Pendingin udara dimatikan, tak ada suara bicara atau cahaya telepon genggam apalagi bunyi klik kamera. Hening. Layar naik ke atas, cahaya remang, terlihat panggung depan yang kosong dengan latar belakang seperti bangunan sebuah kapal penuh para pemusik duduk menghadap sisi kanan panggung. Konduktor berdiri memimpin musik di sebelah piano di bagian haluan, paling kanan, deretan selanjutnya adalah pemain alat tiup dan musik gesek berada di tengah dan di bagian buritan sebelah kiri yang lebih tinggi, adalah para pemain perkusi.
Cahaya temaram, dari depan panggung, pria tua beruban dalam jubah hitam jalan tertatih naik ke atas panggung dalam panduan perempuan yang lebih muda, dua orang narator dan pembaca sebagian puisi Gandari memulainya. Dalam gerak lamban, para penari mulai muncul dari arah berbeda ke tengah panggung. Suara mengernyit nada tinggi sedikit mengganggu, muncul dari gesekan biola, diikuti suara piano berkelontangan, bukan irama lagu yang mengalun lembut tentunya, menandai para penari mulai bergerak. Tak lupa, pemain perkusi itupun sesekali mengelus bibir gelas anggur besar untuk mengeluarkan bunyi dengung. Suara solois perempuan muda berkulit putih dalam balutan gaun merah menyala menggoda mata, yang lantang sedikit mengagetkan, muncul di atas puncak tangga spiral di tengah bagian kiri panggung. Sayang, bagiku tak terlalu jelas ucapan kata yang dilagukannya. Bahasa Indonesia sepertinya, samar-samar. Ruang sempit di balik kapal para pemusik adalah panggung tempat paduan suara mengalunkan suara. Suara riuh tersamar, mempertanyakan jumlah korban perang, muncul dari paduan suara ini.
‘Katakan kepada saya,
Apakah yang paling menyakitkan
dari perang? Kekalahan?
Atau kebencian?
Suara narator membaca sepenggal bait puisi.
Berkelebatan para penari berpakaian putih itu tak tentu arah. Kibasan tangan dari bahunya dengan otot lengan meregang seolah membawa badan berputar kencang, lalu meliuk lembut, rendah, berjumpalitan kadang berguling di atas panggung. Tangan-tangan saling mengkait lamban, menghentak lepas, tubuh berputar di atas pinggul, punggung atau bahu yang lain. Terkait, lepas, menyelinap, muncul. Licin dan sigap. Ini memang bagian dari perang Mahabarata. Kadang terlihat lompatan tinggi menerjang namun terhenti halus di atas oleh rangkulan kuat lengan pasangan. Indah.. Perut tampak kembang-kempis mengatur napas, menjaga gerak terus mengalir, menguras daya. Gerak tari sang Ibu membasuh rambutnya dari darah kematian putranya, terlihat apik dengan iringan musik halus mengiris.
Yang tak melihat tak akan melihat
yang keji. Yang tak mendengar tak akan mendengar
yang dusta. Yang tak melangkah tak akan melangkah
sampai batas hutan
dan jalan masuk ke Astina
Pilihan Gandari untuk lebih percaya pada suara daripada cahaya kuasa yang seringkali menipunya diwujudkan dalam gerak pita coklat yang melintang di depan para penari. Pita dipentang kesana-kemari dan opera berhenti. Selesai
Membaca ulang sinopsis yang dibagikan sebelum pementasan dan kembali merenungkannya, sangat membantu pemahaman orkestrasi antara gerak, musik dan puisi. Meskipun tetap ada beberapa adegan yang tak termakna dalam pikirku.
Opera Tari Gandari yang dipentaskan di gedung opera Teater Jakarta TIM, Jumat 12 Desember 2014, ini adalah buah tafsir musikus Tony Prabowo terhadap puisi Gandari, karya Goenawan Mohamad. Buku sinopsis, selain memuat puisi Gandari, juga latar-belakang dan prestasi semua penari, koreographer (Akiko Kitamura), sutradara (Yudi Ahmad Tajudin dan komponisnya (Tony Prabowo). Juga, musik Schonberg orchestra dan Slagwerk Den Haag serta konduktor Bas Wiegers. Luar biasa, mereka semua sudah sangat berpengalaman dengan panggung dunia. Terus maju dunia seni Indonesia.