Nama Diponegoro selalu bergaung di kepala sejak kecil. Bayang surban dan jubah putih berkibar terlihat gagah, pejuang bangsa yang tegap duduk di atas pelana kuda dengan keris menyelip dalam sabuk di atas perutnya. Film November 1928 karya Teguh Karya yang dibintangi oleh Slamet Rahardjo dan Yenny Rachman, cukup mengobati kerinduan visual terhadapnya. Atau, justru membatasi ruang imajinasi dan pemahaman sejarah ?
Tiga buku tentang Diponegoro terbit hampir dalam kurun waktu yang sama. Satu buku terjemahan bahasa Jawa “Pangeran Dipanegara” yang merupakan karya asli Pangeran Diponegoro yang ditulis di Manado, dan dua buku karya Peter Carey, “Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 – 1855” dan “Sisi lain Diponegoro: Babad Kedung Kebo dan Historiografi Perang Jawa“, sangat membantu pemuasan diri terhadap keingin-tahuan tentang Pangeran Diponegoro, yang ditangkap Belanda di Magelang pada 28 Maret 1830.
Takdir adalah karya Carey yang menjelaskan tentang Diponegoro berdasar Babad Diponegoro yang ditulisnya sendiri (1831-1832) saat berada di pengasingan Manado dan sepertinya menjadi dasar pengetahuan umum masyarakat kita selama ini, sedangkan Sisi Lain Diponegoro (SLD) adalah buku Carey setebal 270 halaman, yang ditulisnya berdasar studi terhadap Babad Kedung Kebo, karya Cokronegoro, bupati pertama Purworejo, dan Pangalasan, panglima perang Diponegoro untuk wilayah Bagelen (awal 1840an), yang kemudian justru menjadi lawan perangnya. Buku “Sisi Lain Diponegoro” lebih dulu dapat saya selesaikan membacanya, berhubung dalam format eBook yang bisa dibeli dari aplikasi android Scoop dan mudah dibaca dimanapun kita berada. Tulisan ini adalah komentar dan suntingan dari buku tersebut, sedangkan buku Takdir, dalam format hard copy setebal 512 halaman akan dibuatkan tulisannya dalam blog ini secepatnya.
Unik, itu yang bisa dirasakan ketika membaca buku Sisi Lain Diponegoro. Terbayang kesulitan Carey dalam melakukan studi tentang Diponegoro. Babad bukanlah sejarah kejadian faktual dimasa lalu, yang tersusun rapi dalam bentuk buku dengan kejelasan waktu, kejadian dan pelakunya; melainkan kumpulan cerita atau opini penulisnya dalam bentuk puisi atau tembang yang seringkali tanpa penunjuk waktu. Condro sengkolo atau simbol waktu dalam bahasa jawa, digunakan sebagai penunjuk waktu, yang membutuhkan keahlian penafsiran tersendiri. Kepekaan dan pengetahuan terhadap budaya Jawa, termasuk pengetahuan dalam hal pewayangan menjadi prasyarat utama untuk dapat menjelaskan isi Babad Diponegoro ini.
Kutipan dari buku Takdir menyatakan bahwa sejarawan militer Belanda, PJ.F. Louw (1856-1924), yang menjadi penulis mitra mahakarya tentang Perang Jawa, De Java-Oorlog van 1825-30 (1894-1909) menyatakan:
“Tanpa keraguan kita harus menghargai Babad Diponegoro begitu tinggi sehingga dengan gamblang kita bisa mengatakan bahwa suatu tulisan sejarah tentang Perang Jawa yang tidak menggunakan babad sebagai sumber utama harus dicap sangat kurang lengkap”.
Kutipan ini dijadikan rujukan oleh Carey untuk menggunakan Babad sebagai sumber utama studi tentang Diponegoro, meskipun ahli sejarah Profesor Sartono menganggap Babad itu bukanlah sejarah, melainkan sejenis dongeng, cerita turun-temurun atau hikayat. Bila anda berasal dari Jawa dan sering menikmati acara sandiwara ketoprak, maka cerita kerajaan Jawa semacam inilah mungkin yamg dimaksud oleh beliau sebagai dongeng tersebut.
Susunan penulisan buku Sisi Lain Diponegoro ini, Carey menyajikannya dalam tiga bagian, yaitu bagian 1 mengenai Ekologi Kebudayaan Jawa, yang menjelaskan tentang pentingnya peranan Wayang dalam kebudayaan Jawa. Cerita tentang wayang ini ternyata penting sekali dalam kehidupan masyarakat Jawa pada masa itu, bahkan Diponegoro mangasosiasikan dirinya dengan Arjuna yang halus dan tegas juga suka bertapa, sementara Cokronegoro menganggap Diponegoro lebih cocok dengan karakter Suyudono (Kurawa) yang tewas ditangan Bima. Bagian 2 tentang perbandingan rujukan Babad Kedung Kebo karya Cokronegoro dan Pangalasan, serta Bagian 3 adalah Epilog yang menjelaskan tentang sejarah kota Puworejo, dimana Cokronegoro menjadi Bupati pertama.
Menurut kajian Carey, secara singkat ada tiga kelompok Babad Diponegoro:
1. Babad Diponegoro
Merupakan otobiografi sang Pangeran sendiri, yaitu Babad Diponegoro. Babad ini ditulis di Manado dalam kurun waktu sembilan bulan (13 November 1831-3 Februari 1832). Diponegoro sempat menceritakan sejarah Jawa dan riwayatnya hingga di pengasingan. Sepertiga dari Babad ini menyangkut sejarah Jawa dari Prabu Brawijaya V (Bhre Kertabhumi) (wafat 1478) hingga sebelum kelahiran Diponegoro pada 11 November 1785. Sisanya menggambarkan kehidupannya serta keadaan zamannya sampai awal masa pengasingannya di Manado (1830-1833). Diduga Diponegoro menceritakan riwayat hidupnya kepada seorang juru tulis yang menulis babad asli dalam bentuk tembang macapat.
Babad Diponegoro merupakan sumber sejarah Jawa yang paling terkenal dan sekarang sudah diakui sebagai Warisan Dunia (Memory of the World) oleh UNESCO (18 Juni 2013). Salah satu sebab, babad ini telah diterjemahkan serta diterbitkan menggunakan aksara Jawa oleh penerbit di Surakarta sebelum Perang Dunia I. Namun sampai sekarang belum ditemukan naskah aslinya, dan semua referensi yang digunakan di dalam buku pendek ini berasal dari salinan yang belakangan dibuat di Surakarta dan yang sekarang dapat ditemukan di Perpustakaan Universitas Leiden.
2. Babad Kedung Kebo
Buku Sisi Lain Diponegoro ini lebih fokus menjelaskan tentang Babad Kedung Kebo, yang ditulis pada awal 1840-an hingga 1843, atas prakarsa bupati perdana Purworejo (pra-1831, Bupati Brengkelan), Raden Adipati Ario Cokronegoro I (menjabat 1831-1856), antara 1842 dan 1843. Kemungkinan besar bahwa seorang mantan komandan pasukan Diponegoro, Basah Pengalasan (sekitar 1795-pasca-1866) juga ikut menyusun kitab tersebut. Bagelen terletak di sisi timur Kali Bogowonto, yang berfungsi sebagai tangsi militer Belanda selama Perang Jawa. Setelah Perang Jawa, nama Kedung Kebo dipertahankan sebagai tangsi militer, tapi nama hoofdplaats (kota administratif) diubah dari Brengkelan menjadi Purworejo pada 26/27 Februari 1831.
Berbeda dari isi otobiografi Pangeran Diponegoro, babad ini bukanlah suatu pembenaran untuk berperang melawan Belanda, sebaliknya justru untuk membenarkan tindakan Cokronegoro yang bergabung di pihak Belanda melawan pasukan Diponegoro.
Di bagian awal Babad, gambaran sang Pangeran dapat dikatakan masih positif: ketaatan agamanya dikagumi, walaupun keterlibatan masyarakat agama dalam peristiwa politik dikritik keras. Memang ada dikotomi dalam sikap penulis Babad Kedung Kebo terhadap Diponegoro. Ini memperkuat teori bahwa Babad ini merupakan karya dua orang, sang bupati perdana Purworejo dan panglima Pangeran di Bagelen timur, Basah Pengalasan. Mungkin yang terakhir berkontribusi paling banyak mengenai riwayat Pangeran sebelum Perang Jawa.
Tradisi lisan Jawa menyebutkan bahwa Diponegoro maupun Cokronegoro, belajar tasawuf dan ajaran tarekat Shattariyah kepada guru agama yang sama sebelum meletusnya Perang Jawa, Kiai Taptojani dari Mlangi. Namun pada akhirnya justru bermusuhan ketika terjadi Perang Jawa. Cokronegoro beranggapan bahwa pencapaian spiritual Diponegoro memang besar. Namun kegagalan akhirnya harus diderita sang Pangeran. Keputusan Cokronegoro untuk berperang melawan Diponegoro digambarkan sebagai hasil pemahamannya atas kelemahan mendasar Diponegoro karena paduan karakter mental dan spiritualnya. Dalam babad, sikap ini diterangkan dalam konteks pandangan budaya Jawa yang tradisional dan pemahaman kosmis. Ada tiga buah tema utama yang ditemukan dalam Babad Cokronegoro:
- penggambaran sebelum meletusnya Perang Jawa, dan tanda serta keajaiban yang diterima oleh Diponegoro dan penasihat spiritualnya;
- setelah meletusnya perang, ada isu dari pembicaraan rakyat mengenai ramalan Joyoboyo dalam kaitannya dengan masalah kedatangan Ratu Adil; dan
- pada bagian akhir Babad ada gambaran wayang yang digunakan untuk mengukuhkan pandangan kritis tersebut terhadap pribadi pemimpin Perang Jawa.
Beberapa pertanda spiritual, yang telah diterima Diponegoro sebelum meletusnya Perang Jawa, menurut Cokronegoro banyak mengungkapkan sikap pribadinya yang menunjukkan sifat pamrih, dan kegagalan Diponegoro dapat dikaitkan dengan motif untuk melakukan pemberontakan yang tidak murni atau dipengaruhi oleh kepentingan serta ambisi pribadi. Pesan serupa juga disampaikan oleh Ki Ageng Selo, yang memperingatkan tentang bahaya yang akan ditimbulkan oleh sifat pongah (takabur).
Kemudian, ketika menjelaskan Diponegoro di markas pertama di Selarong (21Juli-5 Oktober 1825), secara eksplisit Cokronegoro mengemukakan bahwa Diponegoro terpengaruh oleh sifat kesombongan (kagepok takabur). Menurut Cokronegoro, Pangeran telah melupakan peringatan yang telah diberikan oleh Tuhan sebelum pecahnya perang. Dengan demikian Dia mengeluarkan murkaNya sebagai akibat dari perbuatannya. Di samping itu ia juga disesatkan oleh Kiai Mojo. Penasihat agama utama itu mendesak Diponegoro untuk memproklamasikan dirinya sendiri sebagai sultan pada saat yang tidak tepat.
Kelemahan fatal dari kepribadian spiritual Diponegoro ini dipertegas Cokronegoro dalam gambaran wayang yang ditulisnya di akhir Babad, bahwa Diponegoro disamakan dengan Prabu Suyudana, pemimpin kaum Kurawa, yang sombong dan tergoda pamrih, atau dengan kata lain ia menyatakan bahwa seorang yang memiliki kemampuan untuk menjadi penguasa yang besar, akhirnya mengalami kehancuran akibat kesombongannya. Dengan cara yang sama, sebagaimana ia menolak tuntutan Diponegoro atas kebangsawanannya, Cokronegoro juga menolak pendapat bahwa Pangeran tersebut memenuhi ramalan Joyoboyo tentang kedatangan sang Ratu Adil. Carey menulis rinci tafsir pewayangan terkait para aktor Perang Jawa, termasuk peran Diponegoro dalam Babad Kedong Kebo ini. Menarik.
Dengan memasukkan contoh wayang ini dalam kitabnya, Cokronegoro telah berhasil dengan baik memperlihatkan kekagumannya kepada Pangeran Diponegoro, sekaligus membenarkan tindakannya melawan Pangeran selama Perang Jawa.
3. Babad Surakarta
Babad Keraton Surakarta (selanjutnya: Babad Surakarta), menceritakan kejadian menjelang dan pasca Perang Jawa pada 20 Juli 1825, sudah diterbitkan sebagai edisi asli dengan huruf Romawi dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan Melayu Indonesia oleh penulis sewaktu menyiapkan disertasi doktoral di Oxford pada 1975 (Carey 1981). Walaupun Babad ini hanyalah sebagian dari satu naskah keraton yang lebih panjang, ia tetap merupakan dokumen yang paling sesuai dengan masanya. Salinan Babad ini bisa ditemukan di Perpustakaan Universitas Leiden (LOr 2114) dan agaknya dibuat untuk sekolah bahasa Jawa yang didirikan oleh ahli bahasa Jawa dan misionaris Kristen berkebangsaan Jerman, J.F.C. Gericke (1798-1857), di Surakarta pada 1832.
Babad Diponegoro versi Keraton Surakarta, berbeda dengan kedua babad utama yang ditulis tokoh utama Perang Jawa, yaitu Babad Diponegoro dan Babad Kedung Kebo. Ini karena Babad Surakarta merupakan fragmen dari sebuah Babad Keraton yang jauh lebih panjang. Babad yang lengkap itu boleh dikatakan sudah hilang.
Sikap terhadap Diponegoro yang diperlihatkan oleh penulis Babad ini sangat mencerminkan nilai-nilai yang dimiliki oleh seorang pejabat keraton. Demikianlah misalnya, pandangannya tentang hubungan yang dijalin Diponegoro dengan santri. Hubungan ini mendapat celaan dalam Bharatayuda dan penulis naskah melontarkan keraguannya mengenai kesungguhan keyakinan keagamaan Pangeran. Ucapan yang dimasukkannya ke dalam mulut Residen Smissaert mungkin sekali mencerminkan sikap penulis babad dan kalangan bangsawan keraton Jawa terhadap sang pemimpin Perang Jawa. Biarpun banyak yang mengagumi sikap tegas yang diperlihatkan Diponegoro saat menghadapi Belanda, mereka tetap memandang dengan perasaan amat tidak rela hubungannya dengan para santri.
Teks keraton Kasunanan ini juga menggambarkan perbandingan yang paling dekat antara Diponegoro dan sosok Ratu Adil sendiri. Perbandingan ini juga ditemukan pada semua laporan yang ada dalam kesusastraan Jawa. Oleh karena itu, babad merupakan sumber paling sezaman yang tersedia. Tampaknya harapan akan munculnya seorang Ratu Adil memang tersebar secara luas menjelang perang dimulai di Jawa bagian tengah-selatan. Gambaran yang diberikan mengenai keruntuhan kehidupan masyarakat serta tata susila keraton sangat jelas. Meskipun dikemukakan dengan istilah yang sangat tradisional, gambaran dari masa yang menandai kedatangan seorang Ratu Adil dalam Bharatayuda mirip sekali dengan apa yang terdapat dalam Serat Cabolang yang ditulis di Keraton Kasunanan Surakarta sepuluh tahun sebelumnya (1815).
Babad mencerminkan bagaimana Diponegoro telah dipandang oleh anggota masyarakat keraton Jawa sebelum perang. Maka naskah versi Surakarta bisa dipakai sebagai salah satu pembanding yang bermanfaat bagi otobiografi Babad Diponegoro, yang memberikan pandangan Pangeran sendiri, serta Babad Kedung Kebo yang ditulis dari sudut kritis seorang lawannya.
Pewayangan
Berbeda dengan Babad Kedung Kebo, dimana Cokronegoro mengasosiasikan Diponegoro sebagai Prabu Suyudono dari kerajaan Kurawa, Carey berpendapat bahwa di dalam Babad Diponegoro, yang ditulis sendiri atau atas perintah Diponegoro di Manado (1831-1832), terdapat berbagai bagian dari tulisannya yang memberikan petunjuk bahwa sesungguhnya ia sendiri merasa lebih cocok dengan karakter Arjuna, saudara ketiga dari lima bersaudara keluarga Pandawa, yang berperilaku tenang namun tegas, juga gemar akan bertapa dan pusaka. Dari semua naskah yang dibaca oleh Diponegoro dan orang-orang sekelilingnya di Tegalrejo, sepertinya cerita Arjunawiwaha-lah yang memberikan pengaruh yang paling besar kepadanya. Personifikasi Arjuna dalam dirinya terlihat pada tindak laku spiritualnya dengan seringnya melakukan pengasingan diri (bertapa) dengan tujuan untuk menyucikan diri agar di kemudian hari dapat menjalankan suatu pemerintahan spiritual.
Gambaran wayang juga kembali memainkan peranan menarik dalam Babad Keraton ini. Mungkin sekali banyak adegan dalam naskah Babad Surakarta ini telah diinspirasi oleh pertunjukan wayang orang yang sempat dilihat oleh penulis babad di keraton Surakarta.
Peran Sultan Agung dan Wali Songo
Selain kisah pewayangan Arjuna yang banyak mempengaruhi karakter dan pengembaraan spiritual Diponegoro, kehidupan Sultan Agung dan Wali Songo punya peranan sangat penting dalam keislamannya.
Relevansi Sultan Agung untuk Diponegoro, pertama adalah sang Pangeran merasa ada kemiripan situasi yang sedang dihadapinya; dan kedua ia sangat mengagumi kedudukan sang raja Mataram sebagai pelindung spiritual Jawa. Demikian pulalah, di dalam pengembaraan yang dilakukannya pada masa yang lebih dini- yaitu ziarah ke Samudera Selatan pada musim kemarau 1805- Diponegoro menggambarkan bagaimana ia pada suatu waktu mendapatkan ‘wangsit’ dari Sunan Kalijogo yang meramalkan bahwa kelak ia akan menjadi seorang raja. Tetapi bukan sebagai raja biasa tapi lebih sebagai seorang pengawas spiritual bagi semua penguasa duniawi di Jawa.
Carey berpendapat bahwa Diponegoro memang telah mempersiapkan dirinya, secara spiritual, dan kini harus menerima kekuasaan sebagai pemimpin agama Islam di Jawa serta melaksanakan kekuasaan duniawi. Diponegoro memandang dirinya sendiri sebagai seorang pemimpin Islam di Jawa.
Dalam buku ini juga dijelaskan tentang pertikaian Diponegoro dan Kyai Mojo. Berdasar Babad Diponegoro, Kiai Mojo pada 1827, menentang kekuasaan mutlak Diponegoro sebagai pandita-raja, Mojo menganjurkan Diponegoro untuk memilih satu kekuasaan pemerintahan dari empat posisi yang ditawarkannya:
- ratu (raja),
- wali (utusan keagamaan),
- pandita (ahli hukum),
- mukmin (orang-orang yang percaya dan yakin akan kebenaran agama Allah SWT).
Diponegoro menolak. Jika Diponegoro memilih kedudukan ratu, maka Mojo sendiri dapat mengambil gelar wali dan dengan demikian menikmati kekuasaan keagamaan yang mutlak.
Riwayat Hidup Cokronegoro (1779-1862)
COKRONEGORO lahir di Bagelen, sekarang wilayah Purwodadi, 17 Mei 1779, hampir semasa dengan Pangeran Diponegoro, yang lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785.
Cokronegoro pada awal jabatannya sebagai bupati perdana Purworejo (1831-1856) berinisiatif membangun saluran irigasi, yang mengambil air dari Sungai Bogowonto. Saluran ini, yang dikenal sebagai Kedung Putri, mulai dibangun 3 Mei 1832 dengan mengerahkan 5.000 tenaga kerja dan masih berfungsi sampai sekarang dengan kemampuan mengairi sawah seluas 3.800 hektar di sekitar Purworejo. Cokronegoro dan Diponegoro mempelajari ilmu tasawuf serta kebatinan (disiplin spiritual orang Jawa) dari guru yang sama di sebuah desa di luar Surakarta, Kiai Taptojani.
Carey berpendapat bahwa sepertinya tugas Cokronegoro adalah menunjukkan jalan atau jalur di wilayah Bagelen kepada para perwira Belanda serta sekutu-sekutu Jawanya. Ketika semakin kuat perang pada tahun kedua di areal Bagelen timur, ia mengorganisasikan perlawanan setempat dengan memanfaatkan ikatan-ikatan kekeluargaannya yang banyak terdapat di daerah itu. Selama perang, tampaknya Cokronegoro berhasil membuat dirinya disenangi oleh para perwira pasukan Belanda, dan terkesan dengan cara hidup bangsa Belanda, sehingga dengan bangga ia menyinggung dalam Babad bahwa ia telah digambarkan sebagai ‘seorang Belanda’ saat penyerahan tanda jasa.” Dalam hubungan ini, ia benar-benar bertolak belakang dengan rekan se-ilmu tasawufnya, Pangeran Diponegoro, yang memandang hina cara hidup orang-orang Belanda.
Sejarah Cokronegoro dijelaskan oleh Carey dengan sangat rinci, termasuk hubungannya dengan Diponegoro, dan kedekatannya dengan kekuasaan Belanda. Cokronegoro ikut berperang di daerah-daerah Bagelen yang ia kenal sejak masa kecil, dan kadang-kadang memimpin pasukan pribumi (hulptroepen) dari Manado, Ternate, dan Madura, juga di daerah-daerah sekitarnya seperti Kedu Selatan (Gowong, Ledok) dan Kulon Progo (Gunung Kelir).
Diceritakan juga bahwa perang 1829, menyebabkan gugurnya panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang paling disegani dan dihormati, Pangeran Ngabehi, dan kedua anak laki-lakinya-Pangeran Joyokusumo II dan Raden Atmokusumo-di daerah perbatasan antara Bagelen dan Kulon Progo. Kepala ketiga pangeran itu dipancung dan dikirim ke Jenderal De Kock di Magelang sebelum diserahkan ke Keraton Yogyakarta untuk dimakamkan di Pemakaman Pengkhianat di Banyusumurup. Diponegoro ditangkap di Magelang pada 28 Maret 1830.
Riwayat Hidup Basah Haji Ngabdullatip Kerto Pengalasan
(sekitar 1795-pasca-1866)
Selama tahun-tahun terakhir perang (1825-1829), Pengalasan hampir secara khusus beroperasi di Bagelen timur. Bahkan kolonel Cleerens menganggapnya sebagai salah seorang komandan terpenting pasukan ‘pemberontak’ (rebellen) di daerah mancanegara barat itu. Ia tetap dekat dengan Diponegoro dan disebutkan sebagai salah satu dari sejumlah kecil Basah, atau panglima pasukan, yang tetap setia dan berada bersama Pangeran Diponegoro setelah kekalahan yang menentukan di Siluk, di utara bukit-bukit Selarong pada 17 September 1829.
Setelah evakuasi ke barat Sungai Progo, karena kekalahan di Siluk pada 17 September 1829, situasi di medan perang tidak memungkinkan kekuatan Diponegoro bertahan lama, dan pada 25 September 1829 Pengalasan mengirimkan sepucuk surat kepada seorang kerabatnya, Tumenggung Cokrorejo, yang mengungkapkan kesediaannya untuk berpihak kepada Belanda. Inisiatif ini didorong pula oleh Cleerens yang rupanya ingin merangkul Pengalasan sebagai jalur negosiasi dengan Diponegoro. Akhirnya Pengalasan menyerahkan diri kepada Cokronegoro di Benteng Bubutan (Bagelen) tepat pada hari ulang tahun Diponegoro, 11 November 1829, dan tiga hari kemudian ia dibawa untuk menghadap Cleerens di markas sang kolonel di Kedung Kebo di sisi timur Kali Bogowonto. Kendati demikian terdapat kecurigaan bahwa penyerahan dirinya punya motif tersembunyi. Pun, di sisi Belanda, ada yang menduga bahwa sebenarnya Pengalasan diutus sendiri oleh Diponegoro untuk membuka perundingan perdamaian.
Cleerens mengemukakan, Basah yang berumur sekitar 34 tahun itu sering diundang untuk makan ke markas besarnya dan bahwa ia lebih banyak diperlakukan sebagai teman pribadi daripada seorang tawanan: kegemarannya akan anggur dan candu juga ikut disinggung, dan yang lebih penting lagi, perhatiannya pada situasi militer dan diplomatik Turki Osmani selama Perang Ketiga dengan Rusia (1829-1830). Ia tampak berusaha amat keras untuk mengambil hati Komando Tertinggi Tentara Belanda dengan mengorganisasikan perundingan-perundingan perdamaian dengan Diponegoro. Ia berharap, dengan usaha-usahanya itu ia akan mendapat sebuah jabatan dan penghasilan dari Belanda. Dalam hal ini, ia terutama merasa iri terhadap Sentot karena janji yang diberikan Belanda bahwa kelak bisa menjadi pemimpin barisan pribadi. Demikianlah, ia menulis dua surat kepada patih Diponegoro, Raden Adipati Abdullah Danurejo (menjabat 1828-1830), dengan permintaan untuk menghubungi Diponegoro. Dia juga menulis sepucuk surat berupa laporan panjang-lebar kepada Cleerens guna mengutarakan pandangan serta pendapatnya mengenai usul-usul perdamaian yang mungkin akan diajukan oleh Diponegoro jika negosiasi perdamaian dilakukan.
Perjalanan hidup Pengalasan memberikan kesan bahwa ia memang punya kedudukan yang memungkinkannya memberikan sumber langsung mengenai sejarah Yogyakarta dan masa sebelum Perang Jawa. Dia juga pernah terlihat dalam sejumlah pertempuran yang pecah di daerah Yogyakarta pada bulan Juli sampal Oktober 1825, peristiwa yang tidak mungkin diketahui oleh Cokronegoro. Hubungan Pengalasan yang begitu akrab dengan Diponegoro serta anggota keluarganya, yang dapat dipeliharanya sepanjang perang, juga mempunyai makna. Sang Basah seperti berada dalam kedudukan yang khas sehingga dapat menyajikan perincian pribadi Pangeran, sesuatu yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh Cokronegoro.
Hal itu juga diungkapkan terkait sikap terhadap Diponegoro dan Islam. Namun, Pengalasan dapat terus memainkan peran sebagai seorang penasihat dalam penulisan serta penyusunan bagian belakang babad ini karena sang Basahlah yang punya kemampuan memberikan keterangan-keterangan rinci mengenai pasukan Diponegoro yang beroperasi di Bagelen serta daerah-daerah lain. Terutama, hubungannya yang akrab dengan Kiai Mojo mungkin sekali punya arti penting dalam perincian terkait bentrokan dan perpecahan antara Kiai Mojo dan Diponegoro antara September 1827 dan November 1828, yang kemudian berujung dengan penangkapan sang Kiai dan pengikutnya oleh Letkol Lebron de Vexela, di lereng Gunung Merapi, 12 November 1828.
Penutup
Dalam Penutupnya, Carey berpendapat bahwa, walaupun dalam Babad agak sulit menentukan seberapa besar peranan Cokronegoro dalam penulisan dan penyusunannya, sudah jelas bahwa banyak dari bagian terakhir Babad adalah tanggung jawab sang bupati perdana Purworejo itu. Ini menyangkut masalah pertempuran-pertempuran yang berlangsung di Bagelen selama perang (khususnya tahun-tahun terakhir), serta sejarah Purworejo setelah 1830. Namun demikian, Carey terlihat ragu dalam beberapa hal tentang Babad Kedung Kebo ini, misalnya mengenai sejarah Yogyakarta sebelum perang, mengingat sang bupati perdana Purworejo pra-1830 itu seorang pejabat Surakarta. Jadi, informasi mengenai kisah Pangeran Diponegoro sebelum perang didapatkan dari mana? Lagi pula, terdapat berbagai laporan rinci mengenai pertempuran-pertempuran di sekitar Yogyakarta dan Selarong pada bulan-bulan awal perang yang sama sekali tidak melibatkan Cokronegoro, juga pada bagian awal Babad ada laporan-laporan yang menyamai dengan tepat surat-surat resmi tentang kegiatan militer tentara Belanda dan laporan Pangeran Diponegoro mengenai pertempuran tersebut, seperti yang tertera di dalam babad otobiografisnya. Pada bulan-bulan awal berlangsungnya Perang Jawa, Cokronegoro berada di Surakarta, bersama-sama dengan Pangeran Kusumoyudo, maka ia tidak pernah mengalami pertempuran-pertempuran yang berlangsung diwilayah Yogyakarta pada akhir Juli sampai awal Oktober 1825. Waktu ia turun ke medan perang pada 23 Agustus 1825, ia dikirim langsung ke wilayah barat, ke Bagelen. Tampaknya jauh lebih mungkin dan masuk akal tulisan-tulisan awal yang terdapat di dalam Babad, adalah Sumbangan Basah Pengalasanlah dan bukan Cokronegoro. Untuk memastikan semua ini kita harus memperkenalkan perjalanan hidup Pengalasan sendiri.
Kebudayaan Jawa dalam ketiga Babad tersebut, seperti wayang, pusaka dan bertapa, sangatlah mewarnai cerita kehidupan Diponegoro. Pada semua babad itu contoh yang diambil dari wayang digunakan untuk melukiskan watak pelaku sejarah, seperti gambaran Diponegoro sebagai Arjuna (versi Babad Diponegoro) atau sebagai Prabu Suyudono (babad Kedung Kebo). Demikian pula banyak orang Jawa yang memahami makna ramalan Joyoboyo, bahkan Diponegoro di mata para petani Jawa saat itu diyakini sebagai Sang Juru Selamat atau Ratu Adil, yang datang untuk menegakkan keadilan, kebenaran dan kemakmuran. Fakta ini menambah pengetahuan kita tentang diri Pangeran.
Menurut penulis, Babad harus dipandang sebagai sumber Jawa yang paling terkemuka mengenai Perang Jawa serta sebagai naskah rujukan yang bisa mengimbangi otobiografi Diponegoro sendiri dan babad-babad keraton, bahwa Babad Kedung Kebo ditulis serta disusun di bawah pengarahan dua orang yang memainkan peran dan perjalanan hidup yang begitu berbeda, karya ini telah menambah arti penting sejarah itu.
Saran Carey, Babad Kedung Kebo lebih baik dapat dipandang sebagai sebuah dokumen sosial untuk menggambarkan perjalanan hidup orang yang telah membuahkan karya tersebut, Raden Adipati Ario Cokronegoro l dari Purworejo.
Judul buku “Sisi Lain Diponegoro” yang didasarkan pada Babad Kedung Kebo ini sungguh tepat, karena menjelaskan sosok Diponegoro dari sisi penulis yang bukan pendukungnya, bahkan sebagai musuhnya, sehingga tentu saja menulis tentang hal-hal buruk terhadap subyeknya. Namun demikian, betulkah kesan buruk yang digambarkan oleh Cokronegoro dan Pengalasan terhadap Diponegoro tersebut? Carey tidak memastikan kebenaran Babad Kedung Kebo, namun memberikan kisi-kisi yang patut pembaca kritisi hingga bisa menafsirkannya sendiri.
Sangat direkomendasikan bagi para pecinta sejarah bangsa untuk lebih memahami Perang Jawa, khususnya sejarah perang Diponegoro. Perlu juga dibaca buku Carey lainnya, Takdir.
Yang mengawali konfrontasi militer ya kan kolonial Belanda sendiri yg dilanjutkan dengan membakar rumah tegalrejo.., smoga generasi mendatang bisa seobyektif mungkin