Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘Raja Faisal’

Resensi oleh: Anang SK

Perang sipil dengan bumbu sektarian keagamaan. Pertengahan tahun 1970an, sering muncul di harian Kompas tentang perang, pemboman dan aksi mogok makan, dalam kota Belfast, di Irlandia Utara. Sinn Fein, partai politik di Irlandia Utara dan IRA sayap militernya, sering kali terlihat seram dalam foto-fotonya. Seragam militer dengan topeng membungkus kepalanya. Begitu menancap dalam benak. Buku tentang proses perdamaian di Irlandia Utara, The Fight for Peace (dibeli di Perth 1994), karya Mallie & McKittrick, menjadi rujukan pengetahuan tentang konflik kekuasan Irlandia Utara, yang diwarnai isu sektarian katolik-protestan.

Keprihatinan terhadap seringnya media menyampaikan berita adanya kekerasan atas-nama agama di negeri ini dan konflik bersenjata di berbagai negara Timur Tengah, membuat banyak pihak bertanya-tanya, “sejak kapan kekerasan atas-nama agama ini terjadi dan apa penyebabnya?”. Mungkin perlu dipahami dulu sejarah konflik Timur Tengah, barangkali sumber penyebab ada disana. Lalu coba berselancar di Kindle, mencari buku tentang Timur Tengah.

Buku rujukan terbaru tentang konflik Timur Tengah yang ditemukan adalah Black Wave, karya Kim Ghattas. Format ebook, Kindle. Terbit tahun 2019. Buku ini dipilih karena Ghattas seorang journalis dan karya pertamanya “The Secretary” , yang resensinya ada dalam blog ini juga, gaya penyajiannya memang cukup informatif dan nyaman dibaca.

“What happened to us?”, adalah kalimat pembuka di bab Pendahuluan buku Black Wave, yang sekaligus sebagai panduan arah isi buku ini. Ghattas menengarai peristiwa besar yang terjadi di 3 negara Islam dalam tahun yang sama, 1979, mempunyai arti penting dalam sejarah konflik sektarian di negara-negara semenanjung Arab hingga  Asia Tengah dikemudian hari. Peristiwa tersebut adalah:

  1. Revolusi Iran. Jatuhnya Syah Iran dan berkuasanya Komeini
  2. Dikuasainya Kabah dan Masjidil Haram, oleh pemberontak Arab
  3. Invasi Uni Soviet ke Afganistan. Menjadi perang milisi Taliban yang dibantu Arab Saudi dan AS melawan Uni Soviet

Dari ketiga peristiwa di tahun 1979 tersebut, muncul gelombang kegelapan, black wave,  beruntun di negara-negara tersebut dan di beberapa negara Islam lainnya. Buku ini mencoba menjelaskan perjuangan melawan gelombang kegelapan kekuasaan yang seringkali harus dibayar dengan penderitaan hancurnya kebudayaan, represi bahkan  kematian yang mengenaskan. Seperti jurnalis Saudi Jamal Khashoggi, yang dibunuh dan dimutilasi di konsulat Saudi, Istanbul pada Oktober 2018. Atau Farag Foda, intelektual sekular Mesir yang dihakimi massa dengan hukuman mati karena berani berdebat dengan ulama dan mempublikasikan pemikiran sekularnya. Dianggap mengkhianati Islam. Tewas di depan kantornya dengan 7 peluru menembus tubuhnya dan melukai anaknya. Seperti biasanya, silent majorities yang  selalu banyak menanggung beban derita oleh kebijakan kelompok intoleran yang berkuasa. Betulkah kekuasaan yang diraih, sejatinya memang untuk kesejahteraan rakyatnya? Atau, kekuasaan untuk kuasa semata?

Sistematika penulisan buku ini, secara garis besar, disajikan berbasis negara, yang tidak ketat dan tidak dalam waktu yang berurutan. Keterkaitan sejarah antar negara, migrasi aktor penting di dalamnya, karena arah perjuangan atau risiko pilihan politik, dan proxy war, menyebabkan batasan negara pada masing-masing bab menjadai longgar. Setelah bab Pendahuluan yang menjelaskan maksud penulis, Kim Ghattas, yang kebetulan berkelahiran Lebanon menjadikan Lebanon sebagai awal cerita Black Wave. Selanjutnya tentang Iran, kemudian Arab, Syria, Iraq, Mesir, Pakistan, dst.  Di dalam bab-bab tersebut, terkait di dalamnya adalah negara-negara lain di kawasan Semenanjung Arab dan Asia Tengah. Namun, yang selalu ada dalam masing-masing bab tersebut adalah keterkaitan langsung atau tidak langsung, antara Saudi Arabia dan Iran.

Shirin Ebadi, hakim perempuan pertama, yang harus berhenti karena Revolusi Iran. Penerima Noble Perdamaian 2003.

Di Lebanon, mulai dengan pengungsi Palestina dan PLO di wilayah selatan. Lembah Beqqa menjadi wilayah pelatihan milisi bersenjata Iran yang kelak berkembang sebagai Pengawal Revolusi Iran dan tempat lahirnya Partai Hezbollah dengan Hassan Nasrallah sebagai Sekjennya sejak 1992, dengan dukungan Iran dan Syria. Disisi lain, Rafiq Hariri adalah Perdana Menteri Lebanon, pengusaha besar percetakan Quran di Saudi, yang mempunyai kewarganegaraan Saudi Arabia dan menjadi Perdana Menteri Lebanon atas dukungan kerajaan Saudi dan Syria, pada awalnya. Namun, kaum Shiah merasa terpinggirkan oleh Hariri yang dianggap lebih mementingjan Sunni. Terbunuh, 4 hari setelah pertemuan yang akrab dengan Nasrallah, karena bom truk bunuhdiri di Beirut pada tanggal 14 Februari 2005. Syria jadi terduga.

Di Pakistan. Ali Bhutto yang pluralis, beristrikan perempuan Iran Shia, digantikan dengan paksa dan dihukum mati oleh Jendral Zia Ul-Haq. Yang kemudian menggantikannya sebagai Presiden. Ideolog dan filsuf Islam Abul A’la Maududi, pendiri Jamaat-e-Islami, yang banyak menginspirasi Sayyid Qutb di Mesir dan Khomeini di Iran, sangat mewarnai gaya kepemimpinan Zia dalam model pemerintahan Islam yang dianutnya. Maududi adalah orang pertama penerima penghargaan Raja Faisal, Saudi untuk jasanya bagi Islam, 1979. Beliau juga sebagai Penasihat di Universitas Madinah. Raja Khaled, Arab Saudi dalam ucapannya kepada Zia, juga  berharap untuk “melihat penerapan hukum Islam di semua negara Muslim”. Distrik Kurram dengan 40% warga Shia, di perbatasan Afghanistan, menjadi tempat konflik bersenjata Shia-Sunni.

Di Iraq. Najaf dan Karbala menjadi pusat Shia di negara yang dikuasai Sunni. Khomeini pernah tinggal di Najaf dalam pelariannya dari Iran dimasa Shah Iran. Pertempuran sektarian Sunni-Shiah dengan dukungan masing-masing dari Saudi dan Iran, sering terjadi di wilayah ini. Bahkan milisi dari wilayah ini sering dikirim ke daerah lain dan menjelma menjadi the Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) vs the Iranian Revolutionary Guard Corps (IRGC).

Di Syria, sering terjadi pertempuran antara ISIS, Sunni radikal yang selalu diasosiasikan dengan Saudi Arabia, melawan IRGC atau Syrian Freedom Army, dukungan Iran. ISIS deklarasikan Raqqa, Syria sebagai kantor pusat

Di Yaman. Saudi mendukung pemerintah Yaman memerangi kelompok Houthi yang didukung Hezbollah dan Iran

Seperti lazimnya politik, permusuhan atau perkawanan adalah tidak langgeng, atau bisa berubah karena kepentingan. Syria, Iran dan Arab pernah berada dalam satu kubu bersama Amerika Serikat, ketika melawan Iraq di Kuwait. Di tahun 1960an, Arab Saudi mendukung kelompok Shia Zaidi, bahkan mendapat tawaran bantuan dari Iran. Namun sekarang Saudi justru memerangi Houthi dan Iran di Yaman.

Menurut Ghattas, bentuk korban budaya yang sering dialami dengan dicanangkannya negara atau komunitas dalam kekuasaan hukum sektarian, seperti yang dialami Arab, Iran (sejak Revolusi Iran)  Pakistan (sejak pemerintahan Zia Ul-Haq), Mesir (setelah Nasser), komunitas Hizbollah, ISIS, Yaman (dibawah Hothi), adalah melemahnya pendidikan, terpuruknya hak-hak azasi perempuan, seperti kesempatan mengecap pendidikan, pekerjaan, bersosialisasi, berpakaian ‘bebas’. Di Pakistan, pria diwajibkan berpakaian kurta dan salwar. Pakaian budaya asli Pakistan. Tak ada lagi budaya berpikir kritis. Pelanggaran hal-hal diatas bisa berujung penjara, pengasingan atau bahkan kematian. Mereka yang pernah mengalaminya dan bagaiman sangsinya di berbagai negara tersebut, banyak disajikan dalam buku ini. Menyedihkan.

Untuk lebih memudahkan dalam membaca summary buku ini, kompilasi berbasis negara yang telah disusun berdasar kronologi, bisa dibaca secara terpisah berdasar tautan berikut ini:

Membaca buku ini hingga akhir, bukti-bukti yang disajikan akan mengkerucut ke kesimpulan bahwa Gelombang Kegelapan yang dialami negara-negara Islam besar tersebut, yang riak-riaknya mulai muncul di negeri kita tercinta ini, sudah ada sejak konflik kekuasaan Sunni-Shia, setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Walaupun secara tersurat, Ghattas tidak mengatakan demikian, bahkan menurutnya  sebelum 1979 sebenarnya Arab-Iran dalam kondisi ‘sejuk’. Apakah Ghattas melakukan bias konfirmasi? Entahlah, mungkin pembaca perlu menelisiknya lebih dalam melalui sumber-sumber lain untuk kejelasannya. Ghattas sepertinya lebih perhatian pada hilangnya “hak-hak azasi”, akibat kepemimpinan sektarian para elite negeri, seperti Arab Saudi, Pakistan, Iran, Lebanon dibawah partai Hezbollah, Hothi di Yemen, dll.

Terlepas dari opini Ghattas terhadap berbagai peristiwa obyektif yang disajikan, buku ini tetap layak dan berharga untuk dipelajari. Terlebih karena Ghattas sudah berusaha keras untuk connecting the dots berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai negara dan menyajikannya dalam cerita yang logis, rapi dan enak dibaca. Meskipun informasi penanggalan, yang seringkali tanpa angka tahun, perlu pembaca pastikan dari penjelasan di halaman-halaman depannya atau bahkan perlu mengacu dari Wikipedia. Ghattas banyak menggunakan informasi Wikipedia untuk menjelaskan tokoh-tokoh dalam buku ini.

Setidaknya, buku ini memancing keingintahuan lebih dalam, untuk mempelajarinya dari sumber-sumber valid lainnya. Sangat direkomendasikan kepada siapapun yang ingin mempelajari tentang konflik Timur Tengah.

Tautan:

What is Sahwa, the Awakening movement under pressure in Saudi?

Telling the Truth, Facing the Whip

Iranian Green Movement

Nasr Hamid Abu Zayd, Tafsir Qur’an, dan Islam Senyum ala Indonesia

How The CIA Overthrew Iran’s Democracy In 4 Days

Black Wave by Kim Ghattas review — why 1979 is the key to understanding today’s Middle East

Who are the Taliban?

Who Are the Taliban and How Did They Conquer Afghanistan?

Afghanistan airport attack: Who are IS-K?

Read Full Post »

%d blogger menyukai ini: