Awal tahun 90an, HP berukuran batu bata bermerk Motorolla begitu mewah, mengundang mata utk melirik ke dalam mobil si pengguna yg sengaja sedikit membuka kaca jendela, biar terlihat.
Tahun 1995, perusahaan tambang emas Placer Pacific di Jakarta dan kantor pusatnya di Sydney masih menggunakan CompuServe untuk ‘surfing’ di dunia maya karena internet provider belum ada, bahkan internet belum cukup dikenal di Indonesia. Saat itu ada satu nomor telepon di Jakarta, yang tidak diketahui milik siapa, bisa dipergunakan untuk akses CompuServe, free. Aneh …
Sekarang, bahkan anak SD pun sudah bisa berinternetan dengan HPnya yang kecil itu untuk chatting dan berkemunikasi dengan rekannya via Facebook. ‘Om, hari gini.. Belum punya account di Facebook .. Yahhh’, begitu teman-teman anakku meledekku. Aku tersenyum, semakin tua rasanya ….
Facebook? Tengok kiri-kanan, yah ternyata sdh jd fenomena sosial, seakan yang tidak terdaftar di facebook bukan bagian dari jamannya..
Aku mulai merenung di suatu mall di Jakarta sambil mengamati gerak-gerik setiap anak muda yang lalu lalang di depanku. Kulirik seorang perempuan kantoran yang sedang asik memainkan keyboard laptopnnya sambil tersenyum sendiri di meja sebelahku dalam warung kopi Starbuck. Heem .. Ternyata sedang chatting.. Di pojok warung, tiga pemuda tersenyum sambil memperhatikan layar laptopnya.. Facebook ..
Penasaran, pulang ke rumah lgs sign-up di Facebook, karena untuk bisa lihat info di dalamnya harus terdaftar dulu di Facebook dan menjalin banyak perkawanan, untuk melihat info apa sih yang ada di dalamnya.
Kesimpulanku, Facebook adalah media, yang bisa dipergunakan sebagai alat untuk bertukar info tentang banyak hal, mulai dari yang dangkal narsistik sebagai bagian dari ‘budaya pop’ hingga yang empatik mencerahkan atau ‘budaya kritis’. Terserah anda mau di bagian yang mana .. 🙂
Tinggalkan Balasan