Sang Pencerah dibuka dengan dengan adegan ritual sesaji sebagai bagian kepercayaan Jawa saat itu (1912?). Kemudian kelahiran sang bayi Pencerah, dan cerita terus berlanjut seiring pengantar tahun yang terus muncul di layar sebagai penunjuk waktu sejarah terbentuknya Muhammadiyah.
Yogya, sebagai tempat lahirnya Muhammadiyah, digunakan sebagai “setting’ cerita. Warna redup, coklat gelap bahkan kulit para pemeranpun tampil gelap menjadi bagian dominan cerita sebagai stereotip tradisional Jawa. Enak sekali melihat detil gambar yang mengalir wajar seperti: daun kering berserakan di jalan sekitar Tugu, tikar pandan, rumah gebyog dan genthong di atas sumur. Musik dan lagu Ilir-ilir, juga tembang yang dilantunkan Sujiwo Tejo terasa lirih sepi membawa arti.
Agama sebagai praksis sosial memang menjadi urgen untuk syiar agama bagi Muhammadiyah seperti ditunjukkan dalam Sang Pencerah, bagaimana Achmad Dahlan sering mengajarkan surah Al-Ma’un, tentang adanya ancaman neraka bagi mereka yang shalat tetapi tidak memperhatikan kesejahteraan ekonomi masyarakat miskin dan menelantarkan anak yatim. Semangat menggebu-gebu Dachlan untuk melakukan purifikasi Islam, ditunjukkan dengan melakukan perubahan arah shalat sesuai kiblat di masjid Agung, yang menyebabkan marahnya para ulama. Tindakan lain Dachlan yang membuat ‘terganggunya’ para ulama, namun tidak muncul dalam film, yaitu ketika Dachlan mengundurkan hari Idhul Fitri sesuai dengan perhitungan astronomi.
Alwi Shihab dalam bukiunya “Membendung Arus” (lihat dlm Kategori Buku) , yang juga merupakan disertasinya tentang Muhammadiyah, di Universitas Temple, AS, menuliskan bahwa ada empat peran penting Muhammadiyah, yaitu: pembaruan agama, perubahan sosial, kekuatan poloitik dan pembendung Kristenisasi. Kehadiran misi Kristen dan penetrasi bangsa Belanda di negeri ini, serta pengaruh yang mereka desakkan, menjadi faktor pendorong utama yang memicu munculnya semangat keagamaan KH Achmad Dahlan, yang pada gilirannya menyebabkan munculnya Muhammadiyah. Faktor ini sepertinya sengaja tidak dimunculkan atau dihindari dalam film ini, mungkin karena sensitivitas sosial.
Pertanyaan buat mas Hanung, ketika aksi ‘demo’ kelompok konservatif, mereka berteriak ‘Allah Akbar..’ Apakah memang demikian kenyataan saat itu? Kok seperti demo kelompok radikal saat ini ya?
Dari sisi gambar, pencahayaan, musik, pelakon dan alur cerita, rasanya enak saja film ini dilihat. Perlu lebih banyak lagi film seperti ini sebagai alternatif film-film horor yang banyak beredar dan tanpa pesan pencerahan sama sekali.
salam..
kebetulan saya belum menonton film ini baru rencana, tapi kata teman2 saya yg sudah menonton film ini memang bagus.. terima kasih sudah berbagi 🙂
Trims mbak, sudah berkunjung ke blog saya. Tentang Ahmad Dachlan, baru saja saya tambahkan post ‘Membendung Arus’ sebagai bagian disertasi Alwi Shihab’.