Oleh Michael J. Sandel
The Tyranny of Merit adalah buku ketiga karya Michael J. Sandel yang penulis baca dan tuliskan dalam blog ini, setelah “JUSTICE, What’s the right thing to do?”, dan “What money can’t buy”. Sandel adalah pengajar filsafat politik di universitas Harvard. Buku-bukunya sangat menarik dan menggugah pemikiran kritis terhadap fenomena keseharian yang seolah berlalu wajar namun sebetulnya punya dampak nilai moral beragam.
Berikut ini adalah esensi dari The Tyranny of Merit yang ditulis rinci berdasar bab-bab dalam bukunya.
Dalam prolognya Sandel bercerita tentang isu rasis saat pandemi Covid-19. Korban terpapar Covid di AS banyak diderita oleh penduduk kulit berwarna yang berada di lingkungan kerja yang memang rentan terhadap penularan Covid-19. Korban tewas warga Amerika Latin, 22% lebih banyak daripada warga kulit putih. Demikian juga dengan korban tewas kulit hitam, 40% lebih banyak dari kulit putih. Isu rasisme muncul dalam bentuk PEMBEDAAN pelayanan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan kerja yang tersegregasi secara struktural oleh tingkat pendidikan. ‘Social distancing’ memang benar terjadi.
Di bab Pendahuluan, Sandel mencuplik kisah William Singer, pelaku tindak kejahatan penyuapan dalam proses penerimaan mahasiswa baru di berbagai perguruan tinggi ternama di AS dan Inggris. Kisah William Singer ini juga telah tayang dalam film dokumenter Netflix dengan judul “Operation Varsity Blues”. Ini kisah tentang begitu tingginya ‘penghargaan’ masyarakat terhadap lulusan perguruan tinggi, sehingga rela mengeluarkan ratusan ribu dollar untuk dapat diterima sebagai mahasiswa baru melalui proses legal (pintu belakang: donasi ke universitas) atau ilegal (pintu samping: penyuapan jalur atlet atau ‘membeli’ nilai uji Scholastic Aptitude Test, SAT).
Mengapa penghargaan masyarakat begitu tinggi terhadap lulusan perguruan tinggi? Inilah masalah utama yang dibahas Sandel dalam buku ini.
Masih dalam bab Pendahuluan, Sandel menjelaskan bahwa skema ‘back door’ dan ‘side door’, keduanya berbasis kekayaan orangtua calon mahasiswa, bukan atas dasar kualifikasi terbaiknya. Proses penerimaan mahasiswa yang selama ini dianggap adil dan tidak berdasar kekayaan finansial adalah melalui ‘pintu depan’. Yaitu melalui “test masuk”, yang didasarkan atas kemampuan siswa sendiri. Bukan karena kemampuan finansial orangtuanya. Betulkah?
Ternyata, dalam prakteknya, modus ‘front door’ pun masih rentan terhadap upaya untuk menyiasatinya. Uji kelulusan SAT dengan nilai minimal tertentu yang menjadi syarat diterimanya siswa di perguruan tinggi pun bisa ‘dibeli’, melalui bimbingan test atau pelatihan privat yang mahal. Selain itu, kasus ilegal penerimaan mahasiswa baru oleh William Singer juga terbongkar melalui modus suap terhadap jalur ekstra kurikuler. Suap dilakukan terhadap pihak-pihak universitas yang punya otoritas menentukan kandidat mahasiswa sebagai atlet atau artis yang berprestasi sehingga layak untuk diterima di universitas yang bersangkutan.
Lagi, hanya kandidat dari golongan keluarga berduit yang mampu melakukannya. Belum lagi biaya kuliah yang juga mahal. Sehingga tidak heran bila data statistik menunjukkan bahwa ⅔ jumlah mahasiswa di perguruan tinggi ternama yang masuk dalam kelompok Ivy League university berasal dari kelompok 20% skala keluarga kaya teratas. Bahkan di universitas Princeton dan Yale, lebih banyak mahasiswa yang berasal dari kelompok terkaya 1% daripada mereka yang berasal dari kelompok 60% terbawah dalam skala kekayaan di AS.
Disinilah titik kritis ketidaksetaraan terhadap akses pendidikan tinggi terjadi. Proses meritokrasi dalam sistem pendidikan tinggi yang dibanggakan oleh pemerintah AS ternyata banyak kelemahan dalam prakteknya.
Dalam kondisi masyarakat yang tidak setara, mereka yang berada pada strata sosial atas, meyakini bahwa kesuksesan yang diperolehnya adalah hanya karena kemampuan dan usaha kerasnya sendiri. Konsekuensi dari keyakinan tersebut adalah bahwa mereka yang kalah dalam persaingan akan dianggap juga karena kesalahan sendiri. Kurang kemampuan dan kurang kerja keras. Tragis.
Kebenaran yang selama ini dirasakan bahwa penerimaan mahasiswa baru hanya dilandasi oleh kemampuan dan kerja keras siswa saja, ternyata faktanya adalah ada faktor lain yang menyumbang kesuksesan kandidat untuk lolos ujian masuk tersebut. Peran orang tua dan para pengajar, bakat atau talenta, serta kondisi finansial serta lingkungan sosial, yang semuanya tentu tidak bisa diabaikan dalam menyumbang kesuksesan. Disini keadilan mulai diuji. Does everyone have a truly equal opportunity to compete for desirable goods and social positions? Perlu kesadaran dan pemahaman terhadap adanya pihak-pihak lain yang juga terlibat dalam kesuksesan diri, yang dapat membuat munculnya rasa rendah hati atau bangga diri.
Bab 1. WINNERS AND LOSERS
Kemenangan Trump dalam Pilpres AS tahun 2016 dan kemenangan Brexit dalam referendum di Inggris, adalah kemenangan bagi para pemilih yang merasa ditinggalkan oleh kebijakan pemerintah yang lebih memprioritaskan ‘pergaulan dunia’ atau globalisasi, yang dianggapnya hanya menguntungkan secara ekonomi bagi mereka yang sudah berada di atas dan meninggalkan budaya lokal. Ketidaksetaraan terbentuk karena globalisasi yang dikendalikan oleh pasar. Termasuk didalamnya adalah kecemburuan terhadap para imigran yang mendapatkan ‘perhatian’ lebih dari pemerintah. Xenophobia.
Kegalauan ini bukan karena faktor ekonomi semata, namun juga persoalan moral dan kultural. Bukan hanya tentang pendapatan dan pekerjaan, namun lebih karena kesetaraan sosial yang dirasa telah dilecehkan. Kritik kelompok populis terhadap berbagai hal terkait globalisasi dan kesepakatan perdagangan bebas seperti outsourcing dan unrestricted capital flows dianggap sebagai pikiran sempit (closed-minded) oleh mereka yang sebelumnya menang. Persoalan politik dunia tidak lagi tentang ideologi kanan-kiri, tetapi antara pola pikir terbuka-tertutup.
Sandel berpendapat bahwa ada kesalahan para elit politik dalam melaksanakan globalisasi sehingga menyulut kekesalan kaum populis, yaitu keyakinan para teknokrat bahwa:
- Mekanisme pasar adalah alat utama untuk dapat mencapai kebajikan publik. Sehingga tuntutan keahlian teknis semakin tinggi dan semakin besar juga jumlah mereka yang tertinggal karenanya. Bahkan, Partai Demokrat di era pemilihan presiden Trump dan Partai Buruh saat Referendum Brexit, menampakkan wajah liberalis teknokratis yang lebih dekat ke kelas profesional daripada ke kelas buruh atau kelas menengah.
- “In an open world, success depends on education, on equipping yourself to compete and win in a global economy”. Ini berarti pemerintah mesti memberi kesempatan yang sama bagi semua pihak untuk bisa mendapatkan akses pendidikan sehingga mampu bersaing dalam ekonomi global. Namun sayangnya, pemerintahan yang berwajah liberalis teknokratis ini justru merasa perlu memberlakukan modus meritokrasi sebagai modal dasar untuk mengejar kemenangan persaingan finansial global, yang ternyata bahkan menambah jumlah mereka yang tertinggal. Itupun, kaum Populis masih bisa bersabar dengan bius retorika penyemangat yang digaungkan oleh Thatcher, Tony Blair di Inggris; Gerhard Schröder di Jerman dan Reagan, Clinton hingga Obama di AS yaitu, “those who work hard and play by the rules should be able to rise as far as their talents will take them”. Hanya mimpi. Meskipun 70% masyarakat AS percaya bahwa Upward mobility sungguh bisa terjadi. Hanya 35% masyarakat Eropa mempercayainya. Data yang dikutip dalam buku ini juga menunjukkan bahwa bangsa AS yang lahir dari orangtua miskin, akan tetap berkekurangan di masa tuanya. Mereka yang terlahir dalam kelompok ⅕ skala pendapatan terbawah, hanya 1/20 darinya yang bisa bangkit dan masuk kedalam kelompok ⅕ skala teratas. Dan di Kanada, Jerman, Denmark dan negara Eropa lainnya, ternyata lebih mudah bangkit dari kemiskinan daripada di AS.
Masalah dengan meritokrasi bukan hanya karena prakteknya yang jauh dari ideal, namun juga diragukan kemampuannya memenuhi kepuasan masyarakat secara moral maupun politik. Namun demikian, bangsa AS masih bisa toleran terhadap kesenjangan pendapatan dan kekayaan yang terjadi. Karena ada keyakinan dalam diri mereka bahwa kebangkitan dari keterpurukan atau upward mobility sangat mungkin terjadi di AS. American Dream.
Retorika atas adanya kesempatan untuk bangkit tersebut, dibarengi dengan jargon bahwa “siapapun yang bekerja keras dan mengikuti aturan hukum yang berlaku, akan bisa bangkit sesuai dengan bekal kemampuan yang dipunyainya”. The rhetoric of rising. Betulkah?
Bab 2. GREAT BECAUSE GOOD
Budaya berlebihan dalam menghargai prestasi sebagai buah dari bakat dan kerja keras, berdampak pada keyakinan diri bagi para pemenang untuk beranggapan bahwa keberhasilan yang diperolehnya hanyalah akibat perbuatan dan perjuangan sendiri semata, -seringkali tanpa disadarinya telah menihilkan peran banyak hal diluar kontrol dirinya seperti karunia kecerdasan, kekayaan finansial dan lingkungan sosial keluarga di perguruan tinggi-, serta memandang rendah terhadap mereka yang kurang beruntung. Keangkuhan meritokrasi sebagai pengejawantahan moral politik teknokratis.
Merekrut karyawan atau memberikan penghargaan berdasar prestasi bukanlah kesalahan, bahkan menunjukkan adanya nilai keadilan dan ketiadaan diskriminasi. Prestasi didasarkan pada capaian. Yang bermasalah adalah bila mereka yang berprestasi merasa berhak mendapatkannya karena capaian kesuksesan dirasa hanya karena kapasitas dirinya dan kerja kerasnya semata. Konsekuensi logis dari logika tersebut adalah bahwa mereka yang tertinggal adalah semata disebabkan oleh kurangnya kerja keras. Sehingga, pemenang menghasilkan keangkuhan, dan yang kalah, merasakan kehinaan, juga dendam. Sentimen moral inilah yang menyimpan pemberontakan dalam hati kaum populis untuk melawan elit negeri. Lebih dari sekedar protes terhadap kaum imigran dan pekerja alih daya atau outsourcing. The tyranny of merit menjadi keluhan penting kaum populis yang perlu mendapat perhatian pemangku kebijakan.
Bab 3. The Rhetoric of Rising
Betapa pentingnya pendidikan tinggi yang akan berkorelasi positif dengan posisi sosial di masa depan, pernah dinyatakan Bill Clinton dalam pidatonya tahun 1996, “We think everybody ought to be able to go to college, because what you can earn depends on what you can learn”. Dengan kalimat sedikit berbeda namun dengan maksud yang sama, Clinton mengulanginya hingga 32 kali di berbagai kesempatan pidato kepresidenan. Juga Obama dalam pidatonya di perguruan tinggi di Brooklyn 2013, “if you were willing to work hard, you didn’t necessarily need a great education. … Now you’ve got billions of people from Beijing to Bangalore to Moscow, all of whom are competing with you directly … If you don’t have a good education, then it is going to be hard for you to find a job that pays a living wage”. Dan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, di tahun 1996, memberi pernyataan dalam agenda Reformasinya untuk Partai Buruh: “Ask me for my three main priorities for government and I tell you: education, education and education”.
Inti pendapat Clinton, Obama dan Blair diatas adalah pentingnya mendukung globalisasi, mengejar pendidikan tinggi dan meyakini bahwa bakat dan prestasi akan menghasilkan posisi sosial yang jauh lebih baik.
Konsekuensi dari janji meritokrasi tersebut adalah bahwa semua orang tanpa memandang ras atau kelas, agama atau etnik, gender atau orientasi seksual, harus mendapat kesempatan yang sama dalam kompetisi untuk memenangkan persaingan dalam pasar tenagakerja. Bahkan menurut kelompok liberal kiri-tengah, kesetaraan kesempatan mensyaratkan tidak hanya ketiadaan diskriminasi, namun juga kesetaraan akses pendidikan, kesehatan, kepedulian anak dan jasa lainnya sehingga memungkinkan untuk dapat berkompetisi secara efektif.
Thomas Frank, penulis dan analis politik AS justru mengkritik cara pandang kaum liberal, termasuk pendapat Bill Clinton dan Obama diatas, yang menganggap bahwa setiap masalah ekonomi adalah karena masalah pendidikan. Termasuk didalamnya adalah ketiadaan keahlian sebagai bekal ilmu menghadapi persoalan tersebut. Mengejar bangku kuliah memang perlu didukung. Dan memberi kesempatan yang sama untuk akses pendidikan tinggi akan lebih baik. Namun, menganggap pendidikan tinggi sebagai solusi terhadap ketimpangan nasib pekerja di era globalisasi adalah salah sasaran. Justru akan menggerus rasa harga diri bagi mereka yang kalah dalam persaingan mendapatkan kesempatan pendidikan tinggi.
Bab 4. CREDENTIALISM
Betapa pentingnya kedudukan sosial perguruan tinggi, sehingga presiden Donald Trump, melalui pengacara pribadinya, Michael Cohen, merasa perlu mengancam untuk menuntut universitas-universitas tempat dia kuliah, bila mereka membeberkan ke publik tentang nilai matakuliah dan SAT yang diraihnya saat itu. Celakanya, justru majalah Newsweek yang membeberkan kualitas capaian pendidikan presiden Trump yang kurang membanggakan. (Lihat Tautan di bawah). Trump berbicara dengan kekayaan kosakata kelas 4 Sekolah Dasar. Kualitas kemampuan berbahasa terendah presiden AS abad ini. Bahkan sekretaris presiden menganggapnya seorang ‘moron’ atau bodoh. Dan Menteri Pertahanan menganggapnya lebih parah lagi, Trump mempunyai wawasan global setara kelas 5 atau 6 SD. Meskipun Trump begitu gigihnya meyakinkan publik dalam kampanye pilpresnya 2016, “I’m speaking with myself, number one, because I have a very good brain and I’ve said a lot of things … My primary consultant is myself”. Luar Biasa ..
Joe Biden pun merasa sensitif terhadap pendidikan tingginya ketika audiences menanyakan pendidikan hukumnya saat kampanye pilpres 2017, “the only one in my class to have a full academic scholarship … and in fact ended up in the top half of my class. I was the outstanding student in the political science department at the end of my year. I graduated with three degrees from undergraduate school and 165 credits—only needed 123 credits—and I’d be delighted to sit down and compare my IQ to yours”. Biden terlalu berlebihan. Dia ternyata lulus dalam kelompok ranking terbawah.
Maksud Sandel mengutip hal diatas adalah untuk menunjukkan bahwa meritokrasi bisa berdampak tidak langsung sebagai penyebab kesalahan kebijakan.
Seperti diketahui bahwa era globalisasi telah mengakibatkan kesenjangan dan stagnasi pendapatan pekerja. Di AS, 10% kelas atas menguasai hampir semua kekayaan bangsanya. Dan 50% kelas bawah tidak mendapatkan keuntungan apapun. Namun kaum liberal dan progresif ternyata lebih tertarik menyelesaikan kesenjangan tersebut dengan fokus pada persoalan ekonominya. Bukan pada JANJI meritokrasi yang lebih substantif, yaitu bahwa melalui prestasi dan kerjakeras, seharusnya seseorang dijamin MAMPU bangkit dari keterpurukan ekonomi, oleh pemangku kebijakan. Disinilah hal utama dari jargon the rhetoric of rising. Bukan hanya kesetaraan akses pendidikan. Gagal.
Bab 5. SUCCESS ETHICS
Meritokrasi dalam proses penyaringan mahasiswa baru atau tenagakerja, seringkali disanjung karena dihadapkan dengan modus aristokrasi.
Dalam aristokrasi, pendidikan, pendapatan dan kekayaan, yang seringkali dianggap sebagai kesuksesan, diperoleh karena keistimewaan keturunan. Artinya, mereka yang berasal dari keturunan keluarga kaya, bangsawan, orang hebat atau semacamnya, akan tetap mendapatkan akses kekayaan tersebut. Sementara, si miskin akan terus mewariskan kemiskinan.
Sedangkan dalam meritokrasi, kesuksesan tersebut dianggap sebagai hasil dari kerja keras dan bakat atau prestasi yang dipunyainya. Bukan dari warisan keluarganya.
Tentu harapan adanya masyarakat yang didasarkan pada meritokrasi menjadi semakin banyak karena janji memberi kesempatan untuk bisa bangkit dari keterpurukan. Sedangkan masyarakat aristrokratik akan tetap berharap dari warisan bila keterpurukan terjadi.
Namun demikian, meritokrasipun tidak lepas dari kesenjangan. Disana tetap ada perbedaan bakat, kemampuan, prestasi, ambisi, yang masing-masing bisa tumbuh melebihi yang lainnya. Juga, adanya faktor lingkungan sosial dan finansial keluarga, serta karuniaNya yang membuat titik start kompetisi menjadi tidak sama dengan lainnya. Tapi, setidaknya kesenjangan diperoleh dari bakat dan prestasi pendidikan sendiri, bukan warisan turunan. Sehingga lebih baik daripada modus aristokrasi.
Oleh karenanya, Sandel berpendapat bahwa sebenarnya, kesenjangan pendapatan karena perbedaan bakat alami pun tidaklah lebih adil daripada kesenjangan karena perbedaan kelas sosial. Dari sudut pandang moral, keduanya, meritokrasi dan aristokrasi, adalah sama saja. Meskipun tercapai masyarakat setara dalam berbagai kesempatan, tetap saja ada kesenjangan yang tumbuh dari bakat dan kemampuan alami masing-masing. Yang paling penting untuk difahami adalah bahwa meritokrasi ideal bukanlah untuk mengurangi kesenjangan demi kesetaraan, namun tentang mobilitas kebangkitan dari keterpurukan. Menurutnya, kesenjangan yang terjadi akibat proses meritokrasi, pun bisa terjadi.
The meritocratic ideal is not a remedy for inequality; it is a justification of inequality. What matters is that everyone starts the race at the same starting point, having had equal access to training, coaching, nutrition, and so on. If so, the winner of the race deserves the prize. There is no injustice in the fact that some run faster than others.
Ambigu. Bagaimana mungkin bisa melakukan start di titik awal yang sama, bila setiap orang adalah unik, mempunyai bakat dan kecerdasan yang berbeda? Pelatihan dan asupan gizi bisa diberikan yang sama, itupun hanya dalam waktu tertentu. Bagaimana dengan lingkungan sosial, finansial, bekal masa kecil, bakat atau talenta dan mental serta kecerdasan yang berbeda? Bukankah itu semua juga menyebabkan titik start yang berbeda dalam kompetisi?
Michael Young, ahli sosiologi dari Inggris yang berafiliasi dengan Partai Buruh, pada tahun 1958 menulis buku berjudul The Rise of the Meritocracy. Menurutnya, meritokrasi adalah distopia. Young menggambarkan dengan sangat jelas sisi gelap sistem pendidikan dan profesionalitas meritokratis yang diagungkan pemerintahan Inggris setelah WW2. Arogansi bagi mereka yang diatas dan hilangnya percaya-diri bagi yang tertinggal. Mengalokasikan posisi dan kesempatan berdasar merit (prestasi) dengan asumsi bahwa masing-masing menerima haknya sesuai prestasi, bukanlah cara tepat untuk mengurangi kesenjangan. Justru semakin memperlebarnya, karena masyarakat akan terbelah berdasar kemampuannya. Kecemburuan sosial semakin tinggi karena masyarakat tahu bahwa mereka yang diatas menikmati bukan semata dari hasil jerih-payahnya.
Young telah mengantisipasi bahwa kekesalan mereka yang tertinggal akan memperburuk kondisi politik. Kelas berpendidikan rendah akan muncul sebagai perlawanan kaum populis melawan elit meritokratis.
Di tahun 2016, ketika Inggris memilih Brexit dan AS memilih Trump, perlawanan kaum populis benar terjadi. Nyata, merekalah pendukungnya. 18 tahun lebih cepat dari dugaan Young, 2034.
MERITOCRACY RECONSIDERED
Kritik terhadap meritokrasi, pada umumnya bukan karena misi idealnya. Melainkan karena praktek untuk mencapainya. Yang memang terjadi:
- si kaya dan berkuasa merekayasa sistem untuk tetap memiliki keistimewaan akses dalam banyak hal,
- mereka yang di kelas profesional menemukan cara untuk mendapatkan keutamaan bagi anak-anaknya,
- mengubah meritokrasi menjadi aristokrasi,
- perguruan tinggi yang mengaku berdasar meritokrasi ternyata menerima siswa berdasar kedekatan hubungan atau keluarga alumni dan kekayaan orangtua siswa.
Dua hal yang menjadi kekhawatiran terhadap meritokrasi sebagai misi moral dan politik, adalah tentang:
- Keadilan. Meskipun meritokrasi memang tercapai, tetap diragukan terjadinya keadilan terkait kebenaran bahwa pendapatan memang dapat diperoleh sesuai prestasi dan kerja keras.
- Perilaku terhadap kesuksesan dan kegagalan. Adanya kekhawatiran bahwa meskipun Meritokrasi terjadi, tetap akan menyebabkan masyarakat berperilaku tidak baik. Arogansi bagi mereka yang menang, dan tersisihkan bagi mereka yang tertinggal.
Keraguan terhadap sistem meritokrasi semakin tinggi ketika mereka yang kaya dan berkuasa terus berupaya menyiasatinya untuk bisa mendapatkan hak keistimewaan atau “privilege” memasuki perguruan tinggi bagi keturunannya melalui donasi dan kekerabatan alumni. Mengubah meritokrasi menjadi aristokrasi.
Protes kaum Populis terhadap kelompok elit meritokratik tidak hanya tentang keadilan, namun juga tentang integritas atau harga-diri sosial.
Meskipun kondisi ideal meritokrasi betul tercapai, yaitu setiap individu mendapat kesempatan yang sama untuk berkompetisi dalam pendidikan, pekerjaan dan sektor kehidupan lainnya, kondisi sosial masyarakat tersebut belum bisa disebut sepenuhnya ADIL. Karena, meritokrasi ideal adalah juga tentang kemampuan mobilitas sosial vertikal. Tidak tetap terpuruk dalam kemiskinan atau terus mapan dalam kelimpahan karena keistimewaan sosial.
DO WE DESERVE OUR TALENTS?
Jawabnya: bergantung pada the moral status of talents.
Bila prestasi yang dimiliki bukanlah karena Upaya sendiri, melainkan karena ‘kebetulan’ atau ‘karunia’. Maka Sandel berpendapat bahwa seseorang tidak berhak menerima keuntungan atau kerugian karenanya. Di sisi lain, Usaha keras saja juga cukup berat untuk memenangkan kompetisi, tanpa adanya dukungan Bakat atau Karunia. Usaha Keras dan Bakat menjadi tak terpisahkan dalam memenangkan kompetisi.
Kemudian, bila meritokrasi ideal diragukan karena mengabaikan adanya kemandirian moral Bakat/Talenta sehingga titik awal kompetisi menjadi tidak sama, dan hanya mengutamakan moral Usaha/Perjuangan, maka adakah konsep lain terbentuknya masyarakat berkeadilan dalam kompetisi?
Dalam bab-bab berikutnya, Sandel mulai banyak membahas ranah filosofi politik terkait keadilan dan meritokrasi, berbasis Friedrich A. Hayek, dan karya John Rawls, “A theory of justice”.
TWO ALTERNATIVES TO MERITOCRACY
Ada dua jenis argumen politik dari masyarakat demokratis terkait meritokrasi ini, yaitu free-market liberalism dan welfare state liberalism. Keduanya menentang gagasan meritokrasi, bahwa masyarakat yang adil semestinya mendistribusikan pendapatan dan kekayaan berdasarkan apa yang pantas diperolehnya, hanya berbasis Prestasi. Tidak terkait dengan hal-hal diluar kontrol dirinya, seperti Bakat atau Warisan keluarganya.
Free-market liberalism. Syarat meritokrasi untuk disediakan kondisi kompetisi yang setara bagi semua pihak, berimplikasi pada keharusan pemerintah untuk mengatur pasar. Ini keberatan utama pemerintah AS dibawah Reagan dan Inggris dibawah Thatcher, sebagai penganut laissez-faire capitalism,. Friedrich A. Hayek, filsuf ekonomi kelahiran Austria, menjadi inspirator aliran pemikiran ini. “The Constitution of Liberty” adalah buah karyanya, 1960. Hayek, seperti juga partai Republik AS, selalu menentang kenaikan pajak bagi yang Berpunya sebagai upaya memberikan playing field yang setara bagi semua pihak. Karena dianggap berlawanan dengan prinsip Kebebasan dalam demokrasi.
Welfare State Liberalism atau Egalitarian Liberalism. Obama dalam pidato kampanyenya, 2012, “[I]f you’ve been successful, you didn’t get there on your own… If you were successful, somebody along the line gave you some help… You’re not on your own, we’re in this together”. Ada pihak lain yang turut terlibat dalam kesuksesan kita. Untuk itulah pemerintah negara-negara Kesejahteraan di Eropa memaknainya sebagai ‘kewajiban’ untuk memberi tunjangan bagi mereka yang ‘tertinggal’ melalui pungutan pajak yang besar bagi mereka yang berpunya. John Rawls, filsuf politik AS abad 20 menjadi inspirator dari penganut mazhab liberal ini. “A Theory of Justice”, 1971, adalah karya Rawls terkait hal diatas. Dalam konsepnya tersebut, Rawls menolak adanya penghargaan bagi mereka yang berprestasi dalam kontribusinya untuk masyarakat akibat bakat yang dimilikinya. Karena bakat atau karunia yang dipunyainya, adalah diluar kontrol dari dirinya sendiri.
Sesuai dengan konsepnya Principle of Justices, Rawl tidak mengharapkan adanya penghargaan terhadap suatu kebajikan tunggal. Di dalam masyarakat pluralis, seseorang berhak untuk memperjuangkan nilai-nilai kebaikan hidupnya sendiri, dengan tetap menghargai nilai-nilai pihak lain. Freedom.
Dalam hal ini Hayek dan Rawls juga menegaskan adanya keterlibatan kemandirian moral bakat dan menolak pendapat bahwa nilai pasar merefleksikan kebajikan (merit atau desert). Artinya, seberapapun besarnya pajak yang dibayarkan oleh mereka yang mendapatkan kekayaan dari hasil bakatnya, maka tidak layak dianggap sebagai suatu tindak keutamaan berbagi kekayaan. Justru pajak kekayaan ini yang ditentang oleh Rawl karena dianggap sebagai the distribution of income that results from a free market, Ingat, bakat/talenta bukanlah upaya, tetapi karunia (bagi yang beragama), atau keberuntungan. Rawl beranggapan bahwa menerima sistem pajak kekayaan dari hasil kepemilikan bakat/talenta, merupakan pengakuan bahwa seseorang berhak mendapat keuntungan/kerugian darinya.
MARKETS AND MERIT
Hayek dan Rawls menolak wacana meritokrasi dalam kompetisi yang adil karena adanya kecenderungan menguntungkan si kaya daripada si miskin. Namun demikian, alternatif yang mereka tawarkan juga tetap dapat memunculkan sikap karakteristik masyarakat meritokratis, yaitu keangkuhan bagi yang sukses dan kebencian bagi yang kurang beruntung.
Membenarkan pendapatnya, Hayek mengutip Anthony Crosland, anggota Partai Buruh Inggris, dalam karya terkenalnya di tahun 1956, “The Future of Socialism” yang menyatakan adanya dampak demoralisasi bagi mereka yang tertinggal dalam sistem meritokrasi.
N. Gregory Mankiw, penasihat ekonomi President George W. Bush berpendapat bahwa “seseorang seharusnya mendapatkan apa yang pantas diperolehnya. Dan seseorang yang berkontribusi lebih banyak kepada masyarakat, berhak mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi”. Namun, apakah pantas suatu Kerja yang bernilai transaksional perdagangan pasar dianggap sebagai kontribusi sosial yang bernilai Moral?
MARKET VALUE VERSUS MORAL VALUE
Seperti halnya Hayek dan Rawls, Frank Knight, penganut mazhab ekonomi neoklasik, di tahun 1920an menyatakan pandangannya bahwa kepemilikan bakat untuk memenuhi kebutuhan pasar, merupakan warisan kekayaan (karunia/given). Bukan kebajikan atas prakarsa upaya personal. Dan Knight tidak sependapat dengan pandangan Free-market liberalism Hayek yang menyamakan Nilai Pasar dengan Kontribusi Sosial. Menurutnya, adalah suatu kesalahan bila mengasumsikan pendapatan finansial yang diperoleh dari pemenuhan kebutuhan pasar, merupakan refleksi nilai kebajikan moral.
ATTITUDES TOWARD SUCCESS
Rawls yang anti meritokrasi, berharap supaya mereka yang sukses secara ekonomi untuk dapat bersikap rendah hati dan membantu mereka yang tertinggal. Bila meyakini bahwa kesuksesan yang diperoleh adalah semata karena nasib baik atau keberuntungan atau karena bakat, maka sudah selayaknya merasa berkewajiban untuk berbagi dengan mereka yang kurang beruntung.
Sayangnya, sikap rendah hati bagi mereka yang sukses, belum menjadi kultur tauladan dari kehidupan sosial dan ekonomi kontemporer. Sehingga reaksi populis masih meluas dirasakan oleh para pekerja bahwa elit sosial memandang rendah mereka.
Kekecewaan kaum populis kelas pekerja di AS saat ini terhadap elit, sebagian besar disebabkan oleh apa yang mereka anggap sebagai keangkuhan dan penghinaan kelas profesional terhadap mereka yang tidak berpendidikan tinggi.
CHANCE AND CHOICE
Dan kecenderungan liberalisme negara kesejahteraan untuk menyulut politik keangkuhan dan penghinaan ini menjadi lebih eksplisit dalam karya para filsuf egaliter liberal tahun 1980-an dan 1990-an. Rawls berpendapat bahwa distribusi kekayaan yang cenderung menguntungkan para pemilik bakat, tidak dapat dibenarkan dari sudut pandang moral, sehingga di dalam masyarakat yang adil seharusnya menyediakan kompensasi bagi mereka yang tidak beruntung, i.e. miskin sejak lahir, cacat fisik, menderita karena kecelakaan, tidak berbakat, selalu tidak beruntung, dll. Mereka yang tertinggal karena faktor di luar kendali dirinya. Kemiskinan Struktural dan Kemiskinan Absolut.
Dengan bahasa senada, filsuf lain menyatakan, “Distributive justice stipulates that the lucky should transfer some or all of their gains due to luck to the unlucky”.
Bab 6. THE SORTING MACHINE
James Bryant Conant, presiden Harvard University, di tahun 1940an berambisi untuk mengakhiri kultur pengistimewaan para elit alumni dan kekayaan keluarga, dalam penerimaan mahasiswa, dan menggantikannya dengan sistem meritokrasi. Dimaksudkan tidak hanya untuk ujian masuk Harvard, namun juga untuk memasuki seluruh perguruan tinggi di AS. Dengan visi, “Education for a Classless Society”. A high degree of social mobility is the essence of the American ideal of a classless society.
Conant mulai dengan mengadakan Uji Kecerdasan Intelektual, untuk dapat diterima di Universitas Harvard. Saat ini biasa disebut sebagai SAT (Scholastic Aptitude Test).
Mengkritisi the tyranny of merit bukan berarti bahwa modal awal kecerdasan atau Bakat/Talenta tidak boleh berperan dalam alokasi pekerjaan dan peran sosial. Melainkan, perlu memikirkan kembali cara kita memahami Kesuksesan dan mulai menghindari sikap kesombongan meritokratis bahwa mereka yang berada di atas, adalah semata karena upaya sendiri.
INTIMATIONS OF THE TYRANNY OF MERITS
Sistem meritokrasi pendidikan diharapkan mampu mengatasi kesenjangan melalui mobilitas sosial keatas (upward social mobility).
Secara retorika dan filosofis, ideologi meritokrasi Conant telah memenangkan perhatian publik. Namun, dalam prakteknya ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan, karena:
- SAT ternyata tidak bisa jadi dasar pengukuran kemampuan kecerdasan siswa, yang diharapkan independen dari latar-belakang sosial dan pendidikan. Kemampuan lulus uji SAT sangat berkorelasi dengan kekayaan finansial. Semakin kaya, semakin memungkinkan untuk mendapatkan nilai SAT tinggi. Banyak tersedia jasa pelatihan SAT.
- Sistem Meritokrasi untuk memasuki Perguruan Tinggi, yang ditawarkan Conant, ternyata tidak menghasilkan the classless society seperti yang diharapkan. Kesenjangan pendapatan dan kekayaan justru semakin besar sejak 1940an. Dan Mobilitas Sosial keatas tidak juga terjadi. Penelitian menunjukkan bahwa berbagai institusi pendidikan tinggi ternama di AS belum bisa menjadi agen mobilitas sosial finansial.
MAKING MERITOCRACY MORE FAIR
Daniel Markovits, profesor Hukum, Universitas Yale, dalam upayanya mengurangi kesenjangan dan meningkatkan kesetaraan akses pendidikan, menyarankan pemerintah untuk tidak memberi status keringanan pajak pada perguruan tinggi, yang tidak menerima sedikitnya setengah mahasiswa baru dari kelompok ⅔ skala ekonomi terbawah.
Pada akhirnya, memberlakukan ujian masuk perguruan tinggi dengan sangat kompetitif, adalah upaya berlebihan serta tidak bijaksana bagi demokrasi dan misi pendidikan itu sendiri.
7. RECOGNIZING WORK
Sistem meritokrasi yang begitu mendewakan kemampuan otak juga berakibat tidak baik pada dunia kerja. Pasar lebih menghargai pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang berpendidikan tinggi. Serasa lebih penting, berharga dan bermartabat, daripada pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang kurang berpendidikan. Bahkan secara sengaja elit sosial melakukan pemisahan dengan sebutan Kerah Putih dan Kerah Biru. Menyebalkan ..
Dan celakanya, setelah beberapa dekade berlangsung, semakin kuat ide yang mengatakan bahwa pendapatan merefleksikan nilai kontribusi sosial. Artinya, kebajikan sosial diukur berdasar kekayaan finansial yang diperoleh. Absurd.
Pertanyaan selanjutnya dari para ahli sosial yang muncul adalah, apakah ini persoalan hilangnya pekerjaan dan stagnasi pendapatan atau pergeseran kebudayaan (cultural displacement)? Sandel beranggapan bahwa Kerja adalah tentang Ekonomi dan Kebudayaan. Menyangkut harkat hidup dan status sosial.
Tidak hanya tentang pekerjaan, kekecewaan masyarakat juga ditunjukkan dengan tingginya kematian karena bunuh diri dan obat-obatan. Anne Case dan Angus Deaton, dua ahli ekonomi dari universitas Princeton menyebutnya sebagai “deaths of despair”. Tahun 2014-2017, Harapan Hidup masyarakat AS menurun 3 tahun. Untuk pertama kalinya dalam abad ini.
Case dan Deaton menemukan bahwa kenaikan “deaths of despair” pada umumnya terjadi pada mereka yang berpendidikan rendah. Tahun 2017, korban tewas “deaths of despair” lelaki berpendidikan rendah adalah 3 kali lebih banyak daripada mereka yang berpendidikan tinggi.
Dari penelitiannya, Case dan Deaton menyimpulkan bahwa “deaths of despair” banyak dialami warga kulit putih berpendidikan rendah karena rasa putus asa menjalani hidup yang berat dalam waktu yang lama.
WORK AS RECOGNITION
Proposal kebijakan oleh pemerintah AS untuk mengkompensasi kesenjangan dengan cara meningkatkan daya beli kelas pekerja, hanya sedikit mengatasi kekecewaan masyarakat. Karena kekecewaan sejatinya disebabkan oleh hilangnya pengakuan atas kerja dan harga diri sosial mereka. Ini kombinasi dari dampak sistem seleksi meritokrasi dan globalisasi yang dikendalikan oleh pasar.
CONCLUSION
Contoh bagus diberikan Sandel dalam bab Kesimpulannya. Henry Aaron, pemain baseball kulit hitam AS ternama, ketika masih kecil, melihat ayahnya terpaksa harus menyingkir dari antrian supermarket karena desakan warga kulit putih. Rasisme. Dendam dalam dirinya memacunya untuk berprestasi dalam baseball. Kebanggaan dan penghargaan memang diperolehnya dari berbagi pihak setelah menjadi pemain ternama di AS. Ini dirasanya sebagai kesuksesan meritokrasi, bahwa bakat dan kerja kerasnya telah membawa kebebasan rasisme. Betulkah? Salah.
Ketidakadilan rasisme tidak dapat dibenarkan dalam kondisi sosial apapun. Bahkan tidak juga diperlukan prestasi sebagai juara baseball, dalam kasus diatas, untuk mengatasinya. Hanya kesetaraan kesempatan secara moral lah yang diperlukan untuk melakukan koreksi terhadap ketidakadilan tersebut. Dan itupun masih belum cukup.
Diperlukan kondisi kesetaraan yang lebih luas sehingga memungkinkan mereka yang tertinggal dapat hidup lebih bermartabat sesuai dengan keinginannya.
R. H. Tawney, ahli sejarah ekonomi dan kritik sosial berkebangsaan Inggris, dalam bukunya Equality (1931), menyatakan bahwa
Individual happiness does not only require that men should be free to rise to new positions of comfort and distinction; it also requires that they should be able to lead a life of dignity and culture, whether they rise or not.
REKOMENDASI
Buku bagus untuk dipelajari oleh siapa saja yang tertarik pada Berpikir Kritis dan Fenomena Sosial. Kritis dan membuka wawasan tentang fenomena sosial keseharian yang sering kali terlewatkan dari pengamatan. Banyak acuan informasi terkait kesenjangan sosial dari berbagai media besar dan sumber data resmi di AS. Sedikit kekurangan dari buku ini adalah banyaknya kalimat atau phrase yang sering diulang di beberapa bab, sehingga terkesan hanya untuk memperbanyak halaman saja.
…
…
…
LAMPIRAN
Sebagian kutipan data di dalam buku ini, yang diambil dari berbagai sumber:
William Singer menerima pembayaran untuk jasanya memasukkan pelajar di universitas ternama di AS secara ilegal, dari:
- Pengacara papan atas: $75.000, sehingga anaknya mendapatkan nilai lolos test yang diinginkan
- Seseorang: $1,2 juta, sehingga anaknya diterima masuk universitas Yale berdasar penerimaan jalur atlet sepak bola, yang tidak pernah diikutinya.
- Artis televisi: $500.000, sehingga dua anaknya diterima di UCLA melaului jalur ekstrakurikuler
- Artis film Desperate Housewives: $15.000, sehingga anaknya mendapatkan nilai lolos test SAT.
Selama 8 tahun Singer beroperasi, memperoleh total $25 juta untuk ‘meloloskan’ ujian masuk universitas, melalui ‘Pintu Samping’ (ilegal).
Jalur Sumbangan atau Pintu Belakang (legal)
- Jared Kushner, menantu mantan presiden AS, Donald Trump diterima di Universitas Harvard dengan menyumbang $2,5 juta.
- Donald Trump menyumbang $1,5 juta, ketika Donal Jr. dan Ivanka diterima di Wharton School of the University of Pennsylvania
Berdasar kekayaan keluarga mahasiswa:
- Lebih dari ⅔ jumlah mahasiswa yang diterima Ivy League, berasal dari 20% keluarga terkaya AS.
- Di universitas Princeton dan Yale, lebih banyak mahasiswa berasal dari 1% keluarga terkaya di AS, daripada 60% keluarga berpendapatan rendah.
Sebanyak 70% dari masyarakat AS percaya bahwa si miskin mampu bangkit dari keterpurukannya atas usaha sendiri. Sementara hanya 35% masyarakat Eropa meyakininya.
- Sebanyak ⅔ mahasiswa di Harvard dan Stanford berasal dari keluarga berpendapatan ⅕ teratas di AS.
- Sebanyak kurang dari 4% mahasiswa Ivy League berasal dari keluarga berpendapatan ⅕ paling bawah
- Di Harvard dan universitas Ivy League lainnya, lebih banyak mahasiswa berasal dari keluarga berpendapatan 1% teratas ($630.000 per tahun), daripada jumlah mahasiswa dari keluarga berpendapatan dibawah 50%.
Pilpres AS 2016, Trump memenangkan ⅔ pemilih kulit putih berpendidikan rendah. Sementara Hillary Clinton menang di kelompok pemilih berpendidikan tinggi.
Pada Referendum Brexit di Inggris, pemilih berpendidikan rendah lebih memilih Brexit (keluar dari Uni Eropa), sementara pemilih berpendidikan tinggi, mayoritas post graduate, memilih untuk tetap bergabung dengan Uni Eropa.
Hillary Clinton menang di wilayah dengan total 2/3 GDP. Sementara Trump menang di wilayah yang masyarakatnya lebih menyukai warga kulit-hitam mendapatkan hak-haknya dan para perempuan memperoleh pekerjaan.
Clinton memenangkan suara di wilayah pemenang globalisasi, dan sebaliknya Trump menang di wilayah yang kalah dalam proses globalisasi.
Survey majalah Time menunjukkan bahwa hampir ⅓ warga Kristen AS mengakui keyakinan “bila Anda menyumbangkan uang untuk Tuhan, maka sebaliknya Tuhan akan memberi karunia uang lebih banyak lagi”.
Pertengahan tahun 1970an, Universitas Stanford menerima mahasiswa sebanyak ⅓ jumlah peserta ujian masuk. Di awal tahun 1980an, Harvard dan Stanford menerima sekitar ⅕ pelamarnya. Dan di tahun 2019, mereka hanya menerima lebih sedikit dari 1/20 pelamar.
Survei publik di AS menyatakan, 77% bangsa AS mempercayai bahwa kesuksesan pribadi bisa diraih bila bersedia kerja keras. Hanya 50% bangsa Jerman mempercayainya. Bahkan mayoritas bangsa Perancis dan Jepang menganggap tidak ada garansi bahwa kerja keras akan menghasilkan kesuksesan.
Faktor apakah yang membuat kesuksesan? Sebanyak 73% bangsa AS menganggap Kerja Keras adalah faktor utama. Hanya 50% bangsa Jerman menganggap Kerja Keras sebagai faktor utama. Dan bangsa Perancis hanya sebanyak 25% yang menganggap Kerja Keras adalah faktor penting kesuksesan.
Sebanyak 57% bangsa AS menganggap kesuksesan dipengaruhi oleh faktor dari luar dirinya. Sementara mayoritas bangsa lain, termasuk bangsa-bangsa Eropa, menganggap bahwa kesuksesan banyak dipengaruhi faktor-faktor dari luar dirinya.
Upward mobility (pergerakan kebangkitan)
Hampir setengah dari seluruh kekayaan para orangtua di AS dan Inggris yang berpenghasilan tinggi, akan menurun ke anak-anaknya. Hal ini dua kali lebih banyak daripada kekayaan yang diwarisi oleh anak-anak orang kaya di Canada, Finlandia, Norwegia dan Denmark, yang sebenarnya justru memiliki kecenderungan kebangkitan ekonomi (upward mobility) tertinggi.
Sebaliknya, anak-anak Denmark dan Kanada justru lebih mampu tumbuh dari kemiskinan daripada anak-anak AS. Artinya, the American Dream justru sukses terjadi di Kopenhagen, bahkan di Beijing. Meskipun AS tetap menjadi negara yang lebih kaya per capita nya daripada China, namun generasi muda China sekarang lebih kaya daripada generasi orang tua mereka.
Menurut World Bank, tingkat ketidak-setaraan pendapatan di China hampir menyamai AS. Namun kenaikan tingkat pergerakan kebangkitan ekonomi (upward mobility) antar generasi di China, lebih tinggi daripada di AS. Artinya, kesempatan untuk tumbuh di AS lebih susah daripada di China, karena sangat dipengaruhi oleh posisi awal.
Pendidikan
Walaupun tingkat kelulusan universitas meningkat di dekade akhir-akhir ini, namun hanya ⅓ jumlah masyarakat dewasa yang menyelesaikan kuliahnya.
Dalam berbagai survey yang dilakukan di AS, Inggris, Belanda dan Belgia, sebuah tim psikologi sosial menemukan bahwa para responden lebih tidak menyukai kelompok berpendidikan rendah daripada terhadap kelompok-kelompok lain yang dianggapnya juga tidak menyenangkan, seperti kelompok African Americans, kelas pekerja, atau ekonomi lema.
Di dalam anggota Kongres AS, sejumlah 95% anggota Dewan Perwakilan dan 100% anggota Senat adalah berpendidikan universitas. Walaupun ⅔ dari penduduk dewasa AS tidak berpendidikan universitas. Di tahun 1960an, ¼ anggota Dewan Perwakilan dan ¼ anggota Senat tidak berpendidikan universitas.
Di Inggris, kira-kira 70% penduduk dewasa tidak menyandang pendidikan tinggi. Di Parlemen, hanya 12% yang tidak berpendidikan tinggi. Hampir 9 dari 10 anggota Parlemen bergelar universitas. Dan ¼ anggota Parlemen lulus Oxford atau Cambridge. Yang berpendidikan tinggi di Inggris dan AS, mengurus mereka yang berpendidikan rendah.
Tahun 1979, 41% anggota Partai Buruh di Parlemen Inggris tidak berpendidikan universitas. Tahun 2017, hanya 16% tidak berpendidikan universitas.
Tahun 1979, anggota Parlemen dari Partai Buruh Inggris berasal dari 37% pekerja manual. Di Tahun 2015, hanya tinggal 7% dari asal yang sama. Partai Buruh semakin tidak representatif dalam mewakili kelas pekerja.
Di Parlemen Jerman, 83% anggotanya berpendidikan universitas. Sementara di Perancis, Belanda dan Belgia, anggota Parlemennya yang berpendidikan universitas sebanyak 82%-94%.
Di Kabinet pemerintahan Angela Merkel, pada tahun 2013 mempunyai 9 PhD dari 15 menterinya dan hanya 1 menteri tidak bergelar Master.
Dua dari empat presiden AS yang wajahnya terpahat di Mount Rushmore, yaitu George Washington dan Abraham Lincoln, tidak memiliki gelar universitas. Dan presiden terkenal AS terakhir tanpa gelar tersebut adalah Harry S. Truman. 53
Bahkan Franklin D. Roosevelt, ketika menyusun dan mengundangkan the New Deal di tahun 1930an, dibantu oleh tim penasihat ahli yang para anggotanya tidak bergelar universitas.
Di tahun 2019, hanya 7% penduduk Inggris mengikuti sekolah privat. Dan kurang dari 1% lulus dari Oxford dan Cambridge. Namun, ⅔ anggota kabinet Boris Johnson berasal dari mereka yang sekolah privat. Dan ½ nya adalah lulusan Oxford dan Cambridge.
Tahun 2016, ⅔ penduduk kulit putih AS pemilih Donald Trump, tanpa gelar universitas. Sementara 70% pemilih Hillary Clinton adalah mereka yang berpendidikan tinggi.
Para pemilih pilpres AS yang berpendapatan sama, namun mempunyai pendidikan lebih tinggi, memilih Clinton. Sementara yang berpendidikan rendah, memilih Trump.
Dari tahun 1940an hingga 1970an, mereka yang tidak berpendidikan tinggi, cenderung mendukung Partai Demokrat di AS, Partai Buruh di Inggris dan partai-partai Kiri Tengah di Perancis. Dari 2000an hingga 2010an, partai-partai Kiri kehilangan dukungan dari para pemilih berpendidikan tinggi. Namun setelah 2010an, partai yang sebelumnya mewakili kaum pekerja, justru berubah sebagai representasi elit meritokratik, berpendidikan tinggi.
Di AS, dimana Partai Demokrat dianggap sebagai wakil kelas profesional, para pendukungnya dari kulit putih tanpa gelar universitas, justru mulai meninggalkannya. Kecenderungan ini terus berlanjut hingga pemilihan Trump. Tahun 2018 saat pemilihan anggota Kongres, sejumlah 61% pemilih berkulit putih tanpa gelar universitas, memilih Partai Republik, dan hanya 37% memilih Demokrat.
Di Inggris, pada tahun 1980an, ⅓ anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh adalah representasi dari kelas pekerja. Tahun 2010, hanya 1/10 nya.
Tahun 2016 saat Referendum Uni Eropa di Inggris, kelompok berpendapatan rendah lebih memilih Keluar dari Uni Eropa (Brexit). Lebih dari 70% pemilih berpendidikan rendah, memilih Brexit. Dan lebih dari 70% dari mereka yang berpendidikan tinggi, memilih untuk tetap bergabung dengan Uni Eropa.
Di Perancis, sejak 1980an, mereka yang tidak bergelar universitas, mulai meninggalkan partai-partai berhaluan Kiri. Digantikan oleh mereka yang berpendidikan tinggi.
Tahun 2017, kemenangan Emmanuel Macron dalam pilpres Perancis, mengalahkan Le Pen, dianggap sebagai kekalahan kelompok populis oleh kelompok muda yang market-friendly globalization, seperti halnya Clinton, Blair dan Obama.
Tahun 2020 (saat terbitnya buku ini), 59% pendukung Republik mempercayai bahwa pendidikan tinggi mempunyai dampak buruk terhadap apa yang terjadi di AS, dan hanya 33% yang menganggap lebih disukai. Sebaliknya, 67% pendukung Demokrat sangat meyakini bahwa pendidikan tinggi berdampak positif terhadap bangsa AS, dan hanya 18% yang menggapnya berdampak buruk.
Perubahan Iklim
Di dalam partai Republik, 57% pendukungnya yang berpendidikan rendah mempercayai bahwa Pemanasan Global hanyalah isu yang berlebihan. Pendapat sama bagi 74% pendukungnya yang berpendidikan tinggi. Sebaliknya di dalam Partai Demokrat, bagi 27% pendukungnya yang berpendidikan rendah dan hanya 15% yang berpendidikan tinggi berpendapat bahwa Pemanasan Global adalah isu berlebihan. Artinya, ada perbedaan sebesar, 59%, antar pendukung partai berpendidikan tinggi dsn 30% antar pendukung partai berpendidikan rendah, tentang isu Pemanasan Global.
Kemiripan pola perbedaan jumlah pendapat juga terjadi bila ditanyakan , “apakah perubahan Iklim terjadi karena proses alam natural?”. Mayoritas pendukung Republik menjawab “YA”, dan mayoritas pendukung Demokrat menjawab “TIDAK”. Perbedaan pendapat antara keduanya untuk mereka yang berpendidikan tinggi adalah 53%, lebih besar daripada pendapat yang berpendidikan rendah sebesar 19%.
Pembatasan jumlah penerimaan mahasiswa baru Yahudi di Harvard, tetap dilakukan, meskipun pelan-pelan mulai dilonggarkan. Karena Harvard masih membutuhkan mahasiswa baru Protestan.
Bila anda berasal dari keluarga berpenghasilan diatas $200.000 per tahun, maka kemungkinan untuk mendapatkan nilai SAT sebesar 1400 (max 1600) adalah 1 banding 5. Namun bila anda berasal dari keluarga berpenghasilan rendah (< 20.000 per tahun), maka kemungkinannya adalah 1 banding 50. Orangtua berpendidikan tinggi akan menambah kemungkinan anak untuk dapat memperoleh nilai SAT tinggi.
MERITOCRACY ENTRENCHES INEQUALITY
Bila anda berasal dari Keluarga Kaya (top 1%), probabilitas untuk bisa diterima di Ivy League adalah 77% lebih besar daripada bila berasal dari Keluarga Miskin (bottom 20%).
WHY ELITE COLLEGES ARE NOT ENGINES OF MOBILITY
Raj Chetty, pakar ekonomi, melakukan penelitian di AS tentang proporsi mahasiswa yang sebelumnya berasal dari keluarga tidak mampu (< $20.000) dan kemudian sukses bangkit dan masuk dalam kelompok berpendapatan 20% tertinggi (> $110.000) setelah menyandang gelar universitas. Hasilnya, pendidikan tinggi hanya punya andil kecil untuk meningkatkan pendapatan (upward mobility).
Hanya 1,8% mahasiswa lulusan Harvard,1,3% mahasiswa lulusan Princeton, 1,5%, mahasiswa universitas Michigan, dan 1,5% mahasiswa Virginia, yang mampu tumbuh dari kelompok berpendapatan rendah ke kelompok berpendapatan tinggi. Sejumlah ⅔ mahasiswa Harvard berasal dari keluarga kaya (top quintile). Dan hanya 4% mahasiswa universitas Michigan serta 3% mahasiswa universitas Virginia, berasal dari keluarga tidak mampu.
Penelitian Chetty juga menemukan bahwa Universitas California dan universitas New York, keduanya mampu meningkatkan pendapatan sebesar 10% dari keluarga berpendapatan rendah ke kelompok kaya. Mobilitas kenaikan sebesar 5 kali lebih tinggi daripada universitas-universitas Ivy League.
Dari total 1.800 perguruan tinggi yang diteliti oleh Chetty, kurang dari 2% mahasiswa yang mampu menaikkan pendapatan dari kelompok pendapatan ⅕ terendah ke kelompok ⅕ teratas.
Di perguruan tinggi elite, anak-anak alumni mendapat keistimewaan untuk dapat diterima sebagai mahasiswa. Di Harvard, hanya 1 pelamar diterima sebagai mahasiswa dari 20 pelamar. Sementara kemungkinan anak alumni Harvard untuk diterima sebagai mahasiswa sebanyak ⅓ jumlah total pelamar anak alumni.
Terungkap kebijakan penerimaan mahasiswa di universitas Harvard bahwa hampir 10% mahasiswa baru diterima karena dukungan sumbangan finansial.
Daniel Markovits, professor hukum dari universitas Yale memberi kritik terhadap terjadinya meritocratic inequality dan mengusulkan untuk tidak memberikan keistimewaan pajak terhadap universitas-universitas, bila tidak memberi kesempatan sedikitnya ½ jumlah mahasiswa baru berasal dari kelompok 2/3 berpendapatan rendah.
Tahun 1972, universitas Stanford menerima mahasiswa baru sebanyak ⅓ jumlah total pelamar. Saat ini, hanya menerima kurang dari 5% pelamar. Universitas Johns Hopkins, menerima 54% pelamar, sekarang hanya menerima 9% nya. Universitas Chicago menerima 77% pelamar di tahun 1993, sekarang hanya menerima 6% nya. Dari 40 universitas, sekarang hanya menerima kurang dari 20% pelamar.
Setiap tahun ada lebih dari 40.000 pelamar universitas Harvard dan Stanford memperebutkan 2.000 kursi mahasiswa. Tahun 2017, ada 87 universitas yang menerima kurang dari 30% jumlah pelamar.
Tahun 1987, perguruan tinggi negeri memperoleh pendapatannya dari pemerintah 3 kali lebih banyak daripada dari pembayaran kuliah mahasiswa. Seiring turunnya bantuan pembiayaan dari pemerintah, biaya kuliah mahasiswa menjadi lebih tinggi. Tahun 2013, pendapatan dari pemerintah sama dengan pembayaran kuliah dari mahasiswa.
Saat ini universitas negeri hanya sebagai sebutan saja, realitasnya bantuan finansial pemerintah sangat kecil sekali. Universitas Virginia hanya menerima bantuan pemerintah sebesar 10% dari anggaran. Universitas Texas menerima 47% anggaran di tahun 1980an, sekarang hanya menerima 11%. Sementara biaya kuliah mahasiswa meningkat 4 kalinya, sehingga hutang mahasiswa pun meningkat pesat. Selama 15 tahun terakhir, total pinjaman mahasiswa meningkat 5 kali lipat dan di tahun 2020 total kredit mahasiswa menjadi lebih dari $1,5 triliun.
Pada tahun ajaran 2014-2015, pemerintah memberi sumbangan ke pendidikan tinggi dalam bentuk hibah, pajak dan pinjaman sebesar $162 milyar, sementara untuk pelatihan tenagakerja hanya $1,1 milyar per tahun.
Isabel Sawhill, ahli ekonomi di Brookings Institution, mengatakan bahwa negara-negara maju hanya mengalokasikan anggaran untuk program-program pelatihan tenagakerja sebesar 0,5% dari GDP. Perancis, Finlandia, Swedia dan Denmark mengalokasikan lebih dari 1% GDP. Sementara AS hanya 0,1% GDP.
Tahun 1979 lulusan perguruan tinggi 40% lebih banyak daripada lulusan SMA. Tahun 2000an, menjadi 80% lebih banyak lagi.
Akhir 1970an, CEO perusahaan AS papan atas berpendapatan 30 kali lebih banyak daripada rata-rata pekerja. Di tahun 2014, mereka bisa memperoleh pendapatan 300 kalinya.
Dari tahun 1979 ke 2016, lapangan kerja fabrikasi di AS berkurang dari 19,5 juta menjadi 12 juta. Sementara di akhir 1970an, CEO-CEO di berbagai perusahaan besar di AS menerima pendapatan 30 kali lebih banyak daripada pekerja menengah, dan di tahun 2014 mereka menerima 300 kali lebih besar.
Rakyat AS dengan pendidikan terakhir lulusan SMA, hanya 68% diterima kerja tahun 2017.
Terkait persaingan untuk mendapatkan pekerjaan. kematian kulit putih AS di usia 45-54 tahun meningkat 3 kali lipat dalam tahun 1990-2017 karena putus asa atau “deaths of despair”. Pada tahun 2014, untuk pertama kalinya ditemukan lebih banyak kematian disebabkan oleh drugs, alkohol, bunuhdiri, daripada karena serangan jantung. Mayoritas tidak bergelar universitas.
Sejak tahun 1990an, tingkat kematian lulusan universitas turun 40%, sementara tingkat kematian bukan penyandang gelar universitas naik 25%.
Tahun 2017, tingkat kematian pria tanpa gelar universitas adalah 3 kali lebih tinggi daripada mereka yang bergelar universitas.
Peningkatan “deaths of despair” yang tinggi antara 2009 – 2017 tidak terkait dengan peningkatan kemiskinan.
…
TAUTAN
Some thoughts on the open v closed divide
Prisoners of the American Dream
Michael Sandel: master of life’s big questions
The Tyranny of Merit
TED The Tyranny of Merit
College admissions scandal ensnares celebs, CEOs
Trump Speaks At Fourth-Grade Level, Lowest Of Last 15 U.S. Presidents, New Analysis Finds
Tinggalkan Balasan