pendanaan Pembangunan Luar Negeri. Penulis beranggapan bahwa ini karena:

  1. Sebagai negara Komunis, otoritas Pemerintah China jauh lebih powerful daripada negara-negara OECD-DAC (Organisation for Economic Co-operation and Development – Development Assistance Committee) yang mengedepankan prinsip demokrasi. Tuntutan informasi publik terhadap belanja pemerintah yang akuntabel, rinci, akurat dan komprehensif, tidak cukup kuat.
  2. China tidak cukup mendapat dukungan politik untuk bisa bersikap terbuka untuk mengekspose kebijakan pembiayaan pembangunan di luar negeri. Juga kurang mendapat dukungan publik untuk program Bantuan Asing ini. Hanya 23% responden survey di China mendukung adanya Bantuan Asing tersebut
  3. Sistem Statistik dan Database China untuk pengawasan portofolio Bantuan dan Pinjaman Luar Negerinya, tidak cukup bagus. 

Ada juga anggapan Penulis, bahwa bila dari negara penerima Bantuan diharapkan untuk bisa mendapatkan kebijakan luar negeri yang menguntungkan, maka China akan memberi skema pembiayaan Pinjaman Tanpa Bunga atau bahkan Hibah (Aid). Sedangkan bila yang diharapkan adalah pengembalian investasi maksimum atau mendapatkan Sumberdaya Alam, maka digunakan instrumen pembiayaan komersial, seperti Pinjaman dengan Bunga Pasar atau sedikitnya mendekati Bunga Pasar.

Terlepas dari perbedaan dan kesan negatif terhadap maksud dan tujuan Bantuan Asing dari China, ternyata ada kesamaan antara China dan negara-negara OECD-DAC, yaitu, keduanya menawarkan pertumbuhan ekonomi ke berbagai negara berpendapatan rendah dan sedang, serta sama-sama memberi Bantuan Dana ke negara-negara dengan rezim korup dan otoriter. Mereka juga sama-sama memberlakukan Bantuan Dana sebagai instrumen untuk mengamankan kepentingannya di PBB. 

Beijing pun menggunakan kriteria yang sama dengan negara-negara donor Barat untuk menyalurkan alokasi Bantuannya (aid), yaitu tingkat pendapatan per kapita. Negara-negara dengan tingkat kebutuhan lebih tinggi, akan mendapatkan Bantuan yang lebih tinggi juga. Kriteria tersebut akan sama, baik dari Washington, London, Brussels, ataupun Beijing. Demikian juga dengan skema Pinjaman (Loan). China dan negara-negara OECD-DAC akan menggunakan kriteria dan skema yang sama, yaitu memungkinkan adanya kepastian pembayaran. Baik untuk Pinjaman (Loan) dengan bunga pasar, maupun dengan bunga mendekati harga pasar.

Menurut Penulis, perbedaan utama antara Pendanaan oleh China dengan Barat adalah China lebih mengutamakan skema Pinjaman (Loan). Sedangkan OECD-DAC cenderung menggunakan skema Bantuan (Aid). Betulkah? Lagi, seberapa besar nilai nominalnya?

Ideologi jelas menjadi pembeda dalam mengelola bantuan untuk negara lain. Di negara market-led economies, pemerintah berharap sektor swasta menjadi aktor utama untuk segera bisa mendapatkan pengembalian investasi yang menguntungkan. Juga membatasi keterlibatan pemerintah dalam aktifitas komersial. Pasar bebas.

Berbeda halnya dengan China yang sentralistik, dimana Pemerintah adalah aktor utama ekonomi untuk mendapatkan keuntungan, maka bank-bank pemerintah menjadi ujung tombak dalam aktifitas komersial untuk mendapatkan keuntungan maksimal.

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa proyek-proyek Pembangunan oleh Barat memberi hasil yang bervariasi, bergantung pada banyak kondisi negara penerima Bantuan. Tidak ada bedanya dengan hasil Bantuan dari China. Negara-negara Afrika cukup berhasil Pembangunan Ekonominya karena Bantuan China, namun banyak juga yang gagal di negara-negara lainnya.

Penulis berpendapat bahwa visi Bantuan Asing dari China tidak transparan. Bahkan New York Times menyebutnya, 

“China has never released any official map of Belt and Road routes nor any list of approved projects, and it provides no exact count of participating nations or even guidelines on what it means to be a participant.” 

Perubahan dari skema Hibah menjadi Pinjaman perbankan oleh China untuk proyek pembangunan infrastruktur Negara-Negara Berkembang akan membuka kesempatan bagi negara penerima untuk mempercepat pengembangan sosio-ekonominya. Namun juga meningkatkan risiko finansial, korupsi, konflik sosial dan degradasi lingkungan. 

Belt Road Initiative (BRI) dimaksudkan China untuk membangun proyek-proyek infrastruktur jalan, rel kereta api dan pipa yang menghubungkan antar wilayah dari China ke Asia Tengah dan Eropa. Demikian juga dengan proyek “Maritime Silk Road”, proyek bawah laut Samodra India yang menghubungkan China ke Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah dan Afrika.

Srilanka

Di jaman pemerintahan Srilanka, dibawah presiden Mahinda Rajapaksa, China menggelontorkan bantuan dana untuk berbagai proyek pembangunan infrastruktur senilai total $12.4 billion, antara tahun 2005-2014. Realisasi proyek pembangunan tersebut mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dalam periode 7 tahun pertama pemerintahannya. Namun di sisi lain, LSM setempat menemukan adanya dugaan penyalahgunaan Bantuan finansial tsb. Kolusi dan korupsi melalui penggelembungan anggaran. President Rajapaksa dan lingkaran terdekatnya sebagai terduga.

Pembengkaan biaya dan korupsi mewarnai proyek-proyek infrastruktur Srilanka di masa pemerintahan Rajapaksa, yang dibiayai perbankan Beijing. Menjadi lebih buruk ketika banyak proyek-proyek besar tidak dibiayai oleh Hibah, melainkan Pinjaman berbunga pasar atau mendekati bunga pasar. Di akhir masa pemerintahan Rajapaksa, Srilanka mengumpulkan hutang sebesar US$8 miliar ke China.

Proyek besar Bandara International Mattala Rajapaksa yang berhasil dibangun, gagal menghasilkan revenue yang akan digunakan untuk membayar hutang. Asset bangsa terpaksa dijual. China menjadi pemilik saham mayoritas dan mendapatkan hak sewa selama 99 tahun untuk mengoperasikan pelabuhan laut dalam Hambatota. Sebagai pembayaran hutang senilai US$1,1 miliar. Debt-for-equity swap juga terpaksa dilakukan untuk kegagalan komersialisasi bandara yang dibangun di wilayah kediaman Presiden.

Tindakan pertama yang dilakukan Maithripala Sirisena ketika menggantikan Rajapaksa, Januari 2015, adalah memberhentikan route penerbangan ke bandara Mattala Rajapaksa International, dan audit kemungkinan terjadinya ketidakwajaran proyek-proyek infrastruktur dari China.

Yang terjadi kemudian, Beijing menyetujui Hibah US$100 juta untuk pembangunan Rumah Sakit modern di wilayah kediaman Presiden, Polonnaruwa. Peristiwa berulang kembali.

Tanzania

Oktober 1970, proyek raksasa kereta-api sepanjang 1.860 km, dari Kapiri Mposhi, Zambia ke pelabuhan Dar es Salaam, Tanzania dicanangkan oleh presiden Presidents Kenneth Kaunda (Zambia) dan Julius Nyerere (Tanzania).

Soviet, AS, Inggris, World Bank, dan PBB menolak terlibat pendanaan. Hanya China yang bersedia. US$415 juta pinjaman tanpa bunga digelontorkan. 

Proyek ini meliputi pemindahan material 89 juta meter kubik dan konstruksi 22 terowongan, 320 jembatan dan 2.225 gorong-gorong. Termasuk 40.000 tenagakerja.

Tautan:

TANZANIA-ZAMBIA RAILWAY AUTHORITY

Africa’s Freedom Railway: How a Chinese Development Project Changed Lives and Livelihoods in Tanzania

Yang aneh, buku ini menyatakan, “It launched the project in October 1970 and sent an estimated 30,000–40,000 Chinese workers by boat to work alongside tens of thousands of Tanzanian workers”. Tanpa acuan informasi. 

Tapi, laman resmi pemerintah Tanzania, TANZANIA-ZAMBIA RAILWAY AUTHORITY menyebutkan, “At the height of construction, the workforce rose to 38,000 Tanzanian and Zambian workers and 13,500 Chinese technical and engineering personnel. Siapa yang benar? Apa motif mengubah angka tenagakerja?

Akhir tahun 1973, 27 bulan sejak konstruksi dimulai, proyek kereta-api Tanzania-Zambia, TAZARA, sukses terbangun di sisi Tanzania. Proyek trans-nasional ini sukses menggerakkan populasi, barang dan jasa. Juga menghidupkan perdagangan lokal dan regional. Bahkan Jamie Monson, Professor Sejarah dan Direktur Pusat Studi Afrika, di Michigan State University, yang juga penulis buku “Africa’s Freedom Railway: How a Chinese Development Project Changed Lives and Livelihoods in Tanzania”, menyebutkan bahwa “[u]pon its completion, the TAZARA railway formed the backbone of a new spatial orientation for agrarian production and rural commerce”. Otoritas China dan Tanzania menjuluki kesuksesan ini sebagai, “the poor helping the poor”.

Rerata Pertumbuhan ekonomi tahunan Tanzania meningkat, menjadi 7%. China menjadi pahlawan kesuksesan Tanzania karena menyelamatkan pembiayaan pembangunan infrastruktur TAZARA railway yang masuk dalam the five-year development plan (FYDP) atau Repelita. 

Pemerintah Tanzania menegaskan bahwa lembaga bantuan Barat dan bank pembangunan multilateral tidak bersedia terlibat membiayai pembangunan infrastruktur yang masuk dalam program Repelita. Kalaupun ‘bersedia’, akan sangat lamban realisasinya. Proses persetujuan pembiayaan Barat terhadap pembangunan infrastruktur membutuhkan waktu setidaknya Lima tahun. Sementara pembiayaan dari China hanya membutuhkan waktu Satu tahun saja.

Mengapa proses Persetujuan Pembiayaan China bisa cepat? Menurut buku ini, karena tidak butuh proses lelang yang sangat rumit dan kompetitif untuk memilih kontraktor. Alias, kontraktor sudah disediakan oleh China. Selain itu, prosedur lelang pemilihan kontraktor tidak banyak menuntut standar kepatuhan Lingkungan dan Keselamatan Kerja yang ketat, seperti yang biasa diberlakukan para pendonor Barat.

Survei 2014 terhadap masyarakat Tanzania, menghasilkan bahwa China adalah pendukung sekaligus model terbaik bagi Pembangunan Ekonomi masa depan Tanzania (35%). Selanjutnya AS (30%), Afrika Selatan (10%), Inggris (6%),dan India (4%).

Deborah Bräutigam, peneliti Pembangunan, Universitas Johns Hopkins, berpendapat bahwa dampak pembangunan berdasar pembiayaan dari China akan bervariasi. Bergantung pada sektor pembangunan dan negara/pemerintahan penerima dana. Bukan bergantung pada China sebagai pemberi bantuan.

Pendekatan analisis data

Informasi keuangan dan semua aspek yang terkait dengannya, dirasakan para peneliti dan penulis buku ini sangat tertutup. Sulit mendapatkan akses informasi dari sumber resmi otoritas China. Rahasia.

Informasi keuangan China yang diperoleh oleh para peneliti Barat selama ini tidak dalam format database yang validitas datanya bisa dipertanggungjawabkan.

Penulis buku ini bermaksud untuk dapat menyediakan informasi berbasis data yang rinci dan akurat, sehingga bisa digunakan sebagai basis dialog yang konstruktif antara pemberi dana dan peminjam, dari Barat maupun China.

AidData sebagai bagian dari lembaga peneliti William & Mary’s Global Research Institute yang fokus pada manajemen informasi, sangat berperan dalam penyajian data dalam buku ini. Sumber data diperoleh dari:

  1. Chinese ministries, embassies, and economic and commercial counselor offices (ECCOs); 
  2. the aid and debt information management systems of finance and planning ministries in counterpart countries; 
  3. case study and field research undertaken by scholars and NGOs; 
  4. English, Chinese, and local-language news reports.

Total bantuan China untuk pembiayaan proyek-proyek Pembangunan luar negeri dalam periode tahun 2000 hingga 2014 sebesar US$354 Milyar, dipergunakan sebagai basis kajian buku ini. Meliputi 4.368 proyek di 138 negara, di wilayah Afrika, Timur Tengah dan Pasifik, Amerika Latin dan Kep. Karibia, serta Eropa Tengah dan Timur.

Berdasar kompilasi data yang diperoleh dari AidData tentang pendanaan China untuk kategori Aid (Hibah) dan Debt (Hutang), Penulis mengalami tiga kesulitan, yaitu:

  1. Sulit membandingkan secara apples-to-apples antara pembiayaan dari China dengan dari sumber-sumber lain. Termasuk dari OECD-DAC.
  2. Menjadi lebih sulit untuk memahami motif Beijing dalam membiayai berbagai proyek Pembangunan yang berbeda-beda tersebut
  3. Ketika pembangunan berbagai jenis proyek memberikan hasil yang tidak konsisten, maka kecil kemungkinan perbedaan ini akan terungkap alasannya.

Acuan definisi “aid” dan “debt” yang dipergunakan dalam buku ini didasarkan pada standar OECD-DAC, yaitu:

  • ODA (Official Development Assistance), adalah pemberian hibah, pinjaman tanpa bunga dan pinjaman berbunga rendah kepada negara sedang berkembang dengan maksud meningkatkan kondisi sosio-ekonomi.
  • OOF (Other Official Flows), adalah pinjaman dan kredit ekspor yang diberikan dengan bunga pasar atau mendekati bunga pasar.

Juga, bila suatu pemerintah atau organisasi antar-pemerintah memberikan bantuan pendanaan kepada negara sedang berkembang untuk keperluan DILUAR keperluan peningkatan kesejahteraan sosio-ekonomi, maka OECD-DAC mengklasifikasikannya sebagai OOF. Bukan ODA.

Atau, lebih jelasnya, “aid” (hibah) adalah ODA dan “debt/credit” (hutang/pinjaman) adalah OOF. Dan bila membicarakan tentang jumlah total pembiayaan, atau jumlah total ODA dan OOF, makan akan disebut sebagai Official Financing (OF) atau menyebutnya sebagai “development finance”, “development projects”, “funding” atau “projects” saja.

Bantuan bilateral negara-negara Barat pada umumnya adalah ODA. Misalnya, antara tahun 2000-2014, AS menyediakan US$394.6 milyar untuk negara lain. Sebesar 93% sebagai ODA dan 7% sebagai OOF. Sedangkan total bantuan OECD-DAC keseluruhan, sebesar US$1.753 trilyun. Yaitu 80,6% sebagai ODA dan 19,4% sebagai OOF.

Para peneliti dalam buku ini mengaku telah membangun sistem data yang paling komprehensif tentang pembiayaan pembangunan luar negeri China. Termasuk di dalamnya klasifikasi “aid” dan “debt” dari 138 negara dalam rentang waktu 15 tahun, 2000-2014. 

Mereka juga melakukan Geocoding data terhadap proyek-proyek Pembangunan China. Penggabungan data spasial dari satelit dengan data survey rumahtangga, bisa menghasilkan informasi geografis tentang dampak proyek-proyek pembangunan China terhadap pembangunan ekonomi, kesehatan masyarakat, konflik sosial, dan kualitas lingkungan. Dengan data geo-referensi, bisa dianalisis latar-belakang pengalokasian bantuan finansial China ke suatu negara, dan kemungkinan terjadinya manipulasi politik domestik di dalamnya.

Dalam buku ini, World Bank dijadikan pembanding untuk menganalisis program Pembiayaan China. Karena :

  1. World Bank mempunyai juga dua kategori pembiayaan, yaitu IDA (International Development Association) yang menyediakan pembiayaan proyek berdasar Hibah (aid/ODA) dan IBRD (International Bank for Reconstruction and Development), pembiayaan berdasar Pinjaman (debt/OOF)
  2. World Bank menggunakan seperangkat kriteria yang transparan dan efisien untuk mengalokasikan sumberdayanya ke berbagai negara
  3. Data dari World Bank dan China, tahun 2000-2014 untuk Asia, Afrika, Timur Tengah, Amerika Latin serta Eropa Timur dan Tengah, sudah cukup lengkap dan komprehensif. Termasuk koordinat lokasi semua proyeknya juga sudah dimiliki. Sehingga memungkinkan untuk dapat dianalisis secara head to head terhadap dampak pembiayaan pembangunannya.

Menurut penulisnya, argumen utama menuliskan buku ini adalah karena pada kenyataannya, China telah menjadi penyedia bantuan pembiayaan pembangunan global, yang bisa menciptakan kesempatan pertumbuhan maupun risiko baru bagi negara-negara berpendapatan rendah-menengah.

SEJARAH CHINA SEBAGAI DONOR PEMBANGUNAN

Sejarah bantuan finansial China ke negara lain yang cukup spektakular adalah bantuan pembangunan jalan raya Pakistan-China, Karakoram Highway. Tingkat kesulitan dan bahaya pembangunannya cukup tinggi. Beberapa bagian ada pada ketinggian 4.700 m. Jalan sepanjang 1.300 km dari ibukota Pakistan, Islamabad ke Kashgar, Xinjiang, daerah otonomi Uyghur. Sejak pembangunannya dimulai tahun 1959, politikus di kedua negara tersebut menjulukinya “Sino-Pakistani Friendship Highway” sebagai simbol “all-weather friendship”. Selesai 1968. Di sisi Pakistan, proyek ini selesai dalam dua tahap, yaitu tahun 1971 dan 1978, atas bantuan China.

Presiden Xi Jinping

China terus membantu pembiayaan berbagai proyek di Pakistan sejak konstruksi  Karakoram Highway. Bahkan hingga era Presiden Xi Jinping, melalui skema BRI (Belt Road Initiative), dengan nama khusus the China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) initiative. Total, China telah menggelontorkan bantuan sekitar US$2 milyar, selama lebih dari 60 tahun.

Selain sebagai satu-satunya akses darat Pakistan-China, Karakoram Highway juga sukses meningkatkan perdagangan diantara kedua negara, bahkan mampu menjangkau jaringan transportasi dari dan ke Asia Tengah dan Barat. 

Kisah sukses Karakoram ini menunjukkan bahwa Beijing tetap berminat sebagai donor pembangunan, ketika negara lain meninggalkannya. Kepentingan Ekonomi bukanlah satu-satunya alasan China untuk membantu negara lain. Namun, sayangnya, Barat, melalui penulis buku ini, mencurigainya sebagai upaya China untuk mempererat perkawanan politik antar-negara. Strategi geopolitik. Kalaupun benar, apakah Barat tidak melakukan hal yang sama?

Hanya 15% kredit untuk pembangunan Pakistan yang disetujui China Eximbank tahun 2016, berasal dari skema GCL (government concessional loan) dan sisanya 85% berasal dari PBC (preferential buyer’s credit loan). Pakistan menerima pinjaman dengan skema pembayaran tidak semenarik untuk pembangunan Karakoram Highway.

Sebagai catatan:

  • GCL, adalah pinjaman dengan matauang Renminbi, yang biasanya bertenor 25 tahun, 5 tahun grace period, dan bunga 2%. 
  • PBC, pinjaman bermatauang US$, tidak semenarik GCL, namun tetap lebih baik daripada bunga komersial.
  • BCL (non-preferential buyer’s credit loan), adalah pinjaman komersial. Lebih singkat masa berlakunya, juga grace periodnya. Mengacu pada suku bunga pasar (floating rate), seperti London Interbank Offered Rate (LIBOR) atau the Euro Interbank Offered Rate (EURIBOR).

Beberapa proyek pembangunan besar China di Pakistan lainnya adalah:

  • US$6,4 milyar, dari China Eximbank untuk pembangunan dua PLTN di Karachi 
  • US$2,8 milyar, dari China Eximbank untuk perbaikan jalan Karachi-Peshawar sepanjang  470 km, Multan-Sukkur
  • US$1,62 milyar, dari China Eximbank untuk konstruksi Metro Lahore 27 km 

Bila valuta asing banyak digunakan untuk membayar hutang luar negeri, Pakistan akan kesulitan impor atau rendah pertumbuhan ekspor. Pinjaman berlebihan juga bisa menyebabkan tingginya inflasi, depresiasi mata-uang, dan menghambat investasi asing. Tingginya pinjaman ke China juga bisa menyebabkan kelemahan politis bagi para pemimpin negara peminjam.

Perubahan skema bantuan China ke Pakistan, dari Benefactor ke Banker, terjadi dalam dua dekade pertama abad 21 ini. Bank-Bank pemerintah China lebih banyak meningkatkan pinjamannya ke SVP (special vehicle purposes) daripada langsung ke pemerintah Pakistan. SPV dimaksudkan sebagai entitas independen yang sah, yang digunakan untuk merencanakan, membiayai dan mengerjakan proyek tertentu.

Historical Foundations and the Early Years (1949–1959)

Sejarah keterlibatan China untuk membantu pembiayaan pembangunan luar negeri sejak 1949-1959 secara rinci banyak dijelaskan dalam buku ini. Termasuk terlibat aktifnya China dalam Konferensi Jenewa, 1954. Yang mengangkat misi kebijakan luar negeri China untuk bekerjasama dengan negara-negara independen baru di Afrika dan Asia. Juga Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955 yang menelorkan Gerakan Non-Blok dan “Five Principles of Peaceful Coexistence”: 

  1. mutual respect for states’ territorial integrity and sovereignty, 
  2. mutual nonaggression; 
  3. mutual noninterference in states’ internal affairs, 
  4. equality and mutual benefit, and 
  5. peaceful coexistence. 

Aid as Politics: Mao’s Revolutionary Foreign Policy (1960–1977)

Tahun 1958, Komite Sentral Partai Komunis China mengeluarkan laporan “Report on Strengthening Foreign Economic and Technical Cooperation”, yang isinya menyatakan bahwa Bantuan (aid) adalah bagian dari misi politik yang penting. Dan menegaskan perlunya China untuk membina persaudaraan dengan negara-negara nasionalis.

Dalam periode 60-70an, bantuan ke negara lain menjadi fokus China untuk meningkatkan hubungan bilateral dengan negara-negara sedang berkembang di Asia dan Afrika. Terkait dengan program tersebut adalah juga memberi dukungan ke negara-negara revolusioner di Angola, Congo-Brazzaville, Ghana, South Africa, dan Tanzania. Untuk wilayah Asia Tenggara, bantuan diberikan untuk gerakan komunisme di negara-negara anti komunis, di Malaysia, Thailand, Singapore, dan Philippina. 

Bersesuaian dengan program Mao, Revolusi Kebudayaan, di tahun 1965-1973, pengeluaran China meningkat pesat. Ketika pendapatan per kapita hanya US$200, pengeluaran pemerintah sudah mencapai US$12 milyar untuk keperluan bantuan luar negeri.

Pengeluaran luar negeri terus meningkat setelah 1970 dan mencapai paling tinggi di 1975. Lebih dari 5% dari anggaran pemerintah digunakan untuk bantuan pembangunan luar negeri. Sebagai pembanding, pengeluaran AS untuk bantuan asing adalah tidak lebih dari 1% total anggaran. Dan, bantuan pembangunan oleh Beijing sebelum 1978, lebih banyak diberikan dengan skema grant (hibah) dan pinjaman tanpa bunga.

China adalah salah satu negara yang sudah memberi bantuan untuk negara lain, ketika dirinya masih menerima bantuan. Tentu lebih karena motif politik daripada ekonomi. Termasuk kepentingannya untuk mendapat dukungan dari negara-negara sahabat penerima donor, supaya berada dalam satu barisan di PBB untuk melawan Taiwan. 

Reform-Era Recalibration: Foundations for a Shift from Benefactor to Banker (1978–1998)

Deng Xiaoping dan Jimmy Carter (Pres. AS)

Tampilnya Deng Xiaoping sebagai Presiden (1978), menggantikan Mao (wafat 1976), mengubah kebijakan luar negeri China. Tidak lagi sepenuhnya ideologis, bahkan lebih ke arah pragmatis-ekonomis. Dan kebijakan ekonomi yang lebih terbuka di akhir 1970an dan 1980an tersebut, menghasilkan banyak bantuan masuk. Lebih besar daripada pengeluaran untuk memberi bantuan luar negeri. Kebijakan luar negeri China bergeser dari pendekatan ekspansif ke pendekatan yang lebih halus dan mengutamakan pertumbuhan ekonomi.

Pemerintahan Deng mulai melakukan transisi kebijakan bantuan luar negeri, dari program bantuan bermotif politik yang didukung dana hibah (grant), ke arah bantuan bermotif ekonomi komersial dengan skema pinjaman berbunga (interest-bearing loan)

Transisi ini dilakukan China dengan mulai melakukan menggabungkan Hutang dan Investasi, menjadi Joint Ventures. Pembentukan Rekanan dilakukan antara perusahaan negara China dengan perusahaan negara di negara penerima investasi. Menjadi perusahaan joint venture baru (JVC). JVC adalah entitas baru yang legal untuk melakukan develop, own, and operate proyek.  Kemudian Beijing memberikan pinjaman ke perusahaan baru tersebut. Tentu, perusahaan China menjadi pemilik mayoritas.

Di akhir 1980an, para peneliti China telah memberi masukan ke pemerintah supaya tetap mencadangkan Bantuan Bebas Bunga (interest-free loans) untuk negara -negara sangat miskin. Dan mulai memberikan Pinjaman Berbunga, kepada negara-negara yang punya proyek pembangunan yang menguntungkan dan punya kapabilitas membayar pinjaman.

Beijing mulai mencanangkan isu interest-bearing loans di tahun 1990an. Dilanjutkan merealisasikannya dengan dibentuknya China Eximbank di tahun 1994. 

Mei 1995, pemerintah mencanangkan bahwa China Eximbank mulai mempromosikan bantuan luar negeri, yang kemudian dinamai Government Concessional Loans (GCLs). Dengan bunga 4%-5%. Kurang disambut pasar. 

Tahun 1999, dengan Going Out strategy, China Eximbank menawarkan GLC dengan item lebih menarik, yaitu bunga 2%, maturity 20 tahun dan grace period 5 tahun.

Beberapa tahun kemudian, China Eximbank kembali mengembangkan produk pinjaman untuk pemerintah asing, yaitu Preferential Buyer’s Credit (PBC). Dengan bunga lebih rendah daripada harga pasar. Berbeda dengan GLC yang menggunakan matauang Renminbi, PBC menggunakan matauang US$. Cukup laris, karena dapat membantu negara penerima kredit mengatasi kelebihan matauang asing, US$.

Ringkasnya, di abad 20, China telah menyiapkan landasan keuntungan geopolitik, keberlanjutan fiskal dan keuntungan komersial, dalam rangka menyediakan bantuan pembiayaan pembangunan luar negeri di abad 21. Hal ini dilakukan karena Beijing telah banyak belajar bahwa Hibah (grants) dan Pinjaman Bebas Bunga (interest-free loans) dapat menghasilkan keuntungan politik yang besar. Meskipun juga berbiaya ekonomi besar. Namun dapat membuka jalan untuk menciptakan lagi instrumen pembiayaan pembangunan yang baru.

“Going Out” and China’s Rise as a Global Development Banker (1999–Today)

Tahun 1999 adalah saat krusial dalam mengantisipasi menurunnya pertumbuhan dalam negeri China. Strategi ‘Going Out’ menjadi penting untuk:

  • Membangun perusahaan-perusahaan nasional andalan
  • Mengurangi biaya transportasi barang dari dan ke negara lain
  • Meningkatkan kebutuhan eksternal terhadap barang dan jasa dari China
  • Mengurangi investasi infrastruktur domestik
  • Mulai menggunakan teknologi masa depan
  • Mengamankan energi dan bahan mentah

Fokus utama Beijing adalah menciptakan kondisi yang aman untuk melanjutkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

Terjadinya surplus perdagangan tahunan, menyebabkan tumbuhnya akumulasi cadangan valuta asing. Ini berbahaya karena bisa memacu inflasi dan revaluasi matauang. Outward foreign direct investment (OFDI) juga meningkat pesat, dari NOL di tahun 2000, menjadi lebih dari US$120 milyar di tahun 2014.

Dengan dasar “saling menguntungkan”, Beijing akan ‘bundling’ aid, debt dan OFDI menjadi satu paket yang menjamin keuntungan bagi kedua belah pihak. Keuntungan bagi negara penerima bantuan adalah bisa mendapatkan hibah, pinjaman, dan kredit ekspor, yang biasanya sulit diperoleh. Dari sisi pendonor, China, biasanya perusahaan-perusahaan China bisa mendapatkan kesempatan berbagai investasi dan keunggulan komersial. Seperti misalnya, tidak harus ikut lelang supaya bisa mendapatkan berbagai kontrak atau lisensi untuk melakukan penambangan sumberdaya mineral tertentu.

Strategi ‘Going Out’ mampu menempatkan China dalam posisi dominan di pasar global pembiayaan infrastruktur. Namun di awal abad 21, China mengalami masalah kelebihan pasokan industri domestik, seperti aluminium, semen, gelas, besi, baja dan kayu. Ini disebabkan karena banyak perusahaan pemerintah terlalu eksploitatif, tidak efisien dan tidak menguntungkan.

Bila perusahaan-perusahaan tersebut tidak mampu mendapatkan pembeli yang bisa menampung kelebihan produksinya, maka mereka bisa gagal bayar hutang-hutangnya, menutup pabriknya. Dan selanjutnya, akan meningkatkan jumlah pengangguran baru. China kurang mempersiapkan jaring pengaman sosial, yang lazim tersedia di negara-negara industri demokratis Barat. Hal ini mengkhawatirkan otoritas, karena gelombang pengangguran di negara dengan jumlah tenagakerja raksasa seperti China ini, bisa menjadi isu ketidakstabilan sosial-politik.

Untuk mengatasi masalah diatas, Strategi Going Out berupaya 

  • mengurangi pasokan domestik dan sekaligus meningkatkan permintaan internasional. 
  • Memindahkan fasilitas produksi untuk keperluan industri ke luar negeri.

Dari sisi domestik, China berupaya untuk 

  • melarang pembangunan fasilitas produksi baru, 
  • Mempercepat penutupan operasi-operasi yang tidak efisien
  • Meningkatkan harga kebutuhan pokok industri, seperti air dan listrik
  • Menekankan pentingnya standar kualitas produk yang lebih tinggi

Di luar negeri, China melakukan

  • Peningkatan penawaran bantuan pemerintah secara konsesional dan tidak-konsesional seperti hibah, pinjaman dan kredit ekspor untuk proyek infrastruktur. Dan, 
  • Memberikan bantuan dengan syarat pembelian bahan-bahan mentah industri dari China

Faktor lain yang mendorong China melakukan ekspansi program pembangunan luar negeri di abad 21 ini adalah keinginannya untuk menjadi pengaruh utama dalam pengendalian pembangunan di berbagai belahan dunia. Tahun krisis finansial global 2008, menjadi kesempatan dan titik balik. Ketika Barat sedang mengalami krisis finansial dan mengurangi budget bantuan luar negerinya, justru menjadi kesempatan bagi China untuk semakin memperbesar pengeluaran bantuan pembangunan di negara-negara berpendapatan rendah-sedang. 

Sejak pelantikannya, Presiden Xi Jinping sudah mencanangkan strategi niat baiknya untuk melipat-gandakan hibah dan kredit ke seluruh dunia. Tak lama setelah program BRI dicanangkan, Presiden Xi mengumumkan bahwa 

“[w]e should increase China’s soft power, give a good Chinese narrative, and better communicate China’s message to the world.” 

Tentang sejarah Bantuan China selama 70 tahun tersebut diatas, Penulis buku ini berkesimpulan bahwa portofolio China di luar negeri setelah Mao, semakin meningkat dan dalam bentuk dominan pendanaan komersial yang direncanakan untuk menguasai akses sumberdaya alam, bahan mentah, militer dan asset strategis lainnya. Tentu juga financial return on investments.

Prinsip-prinsip Utama Bantuan China seperti, menghormati kedaulatan, tidak mencampuri urusan domestik negara lain, menegaskan kepentingan G2G dan kemandirian bangsa; hanyalah rethorika belaka, untuk melancarkan kepentingan strategis China lainnya. Politik dan ekonomi.

DAMPAK BANTUAN CHINA

Secretary-General Ban Ki-moon addresses the 4th High Level Forum on Aid Effectiveness in Busan, Republic of Korea 30 November 2011.

Menurut buku ini, hingga 2011, ketika terjadi pertemuan antar negara-negara donor dan juga para peminjam di Busan, Korea Selatan. Pertemuan ini dihadiri perwakilan negara AS, Eropa, Australia, Jepang, PBB, World bank, China dan negara-negara bukan Barat. Barat berharap supaya semua negara donor mengikuti aturan International Aid Transparency Initiative ( IATI) dan secara sukarela juga mengikuti standar transparansi OECD-DAC. China menolak. Menurutnya, 

“principle of transparency should apply to north-south cooperation, but … it should not be seen as a standard for south-south cooperation”

Keputusan heroik terhadap negara-negara yang berusaha memaksakan hegemoninya.

Tuntutan Transparansi

Namun demikian, ketidaksediaan China untuk mengikuti standar pelaporan Barat, menyebabkan kesulitan bagi para peneliti untuk dapat menganalisis dampak bantuan China terhadap pertumbuhan ekonomi, penurunan kemiskinan, kesehatan masyarakat, buta huruf dan keberlanjutan lingkungan dari negara penerima bantuan. Hal ini menimbulkan prasangka negatif Barat bahwa China tidak mempunyai Master Database proyek pembiayaan pemerintah. Ini disebabkan karena:

  1. Tuntutan domestik untuk bersikap transparan terhadap Pemerintahan China tidak cukup kuat, seperti halnya negara-negara OECD-DAC.
  2. Lemahnya motif politik Pemerintah China untuk bersikap transparan tentang bantuan luar negerinya. Stabilitas politik masih diperlukan, karena ekonomi dalam negeri belum sepenuhnya stabil. GDP per capita masih rendah.
  3. Persetujuan bantuan luar negeri di China, terdesentralisasi dan sangat rumit. Birokratis

Meskipun buku ini terbaca dengan jelas bermaksud merendahkan upaya China dalam membiayai proyek-proyek negara sedang berkembang, namun ada juga pengakuan atas dampak positifnya. Misalnya, tertulis,

“Leaders of the developing world frequently lavish praise on the Chinese government for its willingness to bankroll the “hardware” of economic development – roads, railways, power plants, electricity grids, and telecommunication systems – and address local needs that traditional donors and creditors have neglected for decades”.

Menarik, pengakuan penulis bahwa proyek-proyek pembangunan oleh China pada umumnya lebih efektif daripada proyek-proyek yang dibiayai oleh Barat. Menurutnya ini disebabkan karena:

  1. China lebih senang membiayai proyek-proyek terintegrasi yang selaras dengan strategi pembangunan nasional dari negara penerima dana
  2. China lebih mengutamakan pembiayaan pada infrastruktur ekonomi dan sosial. Seperti, jalan, kereta api, pembangkit listrik, bendungan.
  3. China sudah berpengalaman dalam pembangunan proyek infrastruktur berskala besar dengan cepat dan efisien.

Does Chinese development finance favor needy provinces?

Penulis melakukan beberapa analisis untuk memperkirakan tingkat  kebutuhan penerima bantuan setiap provinsi pada tahun tertentu,

  1. Analisis statistik berdasar data sekunder pengamatan satelit terhadap tingkat luminositas cahaya listrik malam hari, untuk memperkirakan tingkat pembangunan ekonomi. Cahaya lemah menunjukkan ekonomi berada di tingkat rendah, miskin. 
  2. Analisis statistik berdasar tingkat populasi suatu provinsi. Bila bantuan China sensitif terhadap tingkat kebutuhan lokal, maka bantuan semestinya diberikan pada wilayah dengan populasi tinggi
  3. Analisis statistik berdasar tingkat kekeringan suatu wilayah. Ini merupakan kriteria penting untuk mendapat bantuan pembangunan. Kekeringan tinggi, diperkirakan akan mengalami kekurangan pasokan dan tingginya harga makanan.
  4. Analisis statistik berdasar perkiraan waktu tempuh ke kota terdekat dengan populasi 50.000 orang atau lebih. Digunakan untuk mengetahui tingkat kelayakan daerah urban dalam rangka mendapatkan bantuan pembangunan China 

Di beberapa wilayah dalam negara penerima dana bantuan China, menunjukkan adanya dampak ekonomi positif di negara-negara Afrika, namun tidak ditemukan di negara-negara Asia dan Amerika. 

This result does not hold in Asia, where we find no evidence that Chinese development projects increase per capita nighttime light at the district level. Nor does it hold in the Americas, where Chinese development projects seem to actually reduce per capita luminosity. 

(Catatan: No evidence diatas perlu dibaca dalam konteks keberadaan emisi cahaya listrik. Bukan tentang dampak ekonomi).

Berdasar analisis emisi cahaya malam di propinsi-propinsi yang mempunyai deposit sumberdaya emas, minyak, gemstone dan intan, ternyata tidak menunjukkan adanya bantuan pendanaan China yang signifikan. Data menunjukkan hasil yang kurang-lebih sama dengan data World Bank. Artinya, penulis menyimpulkan, kecurigaan bahwa bantuan pendanaan China dimaksudkan untuk menguasai sumberdaya alam, tidak terbukti.

Secara umum, proyek Bantuan China, baik Hibah maupun Pinjaman, memberi hasil bervariasi di berbagai belahan dunia. Namun khusus di Afrika, Bantuan tersebut memberi dampak pertumbuhan ekonomi yang signifikan, serta mengurangi konsentrasi aktifitas ekonomi secara spasial. Bahkan bila dampak pembiayaan pembangunan China ini dipecah berdasarkan sektor pembangunan, i.e. infrastruktur ekonomi, infrastruktur sosial dan sektor produksi; semuanya tetap terbaca sebagai pertumbuhan positif.

Dampak proyek bantuan World Bank di Afrika sebesar kira-kira ⅔ lebih kecil daripada rerata dampak bantuan China. Bahkan, bantuan proyek-proyek infrastruktur dari World Bank, TIDAK memberi dampak pengurangan  konsentrasi aktifitas ekonomi spasial, di dalam berbagai wilayah provinsi.

Hasil analisis tersebut menunjukkan tidak ditemukannya bukti kebenaran tuduhan ‘rogue donor’ (bantuan ‘nakal’) terhadap China. Bahkan penelitian penulis menunjukkan bahwa dampak sosioekonomi proyek-proyek World Bank ternyata tidak sebagus dampak proyek-proyek bantuan China. Juga tidak ditemukan bukti bahwa terjadi bias politik yang mengganggu efektivitas proyek-proyek pembangunan dari China. Baik ditingkat nasional, maupun sub-nasional.

Namun Penulis tetap menyimpulkan bahwa Beijing menggunakan Aid sebagai alat untuk menyukseskan kepentingan politik luar negeri China. Berperan sebagai Benefactor. Sementara, Debt digunakan untuk meraih keuntungan finansial semata. Atau Banker.

Korupsi, Konflik sosial dan Lingkungan

Tiga hal utama yang menjadi perhatian penulis buku ini terkait dampak Bantuan Pembangunan China pada negara penerima adalah Korupsi, Konflik Sosial dan Degradasi Lingkungan.

Aspek Korupsi

Uji statistik terhadap dampak tata-kelola pemerintahan terhadap berbagai negara penerima bantuan China (chapter 8), menunjukkan bahwa semakin banyak bantuan dana pembangunan China diberikan pada suatu negara, maka semakin menurun tingkat korupsi negara tersebut.

Kasus korupsi proyek-proyek Bantuan Hibah (aid finance) dari China lebih sedikit dibanding Bantuan Pinjaman (debt finance), karena melibatkan jumlah uang yang relatif kecil, menghasilkan pendapatan yang kecil, dan memang tidak berada dalam sistem yang tidak kondusif untuk bisa dikorupsi. Sedangkan skema Bantuan Pinjaman China lebih berisiko korupsi karena melibatkan proyek besar, menghasilkan pendapatan besar, banyak terjadi transaksi finansial, dan berada dalam lokasi dan situasi yang kondusif untuk dikorupsi.

Proyek Pinjaman China memang menguntungkan bagi para peminjam karena terbukti meningkatkan sosio-ekonomi. Namun potensi risiko korupsi juga besar karena syarat Pinjaman yang relatif tidak begitu ketat bila dibandingkan dengan pinjaman dari negara-negara OECD-DAC.

Aspek Konflik Sosial

Penelitian Richard Bluhm dan rekan terhadap dampak sosial atas Bantuan OECD-DAC, menunjukkan bahwa bantuan Barat berisiko akan meningkatkan konflik sosial kecil menjadi konflik bersenjata. Namun aman dan tidak berdampak konflik sosial bila diberikan pada masyarakat dalam kondisi damai.

Namun demikian, Penulis juga menyajikan data buruk terhadap dampak Bantuan China tersebut, seperti meningkatnya korupsi, instabilitas politik dan degradasi lingkungan. Contoh kasus bisa dibaca pada bab 8 tentang proyek Standard Gauge Railway (SGR), pembangunan kereta api di Kenya, Afrika. Banyak pejabat Kenya ditangkap karena kasus korupsi proyek tersebut. 

Sebaliknya, dampak konflik sosial dari Bantuan China, penulis tidak mampu mengambil kesimpulan dengan tegas. 

“The estimated effects that we report in Table 8.1 show that no matter the level of conflict in the previous year, Chinese development projects reduce the probability of peace and increase the risk of armed conflict and civil war. However, all of these effects are estimated imprecisely, so we cannot confidently conclude that there are effects of Chinese development projects on peace and conflict at the country level”.

Namun secara umum, bantuan Hibah China tidak mengakibatkan dampak konflik sosial. “We find that, on average, there is no effect of Chinese aid on conflict”.

Aspek Lingkungan

Temuan Penulis menunjukkan tidak-adanya kerusakan lingkungan atau penggundulan hutan (deforestasi) di proyek-proyek Bantuan China. Namun sayangnya, justru Penulis buku ini resisten untukndapat menerima hasil analisisnya sendiri. Dan memberi opini, 

“However, our results rely on a substantially smaller sample than the other regressions related to environmental outcomes, so they should be interpreted as suggestive rather than definitive”. Ini komen Penulis yg tidak adil. 

PERBANKAN UNTUK BELT AND ROAD INITIATIVE (BRI)

Menurut Penulis, sentimen publik terhadap China semakin buruk, dan banyak negara beranggapan bahwa berpartisipasi dalam BRI (Belt and Road Initiative) akan menjadi kelemahan (liability) daripada menjadi asset.

Donor Barat mendorong China untuk segera melakukan multilateralisasi BRI dengan menjalankan prosedur standar dalam hal penilaian kelayakan proyek, pengadaan barang dan jasa, tanggungjawab direksi, kebijakan transparansi, tanggungjawab sosial dan lingkungan, sehingga memungkinkan lembaga-lembaga Bantuan dan perbankan pembangunan lainnya dapat turut terlibat.

Setelah satu dekade Going Out Strategy dicanangkan (1999], tahun 2010 China mulai khawatir dengan beberapa hal:

  • Stabilitas politik dan ekonomi
  • Banyak perusahaan China terperangkap hutang karena krisis ekonomi
  • Semakin tingginya biaya tenagakerja, menyebabkan keunggulan komparatif tenagakerja manufakturing mulai terganggu.
  • Investor global mulai memindahkan bisnis manufakturingnya ke Asia Tenggara untuk mengurangi biaya produksinya
  • Over-produksi masih menjadi masalah yang bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi China
  • Otoritas China melihat middle income trap bisa menjadi ancaman stabilitas keberlanjutan pertumbuhan ekonomi

Tahun 2013, Belt Road Initiative (BRI) dicanangkan oleh Presiden Xi Jinping. Sebelumnya disebut One Belt, One Road (OBOR). Inisiatif ini dimaksudkan sebagai bagian upaya mengurangi biaya perusahaan China dengan cara memindahkan low-end manufacturing ke negara-negara dengan tenagakerja berbiaya rendah. Sekaligus mendukung program “Made in China 2025”, untuk mengupayakan bisnis China lebih fokus pada pemasaran produk high-end untuk kepentingan pelanggan domestik dan asing.

BRI mempunyai peran penting dalam Going Out strategy, yaitu membangun fasilitas-fasilitas produksi dan menciptakan kebutuhan pasar di luar negeri untuk menampung over-produksi dalam negeri. Meningkatkan ekspor dengan cara menciptakan kebutuhan barang-barang industrial yang diperlukan dalam proyek-proyek pembangunan luar negeri berbiaya bantuan China. Sumber lain untuk menjaga kesinambungan program BRI dan Going Out Strategy adalah penggunaan mata uang asing yang menumpuk di China sebagai pinjaman pembiayaan pembangunan luar negeri.

Keputusan dicanangkannya BRI tahun 2013 ini, merupakan signal geopolitik penting untuk mengatakan kepada dunia bahwa China merupakan kekuatan ekonomi politik penting yang harus diperhitungkan.

China yang sebelumnya kurang memperhatikan pembangunan di wilayah barat seperti Xinjiang, Tibet, Qinghai, dan Gansu, saat ini telah berubah menjadi pemberhentian penting sepanjang sabuk BRI. Menjadi provinsi-provinsi yang terintegrasi ke dalam jaringan ekonomi regional.

Can Beijing Multilateralize the BRI?

Tahun 2018, Beijing mensponsori pembentukan China-IMF Capacity Development Center, untuk melatih aparat pemerintah China mengenai debt sustainability framework (DSF) di negara-negara berpenghasilan rendah dan isu-isu yang berhubungan dengan BRI.

Berkaitan dengan upaya globalisasi BRI, pada tahun 2019, pemerintah China mengumumkan akan bekerjasama dengan 8 institusi multilateral untuk membentuk Multilateral Cooperation Center for Development Finance. Mandatnya adalah :

  1. Lebih banyak investasi di pekerjaan penyiapan proyek hulu
  2. Meningkatkan kapasitas debitur dan kreditur menjadi lebih efektif dalam mengelola dan memitigasi risiko yang berhubungan dengan keberlanjutan hutang, pengadaan barang dan jasa, korupsi, lingkungan dan isu-isu sosial lainnya. 
  3. Memfasilitasi sharing informasi yang lebih luas dan berkoordinasi antar berbagai institusi finansial pembangunan, China maupun diluar China.

Di tahun yang sama, presiden Xi mengumumkan bahwa China akan mengadopsi lebih luas berbagai peraturan dan standar, serta mendorong berbagai perusahaan yang terlibat, untuk mengikuti peraturan-peraturan umum internasional dalam hal pengembangan proyek, operasi, pengadaan barang dan jasa, serta lelang.

Disini terlihat bahwa Beijing bermaksud untuk menjadikan BRI bersifat multilateral, sekaligus memberikan signal bahwa pemerintah China berkeinginan untuk terlibat dalam kepemimpinan pasar finansial pembangunan global.

What Can China Do to Overcome Its Trust Deficit with Traditional Donors and Creditors?

Ternyata, pemerintah China tidak cukup sukses menggalang dukungan dari donor dan kreditur tradisional (Barat) yang berminat kerjasama untuk mendukung BRI. Sedikitnya karena 3 hal:

  1. Transparansi. Keengganan China untuk berbagi informasi rinci terkait finansial dan implementasi tata-kelola dengan para pemerintah penerima bantuan
  2. Disiplin. Rekam jejak China yang melakukan pembiayaan, perencanaan dan implementasi proyek secara independen, tidak memperdulikan standar operasi dan disiplin yang berlaku umum
  3. Go-it-alone. Pendekatan China go-it-alone dalam menyelesaikan persoalan-persoalan pengelolaan hutang negara

PENUTUP

Mengingat institusi keuangan, dalam konteks Bantuan Pembangunan negara lain, berada dalam jaringan global, maka akan saling terkait dan tidak mungkin menutup diri. China yang telah memberi Bantuan ke berbagai negara di dunia, pada akhirnya akan menuntut pengembalian pinjaman pendanaan. Untuk kepentingan jaminan keamanan finansial, China tentu akan membutuhkan kerjasama dengan institusi keuangan global. Untuk itu, kepercayaan menjadi penting. Dan Transparansi, Kepatuhan terhadap aturan umum, serta Kerjasama para pihak, menjadi isu prioritas untuk disikapi.

Bila China merasa perlu melibatkan banyak pihak dalam ‘pemasaran’ Belt Road Initiative (BRI), maka tentunya dibutuhkan negosiasi yang saling menguntungkan para pihak serta menyepakati standar dan aturan yang dibuat bersama.

Demikian pula dengan institusi-institusi pembiayaan pembangunan OECD-DAC, tidak bisa memaksakan diri untuk memberlakukan aturan dan standar sendiri, namun harus mengakomodir kepentingan Beijing, demi kebutuhan pembangunan negara-negara berpendapatan rendah-sedang.

KOMENTAR

Seringkali ditemukan dalam buku ini, bahwa setiap kali tertulis pernyataan positif berdasar fakta publik tentang Bantuan China, maka segera diikuti opini negatif dari penulisnya pada paragraf berikutnya.

Penulis berprasangka bahwa, hingga saat ini (saat ditulisnya buku ini) studi tentang program Beijing untuk pembangunan internasional tidak mengikuti prinsip-prinsip dasar berbasis sain. Bahkan ada kecenderungan untuk penentuan kesimpulan terhadap studi tersebut, pada umumnya hanya didasarkan pada data-data yang bersesuaian dengannya. Cherry-picking. Diragukan validitasnya.

Penulis pada dasarnya hanya ingin membuktikan kebenaran hipotesanya bahwa proyek bantuan atau pinjaman dari China adalah merugikan negara penerima. Penulis tidak melakukan penelitian dampak ekonomi penerima bantuan secara obyektif untuk mendapat gambaran informasi ‘apa adanya’, melainkan hanya menyajikan informasi yang diinginkannya. Cherry picker

Dan penelitian dalam buku ini menunjukkan hasil yang bervariasi di berbagai negara penerima bantuan China. Bahkan bantuan untuk Afrika menunjukkan hasil pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Dan lebih bagus daripada negara-negara penerima bantuan dari institusi-institusi OECD-DAC.

Namun pengakuan pun diberikan penulisnya di akhir Bab 1, bahwa:

Our core argument in this book is that China’s newfound position as the global development lender of first resort has created new opportunities and new risks for low-income and middle-income countries. 

Walaupun tetap diikuti dengan kalimat, 

China is a pragmatic development partner that pursues a diverse set of economic and political interests”. 

Rasanya, belum pernah sekalipun terdengar berita bahwa China melakukan upaya pembiayaan terorisme atau melakukan rekayasa konflik sosial untuk mendapatkan kekuasaan atau keuntungan finansial di negara yang diinginkan. Pengalaman menunjukkan bahwa China memang “lihay” bernegosiasi untuk mendapatkan keuntungan finansial melalui prosedur resmi ataupun tidak resmi. Untuk itu, disarankan supaya lebih rinci dan hati-hati dalam bernegosiasi dan membuat kontrak dengan institusi China.

Kalimat menarik dari buku “The New Confessions of an Economic Hit Man”, karya John Perkins, ini mungkin bisa mewakili pendapat para penerima donor China. Artinya, perlu lebih hati-hati dalam dealing Bantuan Pinjaman dengan pihak manapun, apalagi bila mereka punya sejarah menggunakan kekuatan politik dan militer untuk mendapatkan keuntungan finansial di berbagai belahan dunia. Waspadalah.

Terlepas dari prasangka buruk dari pihak Barat terhadap Bantuan Pembiayaan Pembangunan dari China, serta berbagai temuan negatif berdasar analisa statistik Penulis atas motif, skema maupun dampak Bantuan tersebut, buku ini masih sangat layak dipelajari dan dikritisi sebagai pengetahuan tentang investasi China.

TAUTAN

Resource-backed loans: Sustainable debt or pending threat?

Resource-Backed Loans: Pitfalls and Potential

World’s central banks financing destruction of the rainforest

China goes to Africa

China’s principles in foreign aid

The World’s Richest and Poorest Countries 2022

Read Full Post »