Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘Keynesian’

TheEndOfNormalJudul: The End Of Normal

Sub Judul: The Great Crisis and The Future of Growth

Penulis: James K. Galbraith

Tebal buku: 304 halaman

Penerbit: Simon & Schuster

Tahun: 2014

Judul beberapa buku yang menjadi acuan penulisan tentang krisis ekonomi 2008, seperti Keynes, Stiglitz, Prugman dan banyak lagi, juga beberapa institusi resmi pemerintah AS yang telah melakukan investigasi seperti Financial Crisis Inquiry Comission, Congressional Oversight Panel dll. mewarnai bagian depan buku ini dengan kesimpulan awal bahwa teori-teori dalam buku-buku tersebut tidak memberikan penjelasan yang gamblang tentang apa yang terjadi sebenarnya dengan berbagai krisis finansial global, mengapa bisa terjadi dan bagaimana mencegah serta mengatasinya. Pada umumnya, apa yang dilakukan para ekonom adalah berusaha menafsirkan kasus tersebut dalam berbagai bentuk fenomena atau model yang berbeda, seperti Black Swans, Fat Tails, Bubbles dsb.

Black Swans

Fenomena Black Swans bisa jadi merupakan model penjelasan yang paling sederhana tentang krisis besar ini (Great Crisis). Prinsip model Black Swans ini adalah adanya asumsi statistika probabilitas bahwa setiap angsa adalah putih, namun tidak menutup kemungkinan bahwa ada juga angsa berwarna hitam, walaupun jarang. Kesalahan memprediksi sebuah kejadian yang jarang terjadi, bukanlah tanda kegagalan keilmuan. Model ini bisa dipergunakan untuk mempertahankan diri dari suatu argumen bahwa “tak ada yang bisa memprediksi” terjadinya krisis 2008, karena bisa jadi ada yang bisa memprediksi saat itu. Masalahnya,  dalam kasus krisis finansial dalam lingkup global, kejadian seperti ini bukan hal yang jarang terjadi sehingga model Black Swans tidak cukup tepat digunakan. Sejak pertengahan tahun 1990an, krisis finansial juga terjadi di Amerika Latin, Afrika, Russia, Islandia, hampir semua negara-negara Asia, AS dan Zona Eropa.

Fat Tails

Ini adalah model yang menegaskan bahwa peristiwa ekstrim bukanlah hal yang jarang terjadi. Menurut Galbraith, ada kecenderungan bahwa para pembuat model statistik seringkali mengasumsikan distribusi kesalahan adalah Distribusi Normal atau Gaussian atau Bell Shape, sehingga frekuensi relatif dari krisis atau kejadian ekstrim jarang terjadi, atau bila menggunakan skala kehidupan manusia, maka kejadian ekstrim tersebut bisa dianggap bakal terjadi hanya sekali dalam 1000 tahun. Namun kenyataannya, krisis bisa lebih sering terjadi daripada perkiraan. Esensi Fat Tails adalah kita tidak dapat mengukurnya dan hanya bisa mengetahui bahwa krisis terjadi, dan resiko tidak dapat diperkirakan secara akurat dengan perhitungan berdasar kurva Normal. Seperti halnya Bl ack Swans, ketidak mampuan model Fat Tails memperkirakan kejadian krisis bukan berarti model ini salah.  Pesan model ini, kita harus siap menghadapi hal-hal buruk yang tidak terduga, namun bisa terjadi walaupun tetap tidak mampu memprediksi kapan akan terjadi. Bahkan kita tidak dapat mengantisipasi arah penyimpangan (deviasi) yang akan terjadi, baik naik maupun turun.

Bubbles

Bubbles atau gelembung adalah fenomena fisika dengan berbagai karakter kepastiannya. Dia mengembang secara perlahan dan meletus dengan cepat mengikuti hukum-hukum fisika. Fenomena bubbles ini sering dipergunakan para ekonom untuk mengamati dinamika finansial, dengan harapan dapat mencegah terjadinya krisis. Konsisten dengan karakter gelembung yang pasti akan pecah, maka menurut Galbraith, Alan Greenspan juga sependapat bahwa pemangku otoritas tidak perlu untuk memprediksi, identifikasi, mencegah atau mengempiskan gelembung, namun hanya perlu merapikan saja akibat pecahnya gelembung tersebut. Dan semuanya akan kembali pada situasi sebelum fenomena gelembung itu terjadi.

Tiga model tersebut, – Black Swans, Fat Tails dan Bubbles -, beranggapan bahwa ada situasi Normal tanpa krisis dalam sistem ekonomi. Situasi Normal ini bisa terganggu, namun tidak terduga atau tidak dalam jangkauan kemampuan untuk mencegahnya. Jadi, hanya bisa dijelaskan setelah krisis itu terjadi dan tidak ada jaminan bahwa suatu usaha perbaikan akan dapat mencegah kejadian yang sama dikemudian hari. Galbraith menganggap model-model tersebut berbahaya, karena di dalamnya ada keyakinan bahwa setelah krisis selesai, kondisi ekonomi akan kembali Normal. Cenderung fatalis.

Berbeda dengan tiga model di atas, berikut ini adalah model Big Government dan Inequality, yang tidak lagi bicara tentang kondisi krisis berdasar probabilitas penyimpangan dari Normalitas, namun lebih mengacu pada teori ekonomi, yang keduanya menjelaskan tentang adanya prinsip dan kondisi-kondisi yang terukur sebagai kendala atau hambatan struktural untuk kembali ke kondisi Normal.

Big Government

Pendapat konservatif menyatakan bahwa pemerintah AS dibidang kebijakan perumahan semestinya bertanggungjawab terhadap Great Crisis. Keterlibatan Fannie Mae dan Freddie Mac dianggap menyebabkan moral hazard (perilaku yang beresiko karena memberikan kemudahan kredit yang tidak semestinya) dan adverse selection (pemilihan debitor yang tidak hati-hati). Asuransi deposit pemerintah dan doktrin ‘to big too fail’ juga punya andil munculnya berbagai aturan dan keputusan yang memudahkan kredit beresiko ini. Mereka sependapat terhadap anggapan bahwa bila pemerintah sudah memberikan toleransi terhadap kegagalan bank-bank besar, maka kemandirian pasar akan tidak terganggu, bank akan lebih berhati-hati dan krisis tidak akan terjadi. Bukti menunjukkan bahwa pemerintah AS memang melakukan intervensi terhadap pasar perumahan sehingga keluarga berpenghasilan rendah mampu untuk memilikinya. Jasa keuangan Fannie Mae dan Freddie Mac muncul sebagai ‘jembatan’ untuk mendanai kredit perumahan non-tradisional (non-traditional morgages). Non-tradisional ini dimaksudkan untuk memberi gambaran kredit perumahan yang semakin mudah untuk diperoleh dengan banyak mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam memilih debitor, bahkan bila perlu tanpa uang muka. Dan memang runtuhlah sistem finansial AS. (Skema bisnis subprime morgages yang menyebabkan krisis finansial global ini bisa dilihat di www.youtube.com ).

Inequality

Apakah semakin tingginya kesenjangan ekonomi dapat menyebabkan krisis finansial?

Raghuram Rajan dalam bukunya ‘ Fault Lines‘ menulis bahwa pendapatan yang tak bertambah baik setelah bertahun-tahun bekerja, akan menyebabkan frustrasi massa, apalagi bila ditambah dengan kenyataan bahwa sebagian kecil (1%?) justru semakin kaya. Hutang akhirnya menjadi solusi dan tindakan ini justru disambut oleh munculnya jasa finansial yang memberi ‘bantuan’ berupa kredit dengan berbagai kemudahan mendapatkannya tanpa kehati-hatian dan ‘didukung’ oleh kebijakan dan pengawasan pemerintah yang sangat longgar. Krisis mulai muncul bila hutang tak terbayarkan dan jelas disini bahwa inequality punya andil besar terjadinya Great Crisis.

Galbraith menuangkan idenya tentang kegagalan sistem ekonomi AS ini didahului dengan Pendahuluan, kemudian tiga bab utama, berturut-turut yaitu tentang optimisme pertumbuhan berkelanjutan, berbagai hal penyebab gagalnya pertumbuhan ekonomi dan pesimisme terhadap kembalinya situasi Normal; dan terakhir adalah Penutup, tentang runtuhnya ekonomi Uni Soviet.

Bagian 1: Masa Optimisme Pertumbuhan Berkelanjutan

Untuk mengerti sepenuhnya mengapa Great Crisis ini terjadi, perlu mempelajari sejarah ekonominya. Doktrin ekonomi AS diturunkan dari perkembangan prinsip-prinsip ekonomi sejak selesainya PDII dilanjutkan dengan Perang Dingin dan  kemudian muncul dari Cambridge, Massachusetts, dan Chicago, Illinois.

Prinsip utama yang dianut para ekonom tersebut adalah Pertumbuhan Ekonomi (Growth), yang dipercaya sebagai solusi semua masalah ekonomi, khususnya untuk masalah kemiskinan dan pengangguran. Sehingga, tugas utama pemerintah selanjutnya adalah merealisasikan pertumbuhan, yang dalam jangka panjang akan bergantung pada tiga faktor utama, yaitu pertumbuhan penduduk, perubahan teknologi dan tabungan (saving). Mengingat bahwa populasi dan teknologi adalah faktor eksternal, maka desain model pertumbuhan hanya diarahkan untuk menyelesaikan satu variabel saja, yaitu suku bunga tabungan (dan investasi).

Berdasarkan relasi antara Waktu terhadap Tabungan dan Investasi di atas, Walt W. Rostow dalam konsepnya  Tahap-Tahap Pertumbuhan Ekonomi (Stages of Economic Growth), menyatakan bahwa setiap bangsa, setelah melewati tahap tradisional, akan mampu mencapai tahap terakhir, yaitu masyarakat konsumsi tinggi. Pada tahap tertinggi tersebut, kapitalisme sudah bisa ‘ditaklukkan’ oleh demokrasi sosial dan negara kesejahteraan, bahkan mampu mencapai semua yang dicita-citakan oleh  komunisme. Namun, konsep tersebut sebenarnya hanya memperdulikan dua variabel utama yaitu Kapital dan Buruh, tanpa memperhitungkan Sumber Daya Alam sebagai bahan mentah yang diolah untuk menjadi hasil produksi. Simon Kuznets menawarkan analisis yang lebih realistis berdasarkan sejarah perkembangan industri di  AS dan Inggris, bahwa kesenjangan (inequality) akan meningkat pada masa transisi dari pertanian ke tahap industri, namun kemudian akan turun lagi dengan tumbuhnya kekuatan kelas pekerja dan kelas menengah serta negara kesejahteraan demokrasi sosial.

Ekonomi Baru (the New Economics), – pasca perang ( postwar) dan pasca Keynes -, menegaskan ulang bahwa pemerintah bertanggunggjawab untuk mengurangi tingkat pengangguran sampai pada tingkat yang moderat (full employment), yaitu semua lapangan kerja dapat terisi penuh oleh para pencari kerja (angkatan kerja). Ide-ide Keynes sudah banyak diaplikasikan pada era New Deal dan PD2. Era Depression telah membuktikan bahwa kurangnya pengelolaan (management) ekonomi yang baik sangat tidak bisa ditoleransi.
Pada jaman pemerintahan John F. Kennedy (1960), untuk pertama kalinya dinyatakan bahwa ekonomi adalah sistem kelola. Untuk itu, pemerintah perlu menempatkan para pimpinan yang bertanggungjawab dengan target kinerja utama adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi.  Paul Samuelson dan Robert Solow sebagai penasihat ekonomi presiden Kennedy, ditahun 1960 mulai memperkenalkan  ‘kurva Philips’ untuk menunjukkan pillihan putusan yang harus diambil, dimana penambahan tenaga kerja akan berakibat pada kenaikan inflasi. Namun, seringkali kondisi eksternal dapat merubah semuanya. Perang Vietnam, juga kondisi Jepang dan Eropa yang mulai rekonstruksi, serta AS yang tidak lagi dalam kondisi surplus perdagangan dunia dan juga tidak lagi dominan dalam hal manufaktur, membuat para peneliti berkesimpulan bahwa Model Pertumbuhan Tetap (the stady-state growth) adalah mitos, karena masalah ekonomi tetap tak terselesaikan.

Masa resesi 70an

Pada tahun 1980an muncul suatu pendapat ekonomi yang sangat dominan yaitu bahwa untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi mensyaratkan pemerintah untuk tidak terlibat. Dua hal yang mengganggu kebijakan ini adalah produksi minyak domestik AS telah mencapai puncaknya dan Resesi Ekonomi 1970.

Sumber Daya Alam, bahan bakar fosil, dan Perubahan Iklim yang selama tahun 1970an tidak dianggap sebagai variabel Perumbuhan Ekonomi ternyata menjadi faktor penting terjadinya Great Financial Crisis. Saat itu AS sedang dalam situasi perang Vietnam dan minyak hanya dianggap sebagai komiditi biasa saja. Dalam sistem akutansi nasional, minyak bukanlah bagian dominan dalam aktifitas ekonomi, walaupun sulit menemukan bahwa suatu aktifitas ekonomi yang tidak melibatkan kebutuhan akan minyak. Tercapainya puncak produksi minyak domestik tidak berarti AS akan mengalami krisis minyak, melainkan setengah dari cadangan minyak AS yang dapat diproduksi secara konvensional telah habis dan tersisa cadangan inkonvensional (di Alaska, Teluk Mexico, Laut dalam, Shale oil dll.) yang hanya bisa diproduksi dengan biaya yang jauh lebih mahal.

Dengan menurunnya produksi minyak konvensional nasional maka kebutuhan AS akan minyak dipasok dari luar negeri, dimana harga minyak tidak lagi ditentukan oleh otoritas pemerintah AS, melainkan harus dibayar dengan harga yang ditentukan oleh pihak lain, dan uang mulai mengalir keluar. Dan kesulitan ekonomi semakin terasa ketika terjadi lonjakan harga minyak dunia. Posisi pertumbuhan ekonomi gobal telah bergeser ke negara-negara penghasil minyak (khususnya Amerika Latin), yang bermaksud untuk meminjam uang dari bank-bank komersial.

Resesi ekonomi 1970 tidak sepenuhnya berhubungan dengan tercapainya puncak produksi minyak AS tapi lebih karena kebijakan kontraksi ekonomi akibat perang Vietnam. Bunga bank dinaikkan untuk maksud memerangi inflasi, namun produksi menjadi turun dan pengangguran meningkat.

Ini semua mengingatkan untuk mempertimbangkan lagi tentang perlu-tidaknya konsep pertumbuhan berkelanjutan. Mungkin saja bahwa gejala kekacauan ekonomi 1970an bukanlah hanya jeda sejenak karena adanya goncangan,  pengelolaan ekonomi yang buruk dan kesalahan-kesalahan kebijakan, tetapi sebaliknya, dalam hal tertentu, ini merupakan pertanda bahwa kesulitan ekonomi dunia yang akan kita hadapi bukanlah hal yang mudah untuk dihindari.

Delusi

Bernanke sebagai Gubernur Bank Central secara resmi menyatakan bahwa dirinya dan para ekonom tidak dapat menduga akan terjadinya krisis finansial 2008, karena ini adalah bencana ekonomi yang disebabkan oleh gangguan dari luar sistem, atau peristiwa diluar bidang teori ekonomi (beyond the scope of the theory). Ketika 2008 krisis finansial mulai melanda AS, pernyataan umum “tidak satupun ekonom dapat mengetahui sebelumnya” menyebar ke Washington dan para banker New York dan dianggap sebagai suatu kebenaran. Sehingga, bila anda adalah ekonom yang mampu memprediksi krisis ini, maka anda dengan sendirinya dianggap bukan bagian dari kelompok ekonom arus utama dan tak layak untuk dipertimbangkan.

Berbeda tapi tetap sama

Paul Krugman membagi kelompok ekonom menjadi dua group besar, yaitu saltwater atau New Classicals dan freshwater atau New Keynesians, meskipun masing-masing tidak dapat dianggap sepenuhnya sebagai Classical atau Keynesian. Yang pertama lebih ke mahzab akademis Chicago school dan MIT school, sedangkan yang lain ke arah Harvard, Yale, Priceton, Berkeley dan Standford. Masing-masing turu nan dari pemikiran yang berbeda, yaitu Milton Friedman dan Paul Samuelson.

Dengan sinis Krugman berpendapat bahwa perbedaan ini hanyalah karena keinginan masing-masing kelompok ekonom untuk menguasai semua bidang kajian ekonomi, berdasarkan pendekatan intelektual, supaya dapat kesempatan untuk memamerkan kecanggihan matematika mereka.

Para ekonom menggunakan matematika sebagai alat kecantikan untuk menunjukkan betapa sempurnanya sistem pasar (kapitalisme), bukan untuk mengklarifikasi kebenaran sistem, tapi untuk mengintimidasi berdasar ‘keindahan’ matematika (bukan kebenaran). Sebaliknya, Prof. Ricardo J. Caballero dari MIT menyatakan bahwa model matematika ini dibuat sebagai representasi kondisi ekonomi dunia, dinamakan model ‘dynamic stochastic general equilibrium approach‘. Namun Krugman tetap menganggapnya sebagai model yang tidak ‘membumi’, jauh dari kenyataan karena banyak penyerdehanaan asumsi dalam penentuan parameternya.

Sementara para penganut teori pertumbuhan neoklasik meyakini keseimbangan berkelanjutan sebagai dasar pijakan, mashab Marxian justru menganggap kapitalisme tidaklah stabil dan krisis sudah pasti tak terhindarkan. Galbraith menganggap bahwa teori Marx mempunyai ‘insting’ yang lebih bagus daripada mashab arus utama, bahwa kapitalisme tidak stabil.

Kelompok Pinggiran

Munculnya krisis finansial ini sebenarnya tidak bisa diduga oleh kelompok saltwater  dan freshwater, bahkan juga oleh  Marx-water, tapi ternyata ada yang bisa memprediksinya, backwater. Mereka bukan kelompok ekonom profesional yang terkenal, namun sudah melakukan kajian tentang kelemahan dan instabilitas ilmu ekonomi yang ada. Hasil kajiannya hanya muncul di journal-journal sekunder atau blog belaka. Kelompok pinggiran (backwater) ini seringkali dianggap “bukan” ahli ekonomi oleh para ekonom arus utama hanya karena pemikiran yang berbeda dengan konsep mereka.

Dean Baker dari the Center for Economic and Policy Research, Washington, di tahun 2002 sudah memprediksi akan terjadinya “housing bubble” ketika para ekonom akedemisi masih belum menduganya. Mencegah terjadinya bubbles membutuhkan metoda untuk mendeteksi perubahannya. Indikator-indikator harga saham (spot) yang dipergunakan biasanya dalam bentuk perbandingan dari dua pengukuran variabel yang berbeda, yang mengalami perubahan secara tajam dari keadaan normal (biasanya), pada waktu tertentu. Misalnya indikator rasio price/earning (P/E) pada krisis 1990an atau rasio price/rental dalam pasar perumahan pada krisis 2008.

Bagian 2: Akhir Pertumbuhan

Efek Jerat

Pada komoditi buah-buahan, bila terjadi kelangkaan apel, sebagai contoh, yang berakibat harga membubung naik, konsumer akan beralih ke buah lainnya yang masih terjangkau harganya. Kelangkaan  sumber daya alam minyak, tidak akan mengakibatkan harga melambung semakin tinggi tanpa batas, melainkan akan terjadi siklus perubahan harga minyak dan aktifitas ekonominya. Harga minyak akan terus naik yang dipicu oleh spekulasi, hingga kebutuhan konsumer berhenti. Harga akan kembali turun hingga konsumer mulai tumbuh lagi. Namun, begitu kebutuhan konsumer mulai tumbuh, maka harga juga mulai naik lagi. Siklus ini membuat rasa tidak aman pada siapapun, baik produsen maupun konsumen karena ketidakpastian harga. Kegelisahan ini berakibat lanjut pada keraguan untuk melakukan investasi (misal pembangunan kilang) karena tidak yakin bahwa harga minyak yang tinggi tersebut akan berlangsung lama. Dan memang kelangkaan minyak akan cenderung lama hingga teknologi baru yang lebih ekonomis bisa diaplikasikan untuk dapat memproduksi unconventional oil (shale oil dan tar sands). Siklus inilah yang disebut Efek Jerat (the Choke-Chain Effect).

Fenomena bahwa minyak bisa menjadi penyebab krisis terlihat pada tahun 1970an ketika inflasi mulai muncul dan kemudian turun lagi  pada tahun 1980an dan 1990an. Namun Galbraith tidak juga menemukan kajian ekonomi bahwa minyak bisa menjadi faktor utama penyebab terjadinya krisis finansial, karena sepertinya memang dianggap tidak penting oleh para ekonom pemangku kebijakan.

Era Digital

Dalam bukunya ‘Capitalism, Socialism and Democracy’, Joseph Schumpeter berpendapat bahwa hanya dengan menghancurkan pasar lama, maka akan muncul daya beli baru untuk menghasilkan keuntungan pada pasar yang baru. Struktur, perusahaan, pasar dan pekerjaan yang lama harus dihancurkan bila yang baru telah muncul, walaupun tidak ada jaminan bahwa proses yang baru akan menggunakan lagi tenagakerja yang lama. Demikian juga, tidak ada jaminan bahwa tumbuhnya daya beli dan standar hidup, dengan adanya revolusi teknologi, akan segera datang pada saat tahap kehancuran yang lama terjadi. Teknologi akan menjungkir-balikkan tatanan kehidupan ekonomi, mengurangi pabrik-pabrik besar dan seluruh sistem produksi hingga terjadinya pengangguran massal.

Teknologi bagai pisau bermata dua, di satu sisi akan meningkatkan standar hidup karena turunnya biaya pembuatan, pemrosesan, distribusi dan komunikasi yang berhubungan dengan rendahnya jam kerja; namun juga bisa menjadi penyebab pengangguran massal. Produk-produk digital di sekitar kita ini telah memakan biaya jutaan pekerjaan. Berapa persisnya hilangnya pekerjaan tersebut tidak bisa dibedakan penyebabnya, antara munculnya teknologi baru atau karena siklus bisnis yang sedang mengalami kemerosotan. Teori ekonomi ‘real business cycle’ mengatakan bahwa kondisi bisnis yang lesu akan selalu diikuti dengan penguatan kembali. Implikasi dari teori ini adalah bahwa lapangan kerja akan kembali muncul dengan pulihnya siklus bisnis, ternyata tidak. Kondisi ini terjadi karena kembali pulihnya ekonomi akan dibarengi dengan munculnya desain operasi yang berteknologi baru, yang membutuhkan sedikit tenagakerja.

Mahzab Keynes (Keynesians) berpendapat bahwa krisis finansial adalah dipicu oleh turunnya permintaan, sehingga dibutuhkan belanja lebih banyak untuk menciptakan lapangan kerja. Para ekonom terbelah menjadi dua, yaitu yang berprinsip pada kesabaran untuk menunggu kondisi membaik dengan sendirinya dan yang berharap pada diturunkannya ‘stimulus’ sehingga pasar kembali bergairah (the jobs will follow the money).

Galbraith meragukan kedua argumen tersebut. Pertama, teknologi baru tidak dimaksudkan secara langsung untuk meningkatkan standar hidup, melainkan untuk mengurangi berbagai biaya dan menarik konsumer dari pengguna produk teknologi lama. Kedua, lapangan kerja tidak bisa hanya dipicu oleh gelontoran uang karena meskipun banyak uang, hutang yang telah dilakukan sejak masa krisis tetap akan dilakukan, teknologi baru tetap akan menciptakan pengangguran dan tanpa prospek bisnis yang bagus, bank tidak akan tergerak untuk memberikan kredit.

Bagian 3: Tidak ada lagi Normal

Salah prediksi

Krisis Finansial (the Great Financial Crisis) mulai muncul di publik pada bulan Agustus 2007, ketika pasar pinjaman antar bank tiba-tiba mengalami kesulitan dan berlanjut terus hingga Maret 2008 ketika Bear Stearns mengalami kegagalan penjualan. Panik segera muncul ketika kebangkrutan terjadi pada Lehman Brothers, Merrill Lynch, AIG dan Freddie Mac di Sepetember 2008.

Ketika panik mulai mereda, muncullah kenyataan bahwa:

  1. Tidak ada atau sulit sekali mendapatkan pinjaman bank
  2. Nilai rumah meluncur turun, sehinggà sulit untuk dijadikan agunan
  3. Ketakutan mulai muncul. Penghematan, tabungan, pengangguran meningkat.

Menghadapi persoalan di atas, Galbraith mengkritisi para pakar ekonomi yang seharusnya bertanggungjawab untuk melakukan kajian ulang terhadap segala model ekonominya yang ternyata rapuh.

Pada akhirnya, bukanlah karena kembalinya peran sektor swasta atau perbankan yang menyelamatkan AS dari Great Depression 2009, dan juga bukan hanya karena program stimulus. Namun, ini semata hanya karena campur-tangan pemerintah untuk mengatasi Great Depression dan the New Deal, seperti Jaminan Sosial, Jaminan Kesehatan, Jaminan Pengobatan, Asuransi Pengangguran, Bantuan Makanan dan struktur progresif pada Pajak Pendapatan sehingga mampu mengalihkan kesulitan hilangnya pendapatan rumah tangga menjadi beban pemerintah.

Krisis Eropa

Secara ringkas, Galbraith menyatakan bahwa hanya ada satu krisis di Eropa dan AS, yaitu krisis finansial dan pertumbuhan global yang saling berhubungan, yang melibatkan berbagai institusi di AS dan Eropa sehingga krisis di Eropa semakin berat. Pada akhirnya, kedua wilayah tersebut memang menghadapi hambatan yang semakin berat untuk mengatasi krisis sepenuhnya dan kembali tumbuh dengan cepat. Krisis tersebut masih berlangsung, belun teratasi dan tanpa kepastian solusi. Apa yang mesri dilakukan?

Strategi Slow-Growth

Sedikitnya ada empat hambatan besar untuk mencapai pertumbuhan tinggi dan pemenuhan tenagakerja, yaitu:

  1. Pasar energi masih berbiaya tinggi dan tidak menentu (fluktuatif). Dan harga energi sangat menentukan semua harga sumberdaya lainnya, termasuk pangan
  2. Ekonomi dunia tidak lagi berada dibawah kontrol finansial dan militer AS dan sekutunya
  3. Berada dalam era perubahan radikal menuju industri berbasis teknologi hemat tenagakerja
  4. Sektor finansial swasta bukan lagi sebagai motor penggerak pertumbuhan

Secara ringkas bisa disimpulkan bahwa ketersediaan kebutuhan pemerintah belum dapat terpenuhi, dan pemenuhan kebutuhan swasta melalui skema kredit juga belum terjadi. Kalaupun tersedia, maka harga pasar dan tenagakerja akan menjerat leher. Gejala seperti ini memancing Galbraith untuk berwacana ‘mengapa tidak menjalani hidup dalam situasi ‘slow-growth’ atau bahkan ‘no-growth’ saja ?’.

Gagasan ini didasari kenyataan bahwa strategi ekonomi ‘high-growth’ adalah investasi padat modal, substitusi tenagakerja dengan modal dan energi; dan cenderung meningkatkan jurang perbedaan dalam sistem ‘the winner take all’ seperti ini. Sistem ‘slow-growth’ bukan berarti sistem yang sama (high-growth) dengan pergerakan yang lambat, bila demikian adanya maka akan menjadi tidak stabil dan gagal. Model ‘slow-growth’ akan merubah kapitalisme secara kualitatif menjadi lebih baik, berdasarkan desentralisasi ekonomi yang berbiaya tetap (fixed cost) rendah, relatif lebih tinggi dalam mendayagunakan tenagakerja dibanding penggunaan mekanisasi dan sumber daya lainnya dan relatif rendah ROR; namun saling menguntungkan dilihat dari sisi tenagakerja dan perlindungan sosial.

Epilog

Pada masa jayanya, Uni Soviet adalah negara adidaya, sama halnya seperti Eropa modern atau AS dalam banyak hal. Pada tahun 1980an Uni Soviet adalah penghasil terbesar dunia untuk baja, nikel, gandum, kapas dan gas alam. Mempunyai industri penerbangan, program luar angkasa dan industri nuklir. Secara fisik, sistem ekonomi Soviet sama seperti negara lainnya: industri ekstraksi sumber daya alam untuk dikonversi menjadi produk yang berguna, meninggalkan banyak sampah (waste) dan produk gagal lainnya. Merupakan ekonomi yang mampu memenuhi kebutuhan tenagakerja (full employment), namun lemah dalam memberikan insentif untuk karyawannya. Ekonomi Soviet juga sangat terintegrasi, terkontrol, tanpa kompetisi, teknologi lama, dan rentan terhadap efek transportasi dan distribusi, khususnya untuk produk makanan.

Secara umum bisa dikatakan bahwa sistem ekonomi Soviet dijalankan dengan biaya tetap (fixed cost) yang sangat tinggi dan efisiensi yang sangat rendah, untuk memproduksi semua barang, tak perduli apakah hasil produksi tersebut diinginkan oleh konsumer atau tidak, atau sampai ke konsumer atau tidak.

Saat runtuhnya Soviet pada tahun 1990, produksi di sektor industri memgalami kemerosotan hingga 40%. Pabrik tutup, pekerja tak terbayar, sistem jaminan kesehatan dan pendidikan terhenti dan demikian juga dengan investasi perumahan dan infrastruktur. Standar hidup menurun dan kematian karena kekerasan dan miras meningkat. Usia harapan hidup laki-laki menurun dari 72 menjadi 58 tahun. Siapapun berusaha menyelamatkan kekayaannya ke luar negeri. Pemerintah sudah tidak mampu lagi menarik pajak dan berujung pada hutang internal maupun eksternal, hingga berakhir pada hutang yang tak mampu lagi terbayarkan di tahun 1998. Pada titik tersebut, nilai mata uang Rubbel runtuh, dan lengkaplah kehancuran Orde Lama.

AS sebagai bangsa yang sudah maju, juga merupakan negara dengan sistem ekonomi berbiaya tinggi. Membayar biaya tetap (fixed cost) yang mahal untuk pertahanan, pendidikan, kesehatan, transportasi dan juga untuk berbagai jasa publik, termasuk keselamatan dan perlindungan lingkungan. Pernah mengalami kenyamanan energi murah dan sumber daya alam yang melimpah, namun sekarang mulai harus mencari minyak bumi hingga laut dalam Teluk Mexico, Alaska dan fracking shale gas berbiaya mahal.

Sumber daya energi didominasi oleh sejumlah kecil perusahaan besar di AS dan banyak sektor industri canggih mereka seperti microchip, penerbangan dan sistem komputer didominasi oleh monopoli. Bila sampai terjadi kegagalan bisnis karena kinerja yang buruk, maka ekonomi AS bisa sangat terancam dengan cepat. Apa yang sudah terjadi di Uni Soviet, bisa juga terjadi di AS, bahkan mungkin saja kemerosotan itu sedang terjadi bila saja AS tidak dapat memanfaatkan boom gas alam dan keuntungan sebagai pusat finansial global. Alih-alih mendapat keuntungan, AS bisa jadi seperti nasib negara industri besar lainnya yang berteknologi lawas, rentan dan berbiaya tinggi hingga mudah runtuh.

Galbraith berkesimpulan bahwa memahami apa yang sedang atau mungkin saja terjadi pada ekonomi AS adalah langkah awal untuk melakukan perubahan. Namun sayangnya ini bukan menjadi perhatian utama para ekonom tersebut.

Belum ada suatu penjelasan ‘gamblang’ berdasar prisip-prinsip ekonomi, yang mampu memprediksi runtuhnya ekonomi Uni Soviet saat itu. Dan dua dekade kemudian, terjadi hal yang sama dengan munculnya krisis finansial global. Mungkin, masalah utama terletak pada prinsip-prinsip ekonomi itu sendiri atau kesalahan pada cara memahaminya.

Rujukan:

  1. The End of Normal, James K. Galbraith, 2014
  2. Book Review: ‘The End Of Normal’, James K. Galbraith
  3. How did economists get it so wrong?
  4. The high cost of gambling on oil

Kritik

Buku yang sangat memperkaya pengetahuan penulis dalam bidang ekonomi makro dan jasa keuangan AS khususnya. Termasuk di dalamnya pengetahuan tentang praktek ekonomi berbagai mazhab ekonomi utama dunia. Perlu berulang kali penulis membacanya untuk mengerti betul maksud penulis buku ini. Sangat direkomendasikan bagi kawan yang ingin mengerti tentang krisis ekonomi dunia 2008.

Read Full Post »

%d blogger menyukai ini: