Politics karya David Runciman, Professor of Politics at Cambridge University.
Buku ini diterbitkan oleh Penerbit PROFILE BOOKS LTD, London, 2014 ini kutemukan muncul sebagai acuan di artikel berjudul Parthenon, dalam buku Kredensial karya Trias Kuncahyono (2018). Sejak itu selalu menggoda untuk mempelajarinya.
Satu paragraf tertulis di sampul belakang buku, menjadi pemancing tanya dan pokok bahasan dalam buku ini:
‘Societies that fail to adapt to challenges eventually fall apart. The planet is littered with monuments to finished political systems. The Parthenon in Athens stands as a testament to the passing glory of ancient Athenian democracy. Lenin’s tomb in Moscow once stood as the focal point for global communism; now his mausoleum is just another tourist trap. Are liberal democracies destined to go the same way? Will the Capitol in Washington sooner or later join the list of magnificent ruins?’
Sebagai Pendahuluan, Runciman menyajikan ilustrasi perbandingan antara kehidupan di Suriah dan di Denmark. Suriah dikenal sebagai negara Bulan Sabit Subur (the fertile crescent), tempat lahirnya peradaban. Sebaliknya, Denmark adalah negara dengan sumberdaya alam terbatas. Namun semua tahu kondisi kedua negara tersebut saat ini. Politiklah yang membedakannya.
Penjelasan tentang perbedaan nasib suatu bangsa dari sisi yang sedikit berbeda, bisa dibaca dalam buku Why Nations Fail, karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson, atau Guns, Germs, and Steel karya Jared Diamond. Yang resensi keduanya ada dalam blog ini juga. Berbeda dengan keduanya, Runciman lebih fokus membahas Politik sebagai sebuah sistem bernegara dan dampak keberadaan serta keberlanjutannya bagi umat manusia, negara dan dunia.
Politik sangat menentukan warna suatu bangsa, meskipun tidak bisa dianggap sepenuhnya bertanggung jawab tentangnya. Tidak membentuk suatu bangsa menjadi pembenci atau penyayang. Tidak juga menyebabkan terjadinya bencana alam atau bencana ekonomi. Namun jelas mampu mempengaruhi suatu bangsa, untuk menjadi lebih baik atau semakin buruk.
Saat ini Denmark sedang menikmati situasi politik yang stabil dan nyaman. Tidak terlihat adanya masalah kebangsaan yang sampai memicu perpecahan bangsa. Berbeda dengan Suriah yang memendam bara pertengkaran etnik dan budaya di dalamnya. Denmark sejuk damai. Meskipun, 500 tahun yang lalu, Denmark menjadi tempat yang rapuh, penuh gejolak, penuh dengan konflik agama dan perselisihan pendapat dengan kekerasan. Menjadi limpahan konflik bangsa-bangsa Skandinavia, juga menjadi wilayah persimpangan perang di Eropa.
Politik telah berjalan baik di Jerman, dan membentuk tingginya sikap toleransi anak bangsa. Sebaliknya, sikap toleran ini yang justru membangun Politik yang baik disana. Ada Politik sebagai produk institusi yang sudah mapan. Sebaliknya, bisa juga stabilitas institusi sebagai produk Politik. Semua perdebatan yang terjadi pada kedua sebab-akibat tersebut bisa terjadi untuk tujuan yang sama. Perdamaian.
Hampir sama dengan pendapat Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam bukunya Why Nations Fail, bahwa nasib bangsa ditentukan oleh pilihan-pilihan mereka sendiri. Demikian juga dengan pendapat Runciman, bahwa Politik adalah tentang pilihan kolektif yang mengikat berbagai kelompok orang untuk hidup dengan cara tertentu. Hal ini juga merupakan ikatan kolektif yang memberi masyarakat pilihan cara hidup. Dan tanpa pilihan cara hidup yang nyata, tidak ada politik.
Namun Runciman mengingatkan juga bahwa
“Political institutions are still shaped by human choices, and human beings always retain the capacity to screw them up”.
Nothing is automatic in politics. Everything depends on the contingent interplay between choice and constraint: constraint under conditions of choice; choice under conditions of constraint.
Dari sedikit penjelasan diatas, Runciman berkesimpulan bahwa perbedaan nasib Denmark dan Suriah ditentukan oleh pilihan Politiknya. Selanjutnya akan dijelaskan terkait 3 hal dalam pilihan Politik yang membedakannya, yaitu tentang:
- Bagaimana Politik bisa mempunyai dampak yang berbeda, seperti Denmark yang modern dan aman, serta Suriah yang kacau dan menyedihkan?
- Bagaimana Politik bisa bekerja dan membawa dampak suatu bangsa seiring waktu yang berlangsung cepat dalam perkembangan teknologi?
- Bila Politik adalah penentu nasib suatu bangsa, mengapa bisa terjadi negara maju dan negara miskin?
Pada penyajiannya, bab Pertama Runciman menjelaskan Arti Politik. Kemudian di bab Kedua menjelaskan tentang Pentingnya Politik. Selanjutnya di bab Ketiga menjelaskan arti Politik di Era Teknologi informasi. Dan akhirnya pada bagian Penutup menjelaskan tentang Dampak dan Harapan keberadaan Politik.
…
1. KEKERASAN
Kata kunci dari pengertian Politik adalah Pengendalian (Control). Politik adalah bagaimana mengendalikan Kekerasan (violence),
- Control through violence. We behave law-abidingly because of the implicit threat of what would happen to us if we didn’t. Kita berperilaku taat hukum karena adanya ancaman yang tersirat di dalamnya tentang hal buruk yang mungkin terjadi jika kita tidak mentaatinya.
- The control of violence. We behave law-abidingly because we accept that lawmakers and law-enforcers have the right to tell us what to do. Kita mentaati hukum karena menyadari adanya hak dan kewajiban hukum.
Politik adalah tentang Pilihan dibawah kondisi keterbatasan, dan keterbatasan dalam berbagai pilihan. Seiring berjalannya waktu, menjadi lebih penting lagi adalah menjaga hubungan antara Kesepakatan dan Paksaan. Politik mengandaikan Kesepakatan bersama tentang penggunaan Kekuatan. Karena ada Kesepakatan, maka kekerasan tidak selalu diperlukan. Dan karena tersedia Kekuatan, maka Kesepakatan tidaklah selalu cukup. Oleh karenanya, Politik membutuhkan keduanya.
Melalui Politiklah benang merah Suriah dan Denmark terhubung. Meskipun Denmark dikenal sebagai negara yang teratur dan cenderung membosankan (consensual society), namun tetaplah membutuhkan tentara, polisi dan aparat penegak hukum supaya masyarakat terjamin hak dan kewajibannya. Demikian sebaliknya dengan Suriah, meskipun militeristik dan penuh dengan tekanan (coercive society), tetap membutuhkan kekuatan untuk menjamin berjalannya institusi Politik sehingga negara bisa berjalan semestinya.
Societies in which violence is under an agreed system of political control are better places to live in than those in which it is not.
…
Thomas Hobbes
Filsuf yang selalu menempatkan persoalan Pengendalian Kekerasan sebagai hal penting dalam pemikiran tentang Politik adalah Thomas Hobbes. Bangsa Inggris di abad ke-17 (1588-1679).
Di era Hobbes, pengendalian kekerasan selalu berada diluar kemampuan kekuasaan. Revolusi Inggris, dikenal sebagai the Glorious Revolution, terjadi pada tahun 1688. Menandai dimulainya awal pemerintahan parlementarian. Dan era kegelapan yang lebih buruk terjadi di Eropa dengan The Thirty War Years, yang terjadi pada tahun 1618-1648.
Dalam pemahaman Hobbes, sifat dasar manusia adalah kompetitif. Selalu berharap lebih baik, lebih kuat dan lebih berkuasa atas sesamanya. Namun, sifat sebenarnya secara natural adalah lemah. Dan Kekuatan akan memangsa Kelemahan. Inilah ‘state of nature’ menurut Hobbes. Oleh karenanya manusia perlu selalu waspada atau berada dalam status siaga perang. Dan dunia tanpa Politik, akan menjadi arena peperangan tak berkesudahan. Politics is meant to preserve the Peace.
Setelah disepakati perlu adanya Politik, maka selanjutnya perlu menentukan a single decision-maker, yang mempunyai kekuasaan untuk mengendalikan kekerasan. Hobbes menyebutnya the sovereign (penguasa yang berdaulat). Tak mesti individu tunggal, yang penting bisa bersuara tunggal (perwakilan). Meskipun Hobbes lebih menyukai Monarki sebagai bentuk pemerintahan, sehingga jelas siapa yang berdaulat. Menurutnya, Parlementer akan membutuhkan banyak perdebatan untuk menentukan satu keputusan bersama.
Tugas penguasa adalah memutuskan secara efektif, siapa atau apa yang menjadi ancaman bagi perdamaian. Hobbes optimis bahwa kehidupan politik yang stabil akan menjauhkan kekerasan pada masyarakatnya.
Pada akhirnya, manusia akan berusaha untuk membina hubungan dengan sesamanya berlandaskan kepercayaan dan saling menguntungkan. Meskipun Hobbes menyebutnya sebagai hubungan artifisial, bukan natural. Tapi nyata. Karena menurutnya, sifat natural manusia sejatinya saling ‘memangsa’. Homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya).
Ada tiga hal penting dari pemikiran Thomas Hobbes yang bisa menjadi dasar transformasi politik dari pre-modern ke modern, yaitu:
- Politik hanya akan langgeng berkuasa bila memang terbukti bermanfaat untuk masyarakatnya.
- Perlunya keberadaan politik adalah supaya masyarakat mampu menjalani hidupnya, tanpa terbebani oleh perselisihan politik yang tiada habisnya.
- Politik didasarkan pada kesepakatan antar individu untuk membiarkan penguasa mengambil keputusan untuk mereka. Yang dikenal dalam politik modern sebagai: ‘representasi’.
Dua hal sulit bagi Penguasa menurut Hobbes adalah,
- Menggunakan kekuatan untuk memadamkan kekerasan yang mengancam perdamaian
- Menyusun landasan terciptanya perdamaian
Runciman menambahkan,
“The power you have is made up of the power they would have if they hadn’t handed it over to you”.
“You will be judged not by who you are but by what you do, but you can only do what you do because of who you are”.
Tentang Politik, Runciman juga mengacu pada The Prince, karya Machiavelli, 1513. Berbeda dengan Hobbes yang memaknai Politik dari sisi masyarakat dimana kekuasaan digunakan untuk membebaskan masyarakat dari segala kekerasan demi kedamaian, maka Machiavelli melihatnya dari sisi Penguasa. Yaitu bagaimana upaya mendapatkan kekuasaan dengan cara licik dan tak bermoral. Dan menurutnya, tugas Penguasa adalah mempertahankan Kekuasaan. Bukan hanya untuk bertahan hidup; melainkan juga untuk kemuliaan. Untuk itu, dikenal luas jargon sikap dasar seorang Machiavellis, yaitu:
“it is better to be feared than to be loved. If you can manage to appear lovable while still being feared, that is even better”.
Perilaku ini juga menjadi standar kebajikan politik penganut Machiavellis. Karena menurutnya, politik mempunyai aturan moral yang berbeda dengan perilaku kehidupan bermasyarakat pada umumnya. Ini berarti, seseorang bisa saja dianggap tak bermoral menurut aturan moral biasa, namun tak ada masalah dengan moral politik.
Permainan untuk memenangkan kompetisi ada di berbagai bidang, seperti olahraga, bisnis, akademis dll. Tapi politik adalah kompetisi yang berbeda. It’s a fight to reach the top and stay there. Bahkan di Denmark, dimana perbedaan tak harus disertai dengan pembunuhan, namun yang tak bersalah pun tetap bisa menjadi korban. Si miskin bisa menjadi korban kebijakan politik yang memangkas dana pensiun, misalnya.
Kemenangan dalam tindak politik bukanlah bersifat material, namun Kekuasaan. Supaya bisa mengatur dan menguasai pihak lain. Tujuan kemenangan seperti inilah yang menggoda seorang politisi untuk lebih berpegang pada moralitas Machiavellian, dan mengabaikan etika moralitas masyarakat umum.
Pernyataan Machiavelli yang cukup popular dan dituliskan dalam karyanya The Prince, adalah:
‘ALL STATES, all powers that have held and hold rule over men have been and are either republics or principalities’.
Kekuasaan bisa dipegang oleh individu tunggal seperti monarki atau perwakilan dari sekelompok individu atau parlemen.
Namun dalam praktek sistem demokrasi perwakilan modern, perbedaan antara kedua hal diatas cukup kabur. Menurut Runciman, Hobbes pun mengabaikannya. Bahkan di AS yang mengaku sebagai negara Republik, terlihat juga beberapa aspek, presiden bertindak seperti layaknya seorang raja atau penguasa tunggal.
Di era politik modern, justru terjadi penumpukan kekuasaan melalui kombinasi politik kekuasaan tunggal dengan institusional, yang bersifat impersonal. Hal ini akan membentuk dinamika moral dan psikologis yang kekuatannya jauh melebihi ciri politisi Machiavellian. Lebih tepat disebut Weberian. Dari sosiologis Jerman awal abad ke-20, Max Weber (1864–1920). Pernyataannya yang cukup dikenal tentang negara adalah,
‘That entity which successfully claims a monopoly of the legitimate use of violence’.
Bayangkan … monopoli untuk melakukan kekerasan. Artinya, kekerasan yang legitimated. Dan perlawanan terhadapnya adalah menyalahi hukum. Luar biasa. Jadi, bila ada suatu tindak politik yang dirasakan menyalahi norma masyarakat tapi sah menurut hukum yang berlaku, maka disinilah bukti Weberian itu berlaku. Bahkan inilah sejatinya arti negara menurut Hobbes. Penguasa mengelola Kekerasan dengan cara membangun institusi, birokratisasi dan merasionalisasikannya.
Yang dikhawatirkan oleh Weber adalah bila Penguasa tidak bertanggungjawab terhadap pengelolaan Kekerasan. Ada dua bentuk ‘tak bertanggungjawab’ yang dimaksud Weber tersebut, yakni:
- Menjauhi kemungkinan adanya kekerasan sama sekali. Abai atau berharap politik dapat menjalankan kekuasaan tanpa perlu adanya kekerasan. Dengan meyakini bahwa tindak politik adalah sangat beralasan (reasonable), teratur (rule-governed) dan secara moral dapat diterima. Naif.
- Terlalu terlibat dalam kekerasan, dengan alasan bahwa Penguasa tidak sendiri dalam melakukan kekerasan. It is their decision but it’s not their violence, because the machinery of the state does all the dirty work.
Inilah yang dimaksud Weber dengan dilemma ‘dirty hands’. Politik tak mungkin menghindarinya. Hanya bisa berharap bahwa siapapun yang menjadi Penguasa, mesti siap menghadapi kesulitan etika. Siap menjadi Buruk untuk bisa berbuat Baik. Dan dalam saat yang sama, bisa meyakini bahwa Kebaikan akan membebaskannya dari Keburukan. Weber menyebut fenomena ini ‘dealing with the devil’.
…
Perdamaian
Benjamin Constant (1767–1830), berkebangsaan French-Swiss, novelist, ahli teori konstitusi dan politisi. Telah menikmati kehidupan modern dan kebebasan di era Revolusi Perancis, juga masa keterpurukan setelahnya. If everyone is busy following his or her heart, no one is keeping an eye on what the politicians are doing.
Untuk keperluan kestabilan politik, Constant meyakini perlunya pembagian kekuasaan secara konstitusional dalam pemerintahan, yaitu: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dengan cara ini, politikus bisa saling mengawasi. Dan ini ide yang mendasari bentuk baru Republik AS di akhir abad 18.
Meskipun demikian, Constant mengamati dua potensi risiko yang masih mungkin terjadi dengan pengawasan antar kekuasaan tersebut, yaitu:
- Para politisi akan membentuk jaringan kekuasaan politis untuk kepentingan sendiri. Kepentingan kekayaan, keistimewaan atau kenyamanan lainnya.
- Masyarakat akan menyadari kepentingan politiknya dan bangkit untuk melawan kekuasaan.
Politik modern adalah tentang menjaga keseimbangan dalam banyak hal. Masyarakat perlu memahami kondisi politik. Namun berharap terlalu berlebihan terhadap partisipasi politik masyarakat, juga tidak mungkin. Dan terlalu rendahnya partisipasi masyarakat, akan menyebabkan jurang perbedaan pemahaman dengan pemerintah menjadi semakin lebar. Bad government would be the inevitable result of the public’s inattention. Sebaliknya, menjauhi politik justru bisa menjadi rentan tergilas olehnya, bahkan tanpa peringatan awal.
Memang sudah bukan jamannya lagi era revolusi, namun distraksi sosial kekerasan karena kegagalan pemerintahan, masih banyak terjadi di berbagai negara demokratis modern. Contoh, Occupy Wall Street, gerakan Tea Party, kerusuhan rasial di UK 2011, dll. Dan masyarakat modern yang terdistraksi, mempunyai cara yang berbeda dalam menghadapi kekerasan.
Data empiris menunjukkan bahwa bila GDP per capita sudah berada diatas $6.000 maka kecil kemungkinan akan muncul kekerasan yang menyebabkan chaos. Krisis ekonomi terjadi di Yunani 2008 (GDP per capita $21.000), dan UK di tahun 1970an, namun tak terjadi kerusuhan dengan kekerasan.
Masa depan stabilitas sosial politik di abad 21 akan susah diduga. Memang tidak ada bukti sejarah menunjukkan negara maju, sejahtera, aman, sukses finansial yang bisa tiba-tiba runtuh. Namun, tetap saja itu mungkin terjadi.
…
2. TEKNOLOGI
Transisi awal dari negara yang tidak aman, menuju negara aman, seringkali menggunakan kekerasan sebagai cara untuk merealisasikannya. Rezim-rezim gagal, tidak akan mudah menyerah untuk terus bertarung meraih Kekuasaan. Bahkan melalui kekerasan.
The Glorious Revolution of 1688 (England), the American Revolution of 1776, the French Revolution of 1789 dan yang terakhir the Arab Spring of 2011, adalah kerusuhan politik untuk perebutan kekuasaan.
Namun berbeda dengan revolusi diatas, yang dianggap meruntuhkan ketidak-adilan di masanya, Revolusi besar komunis di abad ke-20 adalah sejarah mahal peradaban dunia. Kerusakan dan korban besar manusia telah terjadi, akibat sejarah transformatif Revolusi Rusia 1917 dan Tiongkok 1949.
Runtuhnya rezim komunis di Eropa Timur tahun 1989, bukanlah berarti revolusi politik di dunia telah berakhir. Potensi masih mungkin muncul di berbagai belahan dunia.
Revolusi yang berbeda, telah muncul di abad ke-21 ini, yaitu Revolusi Teknologi. Dengan dampak transformatifnya yang telah terjadi diberbagai sektor kehidupan dimana-mana.
Lahirnya sistem jaringan (www), teknologi pemboran oil fracking, perkembangan teknologi chip dan berbagai peralatan yang semakin efisien, serta semakin mudahnya akses ke berbagai teknologi komunikasi tersebut, telah mengubah cara komunikasi masyarakat menjadi lebih baik.
Inovasi teknologi yang ramah lingkungan, tak sepenuhnya dipicu oleh kebutuhan pasar. Para investor tak akan mudah berinvestasi teknologi hijau yang mempunyai risiko finansial tinggi. Hanya dengan ‘dorongan’ pemerintahlah transformasi terjadi.
Kemajuan Teknologi membuat kesan bahwa politik sudah ketinggalan jaman. Kecepatan kemajuannya menyebabkan politik terkesan lamban dan tidak lincah menanggapi perubahan.
Technology isn’t seen as a way of doing politics better. It’s seen as a way of bypassing politics altogether.
Bahkan, dalam situasi tertentu, teknologi mampu menjadi problem solver melampaui kebijakan politik yang ada. Teknologi memungkinkan masyarakat miskin terpinggirkan di daerah terisolasi, tetap mampu berkomunikasi dan berkarya di luar lingkungannya. Penguasa sulit mengatasinya.
Tentu, teknologi bukanlah segalanya. Pemerintah bersama parlemen adalah pemegang otoritas tertinggi dalam membuat perundang-undangan. Teknologi mampu meredam atau mengurangi masalah sosial, seperti persoalan konflik horizontal atau perang sipil, namun tidak untuk menghilangkannya. Untuk hal tersebut, hanya elit politik, dengan kemampuan kendali kekerasan, yang mampu menyelesaikannya.
…
Kekuasaan Teknologi
Cita-cita ideal sejak abad 18 tentang perlunya Perdagangan Internasional diatas kepentingan politik nasional, sejak berlangsungnya ekonomi pasar global, hanyalah ilusi belaka. Yang ada adalah, masing-masing berkepentingan untuk memproteksi bangsanya.
Perilaku pemerintahan dimanapun berada, sejatinya selalu berupaya untuk membatasi globalisasi. Namun banyak ekonom justru berpendapat bahwa Proteksionisme akan merugikan dalam jangka panjang. Resesi 1930 dipicu oleh tingginya proteksi perdagangan yang berujung Perang Dunia.
Pada akhirnya keseimbangan antara pasar bebas vs keterlibatan pemerintah, perlu dilakukan. Dan pasar tak mungkin bisa melakukan sendiri. Perlu upaya politik Pemerintah. Krisis finansial 2008 membuktikan bahwa Pemerintah dimanapun saat itu, terpaksa melibatkan diri dalam sektor perbankan, untuk mengatasinya. Buku dan Film semi dokumenter “Too big to fail” karya Andrew Ross Sorkin, bagus sekali dalam menjelaskan situasi krisis tersebut. Atau buku The End of Normal karya James K. Galbraith yang ada dalam blog ini, juga bisa sedikit membantu.
Dalam kondisi krisis, Pemerintah terpaksa menggunakan kekuasaannya untuk menyelesaikan kasusnya. Dalam hal ini, teknologi menjadi turun prioritasnya. Dalam hal Pemerintah menggunakan monopoli kekuasaannya untuk manipulasi Google adalah suatu hal yang buruk. Namun, bila Google sebagai representasi teknologi, menggunakan kemampuannya untuk manipulasi pemerintah, jelas lebih buruk.
…
Teknokrasi
Wouldn’t it be better to be ruled by politicians who actually understand the technology they are trying to control? Shouldn’t they have some expertise in those fields it is their job to regulate? If we can’t have techies doing politics, let’s at least have some politicians who can do tech.
Runciman berpendapat bahwa seperti layaknya para profesional di bidang apapun, maka politikus profesional pun akan lebih fokus di bidangnya sehingga banyak keahlian lain yang terabaikan, termasuk bidang teknologi informasi. Sehingga diperlukan keterlibatan para ahli, yang memahami proses bekerjanya sebuah sistem, dalam membuat berbagai Peraturan. Teknokrasi.
James Burnham, dalam bukunya The Managerial Revolution (1941), memperkirakan bahwa di masa yang akan datang, kekuasaan bukan lagi di tangan pemilik alat produksi (seperti perkiraan Karl Marx), melainkan berada dalam kekuasaan mereka yang mampu memahami dan mengelola rekayasa suatu proses produksi. Jadi, Politik masa depan berada ditangan kelas Teknokrat yang memahami bekerjanya proses rekayasa industrial.
Waktu berjalan, dan kekuasaan pun bergeser. Pada sepertiga akhir abad ke-20, Banker di Barat mulai terlihat peran pentingnya dalam Politik. Kekuasaan bukan lagi dimiliki oleh siapa yang memiliki atau mengelola suatu pabrik, melainkan siapa yang mampu membiayai pengusahaan proses produksi atau jasa. Power came to reside with the people who managed the instruments of debt. Muncul penguasa baru yang independen dari berbagai kepentingan politik. Banker.
When central bankers speak, or even when they don’t say anything at all, markets tremble. When markets tremble, politicians quail.
Tugasnya adalah mengendalikan inflasi dan sirkulasi ekonomi. Banker, ahli keuangan dan ekonom, mulai banyak menggantikan peran politisi. Diantaranya adalah ekonom Mario Monti (Perdana Menteri Italia 2011), ekonom Lucas Papademos (Perdana Menteri Yunani 2011) dan investment banker Emmanuel Macron (Presiden Perancis).
Namun mereka pun gagal mengendalikan ekonomi di tahun 2008, sehingga terjadi krisis global. Dan menyerahkan kembali ke tangan politisi.
Menurut Runciman, para teknokrat ini memang sangat menguasai bidang keahliannya, namun ada kelemahan dalam mencari peluang penyelesaian persoalan dari sisi di luar keahliannya. Hal ini karena relasi sosial dengan banyak bidang, tidak terbina dengan baik.
Finance di tingkat elit adalah persoalan yang mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi. Bukan hanya persoalan keahlian teknis finansial semata. Untuk itu, dibutuhkan kemampuan komunikasi, negosiasi dan trust yang tinggi diantara para pihak. Dan disinilah kegagalan para Teknokrat yang sering terjadi. Sehingga akhirnya banyak pihak sepakat bahwa ini adalah keahlian para Politikus, bukan lagi Teknokrat.
Sebagai Teknokrat, meskipun lebih berpengetahuan dibandingkan orang lain, tidak menjamin legitimasi politik. Dalam Politik, ketika keputusan sudah ditentukan maka seorang politisi harus juga bisa meyakinkan publik tentang kebenaran pilihan keputusan tersebut. Menurut Weber, “Legitimacy is, a claim to power, and everything depends on whether people buy that claim”. Legitimasi ditentukan oleh Pemilihan Umum. Dan Keahlian Khusus (akademisi) bukanlah hal yang mudah ‘dijual’ dalam Pemilihan Umum.
Akademisi biasa berasumsi bahwa pendapat yang paling baik, akan memenangkan kompetisi. Sementara dalam politik, tidak ada garansi bahwa pendapat yang paling baik, akan menang. Sukses dalam politik perlu toleransi tinggi terhadap ketidakpastian.
Weber berpendapat bahwa Politisi terbiasa mampu menerima kekalahan dalam argumentasi, dan siap bertarung ulang di waktu yang berbeda. Bisa hidup-mati berulangkali. Politik mengajarkan tentang kegagalan.
Runciman juga berpendapat bahwa Politisi yang bagus adalah bila mempunyai karakter tangguh, tidak ‘baper’an, dan bersedia belajar dari kekalahan. Serta bisa menikmati kemenangan tanpa harus berpuas diri.
…
China
Di China sedikit berbeda. Elit politik sejak 1989 banyak dikuasai oleh insinyur. Tiga pemimpin China terakhir adalah insinyur, yaitu Jiang Zemin, Hu Jintao dan Xi Jinping. Banyak anggota politbiro adalah insinyur, bahkan lulusan AS. Prioritas ekonomi China hingga saat ini adalah industri, bukan keuangan.
Teknokrasi China saat ini merupakan jawaban dari kakunya ideologi dan kekejaman diktator di era Mao Zedong yang menghilangkan nyawa 40 juta orang. Deng Xiaoping muncul 1978 sebagai reformis setelah menaklukkan para loyalis Mao, yang dikenal dengan sebutan the Whateverists. ‘Q: What should we do? A: ‘Whatever Mao would have wanted’.
Di era politik China kontemporer, sikap kultus individu diatas telah berubah menjadi pragmatis. The new Whateverism – ‘Q: What should we do? A: Whatever works.’
Mengingat China bukanlah negara demokrasi, maka tak ada pelajaran yang bisa diperoleh tentang kekalahan dalam argumentasi politis. Menurut Weber, Demokrasi menyebabkan politisi mudah mengantisipasi terjadinya konsekuensi yang tidak diharapkan.
Akan semakin berbahaya bila Teknokrat berkuasa dengan gaya autokrat (autokrat teknokratis), maka mereka akan memperlakukan politik seolah mesin yang bisa dikendalikan. Mereka meyakini bahwa semua kegagalan adalah masalah teknis yang bisa diperbaiki. Alih-alih menerima bahwa kehidupan politik adalah tidak menentu, malahan menggunakan kekuasaan untuk memaksakan kehendak. Dan bila kekacauan itu ternyata tidak bisa dikendalikan, maka risiko chaos bisa terjadi.
Hingga kini, China masih bisa mengendalikan Teknologi Informasi. Internet belum mampu menjadi salah satu penyebab demokratisasi di China. Sebaliknya justru pemerintah China yang menggunakan internet sebagai pagar pembatas untuk mencegah terjadinya demokratisasi.
…
Aristokrasi Baru
Setelah teknokrasi punya peran penting dalam pemerintahan, para elit pengusaha teknologi di Barat pun mulai tertarik untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan. Tentu yang sejalan dengan kepentingan bisnisnya. They’d like to try to do some good. Disadari bahwa perlu adanya dukungan dari politisi untuk mempermudah pencapaian.
Namun, yang terjadi justru mereka berharap untuk bisa terlibat langsung dalam pekerjaan politisi. Melakukan lobby, pembiayaan dan kampanye sendiri. Bukan membiayai politisi. Dan Jeff Bezos pun, pemilik Amazon dari Silicon Valley, telah membeli Washington Post. Media berita harian kondang di AS, yang sedang kesulitan finansial. Tentu dengan harapan bisa mempengaruhi kebijakan. Beberapa sudah mulai terlibat dan mulai mempengaruhi pemerintah di Washington.
Runciman berpendapat bahwa banyak yang tertarik dengan dunia politik, namun tak banyak yang berharap menjadi Politisi. Di dunia yang banyak potensi kemungkinan bisnis, mereka yang merasa punya banyak bekal keahlian teknis, akan cenderung memilih berada di sektor privat. Lebih menguntungkan secara finansial.
Kehidupan Politisi akan selalu ditelisik oleh masyarakat untuk dijadikan bukti kegagalan moralnya, sebagai sandera kepentingan politik pihak lain. Terlebih di era media sosial yang sangat mudah untuk menyebarkan informasi. Politisi harus bekerja keras di lingkungan sosial yang rawan gugatan. Namun tak banyak penghargaan diperolehnya.
Di Inggris, lingkungan politisi banyak terbentuk sejak berada di Perguruan Tinggi. Elit politik Inggris banyak dari universitas Oxford dan Eton (David Cameron, Boris Johnson). Para elit politik dari kedua universitas tersebut, lebih berkesan sebagai bangsawan politik, atau Aristokrat daripada Teknokrat.
Sementara Aristokrasi di Perancis, banyak diasosiasikan dengan Ecole Normale Superieure. Perguruan Tinggi elit dengan mahasiswa yang sudah sangat terseleksi.
Lingkungan politisi seperti diatas ini seperti kembali mengacu pada akhir abad ke-18, dimana menganggap revolusi akan berkualitas bila dipimpin oleh mereka yang dikategorikan sebagai bibit unggul yang tercerahkan.
Intinya adalah, politisi perlu berasal dari mereka yang lolos merit system, sehingga bisa menggantikan Aristokrasi tradisional. Dan, merit system ini tidak hanya diasosiasikan dengan universitas ternama, tapi sekarang sudah bergeser menjadi keturunan keluarga ternama. Kualitas Politis seseorang seolah bersifat genetis. Mulai terjadi di berbagai belahan dunia.
Jika Inggris dikenal pasangan keluarga politisi Ed Balls/Yvette Cooper vs dinasti keluarga Ed Miliband, maka di AS dikenal dinasti Clinton vs Bush. Di Indonesia? Anak cucu para elit politik tersebut, sepertinya juga akan menjadi politikus yang bagus seperti para orangtuanya. Inilah para aristokrasi baru.
Kecenderungan dinasti politik seperti diatas akan berbahaya terhadap pemerintahan. Karena sensitivitas terhadap fenomena sosial akan semakin terbatas, hanya sesuai pandangan keluarga. Terjadi kesenjangan pendapat antara dinasti dengan publik. Kegagalan elit politik dalam mengantisipasi krisis keuangan global 2008, adalah bukti mudahnya kelompok tertutup kehilangan pandangan politik dari sisi yang berbeda (blind spot). Aristokrasi, lama maupun baru, punya potensi political blind spot.
Belajar politik yang terbaik adalah selalu terlibat dalam proses politik, dalam keadaan baik maupun buruk, tanpa meninggalkan jeda sama sekali. Jeda waktu keterlibatan akan sangat berisiko, karena politisi profesional punya kemampuan untuk mengamankan atau mengambil alih kepentingan.
…
3. KEADILAN
Pada bab ini, Runciman memberi gambaran tentang adanya negara-negara yang seolah ditakdirkan sebagai negara miskin, khaos dan penuh kekerasan. Tak terlihat perhatian dunia untuk turut membantu mendamaikannya. Tidakkah ada kewajiban moral bagi negara-negara sejahtera untuk membantunya?
Congo menjadi contoh. Saat ini perang saudara masih berlanjut disana. Dan kekejaman sungguh terjadi ketika Belgia masih menguasainya di akhir abad 19. Sumberdaya alam karet dikeruknya, dan rakyat dipaksa memanennya untuk kepentingan penjajah, Belgia.
Congo tetap menjadi negara miskin, terbelah. Populasi 80 juta orang. Kurang-lebih sama dengan Jerman. Harapan hidup hanya sampai 45 tahun. Tak lebih tinggi daripada Inggris di era Hobbes. GDP per kapita $3.000 per tahun. Sepuluh kali lebih rendah daripada Syria, dan 100 kali lebih rendah daripada Denmark. Jumlah rakyat Afrika yang hidup dengan pendapatan $1.25 per hari, kurang-lebih sama dengan jumlah rakyat di Eropa Barat.
Jelas, ini bukan takdir. Bukan pula karena perbedaan ras. Tapi ini bencana akibat ulah manusia. Ini tidak adil. Hanya karena lahir di Congo, Afrika, seseorang harus hidup menderita akibat dari perbuatan yang tidak dilakukannya. Satu planet, dua dunia.
Mengapa dunia yang katanya saling-terhubung, tak tergerak untuk terlibat memperbaikinya? Lalu, apa maksudnya politik Inklusif?
Denmark sering dianggap sebagai model sistem politik yang ideal yang bisa membangun kesejahteraan warganya. Namun model politik suatu negara tidak bisa sepenuhnya diterapkan pada negara lain.
Rezim Denmark sebagai model negara Kesejahteraan, atau Suriah (sebelum perang saudara), tidak bisa sepenuhnya dipakai sebagai acuan untuk memperbaiki politik Congo. Banyak parameter yang mesti disikapi untuk bisa menggunakan model negara lain. Rejim ‘hybrid’ dengan menggunakan beberapa elemen dari berbagai rejim, mungkin bisa digunakan. Misalnya, gabungan dari rezim demokratis dengan sedikit elemen dari otoritarian.
Abad ke-18 muncul ide cemerlang dari Bapak modern comparative politics, Charles-Louis de Secondat, Baron de Montesquieu, dalam karyanya ‘The Spirit of the Laws’, 1748, yang menganjurkan perlunya pembagian kekuasaan, “Trias Politica”.
Inggris, dalam the Glorious Revolution 1688 menghasilkan perubahan konstitusi, menjadi dua sistem kekuasaan, yaitu Raja dan Parlemen. Parlemen sendiri dibagi menjadi dua kamar (bikameral), Majelis Tinggi (kaum bangsawan) dan Majelis Rendah ( rakyat).
Namun tidak semua negara bisa menerapkan model Inggris begitu saja, karena dua hal:
- Setiap sistem politik suatu negara adalah produk dari kekhususan karakter bangsanya, seperti budaya, geografi, sejarah, iklim dll.
- Kompleksitas Inggris berbeda dengan negara lain, sehingga ‘constitutional monarchy’ menjadi pilihan yang paling tepat.
Menyusun konstitusi bukanlah hal mudah. Montesquieu menganggap konstitusi Turki kurang tepat, sehingga rakyatnya menderita karena tertekan. Kekuasaan tunggal di tangan Sultan. Italia pun menghadapi persoalan yang sama, ketika kekuasaan tunggal ditangan Republikan. Sementara AS, yang konstitusinya juga sudah mengadopsi pemikiran Montesquieu selama dua ratus tahun, masih terus-menerus mengevaluasi secara kritis konstitusinya. Dan tetap merasa belum selesai.
Demokratisasi konstitusi telah banyak dilakukan di berbagai negara, tanpa mundur lagi ke era politik yang kejam dan menakutkan. Demokratisasi konstitusi yang terjadi, meliputi penggantian kepala pemerintahan dari Raja/Ratu, kecuali di Inggris dan negara-negara Scandinavia.
Di AS, warga Inggris Katolik, Yahudi, dan pekerja pria mendapatkan hak penentuan suara di abad ke-19. Hak suara bagi perempuan diperoleh pada abad ke-20. Dan usia pemilih turun dari 20 tahun ke 18 tahun di tahun 1968. Bahkan sekarang sedang diupayakan turun menjadi usia 16 tahun.
Perancis memberi hak suara bagi perempuan di tahun 1945. Sementara Swiss baru memberikan hanya di tahun 1971. The European Court of Human Rights sedang mengupayakan para tahanan di penjara bisa mendapatkan hak suara dalam pemilu. Inggris masih berkeberatan. Jepang dan Polandia juga berkembang cepat dalam melakukan demokratisasi konstitusi. Demikian juga terjadi di negara-negara lainnya.
Masyarakat di era demokrasi saat ini semakin sadar untuk menuntut supaya hak-haknya dijamin oleh konstitusi. Diskriminasi terhadap ras, agama, gender, orientasi seksual, mulai sering dituntut untuk dihapuskan. Atau setidaknya dibatasi atau dikurangi. Perkembangan luar biasa terjadi dalam demokratisasi politik sejak era Montesquieu.
Sepakat dengan pendapat ahli ekonomi politik Daron Acemoglu dan James Robinson dalam bukunya “Why Nations Fail” bahwa kunci untuk mencapai kesejahteraan yang stabil dan berkelanjutan adalah bila ada perubahan dari rejim ekstraktif ke rejim inklusif.
- Politics works when it is ‘inclusive’: i.e., when people with power still have good reasons to take account of what others want.
- Politics does not work when it is ‘extractive’: i.e., when people with power see it as an opportunity to take what they can get while they have the chance.
Kutipan dari novel Anna Karenina karya Leo Tolstoy, yang filmnya bisa dinikmati di Netflix:
“All happy families are alike, whereas every unhappy family is unhappy in its own particular way”.
Menurut Runciman, ini berbeda dengan kategori bahagia dalam politik. Ketidak-bahagiaan rakyat di suatu negara adalah relatif sama, akibat eksploitasi. Sementara kebahagiaan, bisa diperoleh dalam bentuk yang berbeda-beda.
Namun sejarah menunjukkan bahwa negara Inklusif cenderung berkembang menjadi Eksklusif. Negara-negara inklusif, sejahtera dan relatif stabil, cenderung ekspansif, menguasai mereka yang terpuruk, eksklusif di Afrika, Timur Jauh, dll.. Sejarah kolonialisme negara-negara Eropa menunjukkan hal tersebut.
…
Francis Fukuyama
Runtuhnya era komunis dan totalitarianism di Eropa Timur terjadi di 1989. Dan Demokrasi Liberal menjadi pemenang. Setidaknya demikianlah anggapan Francis Fukuyama dalam bukunya ‘The End of History and The Last Man’.
Namun, menurut Runciman, ada kekhawatiran Fukuyama bahwa tanpa alternatif ideologi yang setara, kebangkitan Demokrasi ini akan mudah menjadi lemah juga.
Demokrasi muncul bukan karena banyaknya kebaikan, melainkan lebih karena kurangnya keburukan, dalam dirinya. Bahkan Churchill pernah berkomentar tentang Demokrasi ini di tahun 1947, ‘the worst system of government apart from all the others that have been tried from time to time’.
Demokrasi modern menjadi akar dari “politik pengekangan” (a politics of restraint). Bagus untuk mencegah persoalan politik menjadi lebih buruk.
Fukuyama berpendapat bahwa memahami kekecewaan individu merupakan kunci untuk memenuhi kepuasan rakyat, dalam Demokrasi.
Democracy lets people let off steam, which stops them boiling over.
Yang terjadi setelah Fukuyama menerbitkan The end of history adalah “politik pengekangan” tidak menunjukkan hasil yang diharapkan. Kesenjangan sosial sejak berakhirnya Perang Dingin, justru semakin lebar dan tidak bisa diselesaikan dengan Demokrasi.
Kelompok orang terkaya di AS, 0,01%, sebanyak 16.000 keluarga, menguasai hampir 5% total kekayaan Amerika (masing-masing $23 juta). Golongan terendah (miskin) tidak menjadi lebih baik sejak satu generasi yang lalu. Dan golongan menengah justru semakin menderita. Wages have stagnated while investment income has boomed.
“Politik Pengekangan” (a politics of restraint) juga mencegah para politisi untuk menyalahgunakan kekuasaan. Namun sayangnya, justru tidak memperkuat politisi untuk bisa melindungi rakyat dari ketidakadilan ekonomi. Akibatnya, Demokrasi Liberal justru memperbesar kesenjangan ekonomi.
Masyarakat Demokrasi modern punya banyak kesempatan untuk melawan persoalan politik, namun sering kekurangan sumberdaya untuk mengubah ketidakpuasan menjadi aksi kolektif. Dan perubahan struktural yang terjadi, biasanya sedikit menyebabkan guncangan politik.
Guncangan setelah Great Depression, di AS menyebabkan sedikit perubahan ke arah welfare state. Sedangkan guncangan politik di Eropa setelah kekelaman PDII, menyebabkan pergeseran ke arah egalitarian welfare state.
Tanpa guncangan dan kekacauan, hanya akan menyebabkan Demokrasi Liberal terseret ke arah ketidakadilan. Lalu bagaimana? Disini Runciman sedikit ‘mengipas’ pembaca, yaitu:
… to hope for a fresh disaster to shake up the system.
The crash of 2008 was bad, but so far not bad enough to bring about structural change. So we would need something worse. Something worse than 2008 would have to be very bad indeed.
Perlu ada alternatif lain.
Dua alternatif penyelesaian Kesenjangan, ditawarkan buku ini melalui:
- John Rawls. Penyediaan sistem asuransi nasional untuk melindungi (protection) warga dari kemiskinan. Tentu dibutuhkan biaya.
- Penguatan kalangan bawah sehingga mempunyai kekuatan politik (power), untuk melawan eksploitasi dari kalangan atas/kaya. Ide dasar classical republicanism adalah rakyat membutuhkan Kekuasaan (Power), bukan hanya Perlindungan (Protection).
Politik Keadilan Netral tidaklah cukup untuk menangkal kesenjangan. Dan meskipun Machiavelli dianggap sebagai pemikir pre-modern, namun ide Republikan masih relevan di era modern untuk menanggapi persoalan Dominasi satu pihak ke pihak lain (perempuan oleh laki-laki, miskin oleh kaya, anak-anak oleh dewasa). Sehingga dibutuhkan adanya bekal kekuatan politik untuk melawannya.
Kekuatan politik tersebut tidak cukup hanya Rights to Vote. Melainkan juga akses terhadap informasi, komunikasi, pendidikan, dan keterwakilan. Termasuk di dalamnya adalah keberadaan institusi sosial seperti Serikat Pekerja dan perangkat kesejahteraan, seperti Jaminan Kesehatan dan Perlindungan Anak-anak, gratis.
Ide Anti Dominasi ini sebetulnya adalah politik Konfrontasi, turunan dari Republicanism Machiavelli. Lebih bagus daripada ide Demokrasi Liberal yang cenderung meninggalkan yang kalah. Bahkan lebih bagus daripada ide Rawls, karena tingginya tuntutan dan partisipasi politik. Dan Republicanism cenderung tidak cocok di negara-negara Demokrasi modern.
Dalam upaya mengatasi kecenderungan meningkatnya kesenjangan sosial, muncul Demokrasi Populis sebagai alternatif.
Venezuela, di akhir hayat kepemimpinan Hugo Chavez 2012, menjadi negara dengan angka kesenjangan terendah di Amerika Latin. Namun, banyak hal harus dikorbankan untuk ‘memoles kekumuhan’. Perebutan kekuasaan, penyalahgunaan konstitusi, dan provokasi kemarahan rakyat. Pemborosan anggaran melebihi pendapatan dari kekayaan minyak yang dihasilkan. Venezuela menjadi negara yang lebih setara, namun dengan kekuasaan yang lebih sewenang-wenang.
“One sort of justice the redistributive kind at the expense of the other sort the procedural kind”. Dua hal yang sulit dilaksanakan dalam Demokrasi Populis bergaya Chavez.
Dari sisi yang berbeda, demokrasi India telah berlangsung lama, sejak 1947, dengan konstitusi yang banyak terinspirasi dari negara-negara Barat. Konstitusi yang rumit dan banyak tumpang-tindih yurisdiksi. Antara politik pusat vs lokal, politisi vs birokrat, demokrasi populis vs rule of law. Alhasil, menyebabkan politik yang tidak efisien dan represif. Namun India tetap menjalankan Demokrasi Konstitusional tersebut hingga mampu mengakhiri kelaparan nasional akut. Namun gagal mencegah terjadinya Kesenjangan Sosial.
Ekonomi India tumbuh tidak proporsional. Kelas Menengah tumbuh cepat, dan kekayaan nasional banyak dikuasai kelompok kecil. Sementara mayoritas penduduk dilanda kemiskinan. Demokrasi India belum mampu mengatasi kesenjangan keadilan struktural.
Menurut Amartya Sen dan Martha Nussbaum, Demokrasi Liberal konvensional tetap dibutuhkan namun perlu ditambah dengan fungsi-fungsi politis lainnya (teori Capabilities) seperti akses pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender.
Sayangnya, sampai saat ini ide Neo-Republicanism hingga Teori Capabilities Sen-Nussbaum belum berhasil. Dan masih hanya menjadi teori belaka.
Dari perjalanan sejarah perkembangan berbagai model politik Demokrasi, ada satu hal penting yang bisa dijadikan acuan baru, yaitu teori ‘Democratic Peace’. Ini adalah ide bahwa dimanapun Demokrasi berada, tidak ada perang. Karena Demokrasi memang tidak menginginkan adanya peperangan.
Immanuel Kant, filsuf Jerman akhir abad 18, menyatakan bahwa jalan kedamaian abadi, tanpa peperangan, berada pada pada landasan politik Republican, yaitu “politics of constitutional restraint” (politik pengekangan konstitusional). Bila rakyat, sebagai pembayar pajak, mampu menahan nafsu pemerintahnya untuk berperang, maka Kedamaian akan tercapai.
Kant mengakui bahwa jalan menuju perdamaian memang tidak mudah, namun tetap harus ditempuh melalui jalan Demokrasi. Dan di awal abad 21, AS dibawah Presiden George W. Bush melakukan aneksasi bersenjata ke negara lain untuk menyebarkan demokratisasi.
Logika yang dipergunakan adalah bahwa bila Demokrasi berarti ketiadaan perang, maka mengekspor Demokrasi dengan kekuatan bersenjata, akan melipatgandakan keuntungan. Maka perang untuk menyebarkan Demokrasi dapat dilihat sebagai investasi perdamaian untuk masa depan.
Dengan dua tujuan sekaligus, yaitu memerangi terorisme, dan menanam benih Demokrasi, Afghanistan dan Iraq menjadi target aneksasi bersenjata AS untuk dua kepentingan tersebut. Gagal. Benih Demokrasi yang sudah menyebar dimana-mana, ternyata tidak mampu memerangi terorisme.
Menurut Runciman, negara besar dan kuat dalam era politik modern, tidak memiliki intensi untuk berperang. Dan semakin kuat mereka, semakin kecil hasrat berperang yang mereka miliki.
AS adalah negara besar dengan kekuatan peralatan perang modern yang juga sangat besar. Jejak kekejian brutal sejarah peperangan AS telah banyak membuktikan. Demokrasi memang tidak menghendaki peperangan, namun bila harus terjadi, negara-negara demokratis besar tersebut akan sulit dikalahkan. Mungkin alasan tersebutlah yang membuat demokrasi enggan berperang satu sama lain. Kehancuran yang menakutkan.
Sehingga, “The democratic peace may not be proof of how nice democracies are. It may be evidence of how nasty they can be”. Beginilah contoh keburukan (negative) dari democratic peace theory.
Ada hal-hal positif dari Demokrasi Liberal ini yang bisa ditawarkan, yaitu: free trade (perdagangan bebas) dan pergerakan barang dan orang di antara mereka. Namun tak sepenuhnya terbukti. Turki tetap gagal untuk bisa bergabung dengan EU. Dan Perdagangan Bebas seringkali belum memberikan keuntungan yang seimbang bagi para pihak.
Demokrasi yang melakukan pergerakan barang dan orang secara bebas diantara mereka, akan menyebabkan perlakuan yang tidak baik pada pihak lainnya. Sangat mungkin ini terjadi di Eropa Barat.
…
Berbagi
Setelah melihat adanya berbagai kesulitan untuk mencapai kesetaraan melalui politik, muncul ide untuk mengupayakannya langsung tanpa Politik, dengan alasan:
- Praktis. Tanpa mesti melalui politik
- Kesenjangan global merupakan kegagalan moral dan juga kegagalan politik.
Pembiaran adanya banyak kesenjangan dan penderitaan, sementara ada pihak-pihak yang memiliki sumberdaya berlebih, dapat dipandang sebagai bentuk kejahatan. Persoalan pun muncul ketika trust rendah dari penyumbang terhadap pihak yang terlibat dalam distribusi bantuan. Pemenuhan tuntutan moral yang digagalkan oleh persoalan politik.
Bantuan langsung dari suatu negara ke negara lain sering diragukan keberhasilannya. Terlebih apabila negara berada dalam instabilitas politik dan korupsi tinggi. Kombinasi dari ketidakpedulian negara kaya dan instabilitas negara miskin bagaikan neraka bagi bangsa yang sedang terpuruk.
Runciman berpendapat bahwa negara-negara kaya tidak banyak bertindak untuk keperluan negara miskin dengan alasan:
- Negara dengan sumberdaya berlebih, tidak berada dalam risiko tinggi keterpurukan
- Negara kaya tidak percaya bahwa donasi akan diterima sepenuhnya oleh mereka yang membutuhkan
- Ancaman masa depan (climate change) dianggap tidak nyata. Menurut The Economics of Climate Change: The Stern Review, 2006, dibutuhkan alokasi 1% per tahun dari GDP negara-negara kaya untuk membiayai Perubahan Iklim.
The time horizons of successful democracies tend to be as shrunken as their geographical ones.
…
Pemerintahan Global
Alih-alih mengesampingkan Politik, Runciman justru memancing diskusi dengan menawarkan alternatif politik Satu Negara Global (world state). Satu negara besar dan kuat, diharapkan bisa menguasai dan membuat kesepakatan dengan banyak pihak. Ide satu negara besar ini memang sudah ada sejak terjadinya banyak pertikaian antar negara di planet ini.
Immanuel Kant di akhir abad 18, pernah mempertimbangkan ide World State ini. Namun menurutnya terlalu besar, rumit dan terlalu sulit akses ke warganya bila berada jauh dari pusat pemerintahan. Kant juga berpendapat bahwa bagaimanapun canggihnya suatu jaringan komunikasi dan perdagangan terbentuk antar negara, tetap masih banyak perbedaan besar antar negara yang bisa diakomodasi dalam satu model struktur politik. World government remains a bad idea.
Ide World State ini seperti mengakomodir hukum Hobbes tentang “the state of nature” sebagai pandangan politik. Mengasumsikan suatu negara sebagai individu manusia, dimana untuk mencapai perdamaian, pihak yang lemah akan menyerahkan haknya. Pengandaian yang tidak tepat. States are not like natural human beings. Negara tidak akan mudah menyerah.
Harapan Runciman akan tercapainya perdamaian di berbagai belahan dunia dinyatakan dengan ungkapan sbb.,
Peace promotes easy options. Easy options encourage bad politics. Bad politics threatens disaster. Disaster invites political salvation. It is a precarious business. Given time, and luck, we may get there without anything too terrible happening.
…
PENUTUP
Societies that fail to adapt to the challenges they face eventually fall apart.
Francis Fukuyama menyatakan bahwa Demokrasi Liberal adalah bentuk akhir dari sejarah peradaban. Benarkah? Atau nasibnya tak berbeda dengan reruntuhan Parthenon sebagai peninggalan kejayaan Yunani? Atau runtuhnya patung Lenin di Moscow.
Runciman optimis bahwa Demokrasi sekarang ini akan berbeda dengan kejayaan kekuasaan masa lampau yang rapuh, karena:
- Negara-negara sukses saat ini, mempunyai akses terhadap sumberdaya yang tidak sepenuhnya diperoleh oleh negara-negara gagal tersebut. Lebih kaya, lebih berpendidikan, lebih banyak informasi, lebih sehat dan lebih panjang umur. Perubahan dan penemuan baru pun cepat terjadi.
- Demokrasi modern per definisi berlangsung adaptif. Politics of restraint. Bila Demokrasi membuat kesalahan, maka sistem dengan sendirinya akan memperbaiki dirinya dengan keseimbangan baru. “The politics of restraint has proved good at correcting for the most serious errors of judgement that politicians can make”.
Namun demikian, kelemahan pun tetap ada, karena:
- Di era masyarakat jaringan, nasib negara Demokrasi pun tergantung pada kondisi politik negara-negara lain. Artinya, kesalahan di satu negara akan berdampak pada negara lainnya.
- Sejarah kesuksesan suatu negara di masa lalu, bukan jaminan keselamatan di masa depan. Karena tantangan selalu berbeda. Formula penyelamatan krisis finansial di masa lalu, belum tentu tepat untuk penyelesaian kasus yang sama di masa kini.
- Berbagai kesuksesan tersebut bisa membuat para politisi terlena, berpuas diri bahkan arogan, karena terlalu percaya diri bahwa sistem Demokrasi akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan politik dengan sendirinya. Kelenturan sistem Demokrasi yang adaptif memang terbukti mampu menghadapi berbagai tantangan. Selamat dari Great Depression, Fasisme dan Komunisme. Bahkan mampu memberikan hak warga untuk memilih pemimpinnya.
Di akhir bukunya, Runciman berpesan untuk selalu waspada, karena hal-hal buruk masih bisa terjadi. Perlu disadari masih adanya risiko yang mungkin timbul akibat interkonektivitas global, berbagai konsekuensi jangka panjang akibat tindakan kita saat ini, serta semakin besarnya rasa puas diri terhadap apa yang sudah dicapai oleh politik.
Memanfaatkan sebaik-baiknya lembaga-lembaga perwakilan negara modern, menjadi alternatif bagus untuk menghadapi tantangan masa depan. Selain itu, institusi-institusi negara juga harus semakin diberdayakan keberadaannya.
Tidak ada yang mudah dalam hal ini. Dan kutipan kalimat terakhir dalam buku ini adalah,
“Politics still matters”.
…
KOMENTAR
Sebagai insan awam politik, buku ini sangat mencerahkan. Meningkatkan sikap kritis untuk mempelajari lebih lanjut. Khususnya pendapat para Pemikir klasik yang disebut dalam buku ini, seperti Hobbes, Machiavelli, Weber, Rawl, Kant, dll. Juga memancing tanya tentang kaitan dari banyak hal diatas dengan situasi politik tanah air saat ini, seperti isu Dinasti Politik, legalisasi kekerasan moral (baca How Democracies Die karya Levitsky dan Ziblatt), dll.
Tentu tak cukup hanya satu buku ini yang bisa digunakan sebagai pisau bedah situasi politik nasional. Namun setidaknya bisa menjadi pengantar untuk mengkritisi situasi tersebut. Tanpa mesti menyetujuinya.
Last but not least, film seri “Borgen” di Netflix bagus untuk dinikmati. Tentang praktek politik di pemerintahan Denmark.
…
Tautan: